Sabtu, Agustus 27, 2011

Dhamma Vibagha II (Penggolongan Dhamma) Kelompok Tiga




DHAMMA VIBHAGA II
(PENGGOLONGAN DHAMMA)
Kelompok Tiga




Sumber : Dhamma Vibhaga - Penggolongan Dhamma;
oleh: H.R.H. The Late Patriarch Prince Vajirananavarorasa;
alih bahasa : Bhikkhu Jeto, Editor : Bhikkhu Abhipanno;
Penerbit : Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta; Cetakan Pertama 2002)



KELOMPOK TIGA

1.  PIKIRAN-PIKIRAN JAHAT (ASUKALA VITAKKA)

1.     Pikiran yang menghasilkan keserakahan atau ketamakan (kama-vitakka).
2.     Pikiran yang menghasilkan kebencian (byapada-vitakka).
3.     Pikiran yang menghasilkan kekejaman atau kebengisan (vihimsa-vitakka).

An.Cha. 22/496.

·            KETERANGAN

Contoh dari jenis pikiran yang pertama dapat dilihat apabila seseorang memanjakan dirinya dalam kelakuan seks yang rendah, seperti perjinahan, atau perbuatan-perbuatan seks yang melanggar, atau apabila seseorang dikuasai oleh keserakahan dan mencari uang melalui sumber-sumber yang melanggar hukum.

Pikiran jahat jenis kedua adalah apa yang ditimbulkan oleh kemarahan dan diperkuat oleh kebencian atau keinginan untuk membalas dendam.

Pikiran jahat jenis ketiga dapat dilihat pada seseorang yang bersenang-senang sendiri sambil mengorbankan orang lain, atau orang yang senang memberi beban tugas yang berlebih-lebihan kepada bawahannya, merasa acuh tak acuh atas penderitaan makhluk lain.

·            CATATAN :

Sejauh berkenaan dengan tiga akar kejahatan (lihat Jilid 1, pikiran-pikiran jahat yang pertama adalah disebabkan oleh keserakahan (raga), pikiran jahat yang kedua adalah disebabkan kemarahan (dosa), dan pikiran jahat yang ketiga adalah disebabkan oleh ketidak tahuan (moha).


2.  PIKIRAN-PIKIRAN MULIA (KUSALA VITAKKA)

1.    Pikiran-pikiran yang menjurus kearah peninggalan (nekkhamma-vitakka)
2.    Pikiran-pikiran yang menjurus kearah penghancuran kebencian (abyapada-vitakka)
3.   Pikiran-pikiran yang menjurus kearah penghancuran kekejaman atau kebengisan (avihimsa-vitakka)

Ma. Mu. 12/232

  •   KETERANGAN

Pikiran mulia macam pertama menunjukkan pikiran yang menahan diri untuk tidak dikuasai oleh watak kenafsuan, dan juga untuk meninggalkan obyek-obyek kenafsuan. Istilah Nekkhamma atau peninggalan biasanya menyatakan faham hidup tidak berkeluarga (hidup suci), jadi kedua pengertian di atas adalah saling berhubungan satu sama lain dengan eratnya, karena suatu pikiran biasanya berakibat ke dalam suatu perbuatan.

Pemancaran pikiran cinta kasih kepada semua makhluk, mengharapkan kebahagiaan dan kesejahteraan mereka, adalah yang dimaksudkan dengan bentuk pikiran mulia yang kedua.

Apabila pikiran berdasarkan pada kasih sayang dan kemauan untuk membantu orang lain agar terbebas dari penderitaan, maka pikiran ini dimasukkan dalam kelompok pikiran mulia ketiga. Pikiran-pikiran demikian memberikan seseorang suatu pengertian terhadap perasaan dan keinginan orang lain. Bagi seorang yang demikian, tak ada perlakuan untuk mementingkan diri sendiri pada binatang-binatang atau pembantu-pembantunya, juga ia tidak akan bersenang-senang dengan mengorbankan makhluk lain.

  •   CATATAN :

1.  Tiga macam pikiran mulia ini dapat digolongkan dalam pikiran benar (samma-sankappa), salah satu dari delapan unsur dalam delapan rangkaian jalan mulia.

2.   Sejauh berkenaan dengan tiga langkah praktek (sikkha), yakni: peraturan kemoralan (sila), meditasi (samadhi) dan kebijaksanaan (pañña), tiga macam pikiran mulia ini dapat digolongkan ke dalam langkah kebijaksanaan atau pañña.

3.   API (AGGI)

a.      Api kenafsuan (ragaggi)
b.      Api kemarahan (dosaggi)
c.      Api ketidaktahuan (mohaggi)

Khu. U. 25/301

  •   KETERANGAN

Nafsu-nafsu ini disebut api karena akibat-akibat mereka yang membakar pikiran

  •   CATATAN :

1.   Ini adalah nama lain untuk tiga akar kejahatan seperti yang telah disebutkan di dalam Jilid I.

2.  Yang dimaksud dengan 'nafsu' adalah keinginan akan kesenangan indria: bentuk-bentuk yang dapat dilihat, suara, bau, rasa, sentuhan yang menyenangkan dan merangsang. Itu adalah api dalam arti mempunyai suatu dasar keinginan yang membakar untuk mendapatkan lebih banyak.

3.  Tidak begitu sukar untuk melihat atau mengerti bagaimana kebencian dapat diumpamakan dengan api. Kebencian dapat dibandingkan dengan kobaran api yang dengan segera akan timbul apabila keinginan-keinginan yang bernafsu seperti di atas terhalang. Artinya meliputi dari semata-mata kejengkelan, atau rasa tidak senang sampai pada kemarahan hebat dan keinginan untuk membalas dendam.

4.   Ketidaktahuan mungkin kurang dapat dikenal sebagai api, tetapi ia berpengaruh paling lama dan paling dalam di dalam pikiran. Ketidaktahuan menimbulkan keserakahan dan kemarahan, sehingga dapat disamakan dengan bara api, sedangkan nafsu disamakan dengan nyala api, dan kemarahan seperti api yang berkobar-kobar.


4.  KEUNTUNGAN (ATTHA)

1.     Keuntungan yang dapat diperoleh sekarang (Ditthadhammikattha)
2. Keuntungan yang dapat diperoleh pada suatu kehidupan yang akan datang (samparayikattha)
3.     Keuntungan yang tertinggi -mengatasi dua keuntungan-keuntungan di atas (Paramattha)

An. Ca. 285

  •   CATATAN :

1.    Macam keuntungan pertama dan kedua telah diterangkan dalam Jilid I (Kelompok Empat)

2.  Keuntungan yang tertinggi dalam Buddhisme menunjukkan pemadaman nafsu-nafsu atau Nibbana, yang tidak terlahir dan karena itu merupakan keadaan tanpa kematian.

3.  Praktek demi keuntungan yang dapat dicapai dalam kehidupan sekarang adalah bersifat keduniawian. Sedangkan praktek yang membawa pada keuntungan yang dapat dicapai dalam suatu kehidupan yang akan datang adalah sebagian bersifat keduniawian dan sebagian bersifat keagamaan. Akan tetapi, keuntungan tertinggi menuntut suatu praktek keagamaan yang murni, yang dapat dilaksanakan dengan sempurna apabila menempuh kehidupan tak berkeluarga.

4. Perbuatan baik yang memberikan akibat-akibat dalam masa kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang disebut Vattagami-kusala, (perbuatan-perbuatan baik yang menjurus kearah kehidupan berulang-ulang di dalam lingkaran kelahiran kembali), sedangkan keuntungan yang tertinggi yang memerlukan suatu tingkat perbuatan baik yang lebih tinggi adalah disebut Vattagami-kusala (perbuatan-perbuatan baik yang menjurus kearah hancurnya lingkaran kelahiran kembali).


5.  DOMINASI ATAU PENGARUH YANG MENGUASAI (ADHIPATEYYA)

1.      Pengaruh diri sendiri (attadhipateyya)
2.      Pengaruh dunia (lokadhipateyya)
3.      Pengaruh Dhamma atau hukum kebenaran (Dhammadhipateyya)

An. Ti. 20/186

  •   KETERANGAN

Suatu contoh dari bentuk yang pertama dapat dilihat apabila seseorang melakukan perbuatan baik sesuai kesenangan atau kehendaknya sendiri. Orang semacam itu mengikuti pengaruh diri sendiri berdasarkan atas kenyataan bahwa keputusannya berdasarkan atas prinsip-prinsip penilaiannya sendiri.

Akan tetapi, apabila ia berbuat demikian sebagai akibat pengaruh pendapat atau sikap orang lain, apakah karena takut akan kritik yang tidak baik atau bertujuan untuk memperoleh nama baik atau pujian, ia dikatakan telah mengikuti pengaruh dunia atas dasar bahwa ia lebih memperhatikan pendapat orang lain dari pada pendapatnya sendiri.

Selanjutnya, apabila seseorang melakukan perbuatan berjasa atau beberapa perbuatan baik hanya demi kebaikan saja, dengan menyadari bahwa merupakan suatu hal benar dan pantas untuk berbuat demikian (tidak peduli akan kesukaran sendiri atau sikap orang lain), ia dikatakan mengikuti pengaruh Dhamma atau kebenaran.

  •  CATATAN :

1.  Pengaruh-pengaruh ini juga berhubungan dengan seseorang yang melakukan perbuatan jahat. Jadi, apabila seseorang berbuat jahat demi kepentingan dirinya sendiri, tanpa memperhatikan penderitaan orang lain sebagai akibat dari perbuatan itu atau tanpa mempertimbangkan baik buruknya menurut hukum kebenaran, ia dikatakan berada di bawah pengaruh dirinya sendiri. Apabila ia berbuat demikian karena mengikuti contoh dari orang lain, perbuatannya adalah berdasarkan atas pengaruh dunia.

2.  Di antara tiga macam pengaruh diatas, dua yang pertama kadang-kadang mungkin benar dan kadang-kadang mungkin salah, karena pendapat diri sendiri maupun orang lain bukanlah dasar yang tepat untuk mempertimbangkan nilai atau kebenaran suatu perbuatan. Hanya dengan mematuhi hukum kebenaran saja, maka seseorang dapat memastikan atau mempertimbangkan secara benar.


6.  KESEMPURNAAN (ANUTTARIYA)

  1.   Penyadaran yang sempurna (dassananuttariya)
  2.   Praktek yang sempurna (patipadanuttariya)
  3.   Kebebasan yang sempurna (vimuttanariya)

Di. Pati. 11/231

  •  KETERANGAN

Memahami Dhamma seperti yang dimaksudkan dalam kalimat Pali 'yo dhammam passati so mam passati': 'siapa saja yang melihat Dhamma, melihat diriku', disebut penyadaran yang sempurna.

Mengikuti Dhamma yang telah dilihat atau disadari, mengembangkan segi yang baik dan meninggalkan segi yang jelek, disebut praktek yang sempurna.

·            CATATAN :

Kebebasan (vimutti) sebagian dapat pula menjadi mutlak, biasa (keduniawian) atau dapat pula sempurna, dan untuk sementara saja atau dapat pula untuk waktu yang lebih lama (lihat juga kebebasan, Kelompok Lima).

7.   PENCIPTA-PENCIPTA BESAR (ABHISANKHARA)

  1.   Perbuatan-perbuatan berjasa (puññabhisankhara)
  2.   Perbuatan-perbuatan tidak berjasa (apuññabhisankhara)
  3.   Tidak tergoncangkan (aneñjabhisankhara).

Khu. P. 31/181

  •   KETERANGAN

Apapun yang menciptakan adalah disebut: pencipta. Baik perbuatan berjasa maupun perbuatan tidak berjasa mengubah makhluk dengan kekuatan ciptaan mereka, dan kerenanya adalah pantas disebut pencipta-pencipta. Kelompok ketiga atau aneñja, secara harfiah berarti tidak tergerakkan atau tidak tergoncangkan, menyatakan suatu kondisi keteguhan atau keseimbangan. Kadang-kadang istilah ini dimaksudkan sebagai pencapaian tingkat meditasi yang sudah jauh maju, yang disebut Samapatti, menunjukkan empat tingkat meditasi tidak berbentuk (arupa); tetapi kadang-kadang dimaksudkan untuk menyatakan kondisi di atas manusia biasa (uttarimanussadhama). Jadi, apabila meditasi tidak berbentuk dimaksudkan sebagai pencipta kelompok ketiga, meditasi dengan bentuk (rupa-samapatti) disebutkan sebagai pencipta kelompok pertama atau perbuatan-perbuatan berjasa. Dengan arti ini, meditasi dengan bentuk (rupa-samapatti) nampaknya berada pada tingkatan yang sama seperti perbuatan-perbuatan berjasa umum, yang masih berdasarkan pada keinginan indria dari manusia duniawi (kamavacarabhumi).

Jadi, arti aneñja atau tidak tergoncangkan adalah agak kabur dan membingungkan, maka terserah pada pendapat para sarjana. Istilah ini (abhisankhara) muncul di dalam bab-bab keterangan dari kata sankhara di bawah pokok paticcasamuppada (asal mula yang saling bergantungan). Karenanya, dapat disimpulkan bahwa keduanya mempunyai arti yang sama.

  •   CATATAN :

Dari kandarakasutta (Ma. Mu. 13/15), dan devdhavitakka-sutta (Ma.Mu. 12/236,237) istilah aneñja menunjukkan pada jhana ke-empat. Karenanya, itu mungkin dapat diartikan sebagai pencipta kelompok pertama (perbuatan-perbuatan berjasa), menyatakan pikiran-pikiran mulia (kusala-vitakka), lihat No.2 dari bagian ini. Sedangkan pencipta kelompok kedua (perbuatan-perbuatan tidak berjasa) adalah pikiran-pikiran jahat itu sendiri (akusala-vitakka) lihat No. 1 dari bagian ini.


8.   MENGALIR KELUAR ATAU PENGOTORAN (ASAVA)

  1.   Pengotoran dari nafsu (kamasava)
  2.   Pengotoran dari ikatan pada kehidupan (bhavasava)
  3.   Pengotoran dari ketidaktahuan (avijjasava)

Di. M. 10/96

  •   KETERANGAN

Dalam arti pokoknya, istilah Asava menunjukkan sari atau getah dari suatu pohon atau bunga: pupphasavo, suatu minuman beracun yang disarikan dari bunga-bungaan; dan phalasava, suatu minuman beracun yang disarikan dari buah-buahan. Menurut artinya yang lebih luas, kata asava dipergunakan untuk menyatakan kondisi ketika emosi atau insting telah menguasai (atau dipandang secara harfiah berarti, mengalir keluar dari tempat persembunyian-nya yang dalam dan muncul keatas). Akan tetapi, ada suatu pertanyaan, apakah atau seberapa jauh asava dan kilesa (secara harfiah berarti, kekotoran) harus sama atau berbeda dari satu dengan yang lain dengan pengertian-pengertian mereka? Secara harfiah, seharusnya kilesa yang mana menyatakan keadaan pengotoran adalah istilah petunjuk umum bagi pikiran manusia duniawi. Sedangkan asava, yang mana menyatakan keadaan peragian dan pemupukan, mempunyai suatu pengertian khusus yakni menunjukan pada apa yang menguasai watak seseorang. Ia menjadikannya mudah terpengaruh oleh itu dari pada oleh yang belakangan (kilesa).

Misalnya, merupakan suatu hal yang umum bahwa seseorang duniawi kadang-kadang menjadi marah atau menginginkan sesuatu lebih banyak, tetapi tidak semua dari mereka dapat disebut mudah tersinggung atau bersifat serakah, kecuali beberapa orang yang secara kebiasaan dikuasai oleh pengaruh demikian.

Tetapi mungkin juga terdapat beberapa istilah dengan pengertian sama untuk dipergunakan secara berbeda pada kesempatan yang berbeda. Perbedaannya hanya pada nama atau perumpamaannya saja, dan bukan pada arti utamanya. Kadang-kadang, apabila suatu arti kolektif -arti yang mencakup semua atau arti yang tidak tegas- adalah lebih disenangi, maka kata kilesa memenuhi tujuan yang paling baik. Kadang-kadang pula, apabila suatu arti yang lebih terbatas atau lebih jelas diinginkan maka bermacam-macam kata lainnya dipergunakan untuk tujuan-tujuan khusus. Beberapa istilah tersebut adalah: asava (mengalir keluar), anusaya (pengaruh yang tersembunyi), samyojana (belenggu-belenggu), gantha (pengikat), akusalacittuppada (pikiran-pikiran jahat) dan lainnya.

  •   CATATAN :

Kata 'mengalir keluar' (asava) secara etimologis diterjemahkan dari akar-akar 'Su': mengalir keluar, memiliki suatu pengertian mendalam di dalamnya -walaupun dalam bahasa Indonesia kata itu tidak memiliki terjemahan yang tepat, karena asava menyatakan bentuk kekotoran batin yang paling dalam yang pada umumnya kita tidak sadari, yang mengalir keluar bersama-sama dengan setiap pikiran dan perasaan yang berdampak pada setiap perkataan dan perbuatan. Bagi orang duniawi yang belum menyingkirkan rintangan-rintangan bathin (samyojana)- tak ada harapan untuk mencegah tiga asava ini untuk mengalir keluar melalui apapun yang mereka pikirkan (termasuk perasaan), pembicaraan, dan perbuatan. Fakta ini dapat dibuktikan dengan menempatkan rayuan-rayuan dan gangguan-gangguan didalam kehidupan. Hasilnya lebih kurang pasti menggembirakan (pengotoran dari ikatan untuk menjadi) dan terserap (pengotoran dari ketidaktahuan).


9.   PERBUATAN (KAMMA)

  1.   Perbuatan jasmaniah (kayakamma)
  2.   Ucapan (vacikamma)
  3.   Pikiran (manokamma)

Ma. Ma. 13/56

  •   CATATAN :

1.   Istilah kamma (kehendak, perbuatan) mempunyai suatu arti netral dan dapat berarti baik atau buruk sesuai dengan kata sifat yang menyertainya. Apabila kata Bahasa Indonesia "pikiran" digunakan untuk mengartikan aktivitas atau perbuatan batin atau manokamma, maka dalam hal ini harus dimengerti bahwa perasaan, pencerapan atau pengalaman juga termasuk didalamnya.

2.   Kamma dapat juga dibagi menjadi baik (kusala) dan buruk (akusala), atau berjasa dan tidak berjasa. Lihat uraian tentang kusala dan akusala.


10. PINTU ATAU SALURAN (DVARA)

  1.   Pintu jasmani (kayadvara)
  2.   Pintu perkataan (vacidvara)
  3.   Pintu pikiran (manodvara)

Man. Di. Vin. 1/237

  •   KETERANGAN

Membunuh atau mencuri adalah perbuatan-perbuatan jasmani. Apabila dilakukan sendiri, mereka diselesaikan melalui pintu badan jasmani atau saluran jasmani. Apabila dilakukan melalui perintah yang diberikan kepada orang lain, mereka diselesaikan melalui pintu perkataan atau saluran kata-kata.

Berbohong adalah suatu perbuatan verbal, apabila dilakukan melalui pembicaraan, maka diselesaikan melalui pintu perkataan atau saluran kata-kata; dengan isyarat-isyarat atau gerak-gerak yang bermaksud menimbulkan suatu pengertian salah, seperti mengangguk atau menggoyangkan kepala. Sebaliknya dari berbicara, maka diselesaikan melalui pintu badan jasmani atau saluran badan jasmani. Keserakahan atau ketamakan adalah perbuatan bathin. Memegang obyek keserakahan tanpa keinginan untuk memiliki atau mencuri adalah keserakahan yang diwujudkan melalui pintu badan jasmani atau saluran badan jasmani. Menuntut untuk memiliki adalah suatu keserakahan yang terwujud melalui pintu perkataan atau saluran kata-kata. Sedangkan memikirkan sesuatu dengan keserakahan adalah tanda keserakahan melalui pintu pikiran (lihat juga no. 9, yang mempunyai arti sama walaupun berbeda dalam pengungkapannya).


11. PENGETAHUAN BERKENAAN DENGAN WAKTU (ÑANA)

1.    Pengetahuan mengenai waktu lampau (atitansañana)
2.    Pengetahuan mengenai waktu yang akan datang (anagatansañana)
3.    Pengetahuan mengenai waktu sekarang (paccuppanansañana)

Di. Pati. 11/292

  •  KETERANGAN

Kemampuan untuk meneliti kembali akibat-akibat keadaan sekarang pada sebab-sebab mereka di waktu lampau adalah disebut: 'pengetahuan mengenai waktu lampau'. Kemampuan untuk memperhitungkan akibat-akibat yang akan datang melalui sebab-sebab masa sekarang atau yang akan datang disebut 'pengetahuan mengenai waktu yang akan datang'. Kemampuan untuk mengetahui cara berbuat yang tepat dihadapan sebab-sebab atau akibat-akibat yang timbul dengan segera adalah disebut 'pengetahuan mengenai waktu sekarang'.


12. PENGETAHUAN BERKENAAN DENGAN EMPAT KEBENARAN MULIA (ÑANA)

  1. Pengetahuan mengenai pengetahuan itu sendiri (saccañana)

  1. Pengetahuan mengenai apa yang harus dilakukan dengan masing-masing dan setiap kebenaran (kaccañana)

  1. Pengetahuan mengenai apa yang telah dilakukan berkenaan dengan masing-masing dan setiap kebenaran (katañana)

Sam. Maha 19/531

  •   KETERANGAN

Pengetahuan mengenai kenyataan bahwa "Ini adalah penderitaan (dukkha), Ini adalah sebab penderitaan (dukka samudaya), ini adalah akhir dari penderitaan (dukkha nirodha), dan ini adalah jalan yang membawa pada akhir penderitaan (dukkha nirodha gamini patipada atau magga) " adalah disebut pengetahuan mengenai kebenaran itu sendiri.

Pengetahuan mengenai kenyataan bahwa "Penderitaan adalah harus diketahui atau dimengerti, sebab penderitaan adalah harus dilenyapkan, akhir penderitaan harus disadari atau direalisasi, dan jalan yang membawa pada akhir penderitaan harus dilaksanakan serta dikembangkan" : adalah disebut pengetahuan mengenai apa yang dilakukan berkenaan dengan kebenaran itu.

Tiga tingkat pengetahuan ini meliputi tiap-tiap faktor Empat Kebenaran Mulia, dengan demikian menghasilkan apa yang disebut dua belas rangkaian proses atau tiga lingkaran pengetahuan yang berkenaan dengan Empat Kebenaran Mulia.


13. KEINGINAN ATAU KERINDUAN (TANHA)

  1.   Keinginan akan kesenangan-kesenangan indria (kama-tanha)
  2.   Keinganan akan kehidupan atau menjadi (bhava tanha)
  3.   Keinginan akan kemusnahan atau tidak menjadi (vibhava tanha)

An. Cha. 22/439

  •   KETERANGAN

Apapun yang mendorong makhluk hidup ke arah perjuangan atau pergolakan tanpa akhir disebut keinginan atau kerinduan.

Keinginan bentuk pertama menyatakan perjuangan akan kesenangan-kesenangan indria yang belum diperoleh dan pemuasan kesenangan-kesenangan indria yang telah diperoleh.

Yang kedua adalah keinginan terus-menerus untuk kelangsungan kehidupan di alam kehidupan sekarang atau kelahiran kembali di suatu alam kehidupan berbahagia dimasa yang akan datang.

