Jumat, Oktober 14, 2011

Dhamma Vibagha II (Penggolongan Dhamma) Kelompok Sembilan



DHAMMA VIBHAGA II
(PENGGOLONGAN DHAMMA)
Kelompok Sembilan


Sumber : Dhamma Vibhaga - Penggolongan Dhamma;
oleh: H.R.H. The Late Patriarch Prince Vajirananavarorasa;
alih bahasa : Bhikkhu Jeto, Editor : Bhikkhu Abhipanno;
Penerbit : Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta; Cetakan Pertama 2002)


KELOMPOK SEMBILAN

1.  KEADAAN KEDIAMAN YANG MAJU (ANUPUBBA VIHARA)

a.    Empat Jhana 'bentuk'
b.    Empat Jhana 'tanpa bentuk'
c.    Penghentian pencerapan dan perasaan (saññavedayita nirodha)

An. Na. 23/425

·         KETERANGAN

Sembilan hal di atas adalah keadaan kediaman pikiran yang telah berkembang maju berkenaan dengan kedalaman meditasi. Sang Buddha dan beberapa siswa mulia-Nya seringkali dikatakan berdiam dalam keadaan-keadaan ini.

Untuk keterangan lebih lanjut mengenai empat Jhana 'bentuk' dan empat Jhana 'tanpa bentuk': lihat No. 7 dan No. 13, Kelompok Empat.

Harus diperhatikan bahwasanya 'penghentian dari pencerapan dan perasaan' adalah satu langkah lebih tinggi dari yang kedelapan dan merupakan suatu pencapaian yang hanya mungkin bagi Sang Buddha sendiri dan beberapa siswa mulia saja. Menurut komentar, Maha Kassapa Thera (yang mengetuai sidang konsili Sangha pertama), biasa berdiam dalam keadaan yang kesembilan ini selama tujuh hari.


2.  SIFAT-SIFAT MULIA SANG BUDDHA (BUDDHAGUNA)

Seorang yang penuh berkah (iti pi so bhagava),

  • Adalah arahanta (araham)
  • Seorang yang telah mencapai Penerangan Sempurna atas usaha sendiri (samma sambuddho)
  • Sempurna dalam pengetahuan dan sebab pembantunya (vijjacarana sampanno)
  • Seorang yang telah berlalu dengan sempurna (sugato)
  • Pengetahuan alam semesta (lokavidu)
  • Pelatih yang tiada bandingannya bagi mereka yang dapat dilatih (anuttaropurisadamma sarathi)
  • Guru dari para dewa dan manusia (satthadevamanussanam)
  • Seorang yang telah sadar (Buddho)
  • Seorang yang penuh berkah (bhagava)

An. Ti. 20/265

·         KETERANGAN

Sifat mulia pertama untuk perenungan adalah Araham, yang secara etimologis, mempunyai empat pengertian:
·         Keadaan yang jauh, bebas dari kejahatan dan kekotoran.

·         Penghancur lingkaran kelahiran dan kematian, secara mutlak telah membersihkan dirinya dari ketidaktahuan, kemelekatan dan nafsu keinginan.

·         Patut dihormati, diagungkan, dan dipuja.

·         Tidak bersifat rahasia, tanpa suatu kejahatan yang dirahasiakan atau disembunyikan.

Julukan Araham ini juga umum bagi para siswa mulia lainnya karena mereka juga disebut arahanta. Untuk membedakan mereka dari Sang Buddha, ada dua sifat pokok yang ditambahkan untuk menandai perbedaan itu. Jadi julukan Sang Buddha secara lengkap adalah 'araham samma sambuddho', berarti arahat yang telah mencapai Penerangan Sempurna atas usahanya sendiri; dan bagi para siswa mulia dipergunakan kalimat 'araham khinasavo', berarti arahat yang telah menghancurkan semua kekotoran bathin.

Seseorang yang telah mencapai Penerangan Sempurna atas usaha sendiri, berarti bahwa Sang Buddha telah mencapai Penerangan terhadap Hukum Asal Mula yang Saling Bergantungan, Empat Kebenaran Mulia dan lain-lainnya melalui usaha Beliau sendiri. Ia adalah pendiri dari agama Buddha, Raja dari Dhamma atau Dhammaraja yang mengajarkan penemuan-Nya sendiri.

Dikaruniai dengan pengetahuan dan sebab pembantunya yaitu apa yang menghasilkan pencapaian-pencapaian-Nya. Keterangan lebih lanjut mengenai 'Pengetahuan dapat dilihat dalam No. 18 Kelompok Tiga dan No. 3 Kelompok Delapan, sedangkan keterangan lebih lanjut mengenai 'sebab-sebab pembantu pengetahuan' atau Carana dapat dilihat dalam Kelompok Lima Belas. Beberapa siswa Mulia mungkin memiliki pengetahuan seperti Sang Buddha sendiri, tetapi dibandingkan dengan Sang Buddha, mereka bukanlah penemu dari sebab pembantu itu.

Akan tetapi, istilah Carana juga mempunyai pengertian lain - kelakuan atau watak. Dari arti ini dapat diterangkan bahwa tidak seperti kebanyakan guru-guru lain, kelakuan Sang Buddha adalah sempurna sesuai dengan pengetahuan-Nya, tidak ada cacat atau kontradiksi yang dapat diketemukan. Ini adalah salah satu dari sifat-sifat mulia Beliau lainnya.

Telah berlalu dengan sempurna, dapat berarti :
(1)  Pencapaian-Nya pada titik kepastian, dimana tidak ada kemunduran lagi,
(2)  Perjalanan-Nya sepanjang jalan yang membawa pada akhir penderitaan,
(3)  Bantuan-Nya yang tidak ternilai yang telah diberikan kepada umat manusia  kemana pun Beliau pergi, dan
(4)  Kelahiran-Nya ke dalam, dunia untuk mengajarkan Dhamma kepada umat manusia.

Pengetahuan alam-semesta, menyatakan pengetahuan Sang Buddha tentang geografi dunia bersama dengan kebiasaan dan watak penduduk yang tinggal di tempat itu dan juga sebab-sebab mengenai perkembangan dan keruntuhan mereka.

Dalam arti lain, itu berarti Pengetahuan-Nya tentang sebab-sebab dari kebahagiaan dan penderitaan. Juga tentang perkembangan dan keruntuhan dunia manusia, meliputi sifat dasar ketidak-kekalan, dapat mengalami kehancuran dan kosong dari kepribadian yang kekal yang mendasari kehidupan mereka. Pengetahuan mulia ini memberikan Beliau suatu sikap bathin yang bebas, tidak mungkin dapat digoda atau ditakuti oleh sesuatu atau siapa pun juga.

Pelatih yang tiada bandingannya bagi mereka yang dapat dilatih, ini menunjukkan pada seni berperang tradisional pada jaman itu, sewaktu para raja dan kesatria amat berminat terhadap kuda-kuda untuk dipergunakan sebagai pasukan kavaleri dan untuk menarik kereta perang. Dalam hal yang kedua ini, para sais memegang suatu peranan yang amat penting yang karena pengalaman mereka dalam melatih kuda dapat membantu untuk menentukan kemenangan atau kekalahan selain dari para kesatria itu sendiri. Berdasarkan alasan ini para sais kereta untuk para raja atau kesatria besar harus dipilih dengan hati-hati dan mereka haruslah orang yang benar-benar terpercaya dalam kepandaian melatih, keberanian, dan hubungan pribadi.

Dengan julukan ini Sang Buddha telah dipersamakan dengan seorang pelatih dalam arti bahwa Beliau dikaruniai dengan kepandaian dan pengalaman sempurna dalam melatih manusia, seperti halnya para pelatih kuda atau pendara kereta terhadap kuda-kuda mereka. Anak kalimat kata sifat berikut; 'yang dapat dilatih' berarti juga bahwa terdapat mereka yang Sang Buddha tidak akan merepotkan diri untuk melatih (mengajar). Ini menunjukkan pada mereka yang mungkin terlalu rendah (tingkat bathinnya belum berkembang untuk mengerti ajaran) atau (karena terlalu egoistik) sama sekali tidak bersedia untuk mendengarkan ajaran. Itu tidak termasuk mereka yang mencoba untuk mendengarkan, sekalipun dengan tujuan untuk mencela ajaran.

Ada beberapa perbedaan yang menandai Sang Buddha, sebagai seorang pelatih manusia yang tiada bandingannya, dari para pelatih kuda:

Tidak seperti para pelatih kuda atau para pelatih binatang lainnya, Sang Buddha tidak mempergunakan paksaan, ancaman atau hukuman. Beliau memahami kecenderungan dan watak mereka yang akan dilatih, dan memberikan ajaran sesuai dengan rasa dan kecenderungan mereka.

Apabila para pelatih kuda dan binatang-binatang lain bertujuan demi keuntungan diri mereka sendiri, bukan untuk para binatang yang akan dilatih, Sang Buddha melatih demi tujuan mereka yang akan dilatih bukan untuk keuntungan Beliau sendiri.

Tingkat kesempurnaan yang telah dicapai oleh mereka yang telah dilatih secara sempurna oleh Beliau tidak akan mengalami perubahan yang berbeda dari para binatang yang telah dilatih, yaitu betapapun telah dilatih sempurna, pada suatu ketika binatang-binatang itu tetap memiliki sifat untuk menjadi liar dan tidak terkendali lagi.

Guru dari para dewa dan manusia; ada juga mereka yang lebih senang untuk mengartikan julukan ini dalam suatu arti kiasan, menganggap bahwa Sang Buddha sanggup menjadi guru orang-orang dari semua kasta, baik yang tinggi maupun yang rendah, dari para raja atau bangsawan sampai kepada para pertapa, petani, dan para pengemis; jadi istilah dewa dipergunakan untuk mengartikan para Raja (No. 15, Kelompok Tiga). Ini cukup masuk akal tetapi kurang lengkap.

Kitab-kitab Pali penuh dengan kejadian mengenai para dewa sebagai makhluk-makhluk tidak terlihat yang menemui Sang Buddha pada malam hari untuk meminta penjelasan-penjelasan dan juga untuk mendengarkan khotbah Beliau. Dalam kejadian-kejadian ini nama-nama dari para dewa itu sering disebutkan, yang dikenal bukan sebagai nama para raja dari dunia ini tetapi sebagai makhluk-makhluk dari bermacam-macam alam kedewaan. Arti dari istilah dewa ini seharusnya tidak dihilangkan apabila julukan ini akan dimengerti dengan benar-benar.

·         CATATAN

Mungkin bukti paling baik yang menunjukkan kenyataan mengenai kehidupan dewa sebagai makhluk surgawi dapat dilihat dalam bagian kesembilan dari Anguttara Nikaya (23/311), dimana Sang Buddha menyatakan Pandangan Terang-Nya lebih unggul dari semua para dewa itu, menyatakan:

"Selama Beliau belum menyempurnakan Pandangan Terang-Nya; yang lebih unggul dari semua para dewa, selama itu Beliau tidak menyatakan dirinya sebagai seseorang yang telah mencapai Penerangan Sempurna".

Pandangan Terang demikian diterangkan sebagai kedalaman meditasi antara mana yang Beliau mampu lihat seperti suatu cahaya, melihat makhluk-makhluk kedewaan dalam cahaya itu, bercakap-cakap dengan para makhluk itu, mengetahui kemana mereka akan pergi setelah perubahan hidup mereka dari satu alam melalui akibat kamma, mengetahui faktor yang mempertahankan dengan mana makhluk itu mengalami penderitaan dan kebahagiaan, mengetahui jangka waktu kehidupan makhluk tersebut dan mengetahui apakah Beliau di waktu yang lampau pernah berhubungan dengan mereka atau belum.

Karena pengalaman demikian dikatakan terjadi pada saat meditasi, tak ada kemungkinan untuk mengartikan istilah Pali, deva sebagai manusia, sehingga istilah itu dapat diartikan sebagai para Raja di dalam dunia ini.

Seseorang yang telah sadar, mempunyai dua pengertian:
Pertama, menyatakan bathin Beliau yang berada dalam keadaan sadar, berlawanan dengan kondisi bathin yang tidur, yang berarti diselubungi dengan ketidaktahuan dan kebodohan.

Kedua, menunjukkan kenyataan bahwa Beliau sendiri telah sadar, Beliau juga berusaha untuk membangunkan orang lain dari tidur mereka.

Seseorang yang penuh berkah: istilah bhagava, yang diterjemahkan menjadi 'Seorang yang penuh berkah', mempunyai suatu arti yang kabur dan membingungkan. Akar Etimologi-nya demikian bermacam-macam sehingga nampaknya tidak ada kesatuan arti apapun. Antara lain;

Menurut para penyusun kitab-kitab lama, istilah bhagava berasal dari akar kata Bhaja, berarti analisa: karena itu Sang Buddha ditafsirkan sebagai penganalisa.

Juga berasalan jika berasal dari akar kata Bhãga atau bhaga, berarti 'bagian' atau 'kekayaan': karena itu Sang Buddha ditafsirkan sebagai 'seorang yang memiliki suatu bagian' atau 'seorang yang dikaruniai dengan kekayaan'.

Dapat juga berasal dari akar kata bhaja, berarti: tempat tinggal: karena itu Sang Buddha ditafsirkan sebagai seorang yang bertempat tinggal dalam suatu tempat sunyi atau dalam keadaan pikiran yang damai.

Dalam bentuknya: bhaga, yang berarti pantas dihubungi, diartikan sebagai pemberi faedah bagi mereka yang berhubungan dengan Beliau.

Lebih jauh dari itu, kata bhagava bisa berasal dari akar kata: bhañja, yang berarti 'patah', telah diartikan sebagai 'pematah atau penghancur nafsu-nafsu dan lingkaran kelahiran dan kematian'. Betapa banyak dan membingungkan istilah-istilah itu.

Jadi bermacam-macam kemungkinan penafsiran ini lebih menambah kekaburan daripada membuat jelas. Dari penyelidikan, didapatkan istilah ini dipergunakan dalam kitab-kitab kaum Brahmana kadang-kadang dipergunakan untuk para pandita atau para petapa pada umumnya dan kadang-kadang juga dipergunakan untuk para dewa. Di dalam kitab-kitab Buddhis terdapat sisa-sisa penggunaan itu untuk menunjukkan pada para Rishi (para pandita dan para petapa). Contoh lain dapat dilihat dalam suatu kejadian yang terjadi beberapa waktu setelah Penerangan Sang Buddha, ketika suatu kelompok (tiga puluh pemuda) disebut Bhaddavaggiya sedang mencari seorang pencuri wanita. Kemudian mereka bertemu dengan Sang Buddha yang pada saat itu sedang duduk di bawah sebatang pohon di suatu hutan kapuk. Tanpa mengetahui siapa Beliau selain dari pakaian dan wajahnya, mereka bertanya kepada Beliau apakah Beliau pernah melihat seorang wanita berlalu dihadapan Beliau ataukah tidak, dengan mempergunakan istilah Bhagava sebagai sebutan ke Beliau.

Contoh lain dapat dilihat dalam cerita Jataka mengenai seorang petapa yang bernama Kesi. Petapa itu biasanya dilengkapi segala kebutuhannya oleh sang raja sewaktu ia berada dikota Benares, tetapi pada waktu ia meninggalkan sang raja dan berdiam dengan salah seorang siswa-Nya di dalam hutan, ia hanya makan buah-buahan yang tawar rasanya, apabila dibandingkan dengan makanan-makanan mewah dalam kerajaan. Ia kemudian ditanya oleh seorang pegawai istana apakah buah-buah di dalam hutan itu dapat dimakan olehnya atau tidak. Ketika bertanya pegawai tersebut mempergunakan istilah Bhagava sebagai sebutan untuk pertapa itu, dimana pegawai istana itu diberitahukan bahwa perasaan persahabatan adalah rasa yang terbaik.

Akan tetapi, dalam agama Buddha, penggunaan istilah ini lebih dibatasi hanya pada Sang Buddha saja, sebagai suatu penghormatan khusus bagi Sang Buddha, bukan untuk siswa-siswi lainnya.

Menurut pendapat kami, istilah seharusnya dari kata Bhaga yang berasal dari akar kata Bhaja, berarti 'menganalisa atau menguraikan'. Ini menunjukkan pada kenyataan betapa, selama empat puluh lima tahun khotbah Dhamma-Nya, Sang Buddha secara tidak mementingkan dirinya sendiri telah berusaha untuk menganalisa dan menguraikan Dhamma hasil penemuan Beliau sendiri bagi pengertian orang-orang dalam berbagai macam cara sesuai dengan bermacam-macam kecenderungan dan sifat dari masing-masing pribadi pendengar.

Pengertian lain yang masuk akal seharusnya sebagai 'seorang yang penuh berkah'. Ini menunjukkan pada bermacam-macam berkah yang dimiliki oleh Beliau sepanjang masa kehidupan-Nya, dari masa kanak-kanak sampai menjadi dewasa, dari saat pelepasan Agung-Nya sampai pada saat pencapaian Penerangan Sempurna-Nya, dari saat Beliau mulai memberikan ajaran sampai saat Beliau mencapai Parinibbana. Sebaliknya dari semua kesukaran dan rintangan, bahaya dan godaan, Beliau mampu mengatasi mereka semuanya dan mengajarkan Dhamma demi umat manusia.

TIGA SIFAT-SIFAT MULIA YANG UTAMA

Terdapat juga cara meringkaskan sifat-sifat mulia Sang Buddha lainnya. Yakni dengan menggolongkan mereka menjadi tiga kategori: sifat-sifat mulia kebijaksanaan, kesucian, dan kasih sayang. Sembilan julukan-julukan di atas dapat dimasukan di bawah tiga pokok sebagai berikut:

No. 1. Arahanta (jauh atau bebas dari kekotoran-kekotoran) termasuk dalam sifat-sifat mulia dari kebijaksanaan dan kesucian.

No. 2, 3, dan 5 (samma sambuddho, vijjacarana sampanno dan lokavidu) menunjukkan kemuliaan dari kebijaksanaan-Nya.

No. 4, 6, dan 7 (sugato, anuttaro purisadamma saratthi, satta devamanussanam) menunjukkan kemuliaan dari kasih sayang-Nya.

No. 8 dan 9 (Buddho, bhagava) dapat dianggap sebagai kemuliaan dari kebijaksanaan dan kasih sayang-Nya.

DUA MANFAAT

Sejauh berkenaan dengan dua macam manfaat (bagi diri sendiri dan bagi orang lain), lima julukan dapat digolong sebagai faedah-faedah bagi diri sendiri: arahanta (bebas dari kekotoran-kekotoran), sammasambuddho, vijjacarana sampanno, sugato, dan lokavidu.

Empat julukan sisanya menunjukan pada faedah-faedah bagi orang lain: anuttaro purisadamma saratthi, sattha devamanussanam, buddho, dan bhagava atau penganalisa.

3. KESOMBONGAN ATAU EGOISME (MANA)

·         Lebih tinggi dari orang lain dan berpikir bahwa ia lebih tinggi dari orang lain.
·         Lebih tinggi dari orang lain tetapi berpikir bahwa ia sama dengan orang lain.
·         Lebih tinggi dari orang lain tetapi berpikir bahwa ia lebih rendah dari orang lain.
·         Sama dengan orang lain tetapi berpikir bahwa ia lebih tinggi dari orang lain.
·         Sama dengan orang lain dan berpikir bahwa ia sama dengan orang lain.
·         Sama dengan orang lain tetapi berpikir bahwa ia lebih rendah dari orang lain.
·         Lebih rendah dari orang lain tetapi berpikir bahwa ia lebih tinggi orang lain.
·         Lebih rendah dari orang lain tetapi berpikir bahwa ia sama dengan orang lain.
·         Lebih rendah dari orang lain tetapi berpikir bahwa ia lebih rendah dari orang lain.

Khu. M. 26/94

·         KETERANGAN

No. 1, 4, dan 7 memperlihatkan ciri-ciri kesombongan dalam arti yang umum (menyombongkan diri sendiri). Sebaliknya, No. 3, 6, dan 9 adalah manifestasi dari sifat merendahkan diri. Beberapa bagian, seperti No. 3, seharusnya tidak dianggap sebagai kesombongan seperti istilah kesombongan yang dimengerti pada umumnya. Akan tetapi, perasaan semacam ini dapat menimbulkan perasaan permusuhan terhadap orang lain dan kemudian menimbulkan ambisi-ambisi lebih jauh yang sia-sia. Atau mungkin selama masih terdapat suatu faham yang membandingkan diri sendiri dengan orang lain, selama itu pula masih terdapat pengertian kesombongan atau egoisme dalam arti yang dimaksudkan dengan istilah Mana sebagai salah satu dari sepuluh rintangan bathin (lihat Kelompok Sepuluh).

4.  DI ATAS KEDUNIAWIAN (LOKUTTARADHAMMA)

  1. Empat 'Sang Jalan'
  2. Empat 'Sang Hasil'
  3. Nibbana

Khu. P. 31/326

·         KETERANGAN

Untuk keterangan lebih lanjut mengenai empat 'Sang Jalan' dan 'Sang Hasil', lihat Kelompok Empat. Untuk Nibbana, lihat Kelompok Dua, No. 9.

5. PENGETAHUAN PANDANGAN TERANG (VIPASSANA ÑANA)

Pandangan terang yang merenungkan timbul dan tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi (udayabbayanupassana ñana).

Pandangan terang yang merenungkan tenggelam atau kehancuran dari segala sesuatu yang berkondisi (bhanganupassana ñana)

Pandangan terang yang merenungkan kondisi menakutkan dari segala sesuatu yang berkondisi (bhayatupatthana ñana)

Pandangan terang yang merenungkan kejahatan-kejahatan (adinavanupassana ñana)

Pandangan terang yang merenungkan hilangnya nafsu-nafsu (nibbidanupassana ñana)

Pandangan terang yang merenungkan penghentian (muñcitukamyata ñana)

Pandangan terang yang merenungkan jalan (patisankhanupassana ñana)

Pandangan terang yang merenungkan keseimbangan terhadap hal-hal yang berkondisi atau 'ciptaan-ciptaan' (sankharupekkha ñana)

Pandangan terang pada saat menyadari kebenaran-kebenaran mulia (saccanulomika ñana)

Khu. P. 31/1

·         KETERANGAN

Diatas adalah manifestasi-manifestasi dari pandangan terang ke dalam kebenaran mengenai hakekat nama dan rupa: tidak kekal, dapat mengalami kehancuran dan kosong dari suatu inti atau pribadi yang kekal.

Yang pertama adalah perenungan tentang timbul dan tenggelamnya 'ciptaan-ciptaan' (sankhara), lihat Kelompok Dua, No. 16, dan Kelompok Tiga, No. 7. Istilah 'ciptaan-ciptaan' disini adalah sinonim dengan nama dan rupa.

Yang kedua dibedakan dari yang pertama, yaitu, sekarang timbulnya 'sankhara' dihilangkan dan jangkauan perenungan, perhatian hanya dipusatkan pada tenggelamnya atau kehancuran dari 'sankhara'.

Dengan demikian ketakutan terhadap sankhara akan berkembang dalam bathin. Ini dapat diumpamakan seperti binatang-binatang buas, misalnya; singa.

Setelah menyadari ketakutan dan kejahatan dari sankhara, bathin akan dikuasai oleh rasa bebas dari kenafsuan terhadap sankhara, keinginan bernafsu atau serakah akan menjadi lenyap.

Dengan hilangnya nafsu timbullah keinginan untuk bebas seperti seekor binatang terperangkap yang ingin membebaskan diri. Untuk itu timbullah usaha-usaha yang bersemangat untuk menemukan jalan yang akan membawa pada kebebasan dan akhirnya keseimbangan akan menjadi jawabannya.

Sikap keseimbangan ini dapat diumpamakan seperti perasaan yang terdapat di antara suatu pasangan yang bercerai, masing-masing tidak mempedulikan antara satu dengan yang lain.

Akhirnya, sampailah pada puncak dari perkembangan pandangan terang, dalam saat berikut dari pandangan terang yang merenungkan keseimbangan yang telah dikembangan secara sempurna, dan di saat segera setelah sebelum Sang Jalan (No. 22, Kelompok Empat) dimasuki.

6. SIFAT-SIFAT MULIA SANGHA (SANGHAGUNA)

·       Sangha siswa dari Sang Bhagava (.... bhagavato savakasangho)
·       Berkelakuan baik (supatipanno)
·       Berkelakuan jujur (ujupatipanno)
·       Berkelakuan bijaksana (ñayapatipanno)
·       Berkelakuan pantas (samicipatipanno)

Persaudaraan Sangha terdiri atas empat pasang siswa-siswa mulia, meliputi delapan golongan makhluk suci (yadidam cattari purisayugani atthapurisa puggala esa bhagavato savakasangho)

·       Pantas diberi bingkisan-bingkisan (ahuneyyo)
·       Pantas diberi pemberian-pemberian (pahuneyyo)
·       Pantas diberi persembahan-persembahan (dakkhineyyo)
·       Pantas diberi penghormatan (anjalikaraniyo)
·       Tempat yang tiada bandingannya bagi dunia untuk menanam benih-benih perbuatan jasa (anuttaram puññakkhettam lokassa)

An. Ti. 20/267

·         KETERANGAN

Istilah Sangha disini berarti para siswa mulia - mereka yang telah mencapai tingkat Sang Jalan (No. 22, Kelompok Empat).

'Berkelakuan baik' (No. 1) mempunyai pengertian yang amat luas. Apa saja yang tidak tercantum atau termasuk di dalam No. 2 dan 4 dapat dianggap tercakup dalam kalimat ini. Itu berarti, misalnya, kelakuan atau praktek yang sesuai dengan Jalan Tengah, tidak terlalu lemah, tidak terlalu keras.

'Berkelakuan jujur' menunjukkan sifat mulia terus terang, berlawanan dengan hipokrisi; atau juga bersifat terbuka, tidak memiliki sifat rahasia.

'Berkelakuan bijaksana', terjemahannya adalah berdasarkan pada etimologi akar kata 'na', berarti 'mengetahui'. Karenanya diartikan sebagai kelakukan atau praktek yang membawa pada pengetahuan atau dalam satu kalimat yang lebih pendek, 'berkelakuan bijaksana'. 'Berkelakuan bijaksana' juga diterjemahkan 'mengakhiri': mengakhiri penderitaan atau mengakhiri lingkaran kelahiran kematian, tetapi akar kata secara etimologi dari suatu terjemahan yang demikian adalah masih kabur. Istilah Pali 'nay' mungkin berhubungan dengan istilah sanskrit 'nyaya', yang dapat memiliki beberapa pengertian. Salah satu diantara mereka adalah Dhamma (sifat). Ini adalah cukup masuk akal, karena Dhamma adalah merupakan tujuan bagi seorang pencari untuk menyadari atau mengetahuinya. Kemungkinan arti 'mengakhiri' itu diambil dari istilah sanskrit ini, walaupun bentuk tata bahasanya masih dapat diperdebatkan. Akan tetapi, disetujui bahwa istilah naya dapat diterjemahkan dengan Dhamma, arti yang dimaksudkan seharusnya 'kelakuan atau praktek yang berdasarkan pada Dhamma atau kebenaran', karena kebenaran adalah kata lain dari Dhamma.

'Berkelakuan pantas' berarti kelakuan yang pantas dihormati, diagungkan dan dipuja. (Untuk keterangan lebih lanjut mengenai kalimat-kalimat yang berada dalam kurung dapat dilihat dalam No. 1, Kelompok Delapan).

'Bingkisan-bingkisan' berarti barang-barang yang dibawa ketempat orang-orang kepada siapa mereka akan dipersembahkan karena rasa hormat.

'Pemberian-pemberian' berarti barang-barang yang dipersembahkan kepada para tamu seperti makanan dan minuman.

'Persembahan-persembahan' berarti barang-barang untuk tujuan-tujuan keagamaan, seperti barang-barang yang dipersembahkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.

'Salam penghormatan' berarti merangkapkan tangan sebagai tanda hormat atau ber-namaskara (menyembah).

Sangha telah dibandingkan dengan sebuah ladang yang tiada bandingannya -ladang dengan tanah subur yang menghasilkan panen berlimpah. Karena itu benih-benih perbuatan berjasa yang ditanam dalam Sangha adalah seperti menanam pada sebuah ladang dengan tanah subur, dimana hasil yang berlimpah dapat diharapkan.

Perlu diketahui bahwa kalimat yang menjelaskan sifat-sifat mulia Sangha amatlah berbeda dari kalimat yang menerangkan mengenai Sang Buddha dan Dhamma. Setengah yang pertama (bagian 1 sampai dengan 4) adalah pujian yang langsung diberikan kepada Sangha, sedangkan setengah yang kedua (bagian 5 sampai dengan 9) menekankan faedah-faedah yang dapat diberikan Sangha kepada orang-orang. Dan kedua pertengahan ini dipisahkan oleh penggolongan dari para siswa mulia. Hal-hal ini tidak terlihat dalam kalimat mengenai Buddha dan Dhamma, dimana julukan atau sifat-sifat mulia diterangkan satu demi satu.

7.  ALAM-ALAM MAKHLUK HIDUP (SATTAVASA)

1.    Alam makhluk dengan tubuh dan pikiran-pikiran yang berbeda.
2.    Alam makhluk dengan tubuh yang berbeda tetapi dengan pikiran-pikiran yang sama.
3.    Alam makhluk dengan tubuh yang sama tetapi dengan pikiran-pikiran yang berbeda.
4.    Alam makhluk dengan tubuh dan pikiran-pikiran yang sama.
5.    Alam makhluk tanpa pencerapan dan perasaan.
6.    Alam makhluk yang telah mencapai tingkat meditasi akasanañcayatana.
7.    Alam makhluk yang telah mencapai tingkat meditasi viññanañcayatana
8.    Alam makhluk yang telah mencapal tingkat meditasi akiñcaññayatana
9.    Alam makhluk yang telah mencapai tingkat meditasi nevasaññanasaññayatana.

An. Na. 32/413

·         KETERANGAN

Kecuali untuk No. 5 dan No. 9, untuk keterangan lebih lanjut mengenai lainnya dapat dilihat dalam No. 3, Kelompok Tujuh.

Mahluk tanpa pencerapan dan perasaan, No. 5, adalah macam makhluk yang disebut Asaññisatta atau mahluk yang tidak memiliki kesadaran.

Keterangan mengenai tingkat meditasi nevasaññanasaññayatana dapat dilihat pada No. 7 (bagian 4) Kelompok Empat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar