Kamis, April 26, 2012

Kematian Anathapindika


KEMATIAN ANĀTHAPINDIKA

Kematian si penyokong besar disinggung dalam Anathapindikovada sutta, Nasihat kepada Anāthapindika (MN 143). Si perumahtangga jatuh sakit untuk ketiga kalinya dan kali ini dengan rasa sakit amat sangat yang terus memburuk dan tidak berkurang. Sekali lagi ia memohon bantuan Y.M. Ananda dan Y.M.Sariputta.

Ketika Y.M. Sariputta melihatnya, ia tahu bahwa Anāthapindika sudah mendekati ajalnya dan memberi instruksi berikut:

“Jangan melekat, perumahtangga, pada enam indera dan jangan lekatkan pikiranmu padanya.

Jangan melekat pada enam objek indera dan jangan lekatkan pikiranmu padanya.

Jangan melekat pada enam jenis kesadaran, enam kontak indera, enam perasaan, enam elemen, lima unsur, empat alam tanpa bentuk.

Jangan melekat pada apa yang terlihat, terdengar, terasa, terpikir, terpersepsi, dan terselidiki di dalam pikiran, dan jangan lekatkan pikiranmu padanya.”

Anāthapindika pasti mengikuti penjelasan ini dalam hati, sehingga sembari mendengarkan ia juga berlatih sesuai cara yang diinstruksikan Y.M. Sariputta yang bijaksana dan suci. Pada akhir instruksi ini, air mata bercucuran dari mata Anāthapindika.

Y.M.Ananda mendekatinya dengan kasih-sayang dan bertanya apakah ia sedang sedih. Namun Anāthapindika menjawab:

“Aku tidak bersedih. O Ananda yang mulia. Aku telah lama melayani Sang Guru dan para bhikkhu yang sempurna dalam pencapaian spiritual, namun belum pernah kudengar kotbah yang begitu mendalam.”

Kemudian Bhante Sariputta berkata:
“Kotbah yang mendalam ini, perumahtangga, tidak akan cukup jelas bagi perumahtangga bepakaian putih; kotbah ini cukup jelas bagi yang telah melepas duniawi.”

Anāthapindika menjawab:
“Y.M. Sariputta, biarlah perbincangan Dhamma semacam ini juga diberikan kepada umat awam berpakaian putih. Ada orang dengan sedikit debu di matanya. Bila mereka tidak mendengar ajaran demikian mereka akan tersesat. Beberapa orang mungkin mampu memahaminya.”

Perbedaan dengan ajaran Sang Buddha yang sebelumnya cukup signifikan. Di sini kita prihatin dengan pertanyaan tertinggi, dengan pembebasan tertinggi, tidak hanya pada landasan teori namun juga sebagai praktek. Sebagai seorang murid yang memiliki buah pemasuk-arus, Anāthapindika menyadari sifat kesementaraan lima unsur kemelekatan, dan ia sendiri telah bicara perihal tiga karakteristik keberadaan: ketidakkekalan, penderitaan, dan tanpa inti.

Namun ada perbedaan besar antara hanya mendengar dan merenungkannya, atau benar-benar melatih dan menggunakannya terhadap diri sendiri. Dalam pembedaan ini terdapat inti perbedaan antara metode yang digunakan Sang Buddha untuk mengajar perumahtangga dan metode untuk mengajar para bhikkhu.

Bagi umat awam, pandangan-terang mengenai sifat keberadaan dijelaskan sebagai pengetahuan, dan ajaran ini juga yang pada awalnya diberikan kepada para bhikkhu. Namun bagi para bhikkhu yang sudah lebih maju, Sang Buddha memperkenalkan latihan yang membawa pada kebebasan total bahkan dalam kehidupan sekarang.

Hanya bila seseorang melihat bahwa pembabaran Y.M. Sariputta adalah pendekatan selangkah demi selangkah menuju Nibbana barulah ia dapat mengerti bahwa Anāthapindika belum pernah mendengarkan inti Ajaran yang dijelaskan dengan cara demikian. Pada saat-saat terakhirnya, ia telah jauh dari kekhawatiran duniawi dan, ketika memikirkan Dhamma, ia melepaskan kemelekatan pada barang-barang duniawi, juga tubuhnya; sehingga ia menemukan dirinya dalam situasi yang sebanding dengan bhikkhu yang paling maju. Dalam kondisi seperti itu barulah Y.M. Sariputta bisa memberinya instruksi demikian karena akan memberikan efek terbesar.

Setelah menasihati Anāthapindika dengan cara demikian, kedua tetua itu pun pergi. Tidak lama kemudian si perumahtangga Anāthapindika meninggal dan terlahir di surga Tusita, dimana putri termudanya telah mendahuluinya.

Namun begitu besar pengabdiannya kepada Sang Buddha dan Sangha, sehingga ia muncul di vihara Jetavana sebagai dewa muda, yang memenuhi seluruh daerah itu dengan cahaya surgawi. Ia menemui Sang Buddha, dan setelah menghormat beliau, berkata dalam syair berikut:
“Ini memanglah Hutan Jeta,
Peristirahatan Sangha,
Didiami oleh Sang Raja Dhamma,
Tempat yang mendatangkan kegembiraan bagiku.

Melalui tindakan dan pengetahuan dan kebenaran,
Melalui kemoralan dan hidup yang sempurna:
Melalui ini para makhluk termurnikan;
Bukan melalui keturunan atau kekayaan.

Oleh karena itu orang yang bijaksana,
Demi kebaikannya sendiri,
Harus menyelidiki Dhamma dengan seksama:
Dengan demikian ia termurnikan di dalam.

Sariputta sunguh-sungguh diberkahi dengan kebijaksanaan,
Dengan kemoralan dan kedamaian batin.

Bahkan seorang bhikkhu yang telah pergi menyeberang
Paling banyak hanya sebanding dengannya.”

Setelah berkata demikian, dewa itu menghormat Sang Bhagavā dan, dengan menjaga beliau tetap di sebelah kanannya, menghilang di sana.

Keesokan harinya Sang Buddha memberitahu para bhikkhu mengenai apa yang telah terjadi. Saat itu juga Y.M. Ananda berkata:

“Bhante, dewa muda itu pastilah Anāthapindika. Karena Anāthapindika si perumahtangga memiliki kepercayaan penuh terhadap Y.M. Sariputta.”

Dan Sang Buddha membenarkannya:
“Bagus, bagus, Ananda! Engkau telah menarik kesimpulan yang benar melalui akal sehat. Karena dewa muda itu dulunya memang Anāthapindika”


(SN 2:20; MN 143).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar