Kamis, Mei 27, 2010

BAGAIMANA MENGHADAPI KEMARAHAN ORANG LAIN?

Suatu kali, Sang Buddha berdiam di vihara Veluvana di kota Rajagaha.

Adalah seorang brahmani bernama Dhananjani, seorang Ariya savika Sotapanna yang mempunyai keyakinan penuh pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Sementara, brahmana Bharadvaja Gotara, suaminya, adalah seorang micchaditthi yang selalu menutup telinga bila mendengar istrinya mengucapkan penghormatan terhadap Sang Buddha.

Suatu hari, brahmana Bharadvaja Gotara berkata pada istrinya bahwa ia akan mengundang lima ratus orang brahmana lainnya untuk makan di rumah mereka pada esok harinya. Dan minta pada istrinya agar tidak mengucapkan penghormatan pada Sang Buddha seperti biasanya, di depan brahmana lainnya pada perhelatan esok.

Tapi, istrinya tak menjanjikan apa-apa. Ia hanya berkata : "Brahmana suamiku, walau kepala saya harus terpisah dari badan karena pedang brahmana lainnya, saya tak akan mungkin bisa menahan diri untuk tidak menghormat Guru saya. Tak sesuatu pun bisa menahan saya agar tidak menghormat Buddha, Dhamma dan Sangha."

Keesokan harinya, brahmani Dhananjani berdandan dengan rapi, mengenakan perhiasan yang indah-indah. Bersama para pembantu, ia menyiapkan dan mengatur makanan bagi para brahmana di dapur. Kemudian ia membawa satu nampan berisi makanan untuk brahmana Bharadvaja Gotara. Saat itulah kakinya terantuk kaki meja yang membuatnya hendak terjatuh. Dan ia pun berseru :

"Namo Tassa Bhagavato Arahato SammĂ sambuddhassa," sebanyak tiga kali.

Mendengar itu, para brahmana merasa kepalanya dihantam dengan palu godam yang besar. Telinganya bagaikan ditusuk dengan tombak yang tajam. Dadanya bagaikan diguncang oleh kepundan gunung berapi, panas. Dengan marah, mereka mendongakkan kepala dan kedua mata yang terbelalak lebar. Mereka berteriak-teriak : "Kita telah diundang oleh orang-orang murtad. Kita telah masuk ke rumah orang-orang murtad."

Sambil mencaci maki tuan rumah dan membuang piring-piring berisi makanan yang dipegangnya, mereka berlarian tunggang langgang meninggalkan rumah brahmana Bharadvaja Gotara yang terbengong-bengong dibuatnya.

Brahmana Bharadvaja Gotara berdiri bertolak pinggang, dengan mata melotot memandang istrinya dari kepala sampai ujung kaki. Sebenarnya kemarahannya telah memuncak sampai ke ubun-ubun. Ingin ia melumat dan menghancurkan istrinya itu. Namun tak tahu mengapa, ia tak mampu untuk melakukannya. Rasanya ada sesuatu yang membuat nyalinya menjadi kecil.

Ia hanya bisa mencaci maki istrinya dengan kata-kata kasar : "Hai perempuan hina, kau merupakan sesuatu yang berbahaya bagi diriku. Aku minta dengan baik-baik padamu agar tidak memuji dan memuja pertapa gundul itu untuk sehari saja, tapi kau tak mengindahkannya. Dimanapun kau berada, kau tetap saja memuji dan memuja pertapa gundul itu."

Dengan napas tersengal-sengal menahan marah, ia meneruskan : "Kini aku mau tahu. Apa kelebihan gurumu itu. Aku akan pergi berdebat dengannya barang sejenak. Mampukah ia mengalahkanku?!"

Namun, brahmani Dhananjani berkata dengan tenangnya : "Saya tidak melihat seorang pun akan mampu mengalahkan seorang Sammasambuddha. Pergilah kau, suamiku. Nanti kau akan tahu sendiri."

Dengan bergegas, brahmana pergi menemui Sang Buddha. Dalam perjalanannya, ia memikirkan pertanyaan apa yang sebaiknya diajukan pada Sang Buddha agar bisa mengalahkannya. Akhirnya ia mendapat akal.  Ia akan menanyakan sebuah pertanyaan yang membuat si penjawab serba salah.

Ia akan bertanya : "Seseorang telah membunuh, apakah membuatnya bisa tidur tenang dan nyenyak ? Seseorang telah membunuh apakah, maka ia akan berbahagia tidak menemui penderitaan? Wahai Samana Gotama, jawablah pertanyaanku ini." Itulah pertanyaan yang akan ia ajukan.

Ia berpikir, bila Sang Buddha menjawab akan membunuh orang bernama ini atau itu, ia akan menuduh sebagai pembunuh dan apa gunanya menjadi pertapa. Bila Sang Buddha menjawab, tidak suka membunuh apapun; ia akan menuduh Sang Buddha tidak membunuh kilesa atau nafsu-nafsu duniawi. Bila demikian, untuk apa mengembara mengajarkan ajaran. Ia berpikir, pertanyaan itu bagaikan makanan yang masuk kerongkongan tapi ditelan tidak masuk, dimuntahkan pun tidak keluar.

Setelah bertemu Sang Buddha, iapun segera mengajukan pertanyaan yang telah ia siapkan itu.

Sang Tathagata menjawab : "Seseorang yang mampu membunuh kemarahan, akan tidur tenang dan nyenyak. Seseorang yang berhasil membunuh kemarahan, akan menemui kebahagiaan, terhindar dari penderitaan. Wahai brahmana, para Ariya memuji pembunuhan terhadap kemarahan yang mempunyai akar sebagai racun yang berbisa dan puncak sebagai madu yang manis. Oleh karena itu, seseorang yang berhasil membunuh kemarahan akan terhindar dari penderitaan dan menemui kebahagiaan."

Mendengar jawaban itu, brahmana Bharadvaja menjadi tercengang, karena tidak seperti yang diharapkannya. Jawaban itu amat jelas dan mengena, tak terbantahkan, membuat kemarahannya lenyap seketika. Ia sadar bahwa perkataan istrinya adalah benar.

"Bhante, jawaban Sang Buddha amat jelas dan terang, bagaikan seseorang yang menengadahkan sesuatu yang tengkurap, membuka sesuatu yang tertutup, menunjukkan jalan pada seseorang yang tersesat. Atau bagaikan seseorang menyalakan cahaya di tempat yang gelap agar seseorang yang mempunyai mata yang baik akan bisa melihat. Dengan ini saya menyatakan diri berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha."
Kemudia ia melanjutkan :

"Saya mohon Bhante mentahbiskan saya menjadi bhikkhu dalam Dhamma dan Vinaya."

Tidak lama sesudah ditahbiskan, bhikkhu Bharadvaja berhasil mencapai kesucian Arahat. (Dhananjani Sutta dan Atthakatha 15/626-620)

Sementara Akkosaka Bharadvaja, begitu tahu kakaknya meninggalkan kehidupan berumah tangga dan tahbis sebagai pabbajita dalam Dhamma Vinaya Sang Buddha, menjadi marah dan jengkel. Segera pergi menemui Sang Buddha, mengata-ngatai Sang Buddha dengan kata-kata kasar seperti orang yang tak mengenal sopan santun.

Setelah selesai ucapan kasar Akkosaka Bharadvaja, Sang Buddha berkata dengan tenang :
"Wahai brahmana, pernahkah saudara-saudara, keluarga atau teman dan sahabat anda bertamu ke rumah anda?"

"Ya, mereka kadang-kadang datang," jawab brahmana yang belum tahu arah pembicaraan Sang Buddha.

"Lalu, apakah anda menghidangkan sekedar makanan dan minuman untuk menjamu tamu tersebut?"

"Ya, memang demikian."

"Apabila saudara-saudara, keluarga atau teman dan sahabat anda itu tak menerima makanan dan minuman yang anda hidangkan, akan menjadi milik siapakah hidangan itu?"

"Tentu saja akan tetap menjadi milik saya," jawab brahmana.

"Demikian pula persoalan kita ini, brahmana. Anda mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor pada Tathagata yang tidak mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor. Anda marah pada Tathagata yang tidak marah. Tathagata tidak menerima dan memakan hidangan anda itu. Kemarahan dan kata-kata kasar itu tentu milik anda seorang. Barang siapa membalas cacian dan kemarahan yang ia terima, Tathagata menyebutnya sebagai orang yang sama-sama menikmati hidangan. Pasti akan terus saling balas membalas. Namun, Tathagata tidak sama-sama menikmati hidangan. Tidak membalas kemarahan dan cacian anda. Jadi, cacian dan kata-kata kasar itu milik anda sendiri, untuk anda sendiri."

Kemudian Sang Buddha meneruskan : "Seseorang yang telah mengalahkan kemarahan dalam dirinya mempunyai kehidupan yang tenang, teguh dan hening, karena tahu akan kesunyataan. Kemarahan tak akan muncul kembali. Barang siapa membalas kemarahan dengan kemarahan, ia disebut sebagai orang yang lebih buruk daripada orang yang marah padanya. Seseorang yang tidak membalas kemarahan dengan kemarahan, dialah orang yang memenangkan peperangan yang sulit dimenangkan. Ia memberi manfaat pada dirinya sendiri dan juga orang lain. Tapi, orang bodoh mengatakannya sebagai orang bodoh."

Setelah mendengar penjelasan Dhamma ini, Akkosaka Bharadvaja tersadar dan timbul keyakinan terhadap Buddha Sasana. Ia menyatakan diri sebagai upasaka yang berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu dalam Dhamma Vinaya. Tak lama sesudah itu, iapun mencapai kesucian Arahat. (Akkosaka Sutta 15/631-634)

Demikian pula Asurindaka Bharadvaja. Begitu mendengar kedua kakaknya meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjadi bhikkhu, ia menjadi marah dan kesal pada Sang Buddha. Dengan marahnya ia mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor pada Sang Buddha. Namun, Sang Buddha membalasnya dengan diam, tak berkata sepatahpun.

Demi melihat ini, Asurindaka mengira bahwa Sang Buddha takut dan tak mampu membalasnya. Maka, ia merasa telah memenangkan perdebatan. Dengan bangganya ia berteriak-teriak : "Samana, saya telah mengalahkan Anda. Samana, saya telah mengalahkan Anda."
Sang Buddha dengan tenang berkata : "Orang bodoh mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor, merasa dirinya menang. Tapi, kemampuan meredam kemarahan adalah suatu kemenangan bagi para bijaksana yang telah menembus kesunyataan. Barang siapa membalas kemarahan dengan kemarahan, adalah lebih buruk dari orang yang marah padanya. Barang siapa tidak membalas kemarahan dengan kemarahan, dialah yang memenangkan peperangan yang sulit dimenangkan. Ia telah memberi manfaat bagi dirinya sendiri maupun orang lain."

Setelah mendengar kata-kata Sang Buddha itu, muncul keyakinan terhadap Buddha Sasana pada diri Asurindaka Bharadvaja. Ia menyatakan diri berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu dalam Dhamma Vinaya. Tak lama sesudah itu, bhikkhu Asurindaka mencapai kesucian Arahat. (Asurindaka Sutta 15/635-637)

2 komentar:

  1. Terima kasih om Tanhadi yang bijaksana,artikel2 di blog Om Tanhadi sangat bermutu Dhamma yang tinggi dan bernilai.Hendaknya Om Tanhadi memperbolehkan saya menyalin sebagian atau seluruh isi konten blog Om Tanhadi untuk dipublikasikan di blog saya dengan menyertakan link ke postingan yang asli.Salam Metta,
    Blogger Indonesia | Agustanto
    Blog saya mengenai Dhamma ada di: http://agustanto.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. Namo Buddhaya,

    Saya turut berbahagia jika anda juga aktif dalam menyebarkan Buddha Dhamma..demi kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk...:)

    Tentu saja saya dengan senang hati mempersilahkan anda untuk melaksanakan maksud baik anda tersebut....

    Salam Metta,
    Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta

    BalasHapus