BHIKKHU
YANG BAHAGIA
(Kegembiraan Dari Kehidupan Spiritual)
by:
Selfy Parkit in Buddhist Tales (Jataka),
Diterjemahkan
oleh Selfy Parkit.
Suatu ketika, ada laki-laki kaya terkemuka. Ketika ia
menjadi lebih tua, ia menyadari bahwa penderitaan berumur tua sama halnya
seperti kaya dan miskin. Jadi ia melepaskan kekayaan dan kedudukannya dan pergi
ke dalam hutan untuk hidup sebagai seorang bhikkhu yang miskin. Ia berlatih
meditasi dan mengembangkan pikirannya. Ia membebaskan dirinya dari
pikiran-pikiran yang tidak berfaedah, menjadi merasa puas dan bahagia.
Ketenangan dan keramahannya secara bengangsur-angsur menarik 500 pengikut pendampingnya.
Pada saat itu, dahulu kala, kebanyakan dari bhikkhu-bhikkhu
biasanya kelihatan sangat serius. Tetapi ada satu orang bhikkhu yang walaupun
ia sangat dihargai, ia selalu menampilkan paling sedikit tersenyum. Tak perduli
apa pun yang terjadi, ia tidak pernah kehilangan cahaya kehagaiaan di dalam
dirinya. Lalu dalam keadaan bahagia, ia memiliki senyum yang paling lebar dan
tertawa yang paling hangat di antara semuanya.
Kadang bhikkhu-bhikkhu, orang lain akan bertanya kepadanya,
kenapa ia sangat bahagia, selalu tersenyum. Ia tertawa kecil dan berkata, “Jika
aku memberi tahumu, kau tidak akan percaya! Dan jika kau berpikir aku berkata
bohong, ini akan menjadi sebuah aib untuk guruku.” Guru tua yang bijaksana tahu
sumber dari kebahagiaan yang tidak akan bisa dihapus dari wajahnya. Ia
menjadikan bhikkhu paling bahagia ini sebagai asisten utamanya.
Setahun setelah musim hujan, Bhikkhu tua dan 500 pengikutnya
pergi ke kota. Raja mengijinkan mereka untuk tinggal di dalam kebunnya yang
indah selama musim semi.
Raja ini adalah orang baik, yang sungguh-sungguh bertanggung
jawab sebagai seorang raja. Ia berusaha melindungi rakyatnya dari bahaya, dan
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan mereka. Ia harus selalu hati-hati
mengenai kerajaan tetangga, beberapa dari mereka tidak ramah dan ada yang
mengancam. Ia harus sering berdamai antara menteri-menteri negara saingannya.
Terkadang istri-istrinya bertengkar untuk mendapatkan
perhatiannya, dan untuk kenaikan pangkat anak-anak mereka. Ada kalanya,
persoalan ketidakpuasan bahkan mengancam hidup dari raja itu sendiri. Sudah
tentu, ia tidak henti-hentinya harus khawatir tentang keuangan kerajaan. Pada
kenyataannya banyak hal yang harus dikhawatirkannya, sehingga ia tidak pernah
punya waktu untuk menjadi bahagia!
Ketika mendekati musim panas, ia tahu bahwa bhikkhu-bhikkhu
sedang bersiap-siap untuk kembali ke hutan. Mengingat kesehatan dan
kesejahteraan dari pemimpin yang tertua, raja pergi menemuinya dan berkata,
“Yang terhormat, sekarang kau sangat tua dan lemah. Apa baiknya kembali ke
hutan? Kau dapat mengirim pengikut-pengikutmu kembali, sementara kau tetap di
sini.”
Kemudian kepala bhikkhu itu memanggil asisten utamanya dan
berkata, “Sekarang kau adalah pemimpin bhikkhu lainnya, sementara kalian semua
tinggal di dalam hutan. Karena aku terlalu tua dan lemah, aku akan tetap di
sini seperti apa yang ditawarkan oleh Raja.” Jadi 500 orang bhikkhu itu kembali
ke hutan dan bhikkhu tua tetap tinggal.
Asisten utama itu melanjutkan berlatih meditasi di hutan. Ia
mendapatkan banyak sekali kebijaksanaan dan kedamaian yang membuatnya bahkan
lebih bahagia dibandingkan sebelumnya. Ia merindukan gurunya dan ingin membagi
kebahagiaannya bersama gurunya. Jadi ia kembali berkunjung ke kota.
Ketika asisten utama itu sampai, ia duduk di atas sebuah
permadani di kedua kaki si Bhikkhu tua. Mereka tidak bicara terlalu banyak,
tetapi sering sekali asisten utama akan berkata, “Kebahagiaan. Oh..
kebahagiaan!”
Kemudian raja datang berkunjung. Ia menunjukkan rasa
hormatnya kepada bhikkhu kepala. Akan tetapi, bhikkhu yang dari hutan itu terus
saja mengatakan “Kebahagiaan. Oh.. kebahagiaan!” Dia bahkan tidak berhenti
untuk menyapa raja dan menunjukkan rasa hormat yang sepantasnya. Hal ini
menggangu sang raja, dan ia berpikir, “Dengan segala kekhawatiranku, sesibuknya
aku dalam mengurusi kerajaan. Aku menyediakan waktu luang untuk berkunjung dan
bhikkhu ini tidak cukup menghormatiku bahkan mengenaliku. Sungguh sebuah
penghinaan!” Ia berkata kepada bhikkhu senior dari dua orang bhikkhu itu, “Yang
mulia, bhikkhu ini pasti bodoh karena kebanyakan makan. Itu sebabnya kenapa ia
sangat dipenuhi oleh kebahagiaan. Apakah ia hanya bermalas-malas setiap saat?”
Si kepala bhikkhu menjawab, “Oh Raja, sabarlah dan aku akan
memberitahu mu sumber dari kebahagiaannya. Tak banyak yang mengetahui hal ini.
Dulu ia adalah seorang raja sama kaya dan hebatnya seperti Anda! Lalu ia
ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu dan melepaskan kehidupannya sebagai raja.
Saat ini ia berpikir bahwa kebahagiaannya yang dulu tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan kegembiraannya saat ini!”
“Ia terbiasa dikelilingi laki-laki bersenjata, yang menjaga
dan melindunginya. Sekarang, duduk sendiri di dalam hutan tanpa takut apa pun,
ia sudah tidak perlu penjaga yang bersenjata. Ia sudah melepaskan beban dari
kekhawatiran tentang kekayaan yang harus dilindungi. Sebaliknya, bebas dari
kekhawatiran akan kekayaan dan kekuatan rasa takut, kebijaksanaannya melindungi
dirinya dan orang lain. Ia mengalami kemajuan dalam meditasinya sampai kepada
kedamaian diri, yang membuatnya terus berkata, “Kebahagiaan! Oh.. kebahagiaan!”
Raja menjadi mengerti. Mendengar cerita bhikkhu yang bahagia
membuatnya merasa damai. Ia tinggal sejenak dan menerima nasihat dari kedua
bhikkhu tersebut. Kemudian ia menghormat mereka dan kembali ke istana.
Kemudian, si Bhikkhu bahagia yang pernah menjadi seorang
raja menghormati gurunya dan kembali ke hutan. Bhikkhu ketua hidup sampai sisa
hidupnya, meninggal dunia dan terlahir kembali di surga tingkat tinggi.
Pesan moral :
Tak melekat oleh kekayaan dan
kekuatan, akan meningkatkan kebahagiaan.
Sumber:
Prince Goodspeaker – Buddhist
Tales for Young and Old Volume 1, Stories 1-50
-oOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar