KISAH KALAYAKKHINI
Dhammapada I : 5
Ada seorang laki-laki perumah tangga mempunyai istri yang mandul. Karena merasa mandul dan takut diceraikan oleh suaminya, ia menganjurkan suaminya untuk menikah lagi dengan wanita lain yang dipilih olehnya sendiri. Suaminya menyetujui dan tak berapa lama kemudian istri muda itu mengandung.
Ketika istri mandul itu mengetahui bahwa madunya hamil, ia menjadi tidak senang. Dikirimkannya makanan yang telah diberi racun, sehingga istri muda itu keguguran. Demikian pula pada kehamilan yang kedua. Pada kehamilannya yang ketiga, istri muda itu tidak memberi tahu kepada istri tua. Karena kondisi fisiknya kehamilan itu diketahui juga oleh istri tua. Berbagai cara dicoba oleh istri tua agar kendungan madunya itu gugur lagi, yang akhirnya menyebabkan istri muda itu meninggal pada saat persalinan. Sebelum meninggal, wanita malang itu dengan hati yang dipenuhi kebencian bersumpah untuk membalas dendam kepada istri tua.
Maka permusuhan itupun dimulai.
Pada kelahiran berikutnya, istri tua dan istri muda tersebut terlahir sebagai seekor ayam betina dan seekor kucing. Kemudian terlahir kembali sebagai seekor macan tutul dan seekor rusa betina, dan akhirnya terlahir sebagai seorang wanita perumah tangga di kota Savatthi dan peri yang bernama Kali.
Suatu ketika sang peri (Kalayakkhini) terlihat sedang mengejar-ngejar wanita tersebut dengan bayinya. Ketika wanita itu mendengar bahwa Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma di Vihara Jetavana, ia berlari ke sana dan meletakkan bayinya di kaki Sang Buddha sambil memohon perlindungan.
Sedangkan peri tertahan di depan pintu vihara oleh dewa penjaga vihara. Akhirnya peri diperkenankan masuk, dan kedua wanita itu diberi nasehat oleh Sang Buddha.
ang Buddha menceritakan asal mula permusuhan mereka pada kehidupan yang lampau, yaitu sebagai seorang istri tua dan istri muda dari seorang suami, sebagai seekor ayam betina dan seekor kucing, sebagai seekor macan tutul dan seekor rusa betina.
Mereka telah dipertemukan untuk melihat bahwa kebencian hanya dapat menyebabkan kebencian yang makin berlarut-larut, tetapi kebencian akan berakhir melalui persahabatan, kasih sayang, saling pengertian, dan niat baik.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 5 berikut ini:
Kebencian tak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian.
Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci.
Inilah satu hukum abadi.
Kedua wanita itu akhirnya menyadari kesalahan mereka, keduanya berdamai, dan permusuhan itu berakhir.
Sang Buddha kemudian meminta kepada wanita itu untuk menyerahkan anaknya untuk digendong peri. Takut akan keselamatan anaknya, wanita itu ragu-ragu. Tetapi, karena keyakinannya yang kuat terhadap Sang Buddha ia segera menyerahkan anaknya kepada peri.
Peri menerima anak itu dengan hangat. Anak itu dicium dan dibelainya dengan penuh kasih sayang, bagaikan anaknya sendiri. Setelah puas, diangsurkan ke ibunya kembali.
Demikianlah, pada akhirnya mereka berdua hidup rukun dan saling mengasihi.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar