Sabtu, Desember 10, 2011

Pandangan Agama Buddha Terhadap Bunuh Diri


PANDANGAN AGAMA BUDDHA TERHADAP BUNUH DIRI

Disusun oleh : Tanhadi 


Bagaimana pandangan Agama Buddha atas upaya bunuh diri?


Ada beberapa kejadian yang tercantum dalam Sutta-Pitaka tentang  para Ariya (orang yang mencapai salah satu dari keempat tingkat kesucian /pembebasan) yang bunuh diri karena berbagai sebab dan mereka melakukannya karena menderita sakit yang berkepanjangan dan tidak mau menyusahkan orang lain yang merawat mereka.

Terdapat tiga sutta di mana penggunaan pisau (sattha maharesi) sebagai alat bunuh diri secara eksplisit tercantum, yakni yang dilakukan oleh:

Godhika Thera (Godhika Sutta dalam Samyutta Nikâya dan Ulasan Dhammapada ) , 
Vakkhali Thera ( Kisah Bhikkhu Vakkhali  dalam Samyutta Nikaya ) dan 
Channa Thera (mantan kusir Pangeran Siddhattha Gotama).

Di antara Ariya-Ariya yang bunuh diri itu ada yang telah mencapai Pembebasan Sempurna [Arahat], dan yang lainnya telah mencapai salah satu dari ketiga tingkat pembebasan di bawah Arahat, dan mencapai Pembebasan Sempurna tepat ketika pisau menggorok leher mereka.

Tidak sekalipun Sang Buddha mencela perbuatan ketiga Ariya yang bunuh diri itu. Pada kasus Godhika Thera, Sang Buddha tidak mengucapkan suatu penilaian pun. Pada kasus Vakkali Thera, Sang Buddha malah mengucapkan sesuatu yang positif berkaitan dengan akibat perbuatan bunuh diri itu, sekalipun secara moralistik tidak membenarkan atau pun menyalahkan tindakan itu sendiri. Sang Buddha berkata bahwa kematian Vakkali bukanlah sesuatu yang 'buruk' (apapika). Pada kasus Channa Thera, Sang Buddha malah menyatakan bahwa tindakan Channa Thera "tidak tercela" (anupavajja).

Hal ini dinyatakan Sang Buddha sebagai tidak tercela apabila atas dasar :- Bahwa Bhikkhu itu telah menjadi Arahat, yang telah bebas dari Lobha, Dosa dan Moha., atau Secara pasti akan menjadi Arahat sebelum kematiannya, dan bunuh diri dengan dasar-dasar tersebut hanyalah untuk mengakhiri penyakit yang tak tersembuhkan.!

Bila tidak berdasarkan hal-hal tersebut, maka pengambilan nyawa manusia atau anjuran untuk mati, merupakan salah satu dari empat kekalahan atau pelanggaran besar, yang mengakibatkan pengeluaran dari Sangha untuk selamanya ( tiga yang lainnya adalah; Pencurian, Sanggama dan sengaja mengeluarkan pernyataan palsu tentang pencapaian batiniah ).

Kisah Godhika Thera


Ia adalah putra pemuka Malla di Pâvâ. Ketika pergi ke Kapilavatthu bersama kerabatnya, ia melihat Mukjizat Ganda yang diperlihatkan oleh Sang Buddha. Selanjutnya ia tertarik untuk memasuki hidup kebhikkhuan. Ia telah menimbun kebajikan bersama kerabatnya dalam kehidupan-kehidupan lampau, khususnya pada zaman Buddha Siddhattha dan Kassapa. Delapan puluh tujuh kappa yang lampau, ia pernah menjadi raja sebanyak tujuh kali, dengan nama Mahâsena. Dalam kehidupan sekarang, setelah menjadi bhikkhu, ia bertinggal di Kâlasilâ di Isigilipassa. Di sana ia berusaha keras untuk meraih kesucian tertinggi (Arahat), tetapi hanya berhasil meraih pembebasan pikiran yang bersifat duniawi (sâmâyika cetovimutti). Pencapaian itu pun kemudian memudar, lenyap kembali karena ia sedang menderita suatu penyakit yang sangat akut (berhubungan dengan empedu, dan mengeluarkan dahak secara berlebihan), Itu terjadi berulang-ulang hingga enam kali. Pada pencapaian ketujuh, ia sempat berpikir bahwa suatu makhluk yang pudar dari Pencerapan (Jhâna), kehidupan mendatangnya tidaklah menentu (mungkin terlahirkan di alam rendah karena akibat perbuatan /kamma buruknya). Sementara itu, mereka yang berada dalam Jhâna niscaya akan lahir kembali di Alam Brahma yang luhur.

Dengan berpikir demikian, ia kemudian mengambil pisau cukur, dan dengan membaringkan tubuhnya, ia menggorok lehernya sendiri.

Mâra si Jahat yang melihat kejadian itu segera melaporkan kepada Sang Buddha. Beliau datang terlambat, Godhika Thera dijumpai dalam keadaan mati terkapar dengan leher terputus. Kendati demikian, Beliau menyatakan bahwa ia telah berhasil meraih Pembebasan Sejati ( Nibbâna). "Orang bijaksana tidak mempunyai kemelekatan terhadap badan jasmaniah. Godhika telah melenyapkan keinginannya, meraih Nibbâna." demikian sabda Sang Buddha. Pengulas menjelaskan bahwa Godhika Thera berhasil meraih Nibbâna karena setelah menggorok lehernya ( tetapi belum sampai pada ajalnya), ia sempat merenungkan dan menembus hakikat kehidupan yang fana ini.

Didalam kisah Bhikkhu Vakkhali (yang terkena penyakit kusta sangat parah)


Dikisahkan bahwa Sepanjang hari dan malam itu Sang Buddha berada di puncak Karang Burung Nasar. Ketika malam telah berlalu, Beliau memberikan wejangan demikian kepada para Bhikkhu : “ Para Bkhikkhu, pergilah menemui Bhikkhu Vakkhali dan beritahu dia tentang hal ini :

 “ Sahabat, dengarlah apa yang para dewa sampaikan kepada Sang Bhagava : semalam dua orang dewa yang berwajah gemilang datang menemui Sang Bhagava dan mereka berkata :’ Yang Mulia, hati bhikkhu Vakkhali telah siap untuk menerima pembebasan’. Sedang yang lainnya berkata :’Yang Mulia, ia pasti memperoleh pembebasan yang sempurna.’

Dan Sang Bhagava memberitahu kepadamu hal ini sahabat : “ Jangan takut, Vakkhali, jangan takut. Kematianmu akan bebas dari kejahatan, akhir hayatmu akan bebas dari kejahatan.”

“Baiklah, Yang Mulia,” jawab mereka.

Dan mereka pergi menemui Yang Mulia Vakkhali dan berkata kepadanya :” Sahabat, dengarlah pesan dari Sang Bhagava dan dari dewa-dewa...”.

Tidak lama kemudian setelah kepergian mereka, Yang Mulia Vakkhali mempergunakan pisau untuk membunuh dirinya.

Melihat kejadian ini Sang Buddha berkata : “ Para Bhikkhu, Vakkhali telah mencapai Nibbana, sehingga kesadarannya tidak berada dimanapun.”

Didalam Kisah Channa Thera  


(ini tercantum dua kali: di dalam Majjhima-Nikaya dan Samyutta-Nikaya). Kisah yang terdapat di dalam Channovada-sutta sebagai berikut:

Pada suatu ketika, Sariputta Thera, Maha-Cunda Thera dan Channa Thera berdiam di Gunung Puncak Gagak. Pada waktu itu, Channa Thera tengah menderita sakit yang amat parah. Sariputta Thera mengajak Maha-Cunda Thera untuk mengunjungi Channa Thera yang tengah sakit itu.

Kepada kedua sahabatnya itu Channa Thera menceritakan sakitnya: Beliau merasakan sakit di kepala, perut dan seluruh tubuhnya. Kepalanya terasa seperti dibelah dengan pedang, atau seperti diikat dengan sabuk kulit yang makin lama main kencang ikatannya. Perutnya terasa seperti diiris-iris dengan pisau, seperti dilakukan oleh tukang jagal yang mengiris-iris perut sapi yang baru disembelihnya. Tubuhnya terasa seperti dipanggang di atas batu bara yang menyala.

Setelah menguraikan kesakitannya, Channa Thera berkata: "Saya ingin menggunakan pisau, Sahabat Sariputta, saya tidak ingin hidup lagi."

Mendengar ucapan Channa Thera itu, Sariputta Thera segera menjawab: "Mohon Channa Thera tidak menggunakan pisau! Mohon Channa Thera tetap hidup! Kami menginginkan Channa Thera tetap hidup! Bila Anda kekurangan makanan yang memadai, saya akan mencarikan makanan; bila Anda kekurangan obat, saya akan mencarikan obat; bila Anda tidak mempunyai perawat, saya akan merawat Anda. Mohon Channa Thera tidak menggunakan pisau! Mohon Channa Thera tetap hidup! Kami menginginkan Channa Thera tetap hidup!"

Channa Thera menjawab: "Sahabat Sariputta, bukan karena saya kekurangan makanan yang memadai, bukan karena saya kekurangan obat, bukan pula karena tidak ada yang merawat saya. Tetapi, Sahabat Sariputta, telah lama saya mengabdi kepada Sang Guru [Buddha] dengan cinta, bukan tanpa cinta, oleh karena memang seharusnya seorang murid mengabdi kepada Guru dengan cinta, bukan tanpa cinta. Sahabat Sariputta, ingatlah ini: Bhikkhu Channa akan menggunakan pisau tanpa cela [anupavajja]." (Menurut Kitab Komentar, istilah 'anupavajja' bisa pula diartikan 'tidak akan terlahir kembali,menjadi Arahat'.)

Setelah itu, Sariputta Thera, diikuti Mahaa-Cunda Thera, memberikan khotbah Dhamma kepada Channa Thera. (Ini ditafsirkan oleh Kitab Komentar bahwa Channa Thera belum mencapai tingkat Arahat [masih perlu berlatih untuk mencapai tingkat Arahat], sekalipun sudah mencapai salah satu tingkat pembebasan di bawah Arahat.) Setelah itu Saariputta Thera dan Maha-Cunda Thera pergi, dan Channa Thera "menggunakan pisau" (bunuh diri).

Kemudian Sariputta Thera datang kepada Sang Buddha, dan menanyakan ke mana Channa Thera pergi (gati) setelah meninggal dan bagaimana perjalanannya selanjutnya (abhisamparaya). (Di sini jelas terlihat bahwa Sariputta Thera, sekalipun telah menjadi arahat, tidak tahu bahwa Channa Thera telah mencapai tingkat Arahat dan tidak akan terlahir kembali di mana pun juga; jadi tidak semua Arahat mempunyai kemampuan adikodrati bisa melihat kelahiran kembali orang lain.) Jawaban Sang Buddha menyiratkan bahwa seharusnya Sariputta Thera tahu tentang hal itu: "Tetapi, Sariputta, bukankah Bhikkhu Channa telah mengatakan sendiri kepadamu tentang keadaannya yang tak tercela / tak akan terlahir kembali [anupavajjata]?" Akhirnya Sang Buddha bersabda:

"Sariputta, barang siapa melepaskan jasmani (yang lama) dan mengambil jasmani (yang baru = terlahir kembali), dialah yang kunamakan 'tercela' [saupavajja]. Tetapi tidak demikian dengan Bhikkhu Channa; Bhikkhu Channa telah menggunakan pisau tanpa cela [anupavajja]."

Berdasarkan Tiga Kisah Ariya yang melakukan bunuh diri tersebut diatas, jelaslah bahwa dalam pandangan Agama Buddha berbeda dengan pandangan beberapa agama tertentu, bunuh diri bukanlah suatu "dosa" (Baca: kesalahan)yang tak terampunkan. Jangankan hanya kehidupan di Surga, bahkan pencapaian Arahat yang jauh lebih mulia daripada itu (yang menjadi tujuan akhir bagi setiap umat Buddhis) dapat diraih oleh seseorang yang pernah melakukan upaya bunuh diri.

Agama Buddha menolak adanya suatu Kekuasaan Adikodrati yang berwenang untuk menakdirkan nasib suatu makhluk; untuk melakonkan drama kehidupan yang penuh dengan penderitaan ini. Manusia, dan makhluk-makhluk lainnya, bukanlah sekadar “ Aktor panggung kehidupan “ yang terikat kontrak dengan Sutradara untuk melakonkan adegan penderitaan di atas panggung sandiwara dunia yang diciptakanNYA.

Setiap makhluk adalah pemilik mutlak atas kehidupannya masing-masing.


Dalam memandang kejahatan dan kebajikan, Agama Buddha senantiasa berpegang pada patokan yang proporsional. Sama sekali tidak ada dogma-dogma tak beralasan yang mencemarinya. Demikian pula halnya dengan delik pembunuhan, Sang Buddha memberikan penilaian yang adil dan sesuai dengan ukurannya.

Bagi seorang Bhikkhu, membunuh sesama manusia atau menganjurkan orang lain untuk bunuh diri adalah pelanggaran Parajika; suatu kesalahan paling berat (garukapatti) yang membuatnya terlepas dari pesamuan. Ini adalah suatu kesalahan yang tak terobati (atekiccha), yang berarti sepanjang kehidupan sekarang, ia tidak berhak lagi untuk menjadi bhikkhu. Ia adalah orang yang telah terkalahkan dalam upaya meraih pembebasan sejati. Dengan perkataan lain, dalam kehidupan sekarang ini, ia tidak mungkin dapat meraih kesucian apapun. Namun, dalam kehidupan-kehidupan mendatang, terbuka lagi kesempatan baginya.

Dalam Agama Buddha, tidak ada suatu kejahatan apapun dan seberapa-pun beratnya, yang membuatnya kehilangan hak secara mutlak ( takberbatas / kekal ) untuk meningkatkan taraf kehidupannya dalam pengembaraan hidup yang panjang ini. Sementara itu, pembunuhan terhadap binatang oleh seorang bhikkhu, dikenai hukuman yang lebih ringan yaitu pâcittiya ;suatu kesalahan yang membuat seorang bhikkhu diwajibkan untuk mengaku di hadapan bhikkhu lain. Apabila yang dibunuh adalah dirinya sendiri (bunuh diri), seorang bhikkhu hanya terkena pelanggaran dukkata; suatu kesalahan yang paling ringan.

Bagi umat awam, menurut Kitab Tafsiran Sâratthadîpanî dan Vimativinodanî, bunuh diri tidak termasuk pelanggaran sîla karena faktor pembunuhannya tidak terlengkapi. Pelanggaran sîla dalam hal pembunuhan ini harus berobyekkan makhluk lain, tidak termasuk diri sendiri.

Bunuh diri juga bukan merupakan akusala-kammapatha; suatu kejahatan yang dapat menyeret pelakunya dalam kehidupan di alam-alam rendah.

Di sini terlihatlah kearifan Sang Buddha dalam menggariskan berat ringannya suatu kejahatan. Sangatlah tidak beralasan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat terhadap pelaku bunuh diri daripada membunuh orang lain. Bagaimanapun, kita harus mengakui bahwa setiap orang berhak atas kehidupannya sendiri. Bunuh diri sama sekali tidak merugikan orang lain. Dengan begitu, bagaimana mungkin kita memvonisnya dengan "dosa" yang tak terampunkan; melebihi "dosa" yang dilakukan oleh mereka yang membunuh makhluk lain (melanggar hak orang lain)? ,Seperti halnya orang yang merusak barang [kekayaan] milik orang lain, patut dijatuhi hukuman, tetapi kiranya tidak ada alasan yang tepat untuk menghukum berat orang yang merusak barang miliknya sendiri.


Kita mungkin bertanya apakah bunuh diri melanggar Dhamma?


Jawabannya ialah: jelas melanggar. Jangankan melakukan upaya bunuh diri, bahkan "berpikir" untuk melukai diri sendiri sudah merupakan pelanggaran Dhamma. Perbuatan apapun yang melalui ucapan, pikiran maupun jasmani  yang membangkitkan keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan batin (moha); semuanya melanggar Dhamma.

Ingin makan enak, ingin punya istri, ingin punya anak, ingin dapat gaji besar, ingin punya rumah mewah, dan sebagainya; adalah contoh-contoh pelanggaran Dhamma dalam segi lobha.

Tidak puas dengan apa yang dimiliki, berkeluh-kesah, kecewa, bosan hidup, dan sebagainya; adalah contoh-contoh pelanggaran Dhamma dalam segi dosa.

Bolehkah seseorang bunuh diri karena masalah hidup ?


Kita mungkin bisa mentolerir/ memaklumi upaya bunuh diri karena alasan penyakit akut (kesehatan). Bagaimana pula dengan alasan-alasan lainnya? Bolehkah seseorang bunuh diri karena masalah hidup: frustrasi, patah hati ditinggal sang pacar, gagal dalam bisnis, terlibat hutang-piutang, terlibat kasus-kasus berat dsb.? Agaknya, persoalannya tidak bisa dipersamakan begitu saja. Betapapun peliknya suatu masalah hidup, itu bisa dicarikan jalan keluarnya yang lebih baik (selain bunuh diri). Paling tidak, itu bisa diatasi dengan mengubah "sikap hidup" atau "cara pandang".

Permasalahan hidup adalah penderitaan batiniah. Lain halnya dengan penyakit yang merupakan penderitaan jasmaniah, meskipun para pakar kedokteran telah berhasil meracik pelbagai macam obat penyembuh, vaksin, serum, dsb., itu tetap ada batas-batasnya. Penyakit adalah suatu "natural force"; yang tak mungkin dapat ditaklukkan secara mutlak oleh umat manusia (kecuali dengan cara Pembebasan dari kelahiran yang berulang-ulang sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha). Sejauh ini Agama Buddha tidak dapat membenarkan upaya bunuh diri karena alasan masalah hidup . . . !.

Bagaimanapun keadaannya, seseorang memang tidak patut "membenci" tubuh jasmaninya. Namun, ia juga tidak sepatutnya untuk "melekati"-nya. Tubuh ini sesungguhnya tak ubahnya seperti periuk (kendi). Kalau itu memang sudah pecah dan tidak bisa dipakai lagi, mengapa kita tidak membuangnya, dan mencari yang baru, yang lebih baik?

Ada perumpamaan lain yang bernada sama. Apabila ada orang yang mempunyai jatah atas baju baru yang lebih indah kemudian ia melepaskan bajunya yang sudah lama, gelandangan yang menyaksikannya mungkin berpikir, "Orang itu bodoh sekali, baju masih baik kok dibuang begitu saja."

Dalam menilai sesuatu, kita tidak bisa hanya berpedoman pada takaran duniawi yang rendah semacam ini dan sepertinya sudah menjadi kecenderungan orang awam untuk melekat pada kehidupan sekarang ini, dan berusaha untuk mencari kepuasan di dalamnya.

Menempuh kehidupan yang jauh dari nafsu, dalam arti menjadi Bhikkhu, misalnya, mungkin dianggap sebagai keputusan yang dungu. Mereka berpikir, selama masih ada kesempatan untuk memuaskan nafsu yang menyenangkan, mengapa tidak memanfaatkannya?, Mereka tidak menyadari bahwa dengan melepaskan kesenangan inderawi, para Bhikkhu meraih kebahagiaan yang jauh lebih luhur daripada kesenangan nafsu inderawi.

Demikian pula halnya dengan kasus Godhika Thera, kita tidak bisa menilainya dengan menggunakan kemelekatan kita terhadap kehidupan di dunia sekarang ini. Beliau mempunyai pertimbangan lain sehingga memutuskan hal itu.

Dalam hal ini, kita tidak mempersoalkan apakah bunuh diri itu salah atau tidak, tetapi kita hanya menentukan apakah bunuh diri itu boleh atau tidak dalam segi hukum duniawi. Dengan pertanyaan lain yang lebih jelas, haruskah kita melarang dan menghukum pelaku bunuh diri, ataukah membiarkannya?

Jika kita mengakui hak hidup seseorang, kiranya tidak ada alasan bagi kita untuk menghalangi kehendak orang lain dalam menentukan kehidupannya sendiri- dalam arti memilih mati atau tetap hidup dalam penderitaan /kesengsaraan. Asalkan suatu perbuatan tidak merugikan pihak lain, tidaklah beralasan untuk menghukumnya.

Seperti halnya masalah rokok. Kita semua tahu bahwa merokok itu dapat merusak kesehatan. Cukup beralasan jika kita melarang merokok di tempat-tempat umum sebab itu dapat membahayakan kehidupan orang lain yang tidak suka merokok. Tetapi, kalau seseorang merokok dalam kamarnya sendiri, bolehkah kita menjatuhkan hukuman kepadanya? Demikian pula halnya dengan masalah bunuh diri. Sepanjang itu tidak mengganggu kehidupan makhluk lain; tidak melanggar hak asasi makhluk lain, kiranya tidak ada alasan untuk memberlakukan larangan apalagi menjatuhkan hukuman kepada pelakunya.

- Sementara pihak mungkin mempertanyakan: Apakah seorang umat Buddha yang melakukan bunuh diri tidak berarti "memungkiri" Dalil Kamma?

- Apakah setelah kematiannya ia tidak perlu melunasi hutang kamma-nya lagi dalam arti menderita lagi seperti yang dialami dalam kehidupan sebelumnya?

- Dapatkah akibat suatu kamma diputuskan dengan kematian?

Memang, sebagai orang biasa, sukar untuk dapat melihat dan memastikan bagaimana bekerjanya Dalil Kamma yang sangat pelik (kompeks). Hanya seorang Sammâsambuddha yang memiliki kemampuan semacam itu. Namun, haruslah diingat bahwa Sang Buddha pernah mengajarkan tentang pembagian kamma berdasarkan waktu dalam menghasilkan akibat. Ada kamma yang memberikan akibat pada masa kehidupan sekarang (ditthadhamma vedanîya-kamma), dan ada pula kamma yang tidak memberikan akibat karena jangka waktunya untuk menghasilkan akibat telah habis (ahosi-kamma).

Agama Buddha memang mengakui adanya Dalil Kamma. Tetapi, Sang Buddha tidak pernah mengajarkan umat-Nya untuk "tunduk" pada akibat kamma. Sikap inilah yang membedakan antara akibat kamma lampau dengan nasib/takdir yang harus diterima dengan pasrah sebagaimana yang dipercayai oleh agama-agama lainnya.

Contoh yang gamblang dalam hal ini. Seandainya kita digigit nyamuk, kita tentu tidak membiarkannya begitu saja dengan pandangan;l "Biarlah dia (nyamuk itu) menggigit sepuas-puasnya, supaya hutang kamma saya kepadanya dalam masa lampau terlunasi semuanya!" Ini jelas merupakan suatu sikap menerima kamma lampau yang salah, yang tidak sesuai dengan Agama Buddha. Sang Buddha tidak pernah menganjurkan siswa-Nya untuk bersikap sebodoh itu. Jika digigit nyamuk, seorang umat Buddha boleh mengusirnya (tanpa harus membunuhnya), atau melakukan tindakan-tindakan pencegahan lainnya, misalnya memasang kelambu dsb.

Dengan meyakini Dalil Kamma, umat Buddha bukanlah berarti harus menahan diri dari segala macam penderitaan/ kesakitan yang dialami tanpa ada sedikit usahapun untuk menghindarinya. Akibat kamma tidak mutlak harus diterima semuanya.

Ingat ! ...Ajaran Agama Buddha tentang Dalil Kamma perlu dibedakan dari doktrin Jainisme tentang Hukum Kamma yang mempercayai bahwa Keselamatan / Pembebasan hanya bisa diperoleh apabila semua hutang kamma terlunasi.

Kehidupan suatu makhluk tidaklah hanya sebanyak puluhan atau ratusan kali; tetapi tak terhitung jumlahnya. Jika setiap makhluk harus melunasi setiap akibat kamma yang pernah diperbuatnya dalam kehidupan-kehidupan lampau; sangatlah muskil baginya untuk meraih Pembebasan.


PANDANGAN UMUM

Bunuh diri...dalam keadaan apapun adalah salah secara moral dan spiritual.


Seseorang melakukan Bunuh diri karena ia didorong oleh pikirannya yang penuh dengan keserakahan ( Lobha), Kebencian (Dosa) dan yang paling utama adalah Kegelapan batin (Moha). Melakukan Bunuh diri karena frustrasi atau kekecewaan hanya akan menyebabkan penderitaan yang lebih besar lagi.

Bunuh diri adalah tindakan pengecut untuk menghindari dan mengakhiri masalah dalam kehidupan yang sedang dihadapi. Seseorang tidak akan melakukan bunuh diri jika pikirannya tenang dan murni . Jika seseorang meninggal dunia dengan pikiran yang bingung dan frustrasi, rasanya tidak mungkin ia akan terlahirkan kembali dalam kondisi yang lebih baik.

Beberapa orang mengorbankan hidupnya untuk alasan yang mereka anggap baik dan mulia. Mereka menghilangkan nyawa sendiri dengan cara-cara seperti pengorbanan diri sendiri, menembakkan peluru atau mogok makan. Tindakan demikian mungkin tergolong berani dan bernyali, namun  bagaimanapun juga dari sudut pandang ajaran Buddha, tindakan demikian tidak dapat dimaklumi. Sang Buddha telah menunjukkan dengan jelas bahwa keadaan pikiran bunuh diri mengarah pada penderitaan lebih lanjut.

Seluruh sikap ini sekali lagi membuktikan bahwa ajaran Buddha adalah agama yang positif , menghargai dan mendukung kehidupan.


Sumber bacaan :
- Kehidupan Sang Buddha   - Phra Chaluai Sujivo Thera.
- Keyakinan umat Buddha   - Sri Dhammananda
- Sekitar Masalah bunuh diri  - Jan Sanjivaputta
- Hukum Karma  - Tanhadi 
- Samyutta Nikaya  - YM. Nyanaponika Mahathera & YM. Piyadassi  Nayaka Thera  



Semoga bermanfaat.




8 komentar:

  1. Orang tua saya menginginkan saya menjadi dokter, saya menyanggupinya. Namun dari hari ke hari, saya merasa tertekan karena orang tua saya menaruh harapan besar kepada saya. Saya merasa sangat tertekan, hingga ada kepikiran untuk bunuh diri. Apakah itu dosa?

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama tapi itu pikiran salah jangan diikuti dengan perbuatan salah kalau sudah mati sudah selesai tapi kalau masih hidup masih bisa berbuat kebaikan menambah jasa semoga kedepannya bisa dapat buah lebih baik lagi

      Hapus
  2. @ Unknown,
    Apapun yg kita lakukan melalui tubuh, ucapan dan pikiran akan menghasilkan Karma baik atau buruk. (*Buddhisme tidak mengenal istilah dosa spt yg terdapat dalam agama theisme). Jadi pikiran buruk yang pernah Anda pikirkan tsb. sdh merupakan bibit Karma buruk walaupun prosentasenya sangat kecil krn. belum dilakukan dengan niat yang kuat melalui tubuh.

    Sebaiknya masalah Anda tsb.di diskusikan dengan orang tua Anda secara terbuka dan ungkapkan semua hal yg membuat Anda merasa tidak nyaman dan tertekan, agar Orang tua Anda mengerahui dengan pasti masalah Anda yg sebenarnya juga menjadi masalah besar bagi mereka.



    BalasHapus
  3. Seseorang memutuskan mengakhiri nyawa karena akhirnya sadar bahwa karmanya sendiri akan menyebabkan penderitaan pada orang lain. Apa tindakan ini menyebabkan karma baru bagi si pelaku?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selama seseorang blm mencapai tingkat kesucian arahat, tindakan bunuh diri bagaimanapun juga adalah tindakan yang salah dan tidak dapat menyelesaikan masalah yg sedang dihadapinya, tindakan tsb. tentu saja mengakibatkan timbulnya karma baru dan cenderung bersifat negatif.

      Hapus
    2. Terima kasih atas jawaban Bp Tanhadi
      Dari contoh cerita, 2 orang belum mencapai tingkat arahat & mengakhiri nyawa sebagai upaya pencapaian yang tidak mungkin dilakukan mengingat kondisi kesehatan mereka. Dan mereka sama sekali tidak mencari solusi atas masalah duniawi.

      Hapus
  4. Jika seseorang bunuh diri , apakah itu dapat dikatakan takdir orang tersebut ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di dalam agama buddha tidak ada namanya takdir, karna semua makhluk hidup itu memiliki kendali kehidupannya sendiri yang ada hanya karma yang merukakan bonus/kerugian.

      Hapus