Yang ketiga, sebagai kebalikan dari yang kedua, adalah suatu keinginan untuk tidak berada di alam kehidupan sekarang (ingin mati), karena kejemuan atau kebosanan, atau untuk tidak dilahirkan kembali di alam kehidupan tertentu yang lain. Harus diperhatikan bahwa pada bentuk keinginan yang kedua (bhava-tanha) dapat meliputi keinginan akan nama harum dan kehormatan (yaitu, untuk menjadi begini atau begitu). Demikian pula pada bentuk keinginan ketiga (vibhava-tanha) meliputi keinginan untuk tidak menjadi begini atau begitu.

  •   CATATAN :

1.   Contoh lain dari bekerjanya keiginan-keinginan tersebut dapat dilihat pada seseorang yang telah bosan dengan seseorang atau barang yang dicintai dan menginginkan yang lain, yang ia pikir lebih baik atau lebih menyenangkan. Bahwa ia bosan dengan miliknya dan ingin berpisah dengan miliknya tersebut adalah perwujudan dari keinginan ketiga (vibhava tanha). Sedangkan, ia merindukan yang lain adalah tanda dari keinginan yang pertama (kama-tanha).

2.   Seringkali diperdebatkan bahwa suatu keinginan untuk tidak dilahirkan kembali atau suatu keinginan untuk mencapai Nibbana adalah bukan tanha dengan dugaan bahwa itu adalah suatu keinginan baik dan bukan sesuatu yang jahat atau yang membawa pada kemelekatan dan lebih banyak kebodohan. Tetapi, ukuran untuk mempertimbangkan hal ini tidak hanya berdasarkan pada arti dari persoalannya saja. Lebih dianjurkan, untuk membandingkannya dengan pokok-pokok lain untuk memeriksa berapa banyak keinginan itu dapat bersesuaian dengan yang lainnya. Pertimbangan yang paling baik untuk hal ini mungkin adalah tiga asava (no. 8 dari bab ini), peninggalan mutlak yang memerlukan tidak kurang dari pandangan terang pada tingkat 'sang jalan' (no.22, kelompok empat). Ini berarti bahwa apapun juga yang dipikirkan atau diinginkan oleh seorang manusia duniawi adalah selalu berhubungan atau terisi dengan asava-asava. Karena itu persoalannya adalah, bukan apakah ia berpikir akan melakukan atau tidak melakukan, dan ingin berbuat atau tidak ingin berbuat. Bentuk negatif dari keinginan atau pikiran adalah bukan alasan untuk menjadikannya naik di atas tingkat pasangannya yang positif. Pada kenyataan, keduanya adalah sama seperti kedua sisi dari sebuah mata uang. Karena apabila seorang manusia duniawi ingin memiliki sesuatu, ini juga berarti bahwa ia tidak menginginkan memiliki beberapa hal lain yang berlawanan dengan itu. Dan apabila tidak menginginkan sesuatu, itu juga berarti bahwa ia menginginkan beberapa hal lain yang lebih baik dari pada itu.

3. Sekalipun keinginan akan makanan dan minuman adalah bukan alasan, sesungguhnya, permintaan badan jasmani itu sendiri adalah bukan tanha, tetapi keinginan manusia duniawi akan makanan dan minuman sudah tentu adalah tanha. Karena yang mendasarinya, selalu dan tanpa kecuali adalah keinginan (walaupun kadang-kadang secara tidak sadar) untuk bentuk makanan dan minuman yang lezat. Untuk membuktikannya cukup mudah. Orang yang sama diberikan bermacam-macam makanan dan minuman yang berbeda, pasti akan dipengaruhi oleh emosi-emosi yang berbeda, sesuai dengan apakah makanan dan minuman yang diberikan itu menyenangkan atau menjijikkan baginya.


14. PANDANGAN-PANDANGAN SALAH (DITTHI)

1.    Ajaran yang menolak akibat-akibat kamma (akiriya-ditthi)
2.    Ajaran yang menolak sebab-sebab kamma (ahetuka-ditthi)
3.    Ajaran-ajaran yang menolak semuanya atau ajaran tentang ketiadaan (natthika-ditthi)

Ma. Ma. 13/111

  •   KETERANGAN

Ajaran pertama beranggapan bahwa tidak ada akibat nyata dari apa yang disebut baik atau buruk. Jadi, apabila seseorang melakukan perbuatan baik atau buruk yang tidak dilihat atau diketahui oleh orang lain, maka secara mutlak tidak ada akibat baik atau buruk untuk diharapkan dari perbuatan itu. Apabila ia dihadiahi oleh orang lain, seseorang dikatakan telah menerima hasil dari kebaikan-nya. Sebaliknya, ketika ia dihukum oleh orang lain, ia secara benar dapat dikatakan telah menerima hasil dari perbuatan jahat. Suatu perbuatan baik atau buruk yang berlangsung tanpa diperhatikan oleh orang lain adalah sama seperti tidak ada. Keyakinan semacam ini menolak akibat (vipaka) dari kamma itu sendiri, hanya menerima apa yang dipersembahkan pada seseorang oleh orang lain yang di dalam bahasa Pali disebut akiriya-ditthi.

Pandangan keliru kedua menolak sebab-sebab Kamma itu sendiri. Ini mengajarkan paham nasib atau takdir (dan dengan demikian dapat disebut determinisme). Seseorang yang menganut ajaran ini beranggapan bahwa orang-orang mengalami kebahagiaan atau penderitaan sesuai dengan apa yang ditakdirkan bagi mereka. Selama saat-saat beruntung, apapun yang mereka lakukan pasti akan memberikan hasil baik, seperti kenaikan pangkat, kekayaan dan nama harum. Sedangkan pada saat tidak beruntung, mereka dapat dipecat, gagal dan putus asa, tidak peduli bagaimana bersemangatnya mereka telah berjuang untuk berbuat baik. Ajaran ini menolak kekuatan Kamma sebagai sebab yang mendasari kabahagiaan dan penderitaan dalam bahasa Pali disebut Ahetuka-ditthi.

Pandangan salah ketiga mengajarkan bahwa tidak ada apapun juga dari apa yang disebut manusia atau binatang. Wujud-wujud ini adalah hasil pengelompokan dari apa yang disebut unsur-unsur, yang terkadang membantu antara yang satu dengan yang lain, dan kadang-kadang berlawanan antara yang satu dengan lainnya. Demikianlah keadaan ini, karena sifat dasar masing-masing, tak ada apapun juga dari apa yang dianggap sebagai perbuatan baik atau buruk itu sendiri. Apabila, misalnya, setelah turun hujan, pohon-pohon berbunga dan menghasilkan bunga, adalah tidak masuk akal untuk berpikir bahwa terdapat suatu perbuatan berjasa pada pihak sang hujan. Selanjutnya, apabila suatu api membakar seluruh pohon-pohon di dalam hutan, tak ada seorang pun yang berpikiran waras akan pernah beranggapan bahwa terdapat sesuatu perbuatan jahat yang dilakukan oleh api. Demikianlah keadaannya, tak ada yang dianggap sebagai perbuatan berjasa atau jahat apapun bilamana seseorang 'melukai' atau 'membantu' orang lain.

  •   CATATAN :

1.  Menurut kenyataan, kata 'Filsafat' walaupun ukurannya tinggi dalam beberapa hal, akan tetapi masih dapat disebut ditthi, atau pandangan-pandangan semata. Sebagian besar dari filsafat telah diciptakan oleh pikiran spekulasi seseorang dan semuanya adalah hipotesa atau teori semata dengan bentuk praktek yang tidak teguh. Dengan memiliki nilai intelektual saja, mereka tidak akan membawa para penganutnya ke manapun juga, sejauh berkenaan dengan perkembangan bathin. Kekotoran bathin atau asava tidak pernah dapat dibersihkan dengan intelektual saja. Sekurang-kurangnya memerlukan meditasi tingkat jhana (lihat kelompok Empat) untuk menindas atau memperkecil kekotoran-kekotoran bathin atau asava-asava itu, apabila tidak menghancurkannya.

2.   Akibat buruk dari tiga pandangan salah ini -filsafat- dapat dibandingkan dengan apa yang dihasilkan dari lima kejahatan terberat (kelompok lima, jilid I). Orang yang menganut pandangan ini dikatakan menjadi tahanan abadi dari lingkaran kelahiran dan kematian serta menjadi penjaga dunia sampai pada hari kiamat. Dalam istilah kitab suci, orang yang demikian disebut: Khanuvatta, sebuah tunggak pohon dalam lingkaran kelahiran kembali; dan Pathavigopo, penunggu-penunggu dunia. Ini jelas karena pikiran-pikiran mereka terperangkap dalam materi, terikat pada materi, dan karena itu terbelenggu erat pada materi.


15. PARA DEWA (DEVA)

1.     Dewa melalui anggapan atau perjanjian (sammati-deva)
2.     Dewa melalui kelahiran (uppattideva)
3.     Dewa melalui kesucian (visuddhideva)

Khu. Cu. 30/312

  •  KETERANGAN

Pada dasarnya, istilah dewa menyatakan yang memiliki kemuliaan-kemuliaan dan patut menerima penghormatan dan penghargaan.

Dewa melalui anggapan atau perjanjian, berarti para Raja, termasuk juga keluarga Raja. Secara tradisi, dalam bahasa Pali seorang Raja disebutkan dengan istilah Dewa.

Dewa dengan kelahiran menyatakan makhluk-makhluk tidak terlihat yang dilahirkan secara spontan (lihat, Kelompok Empat, No. 24, bagian 4), dalam bahasa Pali disebut: opapatika. Ada bermacam-macam golongan dewa dari jenis ini, beberapa tinggal di rumah-rumah, di udara dan di dalam alam-alam mereka masing-masing.

Dewa melalui kesucian adalah nama untuk para makhluk suci (lihat Kelompok Empat, No.4) atau arahata, yang terdiri atas empat macam.

  •  CATATAN :

Dalam arti lain, ini menyatakan praktek-praktek kedewaan. Perlu juga untuk mencatat syair dari Dhammapada berikut ini:

Hiri ottappasampañña
sukkadhammasamahita,
Santo sappurisa loke
Devadhammati vuccare'

"Mereka yang dikaruniai dengan sifat-sifat kedewaan adalah mereka yang diperlengkapi dengan rasa malu akan perbuatan jahat dan takut akan akibat-akibatnya serta yang teguh dalam Dhamma (praktek-praktek mulia) ".


16. CORAK ATAU SIFAT DARI DHAMMA (DHAMMANIYAMA)

  1.   Semua ciptaan adalah tidak kekal.
  2.   Semua ciptaan adalah mengalami kehancuran.
  3.   Semua Dhamma adalah tanpa inti yang sejati.

An. Ti. 20/868

  •  CATATAN :

Istilah Dhamma di sini dipergunakan dalam arti yang seluas-luasnya meliputi semua dan setiap benda, orang dan peristiwa, fenomena, perwujudan dan bagian-bagian lain yang dapat dihayati oleh otak. Juga meliputi segalanya, mencakup materi maupun non materi, yang hidup maupun tidak hidup, yang nyata maupun tidak nyata, dan selanjutnya. Dalam istilah yang mutlak, istilah Dhamma mempunyai arti 'terluas', selama istilah 'terluas' itu dapat mencakup keadaan -tak perlu dikatakan- meliputi segalanya dan mencakup semuanya.

'Ciptaan' disini diterjemahkan dari kata sankhara, yang mempunyai arti apapun yang diciptakan dan terbentuk. Mereka pada dasarnya adalah tidak kekal, mengalami perubahan, dan juga dapat hancur, mengalami kelapukan atau keruntuhan, dan mereka adalah tanpa aku atau inti yang kekal dalam analisa terakhir. Sudah tentu, corak yang terakhir termasuk dalam istilah Dhamma di bagian ketiga, tetapi karena Dhamma, seperti telah disebutkan sebelumnya diatas, adalah meliputi segalanya maka sudah tentu meliputi 'ciptaan-ciptaan' didalam cakupannya. Sehingga istilah Dhamma meliputi sankhara atau ciptaan-ciptaan itu.

Akan tetapi, apabila Dhamma dipandang terpisah dari sankhara maka ia memiliki suatu corak atau sifat khusus yaitu kosong dari suatu inti kekal, dipandang dari suatu sudut atau arti apapun juga. Ketiga hal diatas disebut kelangsungan dari Dhamma (dhammathiti).


17. GAMBARAN BATHIN (NIMITTA)

  1.   Gambaran selama pembacaan (perikammanimitta)
  2.   Gambaran tercapai (uggahanimitta)
  3.   Gambaran yang terkendalikan (patibhaganimitta)

Abhi. San. 51

  •  KETERANGAN

Istilah nimitta, secara harfiah berarti tanda atau lambang. Gambaran disini menyatakan tingkat atau perkembangan meditasi atau perenungan pada suatu obyek.

Tingkat gambaran pertama adalah obyek perenungan atau meditasi itu sendiri, -seperti pernafasan, sebuah mayat, kenyataan akan mendekati kematian, kesucian Sang Buddha dan selanjutnya- dimana perhatian dipusatkan selama proses pembacaan, perenungan atau meditasi.

Tingkat kedua adalah bentuk yang sama atau tindasan gambaran, yaitu obyek meditasi yang direproduksi oleh bathin. Ini adalah apa yang disebut 'gambaran tercapai' sebagai tingkat gambaran pertama yang dihasilkan atau diciptakan oleh bathin.

Selanjutnya sampai pada kedalaman dimana bayangan atau gambaran tercapai dapat dikendalikan dibuat lebih besar atau lebih kecil sekehendak hati dan setiap saat selalu merupakan turunan dari bentuk aslinya, dengan perbedaan dalam ukuran tetapi dengan identitas dan struktur umum yang benar-benar terperinci.

  •  CATATAN :

Tindasan gambar yang dilihat dalam mata bathin (bagian 2) janganlah dicampur-adukan dengan bayangan yang dihasilkan oleh akibat sinar apabila seseorang menutup matanya segera setelah memandang sebuah benda dalam sinar yang terang, atau pun dengan bayangan khayalan yang muncul dalam mata bathin ketika sedang bermimpi atau melamun. Tetapi seperti dinyatakan oleh namanya, tindasan gambar diciptakan selama meditasi, tidak sewaktu bermimpi.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar