Jumat, November 29, 2013

Manusia yang Beruntung

MANUSIA YANG BERUNTUNG
Oleh: Bhikkhu Thitaviriyo


Kiccho manussapatilābho, Kiccham maccana jîvitam
Kiccham saddhammasavanam, Kiccho buddhānam uppādo

Sungguh sulit dapat terlahir sebagai manusia,
Sungguh sulit kehidupan makhluk hidup
Sungguh sulit dapat mendengarkan Dhamma,
Sungguh jarang terlahirnya para Buddha
(Dhammapada 182)

Manusia atau “manussa” dalam bahasa Pā
i berasal dari dua suku kata yaitu mano dan usa. Mano berarti pikiran/batin sedangkan usa berarti luhur. Jadi, manusia atau manussa adalah makhluk yang memiliki batin yang luhur.

Terlahir sebagai manusia merupakan sebuah keberuntungan. Namun banyak orang tidak menyadari keberuntungan ini. Ada dua potensi yang bisa dikembangkan jika hidup sebagai manusia. Kedua potensi itu adalah potensi duniawi yang akan menghantarkan kita pada kebahagiaan duniawi dan potensi spiritual yang akan menghantarkan kita kepada kebahagiaan non duniawi (batiniah). Banyak manusia tidak mengetahui potensi ini sehingga mereka jatuh dalam pelanggaran moral dan keterpurukan mental.

Dalam Samyutta Nikāya (Opammasamyutta), Sang Buddha waktu itu berdiam di Savathi pernah memberikan perumpamaan sebagai berikut;

Sang Bhagava mengambil sedikit tanah dengan kuku jarinya, dan Beliau berkata: “O para bhikkhu, bagaimana pendapatmu, mana yang lebih banyak, tanah yang ada di kuku jari saya ini atau tanah yang ada di bumi ini?”

“Tanah yang ada di bumi inilah yang lebih banyak, bhante. Sedangkan tanah yang ada di kuku Sang Bhagava jauh lebih sedikit dan tidak ada artinya. Tanah yang ada di bumi ini jauh lebih banyak, tidak dapat dihitung, tidak layak dibandingkan.”

“Demikian juga O para bhikkhu, makhluk-makhluk yang terlahir kembali sebagai manusia sangatlah sedikit jumlahnya. Sedangkan makhluk-makhluk yang terlahir sebagai bukan manusia jauh lebih banyak. Oleh karena itu O para bhikkhu, kalian seharusnya melatih diri demikian: ‘kami akan berdiam dan berlatih dengan rajin, demikianlah seharusnya kalian melatih diri”

Sang Buddha dengan terang dan jelas mengajak kita merenungkan hal ini bahwa kesempatan terlahir sebagai manusia sangatlah sulit, oleh karena itu janganlah kita menyia-nyiakan kehidupan kita sebagai manusia dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat dan merugikan makhluk lain maupun diri sendiri.

Umumnya orang sering mengeluh dan tidak puas dengan keadaan dirinya. Mereka mengeluh karena mereka membandingkan dirinya dengan orang lain yang lebih dari dirinya. Dia merasa miskin karena membandingkannya dengan yang kaya, merasa buruk rupa karena membandingkan dirinya dengan yang cantik/ganteng. Hingga muncul pepatah yang mengatakan “rumput tetangga lebih hijau”. Selama kita membandingkan diri kita dengan yang lebih baik maka tidak akan pernah ada rasa puas.

Dalam Digha Nikāya (Sa
ngiti Sutta), Sang Buddha menjelaskan ada 9 kondisi yang tidak menguntungkan. Apabila kita berada dalam kondisi ini, maka kita tidak bisa bertemu Dhamma dan menjalani kehidupan suci (akkhanā asamayā brahmacariya vāsāya). Sembilan kondisi itu adalah:

1.    Terlahir di alam neraka/niraya.
Jika kita berada di alam neraka maka kesempatan untuk bertemu Dhamma tertutup bagi kita karena makhluk yang hidup di alam neraka mengalami siksaan lahir batin sehingga tidaklah mungkin sempat memikirkan Dhamma.

2.    Terlahir di alam binatang.
Walaupun ada binatang yang pandai tetapi tidaklah bisa mengerti Dhamma, mereka tidak punya kemampuan untuk mengerti Dhamma.

3.    Terlahir di alam peta.
Seperti kita ketahui bahwa alam peta sama dengan alam setan kelaparan, dimana mereka sangat membutuhkan kebaikan dari sanak keluarganya. Jika kita berada dalam keadaan lapar, maka sulit bagi kita untuk mengerti Dhamma karena hanya memikirkan perutnya saja.


4.    Terlahir di alam Asura.
Alam asura mempunyai kemiripan dengan alam peta hanya saja bentuk dan ukuran mereka yang berbeda.

5.    Terlahir di alam yang berumur sangat panjang.
Misalnya terlahir di alam Brahma yang memiliki usia kehidupan yang panjang sehingga melewatkan kesempatan bertemu Dhamma Sang Buddha.

6.    Terlahir di tengah-tengah suku yang bodoh tidak beradab, yang tidak dapat dikunjungi oleh para bhikkhu/bhikkhuni maupun upasaka/upasika.
Jika kita terlahir di suatu daerah atau tempat seperti ini, maka tidak ada ajaran kebenaran dan kondisinya tidak memungkinkan mendengarkan ajaran kebenaran.


7.    Terlahir sebagai manusia tetapi memiliki pandangan salah dan pengertian yang menyimpang:
Seperti pandangan tidak ada buah/akibat dari perbuatan baik.

8.    Terlahir sebagai manusia dan sudah bertemu Dhamma namun tidak memiliki kebijaksanaan, bodoh dan tidak mengetahui apakah hal yang telah dijelaskan itu benar atau salah.

9.    Terlahir di jaman tidak ada Buddha (Sunya Kappa)

Inilah 9 kondisi yang tidak menguntungkan. Apabila kita termasuk dalam kondisi ini maka kita akan sulit untuk punya kesempatan bertemu Dhamma. Oleh karena itu, marilah kita gunakan kesempatan kita sebagai manusia yang sudah bertemu ajaran kebenaran/Dhamma Sang Buddha ini dengan sebaik-baiknya. Karena kesempatan ini belum tentu datang lagi.

Sumber : Digha Nikāya, Samyutta Nikāya



-oOo-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar