Minggu, Mei 02, 2010

KHOTBAH PENCERAHAN (III - Bagian Terakhir)

TIGA CORAK KEHIDUPAN
(Tilakkhana)

Disusun oleh : Tanhadi


Segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak-kekal.
Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini;
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.
Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
(Dhammapada 277)

Segala sesuatu yang berkondisi adalah penderitaan.
Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini,
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.
Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
(Dhammapada 278)

Segala sesuatu yang berkondisi
dan tidak berkondisi adalah tanpa inti diri.
Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini,
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.
Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
(Dhammapada 279)

Tilakkhana atau Tiga corak, ciri, karakteristik yaitu:

- Anicca ( Ketidak-kekalan )
- Dukkha ( Penderitaan )
- Anatta ( Tiada Inti diri )

Merupakan tiga corak / ciri / karakteristik yang ada di setiap segala sesuatu atau fenomena yang terbentuk dari perpaduan unsur (berkondisi) yang ada di alam semesta ini, termasuk makhluk hidup. Ciri ini merupakan salah satu bentuk dari Hukum Kebenaran Mutlak (Paramatha-sacca) karena berlaku dimana saja dan kapan saja.

Anicca

Anicca berasal dari kata "an" yang merupakan bentuk negatif atau sering diterjemahkan sebagai tidak atau bukan. Dan "nicca" yang berarti tetap, selalu ada, kekal, abadi. Jadi kata "an-nicca" berarti tidak tetap, tidak selalu ada, tidak kekal, tidak abadi, berubah. Dalam bahasa Sanskerta disebut juga sebagai anitya.

Sabbe sankhara anicca berarti segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur, merupakan sesuatu yang mengalami perubahan, tidak kekal.

Semua fenomena yang ada di dalam alam semesta ini selalu dalam keadaan bergerak dan mengalami proses, yaitu: Upadana (timbul), kemudian Thiti (berlangsung), dan kemudian Bhanga (berakhir/lenyap).

Mengapa segala fenomena mengalami perubahan atau tidak kekal? Hal ini karena sudah menjadi sifat alami dari segala sesuatu yang terbentuk dari perpaduan unsur akan mengalami perubahan, ketidakkekalan.

Dukkha

Dukkha berasal dari kata "du" yang berarti sukar dan kata "kha" yang berarti dipikul, ditahan. Jadi kata "du-kha" berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Pada umumnya dukkha dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, beban.

Sabbe sankhara dukkha berarti segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur, merupakan sesuatu yang tidak memuaskan yang akan menimbulkan beban berat atau penderitaan.

Mengapa segala fenomena tidak memuaskan dan menimbulkan beban berat atau penderitaan? Hal ini dikarenakan segala fenomena tersebut mengalami perubahan, tidak kekal. Dan ketika kita tidak bisa memahami dan menerima bahwa segala fenomena selalu mengalami perubahan, tidak kekal, maka timbul perasaan ketidaksukaan, ketidakpuasan pada diri kita dan akhirnya menimbulkan beban berat atau penderitaan.

Anatta

Anatta berasal dari kata "an" yang merupakan bentuk negatif atau sering diterjemahkan sebagai tidak atau bukan. Dan "atta" berarti berarti diri sejati atau inti/`roh`. Dalam bahasa Sanskerta disebut juga sebagai anatman. Jadi kata "an-atta" berarti bukan diri sejati atau tanpa inti /`roh`.

Sabbe dhamma anatta berarti segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur, dan juga sesuatu yang tidak berkondisi merupakan sesuatu yang tidak memiliki inti /`roh` dan  bukan diri yang sejati ( Tiada Inti Diri ).

Beberapa orang telah salah memahami mengenai ajaran anatta dengan beranggapan bahwa tidak ada diri, tidak ada yang namanya orang/person (puggala). Anggapan ini keliru. Guru Buddha tidak mengajarkan hal ini. Beliau mengajarkan bahwa ada yang disebut dengan diri atau orang/person (puggala), tetapi diri atau orang/person (puggala) tersebut bukanlah benar-benar inti atau jati diri dari diri atau orang (person) tersebut, melainkan hanyalah merupakan perpaduan unsur-unsur yang membentuk, yang membuatnya ada yang suatu saat akan mengalami perubahan. Karena perpaduan unsur-unsur inilah diri seseorang terbentuk. Dan karena segala sesuatu yang terbentuk dari perpaduan dari unsur-unsur pasti mengalami perubahan, maka diri seseorang pun mengalami perubahan, penguraian, yang akhirnya eksistensi dari diri seseorang tidak ada lagi. Inilah mengapa dikatakan tidak memiliki inti atau bukan diri sejati.

Mengapa segala fenomena tidak ada inti atau bukan diri sejati?

Di dalam Anattalakkhana Sutta; Samyutta Nikaya 22.59 {S 3.66}, Guru Buddha menjelaskan bahwa Rupa (jasmani), Vendana (perasaan), Sanna (pencerapan), Sankhara (pikiran) dan Vinnana (kesadaran) disebut sebagai Panca Khanda (lima kelompok kehidupan/kegemaran) yang semuanya bukanlah diri sejati. Jika Khanda itu merupakan diri sejati, maka tidak akan mengalami penderitaan, dan semua keinginan seseorang akan kandha-nya akan terpenuhi, ”Biarkan Kandha-ku seperti ini dan bukan seperti itu.”

Tetapi karena khanda tidak dapat dikendalikan sesuai dengan keinginan atau harapan seseorang, ”Biarkan Kandha-ku seperti ini dan bukan seperti itu”, dan juga mengalami penderitaan, maka dikatakan bahwa kandha bukanlah diri sejati.

Selain ajaran Anatta yang diajarkan oleh Guru Buddha, di dunia ini terdapat 2 ajaran atau paham lain yang terdapat dalam kepercayaan lain, yaitu:

- Attavada, yaitu paham atau ajaran yang menyatakan bahwa terdapat atta atau inti atau diri sejati yang tidak mengalami perubahan, yang ada sepanjang masa atau abadi meskipun melalui tahap kelahiran kembali. Paham ini juga disebut sebagai paham Eternalisme (paham ini tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).

- Ucchedavada, yaitu paham atau ajaran yang menyatakan bahwa sama sekali tidak terdapat atta atau diri, dimana ketika mati maka semuanya akan turut lenyap, tidak membentuk apapun lagi, tidak mengalami kelahiran kembali. Paham ini juga disebut sebagai paham Nihilisme (paham inipun tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).

Beberapa contoh nyata mengenai ajaran Anatta. Ketika kita melihat sebuah sofa maka kita akan melihatnya sebagai hal yang biasa dan menyebutnya sebagai sofa. Tetapi ketika sofa yang terbuat dari kayu, busa, kain, lem, tenaga manusia, dan sebagainya itu kita uraikan, kita pisah-pisahkan, kita bongkar, maka yang kita lihat sekarang hanyalah beberapa potong kayu bekas, kain, busa dan sebagainya yang tidak mungkin sama dengan bahan awal pembuat sofa. Kita hanya menyebutnya sebagai sisa sofa, kain bekas sofa, kayu bekas sofa, dan sebagainya. Kita tidak akan melihat lagi sofa tadi.

Contoh lain tentang ajaran Anatta, ketika kita membuat roti. Roti dibuat dengan memakai tepung, ragi, gula, garam, mentega, susu, air, api, tenaga kerja dan lain-lain Tetapi setelah menjadi roti tidak mungkin kita akan menunjuk satu bagian tertentu dan mengatakan: ini adalah tepungnya, ini garamnya, ini menteganya, ini airnya, ini apinya, ini tenaga kerjanya dst. Karena setelah bahan-bahan itu diaduk menjadi satu dan dibakar di oven, maka bahan-bahan itu telah berubah sama sekali. Meskipun roti itu terdiri dari bahan-bahan yang tersebut di atas, namun setelah melalui proses pembuatan dan pembakaran di oven telah menjadi sesuatu yang baru sama sekali dan tidak mungkin lagi untuk mengembalikannya dalam bentuknya yang semula.

Pemahaman akan ajaran anatta dapat juga dianalisa dan direnungkan dalam ajaran mengenai Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada).




PATICCA SAMUPPADA
( SEBAB MUSABAB YANG SALING BERGANTUNGAN )

Paticca berarti disebabkan oleh atau bergantung pada ; Samuppada berarti timbul atau asal. Karena itu, secara harfiah, Paticca Samuppada berarti “Sebab dan Akibat Yang Saling Bergantungan“. Disini perlu kiranya selalu diingat bahwa, Paticca Samuppada hanya merupakan suatu ajaran tentang proses kelahiran dan kematian, bukan suatu teori mengenai asal mula kehidupan. Paticca Samuppada menguraikan sebab musabab tumimbal lahir dan penderitaan, tetapi sama sekali bermaksud menerangkan evolusi dunia.

Sebab musabab yang saling bergantungan (Patticca Samuppada), merupakan ajaran pokok agama Buddha. Doktrin yang terkandung sangat dalam dan luas, sehingga tidak mungkin ditelaah secara lengkap dalam karangan yang terbatas. Tulisan ini semata–mata dibuat berdasarkan ajaran Buddha untuk menjelaskan doktrin ini, dengan mengesampingkan rincian yang berbelit – belit di dalamnya.

Para sarjana dan penulis menerjemahkan istilah ini kedalam bahasa Inggris dengan berbagai sebutan.“Dependent origination” ,“dependent arising”, “conditioned co-production”, “causal conditioning”, “causal genesis”, “conditioned genesis”, “causal dependencies”, adalah beberapa terjemahannya. Dalam tulisan ini digunakan istilah Sebab-musabab yang saling bergantungan.

Sebab musabab yang saling bergantungan bukan merupakan suatu bahasan bagi mereka yang kurang cerdas dan berpikiran dangkal, juga bukan ajaran yang dipahami dengan spekulasi dan logika semata–mata yang mengundang perdebatan.

Perhatikan Sabda Sang Buddha ini :

“Sungguh dalam Ananda, paticca samuppada ini, dan memanglah dalam tampaknya. Tanpa melalui pemahaman, tanpa melalui penembusan ajaran ini, manusia telah terjerat seperti sebuah bola benang kusut, jadilah seperti rumput munja dan kerepotan, tak dapat mengatasi kesedihan dari kehidupan dan samsara, lingkaran kehidupan “.

Mereka yang gagal memahami arti yang sebenarnya dari seluruh ajaran penting ini menyalah-artikannya menjadi sebab-akibat yang mekanis, atau bahkan kemunculan simultan yang sederhana, menyangkal awal-mula dari segala sesuatu, hidup dan tak hidup. Sebab-musabab yang saling bergantungan tidak berusaha untuk menggali atau menyelidiki sebab pertama. Buddha dengan tegas menyatakan bahwa asal mula dari kehidupan adalah sesuatu yang tak dipahami, dan bahwa pikiran dan spekulasi mengenai awal mula semacam ini dapat menimbulkan kekacauan mental. Jika orang menetapkan “sebab pertama” Ia dibenarkan untuk menanyakan penyebab itu, karena tak ada yang dapat melarikan diri dari hukum kondisi dan sebab yang nyata dalam dunia bagi segala hal, tetapi tidak mereka pahami.

Menurut Aldous Huxley : “Mereka yang membuat kesalahan dengan berpikir tentang sebab pertama ditakdirkan untuk tidak pernah menjadi ilmuwan. Karena mereka tidak mengetahui apakah pengetahuan itu, mereka tidak menyadari bahwa mereka kehilangan segalanya. Bagaimanapun di Barat, sudah menjadi kebiasaan untuk menghubungkan suatu kejadian kembali ke sebab pertama yang telah terhenti… Kita tak akan pernah berhasil mengubah zaman besi menjadi zaman emas sampai kita melepaskan ambisi kita untuk menemukan satu penyebab bagi semua keburukan kita, dan mengakui adanya banyak penyebab yang terjadi secara bersamaan, dari hubungan yang ruwet serta aksi dan reaksi yang berulang”.

Sosok Dewa pencipta yang memberikan pahala dan hukuman pada perbuatan baik dan jahat dari mahkluk yang diciptakannya tidak memiliki tempat dalam pemikiran Buddhis. Penganut theisme yang menghubungkan segala makhluk dan  kejadian  pada  sesosok pencipta yang mahakuasa dengan tegas berkata, “Ini adalah kehendak Tuhan, mempertanyakan Sang Penguasa adalah dosa”. Bagaimana pun juga, pemikiran semacam ini membatasi kebebasan manusia untuk menyelidiki, menganalisis, meneliti, melihat apa yang ada di luar batas mata telanjang dan pikiran yang tertinggal.

Marilah kita mengakui demi pendapat yang berbeda bahwa “X” adalah “sebab pertama”. Lalu, apakah asumsi kita ini membawa kita sedikit lebih dekat pada tujuan kita, pembebasan kita ? Tidakkah hal ini menutup pintu menuju ke sana ? Agama Buddha, sebaliknya menyatakan bahwa segala sesuatu tidak terjadi karena satu sebab ( ekahetuka ), ataupun tidak memiliki penyebab ( ahetuka ). Dalam Patthana kitab ke tujuh dan terakhir dari Abhidhamma Pitaka disebutkan dua belas unsur dari Paticca samuppada dan dua puluh empat kondisi yang berkaitan ( paccaya ) ; dengan jelas menunjukkan bagaimana manusia memiliki sebab multiple (aneka hetuka ), dan mengungkapkan bahwa manusia bukan tanpa sebab, ataupun terjadi karena satu sebab. Ajaran Buddha mendahului ilmu pengetahuan modern selama dua puluh lima abad.

Kita melihat suatu kekuasaan berupa hukum alam-sebab dan akibat tanpa permulaan dan tiada yang lain yang mengatur alam semesta. Setiap akibat terjadi setelah sebab dan hal ini berlangsung selamanya ( selama kebodohan dan keinginan rendah berlangsung terus menerus ). Sebuah kelapa, sebagai contoh, adalah sebab utama atau penyebab terdekat dari sebuah pohon kelapa. “X” memiliki dua orang tua, empat kakek-nenek, dan demikianlah hukum sebab akibat meluas dengan tak terputuskan seperti ombak di lautan - ad infinitum.

Tidaklah mungkin untuk membayangkan suatu permulaan yang pertama. Tak seorang pun dapat menelusuri asal-usul sesuatu, bahkan sebutir pasir pun, apalagi manusia. Tidaklah berguna dan tidaklah berarti untuk mencari suatu asal dalam masa lalu yang tak bermula. Hidup bukanlah suatu jati diri, ia merupakan suatu proses penjelmaan. Ia merupakan aliran dan perubahan jiwa, suatu perubahan dari batin dan jasmani ( nama - rupa ).

“Tidak ada alasan sama sekali untuk menganggap bahwa dunia memiliki suatu awal. Gagasan bahwa makhluk harus memiliki suatu asal sebenarnya terjadi karena kemiskinan imajinasi kita. Karena itulah, mungkin kita tidak perlu membuang waktu lagi terhadap perbedaan pendapat mengenai sebab pertama”.

Sebagai pengganti sebab pertama, Buddha berbicara mengenai kondisi ketergantungan. Seluruh dunia merupakan subjek dari hukum sebab akibat, dengan kata lain, aksi dan reaksi. Kita tidak dapat memikirkan hal apa pun di dunia yang tidak memiliki sebab dan tanpa ketergantungan kondisi.

Seperti yang dikatakan oleh Viscount Samuel : “Tidak ada hal lain semacam perubahan. Setiap kejadian merupakan akibat dari kejadian sebelumnya, apa pun yang terjadi merupakan akibat dari bermacam–macam sebab sebelumnya, dan sebab yang sama selalu menghasilkan akibat yang sama. Hukum sebab akibat dan sifat keseragaman berlaku di mana pun dan selamanya”.

Agama Buddha mengajarkan bahwa seluruh unsur bergabung menjadi makhluk hidup, setelah muncul, lalu lenyap ( uppada, thiti, bhanga ), bergantung pada kondisi dan penyebab. Bandingkan kebenaran kata – kata ini dengan kutipan syair dari Arahat Thera Assaji, salah satu dari lima murid Buddha yang pertama, yang merangkum seluruh ajaran Buddha ketika menjawab pertanyaan Upatissa yang kemudian dikenal sebagai Arahat Thera Sariputra.

Pertanyaan Upatissa adalah : “ Apa ajaran gurumu ?,  Apa yang Beliau nyatakan.?”

Dan inilah jawabannya :

“Ye dhamma hetuppabhava
( Segala sesuatu timbul karena sebab )
Tesam hetum tathagato aha
 (Tathagata telah menjelaskan penyebabnya)
Tesam ca yo nirodho          
( Begitu pula tentang penghentiannya )
Evam vadi mahasamano “. 
( Inilah ajaran Petapa Agung ).

Walaupun singkat, pernyataan ini mengungkapkan dengan kata - kata yang tegas sebab - akibat atau kondisi ketergantungan.

Seperti yang dikatakan dalam Kitab Suci, setelah mencapai Penerangan Sempurna, selama seminggu pertama, Buddha duduk di kaki Pohon Bodhi di Gaya, menikmati kebahagiaan dari kebebasan yang tertinggi. Ketika tujuh hari telah berlalu, Beliau bangkit dari samadhi, keadaan pikiran yang terpusat, dan pada malam jaga pertama sepenuhnya Ia memikirkan sebab - musabab  yang  saling  bergantungan,  tentang bagaimana sesuatu itu muncul (anuloma) sebagai berikut : “Dengan adanya ini, adalah itu ; dengan timbulnya ini, timbullah itu, yaitu : bergantung pada ketidaktahuan, timbullah bentuk - bentuk karma, bergantung pada bentuk - bentuk karma timbullah kesadaran… dan seterusnya… Demikianlah seluruh rangkaian timbulnya penderitaan”.

Kemudian, pada malam jaga kedua, Beliau merenungkan sebab -musabab yang saling bergantungan, tentang bagaimana segala sesuatu lenyap (patiloma), sebagai berikut : “Dengan tidak adanya ini, tidak adalah itu ; dengan lenyapnya ini, lenyaplah itu, yaitu dengan lenyapnya ketidaktahuan, maka lenyaplah bentuk - bentuk karma… dan seterusnya… Demikianlah seluruh rangkaian lenyapnya penderitaan”.

Pada malam jaga yang terakhir, Buddha merenungkan sebab-musabab yang saling bergantungan, tentang bagaimana segala sesuatu timbul dan lenyap, sebagai berikut : “Dengan adanya ini, adalah itu ; dengan timbulnya ini, timbullah itu ; dengan tidak adanya ini, tidak adalah itu ; dengan lenyapnya ini, lenyaplah itu ; yaitu : bergantung pada ketidaktahuan… , bergantung pada bentuk - bentuk karma… dan seterusnya. Demikianlah seluruh rangkaian lenyapnya penderitaan”.

Seseorang dapat saja mengajukan pertanyaan : Mengapa Buddha tidak mengemukakan ajaran sebab – musabab yang saling bergantungan dalam khotbah – Nya yang dibabarkan kepada lima petapa, teman-teman - Nya dahulu di Sarnath, Benares ? Jawabannya adalah : pokok utama yang dibicarakan dalam semua khotbah penting adalah Empat Kebenaran Mulia ; penderitaan, penyebabnya, lenyapnya dan jalan menuju lenyapnya penderitaan, Jalan Mulia Berunsur Delapan. Tak ada pernyataan di dalamnya mengenai sebab-musabab yang saling bergantungan. Tetapi orang yang memahami filosofi dan makna ajaran sebab-musabab yang saling bergantungan tentu saja paham bahwa dua belas mata rantai Paticca samuppada, sebab-musabab yang saling bergantungan, baik mengenai urutan kemunculan ataupun kelenyapan ( anuloma dan patiloma ), termasuk dalam Empat Kebenaran Mulia.

Paticca samuppada dalam urutan kemunculannya menjelaskan proses penjelmaan ( bhava ), dengan kata lain, munculnya penderitaan ( dukkha, kebenaran pertama ) ; dan bagaimana asal mula terbentuknya penderitaan ( dukkha samudaya, kebenaran kedua ). Dalam urutan kelenyapan, Paticca samuppada menjelaskan terhentinya penderitaan ( dukkha nirodha, kebenaran ketiga ), dan jalan menuju lenyapnya ( dukkha nirodha gamini patipada, kebenaran keempat ). Kata–kata Buddha mengenai hal ini terdapat dalam Anguttara Nikaya, demikian :

“Para Bhikkhu, apakah kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan itu ? Bergantung pada ketidaktahuan, timbullah bentuk - bentuk karma ; bergantung pada bentuk - bentuk karma, timbullah kesadaran; bergantung pada kesadaran, timbullah batin dan jasmani ( gabungan fisik dan mental ) ; bergantung pada batin dan jasmani, timbullah enam landasan indra ( lima indra tubuh dengan kesadaran sebagai indra yang keenam ); bergantung pada enam landasan indra, timbullah kontak; bergantung pada kontak, timbullah perasaan; bergantung pada perasaan, timbullah nafsu keinginan; bergantung pada nafsu keinginan, timbullah kemelekatan; bergantung pada kemelekatan, timbullah penjelmaan; bergantung pada penjelmaan, timbullah kelahiran; bergantung pada kelahiran, timbullah kelapukan dan kematian, penderitaan, kesedihan, keluh kesah, kesakitan dan keputusasaan. Demikianlah kemunculan seluruh bentuk penderitaan ini. Para Bhikkhu, inilah yang disebut kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan”.

“Dan para Bhikkhu, apakah kebenaran mulia tentang lenyapnya penderitaan itu ? Dengan lenyapnya ketidaktahuan, maka lenyaplah bentuk-bentuk karma ; dengan lenyapnya bentuk - bentuk karma, maka lenyaplah kesadaran … ( dan seterusnya ) … lenyapnya seluruh bentuk penderitaan ini. Para Bhikkhu, inilah yang disebut lenyapnya penderitaan”.

Sangatlah jelas dari keterangan di atas bahwa Paticca samuppada dengan kedua belas faktornya adalah ajaran Buddha dan bukan seperti yang cenderung dipikirkan oleh beberapa orang tertentu, karangan dari beberapa penulis belakangan. Tidaklah beralasan, bahkan berbahaya, untuk cepat–cepat mengambil kesimpulan tanpa memahami dengan sepenuhnya arti dari Paticca samuppada.

Sebab musabab yang saling bergantungan atau ajaran mengenai kondisi bersyarat, sering kali dijelaskan dalam beberapa bentuk praktis, tetapi ini bukan ajaran pragmatis (suatu paham/agama) semata–mata, walaupun terlihat demikian, karena penjelasan tertentu diberikan secara singkat. Mereka yang mengenal Tipitaka ( Kitab suci agama Buddha berbahasa Pali ) memahami bahwa dalam ajaran Paticca samuppada ditemukan apa yang menghasilkan prinsip–prinsip dasar dari pengetahuan ( nana ) dan kebijaksanaan ( panna ) dalam saddhamma, Hukum kebaikkan. Dalam ajaran mengenai kondisi bersyarat pada segala sesuatu di dunia ini, maksudnya lima agregat kehidupan, dapat disadari hakikat dari pandangan Buddha tentang kehidupan. Jadi, jika penjelasan Buddha mengenai dunia dipahami dengan benar, hal ini pastilah melalui pemahaman penuh atas inti ajaran yang disingkat dalam diktum : “Ye dhamma hetuppabhava …” seperti yang telah disebutkan di atas.

Ajaran Paticca samuppada bukan merupakan karya dari suatu kekuatan ilahi, bukan merupakan suatu ciptaan. Apakah Buddha muncul atau tidak kenyataannya adalah :

“Dengan adanya ini, adalah itu,
Dengan timbulnya ini, timbullah itu,
Dengan tidak adanya ini, tidak adalah itu,
Dengan lenyapnya ini, lenyaplah itu”

Keadaan ini berlangsung terus menerus, tak terusik dan tidak dikuasai oleh suatu kekuatan atau perantara luar dalam bentuk apa pun. Buddha menemukan kebenaran abadi ini, memecahkan teka–teki kehidupan, membuka misteri makhluk hidup dengan pemahaman, dalam seluruh kesempurnaannya, Paticca samuppada dengan kedua faktornya, dan menjelaskan dengan rinci, tanpa menyembunyikan apa hakikatnya, untuk mereka yang belum memiliki inteligensi yang cukup yang mengharapkan penerangan.

12 Faktor Sebab-musabab 
yang saling bergantungan

I. Ketidaktahuan ( Avijja )

Sekarang kita bahas kedua belas faktor Paticca samuppada, satu demi satu, sesuai dengan urutannya. Pokok pertama dari pembicaraan adalah avijja ( Sanskerta, avidya ), ketidaktahuan. Moha, kegelapan batin dan annana, tidak berpengetahuan atau kebodohan adalah persamaan kata untuk avijja.

Apa itu avijja ? Avijja adalah tidak memiliki pengetahuan mengenai Penerangan Sempurna. Dengan kata lain, tidak memahami Empat Kebenaran Mulia. Juga tidak memahami sebab musabab yang saling bergantungan. Karena tidak berpengetahuan, penganut duniawi yang tidak terbimbing memiliki pandangan yang keliru. Ia menganggap yang tidak kekal sebagai suatu yang kekal, yang menyakitkan sebagai kesenangan, yang bukan roh sebagai roh, yang bukan Tuhan sebagai Tuhan, yang tidak murni sebagai kemurnian, yang tidak nyata sebagai kenyataan. Lebih jauh lagi, avijja adalah tidak memahami lima agregat kehidupan ( Pancakkhandha ), atau batin dan jasmani.

Ketidaktahuan atau kegelapan batin adalah salah satu akar penyebab seluruh kotoran batin, seluruh perbuatan jahat ( akusala ). Semua pikiran jahat merupakan akibat dari kebodohan. Jika tidak ada kebodohan maka perbuatan jahat, baik melalui  pikiran, ucapan ataupun tindakan tidak akan dilakukan.

Itulah sebabnya ketidaktahuan disebutkan sebagai mata rantai pertama dari 12 mata rantai Paticca samuppada. Meskipun demikian, kebodohan tidak seharusnya dianggap sebagai prima causa, mula pertama, ataupun pokok asal dari makhluk. Tentu saja ia bukan penyebab utama; tak ada gambaran mengenai penyebab pertama dalam pemikiran Buddhis.

Ajaran paticca samuppada dapat digambarkan dengan suatu lingkaran mata rantai karena ia merupakan siklus kehidupan, bhava-cakka. Dalam sebuah lingkaran titik manapun dapat dianggap titik awal. Setiap faktor dari Paticca samuppada dapat digabungkan dengan yang lain dalam rangkaian yang sama, dan karena itulah, tak ada satu pun faktor yang dapat berdiri sendiri ataupun berfungsi tanpa bergantung kepada yang lain. Semuanya saling bergantungan dan tak terpisahkan. Tak ada yang berdiri sendiri, ataupun terpisah. Sebab-musabab yang saling bergantungan adalah suatu proses yang tak terputus. Dalam proses ini tak ada yang tetap atau pasti, melainkan seluruhnya berada dalam suatu putaran. Ini merupakan timbulnya keadaan yang selalu berubah bergantung pada kondisi serupa yang cepat berlalu. Di sini tak ada kematian ataupun kehidupan yang mutlak, hanyalah fenomena kosong yang berputar ( suddha dhamma pavattanti ).

Karena itulah, ketidaktahuan, faktor pertama dari mata rantai, bukan merupakan satu - satunya keadaan yang menimbulkan bentuk - bentuk karma yaitu, faktor kedua ( sankhara ). Contohnya sebuah kursi berkaki tiga, ditunjang oleh ketiga kakinya; berdiri tegak lurus karena kakinya saling bergantung satu sama lain. Jika yang satu lepas, kedua kaki yang lain jatuh tanpa dukungan. Jadi, faktor–faktor dari paticca samuppada juga saling mendukung satu sama lain dalam cara yang beraneka ragam.

II. Bentuk-bentuk Karma ( Sankhara )

Avijja paccaya sankhara, “dengan bergantung pada kebodohan, timbullah bentuk – bentuk karma yang menghasilkan kelahiran kembali”. Istilah sankhara juga memiliki arti yang lain. Dalam kalimat, “sabbe sankhara anicca” atau “anicca vata sankhara” ( segala sesuatu yang terjadi dari paduan unsur adalah tidak kekal ), istilah “sankhara” digunakan untuk segala sesuatu yang merupakan paduan unsur dan terkondisi, misal semua yang menjadi makhluk sebagai akibat dari sebab dan kondisi, dan apa yang mereka lakukan sebagai sebab dan kondisi berputar kembali untuk menghasilkan akibat yang lain. Dalam Paticca samuppada, bagaimanapun juga, arti dari sankhara hanyalah terbatas pada aktivitas baik dan jahat ( kusala – akusala kamma ), semua perbuatan, melalui jasmani, ucapan dan pikiran ( kaya sankhara, vaci sankhara dan citta sankhara ) yang menghasilkan reaksi. Sangatlah sulit mencari padanan kata sankhara dalam bahasa Inggris/Indonesia yang memuaskan. Karena itu, marilah kita memahaminya dalam konteks ini sebagai aktivitas kehendak yang menghasilkan kelahiran kembali, atau bentuk–bentuk karma atau singkatnya sebagai karma saja.

Ketidaktahuan, avijja yang telah berakar dalam diri manusia adalah kebutaan yang mencegah manusia melihat tindakannya seperti apa adanya, dan juga membiarkan keinginan mendorongnya pada tindakan selanjutnya. Dengan lenyapnya kebodohan, maka lenyap pula bentuk - bentuk karma ( sankhara ). Dengan lenyapnya perbuatan yang dilakukan dengan kegelapan batin, tak akan ada kelahiran kembali dan seluruh bentuk penderitaan akan lenyap. Untuk menunjukkan bagaimana ke 12 unsur Paticca samuppada bekerja dalam rangkaian kehidupan yang saling berhubungan, formula itu dirumuskan meliputi tiga kehidupan yang berurutan, masa lampau, sekarang dan masa yang akan datang.

Ketidaktahuan dan bentuk-bentuk karma termasuk dalam kelahiran yang lampau. Bentuk-bentuk karma yang baik dapat menghasilkan kelahiran kembali yang baik pula, seperti dilahirkan sebagai orang baik. Bentuk-bentuk karma yang jahat menghasilkan kelahiran kembali yang buruk atau dilahirkan sebagai seorang yang jahat. Dapat dikatakan bahwa semua sankhara, semua perbuatan baik dan jahat, dikondisikan oleh kegelapan batin. Di sini dapat dipertanyakan, bagaimana tindakan yang terkondisi oleh kegelapan batin dapat menghasilkan kelahiran kembali yang lebih baik.

Semua pencapaian kebaikan  ( kusala ), dari orang yang melakukan kebajikan duniawi ( kalyanaputhujjana ) dan “ orang yang sekurang – kurangnya memasuki arus kesucian ( culasotapanna ) sampai mereka yang telah mencapai kesempurnaan ( Arahat ), terjadi karena keseimbangan dari pengertian yang dalam mengatasi kebodohan dan melepaskan hawa nafsu.

Perbuatan baik merupakan hasil langsung dari pengertian yang jernih yang mungkin ada dalam diri pelakunya. Bukan karena kebodohan dan hawa nafsu seorang manusia berhenti membunuh, dan sebagainya, melainkan karena ia memiliki kebijaksanaan untuk melihat akibat buruk dari perbuatan seperti itu dan juga karena ia digerakkan oleh sifat - sifat tertentu seperti belas kasihan dan moral kebajikan. Tidaklah mungkin, kecuali bagi mereka yang sempurna, untuk bertindak dengan pengertian penuh tanpa keterikatan. Bagi manusia biasa pengetahuan seperti itu tak masuk akal.

Seperti yang dikatakan Eddington, “jika  mengetahui  berarti  menjadi yakin, istilah ini jarang digunakan oleh mereka yang tidak dogmatis”. Dan jika tidak terikat berarti selalu netral, ketidakterikatan semacam itu tidaklah mungkin bagi orang yang tidak sempurna, dan tak memiliki arti. Tetapi ketidakterikatan yang bersifat sementara waktu mungkin saja, dan kadar pengetahuan memadai untuk mengerti bahwa kebaikan dapat dimiliki oleh orang yang cakap dalam moral kebajikan, untuk melakukan tindakan yang bijaksana dan bersih dari pamrih dalam kehidupan yang sekarang.

Banyak yang telah dilakukan di dunia sekarang ini tanpa mengharapkan imbalan, ataupun penghargaan, terdorong karena belas kasihan ataupun demi kemajuan ilmu pengetahuan dan kedamaian. Perbuatan seperti itu pastilah berdasarkan pada pengetahuan dan ketidakterikatan, mungkin tidak bagi yang bersifat dogmatis, skolastik ataupun semata–mata pengertian metafisika ; tetapi dalam cahaya akal sehat, tanpa pemikiran dogmatis.

Perbuatan baik mungkin memiliki alasan tersembunyi, contohnya, keinginan untuk menghasilkan buah dari kebaikan; tetapi bahkan dalam contoh semacam itu, walaupun dinodai dengan keserakahan dan ditambah lagi dengan kebodohan, terdapat perbuatan–perbuatan yang baik semacam itu, seperti kemerdekaan, ketidakmelekatan untuk melepaskan dan pengetahuan melihat hal yang buruk dari tidak memberi sama sekali, dan manfaat memberi dana. Adanya hawa nafsu dan kebodohan dalam diri seseorang tidak berarti bahwa ia tidak akan pernah dapat bertindak dengan bijaksana dan tidak melekat.

Harus juga dipahami walaupun manusia mampu melakukan perbuatan baik yang bersih dari keinginan yang kuat untuk memperoleh imbalan dalam kehidupan ini, mungkin saja terdapat dalam dirinya, secara tidak disadari, keinginan untuk dilahirkan kembali di alam yang baik, ataupun keinginan untuk memperoleh imbalan di kehidupan selanjutnya. Lagi pula, walaupun mungkin ia melakukan tindakan dengan rasa belas kasihan dan tanpa maksud tersembunyi apa pun, ia mungkin tetap saja kurang menyadari kehidupan yang sebenarnya – ketidakkekalan, mendatangkan ketidakpuasaan dan tanpa inti atau sang ‘aku’. Ketidaktahuan mengenai hakikat kehidupan yang sebenarnya ini, walaupun tidak begitu besar dan kuat seperti kebodohan yang menyebabkan perbuatan jahat, dapat juga mengakibatkan karma baik yang menghasilkan kelahiran di alam yang lebih baik. Kelahiran di alam yang lebih baik bahkan di surga, bagaimanapun juga bersifat sementara, dan mungkin dengan segera dilanjutkan oleh kelahiran kembali di alam yang tidak menyenangkan.

Ketidaktahuan semacam itu mendorong dan mewarnai perbuatan baik. Contohnya, jika melakukan perbuatan baik didorong oleh keinginan mencapai kebahagiaan di alam surga, ataupun di dunia, maka itu merupakan ketidaktahuan mengenai sifat segala bentuk kehidupan yang tidak kekal yang tidak memuaskan, yang menghasilkan kelahiran yang lebih baik, yakni kondisi yang mendorong atau mendukung ( upanissaya paccaya ). Dengan cara ini dan yang lainnya ketidaktahuan dapat menghasilkan kelahiran kembali dengan mendorong atau mewarnai bentuk–bentuk karma ( sankhara ) yang baik, yang bersifat duniawi ( lokiya ). Demikianlah hakikat dari ketidaktahuan.

Ketidak-tahuan tentang hakikat kehidupan yang sebenarnya terutama sekali adalah ketidaktahuan mengenai Empat Kebenaran Mulia. Karena kebodohan inilah manusia dilahirkan terus menerus.

Sabda Sabda Buddha :
“ Para Bhikkhu, karena tidak mengerti, tidak menembus Empat Kebenaran Mulia, kita berjalan jauh, mengembara jauh di jalan yang amat panjang ini, kalian dan aku… tetapi ketika Empat Kebenaran Mulia ini di pahami dan ditembus, tercabutlah nafsu keinginan akan kehidupan, musnahlah apa yang menimbulkan kelahiran kembali, dan tak akan ada lagi kelahiran. “

Hanya perbuatan manusia yang telah melenyapkan seluruh kecenderungan yang tersembunyi ( anusaya ) dan seluruh cabang penyebab kesedihan yang beraneka ragam, yang tidak menghasilkan kelahiran kembali ; karena perbuatan seperti itu tidak membuahkan hasil. Dialah Arahat, orang yang telah mencapai kesucian sempurna, yang memiliki pandangan murni, memiliki kedalaman pandangan terang menembus hingga lubuk terdalam dari kehidupan, yang keinginannya telah lenyap melalui kesadaran akan kebenaran hakiki yang mendasari seluruh keadaan. Ia telah melampaui segala perwujudan. Ia tidak lagi melakukan kesalahan melalui kekebalan sempurna yang tumbuh dalam pandangan terang, Vipassana, dengan kekuatannya sendiri. Karena itulah, ia terbebas dari ketidaktahuan ( avijja ) dan perbuatannya tidak lagi menghasilkan kelahiran kembali.

III. Kesadaran ( Vinnana )

Sankhara paccaya vinnanam, “bergantung pada bentuk -bentuk karma yang menghasilkan kelahiran kembali ( milik kelahiran yang lampau ), timbullah kesadaran ( kesadaran yang menyambung kembali kehidupan ) “. Dengan kata lain, bergantung pada karma atau perbuatan baik dan jahat di masa lampau, terkondisi kesadaran dalam kehidupan yang sekarang. Karena itulah, kesadaran merupakan faktor pertama ( nidana ), yang pertama dari urutan kondisi kehidupan yang dimiliki kehidupan yang sekarang. Avijja dan sankhara, ketidaktahuan dan bentuk-bentuk karma, milik kehidupan yang lampau, bersama - sama membentuk vinnana, kesadaran dalam kelahiran sekarang. Kita membaca dalam Maha Nidana Sutta, Digha Nikaya,

“ Ketika kegelapan batin dan nafsu keinginan dimusnahkan, perbuatan baik dan jahat tidak lagi terjadi dalam diri makhluk hidup, sebagai akibatnya kesadaran untuk lahir kembali tidak lagi muncul dalam kandungan seorang ibu “.

Karena itu jelaslah bahwa seseorang dilahirkan kembali akibat perbuatan baik dan jahatnya sendiri, dan bukan pekerjaan dari makhluk gaib, sosok pencipta, ataupun terjadi karena kebetulan semata - mata.

Kesadaran  ini   atau  vinnana, yang pertama dari arus kesadaran ( citta santati ) milik dari satu kehidupan ( bhava ), juga dikenal sebagai Patisandhi vinnana, yaitu kesadaran yang menyambung, menyatu kembali, menggabung kembali kehidupan, yang berarti; kelahiran kembali, kedatangan kembali ke dalam kandungan.

Kelahiran adalah kemunculan, penjelmaan, dilahirkan, dimasa depan ( patisandhiti ayatim uppatti ). Ini disebut penyatuan karena  menghubungkan   kehidupan   baru  ke kehidupan   lama ( bhavantara patisandhanato patisandhiti vuccati ). Karena itu, dikatakan fungsi penyatuan adalah penggabungan bersama dari satu kehidupan dengan kehidupan yang lain ( bhavato bhavassa patisandhanam patisandhi kiccam ).

Patisandhi vinnana adalah kesadaran yang dihasilkan karma (vipaka vinnana) timbul pada saat kelahiran kembali, menghubungkan kehidupan baru dengan yang sebelumnya secara seketika, dan melaluinya dengan keseluruhan masa lampaunya “ makhluk hidup “ dilahirkan kembali. Kesadaran hasil karma ini berhubungan dengan kelahiran lampau yang menghasilkan bentuk - bentuk karma ( sankhara atau kamma ).

Dalam Anenjasappaya Sutta:16, vipaka vinnana dianggap sebagai samvattanikam vinnanam, kesadaran yang menyambung, diteruskan dalam satu kehidupan sebagai vipaka dari karma di kehidupan lampau.

Bila dikatakan, “ kesadaran yang menyambung “, tidak berarti bahwa kesadaran ini tetap tak berubah, berlanjut dalam keadaan yang sama tanpa kerusakan dalam lingkaran kehidupan. Kesadaran juga terkondisi, dan karena itulah ia tidak kekal. Kesadaran juga datang dalam diri manusia dan lenyap menghasilkan kesadaran yang baru. Demikianlah arus kesadaran yang terus menerus ini berlanjut sampai kehidupan lenyap. Kehidupan dalam satu hal ialah kesadaran. Dengan tidak adanya kesadaran  maka  tak  ada  pula  “makhluk hidup” di dunia ini.

Menurut doktrin Buddhis mengenai kelahiran kembali, faktor ketiga yang diperlukan dalam kelahiran kembali, Gandhabba, disebut “kesadaran Tumimbal lahir”. Ini merupakan istilah lain untuk patisandhi–vinnana, kesadaran yang menyambung kembali kehidupan. Terdapat apa yang disebut momen terakhir dari kesadaran ( cuti citta ) bagian dari kehidupan yang lampau. Bersamaan dengan lenyapnya kesadaran tersebut seketika itu juga timbullah momen pertama dari kesadaran di kelahiran sekarang, seperti yang telah disebutkan di atas, dinamakan sebagai kesadaran yang   menyambung kembali kehidupan ( patisandhi – vinnana ). Di antara dua momen kesadaran ini, bagaimanapun juga, tak ada jarak waktu, tak ada antarabhava ataupun antarabhava–satta yang berarti “salah satu, makhluk dalam kandungan atau makhluk di antara saat kematian dan kelahiran kembali” seperti pemikiran yang dipertahankan oleh beberapa kelompok Mahayana ( asti antar bhavah ).

Haruslah dipahami dengan jelas bahwa kesadaran yang menyambung kembali kehidupan ini bukan merupakan sebuah “diri” ataupun suatu “jiwa” atau suatu kesatuan ego yang mengalami buah ( vipaka ) dari perbuatan baik dan jahat.

Mahatanhasankhaya Sutta mencatat sebagai berikut :
Pada zaman Buddha ada seorang Bhikkhu yang bernama Sati yang memiliki pandangan ini : “Sejauh yang kupahami dari Dharma yang diajarkan oleh Buddha, kesadaran yang sama yang berpindah dan berkelana ( dalam kelahiran kembali )”.

Bhikkhu – Bhikkhu lain yang mendengar hal ini berusaha keras menyadarkan Sati dengan mengatakan bahwa, “Saudara Sati, jangan berkata demikian, jangan mengemukakan hal yang keliru tentang Bhagawa ; baik menyalah artikan Bhagawa sepertinya, atau Bhagawa yang menyatakan demikian. Karena, Saudara Sati, dalam banyak cara sebab musabab yang saling bergantungan dibabarkan oleh Bhagawa sehubungan dengan kesadaran, kataNya : terpisah dari kondisi tiada terdapat kesadaran”.

Tetapi Sati tetap tidak mau merubah pandangannya. Karena itulah para Bhikkhu melaporkan masalah itu kepada Buddha, yang kemudian memanggil Sati dan kepadanya Beliau berkata :

“Apakah benar, seperti yang dilaporkan, bahwa pandangan keliru seperti ini tumbuh dalam dirimu, Sati : “Sejauh yang kupahami dari Dharma yang diajarkan oleh Bhagawa, kesadaran sendirilah yang berpindah, berkelana, bukan yang lain ?”

“Sungguh demikian, Bhagawa, aku memahami dharma yang diajarkan oleh Bhagawa : “Kesadaran sendirilah yang berpindah, berkelana, bukan yang lain”.

“Apakah kesadaran itu, Sati ?”

“Itu adalah yang mengungkapkan, yang merasakan ( vado vedeyyo ) dan mengalami hasil dari perbuatan baik dan jahat pada masa kini dan masa depan”.

“Orang bodoh, dari mana engkau dengar Aku mengajarkan Dharma seperti itu ? Bukankah dengan banyak cara Aku menjelaskan kesadaran muncul dari kondisi, bahwa tanpa suatu kondisi tak akan muncul kesadaran? Tapi kini engkau, menyalah artikan Aku karena pengertianmu sendiri yang salah”.

Buddha kemudian menjelaskan jenis-jenis yang berbeda dari kesadaran dan menjelaskan dengan contoh bagaimana kesadaran timbul bergantung pada kondisi.

Memakai kata-kata Buddha, Paticca-Samuppada merupakan ajaran yang sangat sulit dan dalam, dan dalam ajaran yang sulit ini masalah yang paling halus dan dalam, sulit untuk dimengerti, adalah mata rantai yang ketiga ini, kesadaran, vinnana atau patisandhi vinnana ; karena mata rantai inilah yang menjelaskan kelahiran kembali.

IV. Batin dan Jasmani ( Nama-rupa )

Vinnana paccaya nama rupam, “bergantung pada kesadaran, timbullah batin dan jasmani”.  Istilah nama di sini berarti corak batin (cetasika), dengan kata lain, Tiga kelompok Batin, yaitu :

- Perasaan (vedana khandha) ,
- Pencerapan (sanna-khandha),
- Bentuk - bentuk pikiran atau  bentuk - bentuk  karma
  atau mental ( sankhara khandha ).

Yang disebut sebagai “makhluk” ( satta, Skt. Sattva ) tersusun dari lima agregat atau kelompok ( Panca Khandha ), yaitu : tubuh jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk - bentuk pikiran dan kesadaran ( rupa, vedana, sanna, sankhara dan vinnana ). Jika kesadaran dianggap sebagai batin, perasaan, pencerapan dan bentuk - bentuk pikiran adalah sekutu atau unsur-unsur batin. Ketika kita mengatakan bergantung pada kesadaran timbullah nama rupa, batin dan jasmani, jasmani berarti tubuh fisik, organ - organ tubuh, kemampuan dan fungsinya. Batin berarti unsur batin yang disebutkan di atas. Dengan kata lain, vinnana paccaya nama rupam berarti bergantung pada kesadaran timbullah tiga sekutu batin (perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran ) yang membentuk batin seiring dengan tubuh jasmani dalam tahap awal suatu janin.

Kesadaran dan unsur-unsurnya  (citta cetasika)  selalu saling berhubungan dan saling bergantung. Kesadaran tidak dapat timbul dan berfungsi sendiri terlepas dari unsur - unsurnya, unsur-unsurnya juga tidak dapat timbul dan berfungsi tanpa kesadaran. Mereka muncul secara bersamaan ( sahajata paccaya ) dan tidak bisa berdiri sendiri.

V. Enam landasan indra ( Salayatana )

Nama rupa paccaya salayatanam, “bergantung pada batin dan jasmani timbullah enam landasan indra”, lima indra jasmani, mata,  telinga,  hidung, lidah dan jasmani, dan indra pikiran (Manayatana). Manayatana adalah bentuk gabungan dari beberapa golongan kesadaran yang berbeda, seperti, lima jenis kesadaran indra dan berbagai jenis kesadaran batin, Dengan demikian kelima indra merupakan perwujudan jasmani, seperti mata, telinga, hidung, lidah dan jasmani dan yang keenam pikiran sama dengan kesadaran.

Fungsi dari vinnana, kesadaran, beraneka ragam. Faktor ketiga dari mata rantai kita kenal sebagai vinnana ; dalam hal ini pula, kita mendengar tentang indra keenam, manayatana, yang identik dengan kesadaran, tetapi di sini manayatana diartikan jenis kesadaran yang berbeda. Hendaknya dipikirkan bahwa kesadaran bukan merupakan suatu yang tetap dan abadi ; ia mengalami perubahan, tidak tetap sama untuk dua kejadian yang berkaitan ; ia menjelma dan segera lenyap menghasilkan suatu kesadaran yang baru. “Wujud batinnya adalah seperti yang ada, hanya aspek yang berbeda dari satuan - satuan kesadaran itu seperti petir setiap saat berkilat dan setelah itu dengan cepat lenyap untuk selamanya”.

Jika tidak ada nama rupa ( batin dan jasmani ), tidak ada salayatana ( enam landasan indra ) yang dapat muncul. Karena rupa, indra jasmani, mata, telinga dan seterusnya muncul, dan karena manayatanalah ( jenis lain dari kesadaran ) indra jasmani berfungsi. Demikianlah nama rupa dan salayatana tidak dapat tidak saling berhubungan dan saling bergantungan satu sama lain.

VI. Kontak ( Phassa )

Salayatana paccaya phasso, “bergantung pada enam landasan indra, timbullah kontak”. Menurut dalil di atas kita melihat enam landasan indra atau ayatana, mata, telinga dan seterusnya ; mereka adalah landasan indra dalam ( ajjatika ayatana ).

Di luar tubuh seseorang terdapat lima objek indra yang terkait, bentuk, suara, bau, rasa dan sentuhan, lebih jauh lagi objek batin. Ini dikenal sebagai Enam landasan indra luar ( bahira ayatana ). Indra luar ini adalah makanan bagi indra dalam manusia. Karena itulah mereka saling berhubungan. Walaupun ada hubungan fungsional antara enam indra ini dengan objeknya, pengetahuan menjelma bersama vinnana, atau kesadaran. Oleh sebab itulah dikatakan, “jika kesadaran timbul karena mata dan bentuk penglihatan, ini disebut sebagai kesadaran penglihatan”.

Ketika mata dan bentuk muncul keduanya, bergantung padanya timbul kesadaran penglihatan. Serupa dengan telinga dan suara, dan sebagainya, sampai pada pikiran dan objek batin ( ide ). Pada   saat   ketiganya,  mata,  bentuk  dan  kesadaran  mata atau kesadaran penglihatan muncul bersamaan, peristiwa ini disebut “Kontak” (atau kesan-kesan). Dari kontak, muncullah perasaan, dan seterusnya .

Dengan demikian jelaslah bahwa Kontak (phassa) dikondisikan oleh Enam landasan indra dalam ( ajjatika ayatana ) dan Enam landasan indra luar ( bahira ayatana ).

Singkatnya, bergantung pada Enam landasan indra timbullah kontak atau kesan -kesan, berarti :

Kontak penglihatan dikondisikan oleh mata ;
Kontak suara dikondisikan oleh telinga,
Kontak penciuman dikondisikan oleh hidung ;
Kontak pengecapan dikondisikan oleh lidah ;
Kontak sentuhan dikondisikan oleh tubuh ;
Kontak batin dikondisikan oleh pikiran.

VII. Perasaan ( Vedana )

Phassa paccaya vedana, “bergantung pada kontak timbullah perasaan”. Perasaan terdiri dari enam jenis :

Perasaan yang timbul karena kontak mata ;
Perasaan yang timbul karena kontak telinga ;
Perasaan yang timbul karena kontak hidung ;
Perasaan yang timbul karena kontak lidah ;
Perasaan yang timbul karena kontak jasmani ;
Perasaan yang timbul karena kontak pikiran.

Perasaan mungkin berupa kesenangan (sukha) , penderitaan (dukkha), ataupun netral, seperti tidak menyenangkan atau menyakitkan (adukkhama sukha = upekkha ).

Seperti yang telah didalilkan sebelumnya, objek - objek indra tidak pernah dapat diketahui melalui kepekaan khusus tanpa jenis kesadaran yang sesuai. Tetapi ketika ketiga faktor ini bergabung, timbullah kontak. Dengan timbulnya kontak, timbullah perasaan ( vedana ) secara bersamaan dan tidak pernah dapat dihentikan oleh kekuatan atau tenaga apa pun. Itulah sifat dari kontak dan perasaan. Dengan mengalami hasil karma yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan dari perbuatan baik dan jahat yang dilakukan di kelahiran yang sekarang ataupun kelahiran yang lampau, merupakan satu dari kondisi - kondisi sebelumnya yang terjadi yang dapat menimbulkan perasaan.

Dengan melihat suatu bentuk, mendengar suara, mencium aroma, mengecap rasa, menyentuh  suatu benda  nyata, menyadari objek pikiran ( ide ) manusia mengalami perasaan ; tetapi tidak dapat dikatakan bahwa semua makhluk mengalami perasaan yang sama dengan objek yang sama. Sebuah objek, contohnya yang mungkin dirasakan menyenangkan oleh seseorang bisa jadi dirasakan tidak menyenangkan oleh orang lain, dan netral oleh orang lain yang tak terpengaruh. Perasaan mungkin juga berbeda menurut keadaan. Sebuah objek perasaan yang pernah menimbulkan perasaan yang tak menyenangkan dalam diri kita mungkin dapat menghasilkan perasaan yang menyenangkan dalam diri kita pada keadaan yang berbeda, dengan latar belakang yang sama sekali berbeda-keadaan alam, iklim, dan sebagainya. Demikianlah kita telah mempelajari bagaimana perasaan terkondisikan oleh kontak.

VIII. Nafsu keinginan ( Tanha )

Vedana paccaya tanha, “bergantung pada perasaan timbullah nafsu keinginan”. Keinginan memiliki sumber, berasal muncul dari perasaan. Seluruh bentuk nafsu tercakup dalam tanha. Keserakahan, kehausan, rangsangan, hawa nafsu, kegairahan, hasrat, kerinduan, dorongan cinta, cinta keluarga, adalah beberapa istilah yang menunjukkan tanha, yang dikatakan oleh Buddha merupakan penuntun dari suatu penjelmaan  ( bhavanetti ).

Penjelmaan yang mewujud sebagai dukkha, sebagai penderitaan, kekecewaan, pencetus hal yang menyakitkan, adalah pengalaman kita sendiri. Musuh dari seluruh dunia adalah hawa nafsu atau keinginan (yang rendah) yang melaluinyalah kejahatan menjelma dalam diri manusia. Melalui pemahaman yang jernih mengenai nafsu keinginan, asal mula nafsu keinginan, lenyapnya nafsu keinginan, jalan menuju lenyapnya nafsu keinginan, seseorang menguraikan kekusutan ini.

Lalu apakah nafsu keinginan itu ? Nafsu keinginan inilah yang menyebabkan penjelmaan kembali, kelahiran kembali, yang disertai dengan kenikmatan hawa nafsu dan penemuan kesenangan baru pada masa sekarang dan selanjutnya, yaitu : keinginan akan kesenangan indra ( kama tanha ), keinginan akan kehidupan yang berlanjut, menjelma ( bhava tanha ) dan keinginan akan kematian, pemusnahan ( vibhava tanha ). “ Di manakah nafsu keinginan timbul dan berakar ? Di mana ada kegembiraan dan kenikmatan, di sanalah nafsu keinginan timbul dan berakar. Bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan jasmani dan ide merupakan kegembiraan dan kenikmatan, di sanalah nafsu keinginan timbul dan berakar”.

Pada saat dirintangi oleh suatu sebab nafsu keinginan berubah menjadi kemarahan dan kekecewaan. “Dari nafsu keinginan timbul kesedihan, dari nafsu keinginan timbul ketakutan. Bagi orang yang sama sekali bebas dari nafsu keinginan tak ada lagi kesedihan maupun ketakutan”.

Manusia selalu tertarik dengan kesenangan dan kegembiraan,dan dalam pencariannya memperoleh kenikmatan ia terus menerus mengejar keenam jenis objek indra dan terikat padanya. Ia sedikit pun tidak menyadari bahwa tak ada sejumlah bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan, ide yang akan pernah memuaskan mata, telinga, hidung, lidah, jasmani dan pikiran. Dalam kehausan yang kuat terhadap harta benda maupun kepuasan dari rangsangan keinginan, ia terbelenggu pada roda samsara yang berputar dan terkoyak di antara jari - jari roda penderitaan, dan mengunci rapat - rapat pintu kebebasan akhir. Buddha dengan tegas menentang kesibukan yang bodoh ini dan memperingatkan:

“Kenikmatan adalah ikatan, kesenangan yang singkat.
Sedikit yang dinikmati, membawa derita berkepanjangan.
Orang bijaksana tahu bahwa umpan itu bermata kail”.

Seluruh kenikmatan duniawi berlalu dengan cepat ; ini menipu kita seperti pil  beracun  yang dilapisi gula, merusak secara tersembunyi.Seperti yang telah disebutkan di atas, ketika keinginan terhadap objek-objek ini dihubungkan dengan hawa nafsu, disebut “ nafsu keinginan indra”. Jika ini dihubungkan dengan kepercayaan akan kehidupan personal yang abadi, disebut “keinginan akan kehidupan yang berlanjut”. Inilah yang dikenal sebagai sassata ditthi atau eternalisme, paham keabadian.

Jika keinginan dihubungkan dengan kepercayaan akan pemusnahan diri di saat kematian, maka disebut  “keinginan akan pemusnahan” ( vibhava tanha ), inilah yang dikenal sebagai uccheda ditthi atau paham kenihilan.

Nafsu keinginan tidak hanya dipengaruhi oleh kenikmatan dan perasaan - perasaan yang menyenangkan, melainkan juga dengan perasaan sedih dan kesusahan. Manusia yang mengalami penderitaan ingin sekali melenyapkannya, dan merindukan kebahagiaan dan kebebasan. Untuk menjelaskannya dengan cara lain, yang miskin dan yang membutuhkan, yang sakit dan yang tak mampu, singkatnya, semua orang yang menderita, menginginkan kebahagiaan, keamanan dan hiburan. Sebaliknya, yang kaya, yang sehat belum pernah melihat derita yang menyedihkan, dan yang telah mengalami kesenangan, juga memiliki keinginan. Mereka menginginkan dan rindu akan kesenangan yang berlebih-lebih lagi. Demikianlah keinginan tak terpuaskan. Seperti ternak yang mencari rumput segar begitu pula manusia mencari kesenangan-kesenangan yang cepat berlalu, secara terus menerus mencari bahan bakar untuk api kehidupan ini. Keserakahan mereka banyak sekali.

“Semuanya terbakar, semua berada dalam api.” Dan apakah “semua” yang berada dalam api, yang terbakar ? Lima indra jasmani dan lima objek indra terbakar. Batin dan pikiran terbakar. Lima agregat ketamakan ( panca upadanakkhandha ) terbakar. Dengan apa mereka terbakar ? Dengan api nafsu keinginan, dengan api kebencian, dengan api kebodohan “.

Api tetap membara selama ada bahan bakar. Lebih banyak bahan bakar ditambahkan, lebih besar ia menyala. Ini sama seperti api kehidupan.

Nafsu keinginan adalah api yang tidak terpuaskan dan tak pernah ada api yang terpuaskan. Seperti itu sifat yang buruk ini menyebar sampai ke alam kehidupan yang tertinggi ( bhavagga ) dalam hal lingkungan, dan sampai pada gottabhu citta, ambang kesucian, dalam hal arus pikiran. Di mana tak ada keinginan diri, tentu saja tak ada keinginan indra pula, dan di mana tak ada keinginan diri di sanalah seluruh penderitaan padam seperti sebuah api yang bahan bakarnya telah habis.

Hanya pada saat menanggung penderitaan, sebagai akibatnya, dan bukan sebelumnya, orang menyadari sifat jahat dari keinginan yang beracun dan menjalar ini yang membelit semua orang yang bukan Arahat atau orang yang sempurna kesuciannya, yang telah memotong akarnya, kegelapan batin. Lebih banyak kita ingin, lebih menderitalah kita ; kesedihan adalah harga yang harus kita bayar untuk memiliki nafsu keinginan. Kenapa, kenali keinginan ini sebagai musuh kita di sini, dalam samsara, yang menuntun kita pada kehidupan yang berlanjut dan berulang-ulang, dan dengan demikian membangun “rumah penjelmaan”.

Ketika mencapai Penerangan Sempurna Buddha mengucapkan kata-kata yang menggembirakan ini :

“ Melalui banyak kelahiran,
Sungguh menyedihkan kelahiran yang berulang – ulang,
Mencari namun tak menemukan si pembuat rumah,
Aku telah mengembara di alam samsara.

Oh, pembuat rumah engkau telah terlihat
Kau tak dapat membuat rumah lagi.
Semua tiang – tiangmu telah patah.
Balok utamamu telah hancur.
Batinku telah mencapai Nibbana tanpa bentuk,
Tercapailah akhir dari semua nafsu keinginan
( mencapai Arahat ) “.

IX. Kemelekatan ( Upadana )

Tanha paccaya upadanam, “bergantung pada nafsu keinginan timbullah kemelekatan”. Keadaan batinlah yang melekat atau mengikat objeknya seperti sepotong kerak daging yang melekat pada panci bergagang. Karena kemelekatan ini, yang digambarkan sebagai keinginan yang tinggi kadarnya, manusia menjadi budak nafsu, dan terjerat dalam jaring yang telah dibuatnya sendiri dari nafsu terhadap kesenangan seperti ulat bulu melingkar kusut sendiri di tempat dia hidup.

Upadana, kemelekatan atau ikatan, terdiri dari empat jenis :

(1) Kemelekatan pada kesenangan-kesenangan indra atau nafsu indera (kama upadana )

(2) Kemelekatan pada pandangan yang salah dan jahat ( ditthi-upadana )

(3) Kemelekatan pada kepercayaan dan upacara takhayul  (silabbata upadana)

(4) Kemelekatan pada  ego, atau adanya roh yang kekal ( attavada upadana ).

Kama di sini berarti nafsu keinginan dan objek keinginan ( kilesa kama dan vatthu kama ) dan ketika keinginan pada objek- objek indra itu menjadi tak terpuaskan, ini dikenal sebagai kama upadana atau kemelekatan. Manusia senang memikirkan nafsu keinginan, dan dalam bagian yang gagal ia abaikan, mereka tumbuh sampai tak terpuaskan pada kadar kemelekatan yang kuat.

Semua pandangan salah yang beraneka ragam ( ditthi ) yang dikenal pada zaman Buddha dapat digolongkan dalam paham kenihilan (uccheda ditthi) dan paham keabadian ( sassata ditthi ). Bagi beberapa orang, khususnya para cendikiawan, untuk menyingkirkan pandangan yang telah mereka hargai kadang- kadang lebih sulit daripada melepaskan objek-objek indra. Dari semua pandangan salah, kemelekatan akan adanya jiwa atau diri atau ego yang kekal ( attavada upadana ) adalah yang paling kuat, yang terpenting dan yang paling merusak.

Bukanlah tanpa alasan yang baik Buddha menolak gagasan akan diri atau jiwa yang kekal ( atta ). Dalam perkembangan bersama batin dan jasmani yang mengalami perubahan tanpa tetap sama pada dua saat yang berurutan ini, Buddha tidak melihat suatu jiwa yang kekal, yang tak dapat rusak. Dengan kata lain, Beliau tidak menempatkan jiwa yang kekal dalam “makhluk” yang selalu berubah ini. Karena itulah, Buddha secara tegas menyangkal suatu atta, baik dalam lima agregat ( bentuk-bentuk materi, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, kesadaran ) maupun yang lainnya. Kata Beliau :

“ Semua ini,
tidak memiliki atta atau apa pun
yang merupakan sifat atta
( sunnam idam attena va attaniyena va ) “.

Jika pikiran yang salah ini dilenyapkan, semua pandangan yang salah dan jahat dengan sendirinya lenyap.

Petunjuk Buddha kepada Mogharaja adalah :

 “Sadarlah selalu, Mogharaja, lihatlah dunia sebagai kekosongan yang telah melepaskan pikiran mengenai sebuah atma, diri ( yang mendasarinya ) sehingga ia dapat menaklukkan kematian “. ( Sn. 1119 )

Ajaran mengenai Anatta ( anatma ) adalah Buddhistis semata-mata, membedakannya dari agama dan filsafat yang lain. Ini adalah jantung dan inti dari ajaran Buddha. Ini merupakan pengakuan bahwa Atta ( atma ), diri, adalah suatu ilusi, suatu khayalan, yang membuat ajaran Buddha begitu luar biasa dan revolusioner.

Semua agama yang ada percaya adanya atta ( atma ), suatu jiwa atau diri dan mereka menyatakan atta itu sangat kuat melampaui segalanya, tidak dapat rusak dan kekal. Bagi mereka yang percaya pada jiwa ( atta ), jiwa merupakan satu kesatuan yang kekal yang telah berakar dalam diri semua makhluk hidup.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa atma ini menyebar sepanjang dan seluas tubuh seperti minyak dalam biji wijen; yang lainnya mengatakan bahwa ia mengelilingi tubuh dalam bentuk cahaya yang tak terlihat, cahaya yang dirasakan seseorang pada saat membersihkan semua kotoran. Sedang yang lain mengatakan bahwa ia berada dalam diri kita, seperti sebuah permata yang bersinar dalam sebuah peti mati. Yang lain lagi mengatakan ia adalah kesadaran, atau pencerapan, atau perasaan, atau bentuk-bentuk pikiran dan beberapa menyimpulkan bahwa atma ini terdiri dari batin dan jasmani nama dan rupa.

Agama Buddha menyangkal kesatuan yang kekal atau jiwa ataupun atman semacam itu. Secara konvensional biasanya kita mengatakan “manusia”, “aku”, dan sebagainya, tetapi dalam pengertian tertinggi tidak ada “manusia”, tak ada “aku” personal. Setiap diri kita merupakan manifestasi dari kekuatan karma, dan merupakan komposisi dari suatu yang kosong, perkembangan bersama dari batin dan jasmani yang selalu berubah. Batin dan jasmani ini yang terpisah satu sama lain kehilangan sesuatu dari kemampuannya dan tidak dapat berfungsi sendiri untuk jangka waktu yang tak terbatas. Tetapi seperti sebuah kapal dan pendayung yang bersama-sama menyeberangi sungai dan setiap orang yang pincang menunggangi pundak orang buta untuk mencapai tujuan mereka bersama, begitulah batin dan jasmani berfungsi paling baik pada saat berpasangan.

Batin dan unsur-unsurnya berubah tanpa henti ; dan dalam keadaan tanpa henti, walaupun lebih lambat jasmani berubah dari waktu ke waktu. Perubahan batin dan jasmani bersama berlanjut tak putus-putus seperti ombak di lautan, atau seperti yang dikatakan umat Buddha: nadi soto viya, bagai sungai yang mengalir. Demikianlah “ manusia” atau batin dan jasmani, samsara atau proses kejadian demi kejadian sama sekali bebas dari pikiran akan sebuah jivatma atau paramatma, jiwa jagat kecil atau jiwa jagat besar.

X. Penjelmaan ( Bhava )

Upadana paccaya bhavo, “bergantung pada kemelekatan, timbullah penjelmaan”. Penjelmaan terdiri dari dua jenis, dan harus dipahami sebagai dua proses : Proses Karma ( kamma bhava ) dan Proses Tumimbal lahir akibat karma ( upapatti bhava ). Kamma bhava adalah kumpulan perbuatan baik dan jahat, “sisi kehidupan dengan karma yang aktif”. Upapatti bhava adalah “sisi kehidupan yang netral secara moral dengan karma yang pasif”, dan berarti proses tumimbal lahir akibat karma di kehidupan yang selanjutnya. Kehidupan selanjutnya dapat di lingkungan atau alam  kehidupan  mana pun  ( kamma bhava ),  baik  yang berbentuk ( rupa bhava ), atau kehidupan tanpa bentuk ( arupa bhava ).

Dalam dalil pertama ( avijja paccaya sankhara ), sankhara dijelaskan sebagai perbuatan baik dan jahat ( kamma ); jika demikian, tidakkah ini merupakan pengulangan dengan mengatakan bahwa kamma bhava, yang disebutkan di sini, juga berarti perbuatan baik dan jahat ?

Paticcasamuppada yang harus kita pahami, tidak hanya berhubungan dengan kehidupan sekarang, melainkan dengan tiga kehidupan seluruhnya lampau, sekarang dan masa depan. Kamma atau perbuatan baik dan jahat yang disebutkan dalam dalil pertama, milik kehidupan lampau dan kepada perbuatan di masa lampau itulah kehidupan sekarang bergantung. Kamma yang dimaksud di sini dalam dalil ini, upadana paccaya bhavo, milik kehidupan sekarang dan pada gilirannya menyebabkan kehidupan di masa depan. Upadana paccaya bhavo berarti kemelekatan ( upadana ), adalah kondisi bagi proses karma, atau perbuatan dan proses tumimbal lahir akibat karma lalu.

XI. Kelahiran ( Jati )

Bhava paccaya jati, “bergantung pada penjelmaan timbullah kelahiran”. Di sini kelahiran tidak hanya berarti benar-benar peristiwa melahirkan, melainkan  kemunculan dari lima agregat ( bentuk-bentuk materi, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran ) dalam kandungan ibu. Proses ini dikondisikan oleh kamma bhava.

Kelahiran sekarang dihasilkan dari nafsu keinginan dan kemelekatan pada Kehendak berbuat ( tanha upadana ) dari kelahiran lampau, dan nafsu keinginan dan kemelekatan yang dilakukan dengan kesadaran di kelahiran sekarang akan menghasilkan kelahiran kembali di masa depan. Menurut ajaran Buddha kehendak berbuat inilah yang membagi makhluk hidup menjadi tinggi dan rendah.

“Makhluk hidup merupakan ahli waris dari perbuatannya ; pemilik yang bertanggung jawab atas perbuatannya, dan perbuatannya merupakan rahim darimana ia dilahirkan “ dan melalui perbuatan mereka sendirilah mereka harus berubah demi kebaikan, memperbaiki diri dan memenangkan kebebasan dari kotoran batin.

Kita menuai apa yang telah kita taburkan di masa lampau. Beberapa hasil yang kita tuai, kita kenali, bahkan telah kita tabur dalam kehidupan sekarang. Dalam cara yang sama, perbuatan kita ini membentuk masa depan, dan demikianlah kita mulai memahami kedudukan kita dalam dunia yang penuh misteri ini. Jika kita, melalui kegelapan batin, nafsu keinginan dan kemelekatan sepanjang perjalanan samsara, tidak membentuk diri kita seperti apa yang ada, bagaimana bisa terdapat perbedaan dan ketidaksamaan di antara manusia seperti yang kita lihat di dunia sekarang ini ?

Dapatkah kita membayangkan sebuah batin, yang tunggal, luas dan cukup membingungkan merencanakan bermacam-macam dunia seperti itu sebagaimana yang mengelilingi kita ?.

Demikianlah karma merupakan akibat wajar dari kelahiran kembali, dan di pihak lain kelahiran kembali merupakan akibat wajar dari karma. Di sini dapat dipertanyakan : jika karma adalah penyebab kelahiran kembali dan jika agama Buddha dengan tegas menyangkal adanya jiwa ataupun ego di luar jangkauan pikiran, bagaimanakah proses karma ini menghasilkan kelahiran kembali ?.

Ya, tak ada kekuatan yang pernah lenyap, dan tak ada alasan untuk berpikir bahwa kekuatan yang menjelma dalam diri setiap manusia sebagai batin dan jasmani pernah lenyap. Ia selalu mengalami perubahan. Ia sedang berubah sekarang, setiap saat dalam kehidupan kita. Tidak pula ia lenyap pada kematian. Perubahan batin yang sangat penting hanyalah mendapat tempat baru ( reset ) semata-mata. Ia mendapat tempat baru dalam kondisi yang harmonis dengan dirinya, kira-kira seperti suara radio yang ditangkap oleh sebuah pesawat penerima pada panjang gelombang yang khusus. Penempatan kembali arus vital kehidupan inilah, dalam kondisi yang segar, yang disebut kelahiran kembali. Setiap kelahiran kembali dimulai dengan satu set kemungkinan tersembunyi yang unik, kumpulan dari pengalaman di masa lampau. Itulah mengapa terdapat perbedaan sifat, mengapa setiap orang diberkahi dengan apa yang disebut oleh penganut theisme sebagai “ karunia” ( bakat ), dan kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas .

Tak ada yang berlalu ataupun berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan lain. Tidakkah mungkin untuk menyalakan satu lampu dari lampu lainnya dan dalam proses ini apakah setiap api melintas dari yang satu ke yang lain ? Tidaklah kau lihat penerusan dari api itu ? Jika bukan api yang sama bukan pula api yang sama sekali berbeda.

Karena itulah, proses karma ( kamma bhava ) merupakan kekuatan budi di mana akibat mengikuti perbuatan ; itulah kekuatan yang setelah kehidupan sekarang, mempengaruhi kehidupan di masa depan dalam urutan yang tak berakhir.

“Keinginan menimbulkan perbuatan ; perbuatan menimbulkan hasil ; hasil itu menunjukkan diri sebagai kebutuhan baru yang menyokong keinginan baru. Perbuatan tak terelakkan diikuti oleh hasil seperti tubuh dengan bayangannya. Ini hanya merupakan hukum alam yang universal dari energi yang diperluas sampai wilayah batin. Seperti energi yang tidak pernah hilang di dunia, begitu pulalah dalam diri pribadi tak ada yang dapat hilang dari kekuatan yang kenyal yang dikumpulkan oleh keinginan. Kekuatan ini selalu berubah menjadi kehidupan baru dan kita hidup dengan kekal melalui dorongan keinginan kita untuk hidup. Bagaimanapun perantara yang memungkinkan seluruh kehidupan adalah karma”.

XII. Pelapukan dan kematian  ( Jaramarana )  

Jati paccaya jaramaranam, “bergantung pada kelahiran timbullah pelapukan dan kematian”, dan bersamaan dengan itu secara alami timbullah kesedihan, keluh kesah, kesakitan, penderitaan dan keputusasaan. Kelahiran tak terelakkan diikuti oleh pelapukan dan kematian ; jika tak ada kelahiran tak akan ada pelapukan dan kematian.

Demikianlah seluruh bentuk penderitaan bergantung pada dua belas faktor ketergantungan. Pelapukan dan kematian diikuti oleh kelahiran, dan kelahiran sebaliknya diikuti oleh pelapukan dan kematian. Pasangan ini juga saling beriringan satu sama lain dalam suksesi ( pewarisan ) yang mencengangkan. Kehidupan duniawi tidak kekal, selalu berubah. Orang membangun harapan kosong dan merencanakan hari depan, tetapi suatu hari, mungkin tiba-tiba, dan tak diharapkan datanglah saat yang tak terelakkan ketika kematian mengakhiri masa kehidupan yang singkat ini, dan menjadikan harapan kita sia-sia.

Selama manusia terikat pada kehidupan melalui kegelapan batinnya, nafsu keinginan dan kemelekatan, baginya kematian bukan merupakan akhir. Ia akan melanjutkan karyanya dengan berputar mengikuti roda kehidupan, dan akan terjerat dan terkoyak di antara jari-jari roda penderitaan. Demikianlah, di dunia sekeliling kita, melihat perbedaan pria dan wanita, dan perbedaan keberuntungan mereka yang beraneka ragam, kita mengetahui bahwa hal ini tidak dapat terjadi karena kebetulan semata – mata.

Kekuatan luar atau perantara yang menghukum manusia untuk perbuatan jahatnya dan memberi pahala untuk perbuatan baiknya tidak memiliki tempat dalam pemikiran Buddhis. Umat Buddha tidak berupaya menyenangkan barang seseorang yang dihormati secara khusus atau berdoa pada suatu pribadi yang tak terlihat agar memberikan pembebasan bagi mereka. Bahkan Buddha yang Agung tidak dapat melepaskan mereka dari belenggu samsara. Dalam diri kita sendirilah terletak kekuatan untuk membentuk kehidupan kita. Umat Buddha adalah kammavidin, orang yang percaya pada keberhasilan perbuatan, baik dan jahat.

Menurut ajaran Buddha, sebab langsung dari perbedaan dan ketidaksamaan kelahiran di kehidupan ini adalah atitakamma atau perbuatan baik dan jahat dari setiap individu dalam kehidupan yang lampau. Dengan kata lain, setiap manusia menuai apa yang telah ditaburnya di masa lampau. Dengan cara yang sama, perbuatannya sekarang membentuk masa depannya.

Dalam semua perbuatan baik ataupun jahat, pikiran merupakan unsur yang terpenting. “Seluruh keadaan batin memiliki pikiran sebagai pemimpin ; pikiran yang menguasai, segala sesuatu dihasilkan oleh pikiran. Jika seseorang berkata atau bertindak dengan pikiran yang kotor maka penderitaan akan mengikutinya seperti roda pedati yang mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya”. Dalam pandangan yang sama, “sebagai akibat yang dihasilkan oleh pikiran, kata-kata yang diucapkan dan perbuatan yang dilakukan dengan pikiran suci, maka kebahagiaan akan selalu mengikutinya bagaikan bayang- bayang yang tak pernah meninggalkan dirinya”.

Manusia selalu mengalami perubahan, baik ataupun buruk. Perubahan ini tidak dapat dihindari dan seluruhnya bergantung pada perbuatan dan lingkungannya sendiri. Dunia tampaknya tak sempurna dan tak seimbang. Kita juga sering dihadapkan pada banyak kesulitan dan kekurangan. Manusia berbeda satu sama lain dengan berbagai cara dan aspek.

Di antara kita umat manusia, apalagi dunia binatang, kita melihat beberapa orang yang dilahirkan sebagai orang malang yang sengsara, terpuruk dalam penderitaan yang dalam dan sangat tidak bahagia, Yang lainnya terlahir dengan tingkat kehidupan yang serba ada dan bahagia menikmati kemewahan dan tidak mengenal kesengsaraan dunia.

Lagipula, beberapa orang terpilih dikaruniai otak yang tajam dan kemampuan batin yang hebat sementara banyak orang yang diliputi kebodohan.

Bagaimana dapat terjadi beberapa dari kita dikaruniai kesehatan, kecantikkan, teman – teman yang tulus, dan sanak saudara yang ramah, sedangkan yang lain orang lemah, yang tercela, miskin dan sebatang kara ?

Kenapa beberapa orang dilahirkan untuk menikmati hidup yang panjang sementara yang lainnya meninggal dalam usia muda ?

Mengapa beberapa orang terpilih mendapatkan segala hal yang dihargainya dalam jumlah besar, sementara yang lain sama sekali dilupakan ?

Ini adalah masalah rumit yang membutuhkan penyelesaian. Jika kita menyela sejenak dan meneliti dengan adil dan menyelidiki hal sebenarnya dengan cerdik, kita akan menemukan bahwa perbedaan besar ini bukanlah hasil karya kekuatan luar ataupun makhluk super. Kita akan menemukan bahwa kita sendirilah yang bertanggung jawab atas perbuatan kita, apakah itu baik maupun jahat dan bahwa kita sendirilah yang membuat karma kita.

Sabda Sang  Buddha :

“ Sesuai dengan benih yang ditaburkan,
demikianlah buah yang kau petik darinya.
Pelaku kebaikan ( akan mengumpulkan ) kebaikan,
Pelaku kejahatan ( menuai ) kejahatan.
Taburlah benih dan tanamlah dengan baik,
Maka kau akan menikmati buah darinya “.

Sukar untuk memahami adanya kekuatan luar ataupun suatu makhluk yang berkuasa penuh membagi – bagikan karunianya kepada orang – orang yang berbeda dalam ukuran berbeda pula, dan kadang – kadang mencurahkan karunianya tersendiri kepada orang yang sama. Lebih masuk akal jika dikatakan bahwa :

“Barang siapa membanting tulang bagai budak,
kelak akan menjadi pangeran,
Karena penghargaan terhadap kelembutan
Dan memenangkan pahala.
Raja yang berkuasa dapat mengelilingi dunia
Dengan pakaian compang – camping
Karena hal – hal yang telah dan belum dilakukan”.
( Light of Asia )

Umat Buddha tidak menyalahkan Buddha atau makhluk super atau dewa atau sosok yang pengasih khususnya atas penderitaan manusia atau memuja mereka karena kebahagiaan yang dialami manusia.

Pengetahuan mengenai karmalah dan kamma vipaka, hukum sebab akibat, atau akibat moral, yang mendorong seorang Buddhis sejati untuk menahan diri dari kejahatan dan berbuat baik. Ia yang mengerti sebab dan akibat memahami dengan baik bahwa perbuatannya sendirilah dan bukan hal lain yang membuat hidupnya sengsara ataupun sebaliknya. Ia memahami bahwa sebab langsung dari perbedaan dan ketidaksamaan kelahiran di kehidupan sekarang adalah perbuatan baik dan jahat dari setiap individu di kehidupan lampau dan kehidupan sekarang.

Manusia sekarang adalah hasil dari ribuan pengulangan pikiran dan perbuatan. Ia bukan sudah jadi ; ia menjelma, dan masih menjelma. Sifatnya telah ditentukan oleh pilihannya sendiri. Pikiran, perbuatan yang ia pilih, yang menjadi kebiasaan membentuknya.

Bagaimanapun, harus diingat, menurut agama Buddha tidak semuanya yang terjadi disebabkan oleh perbuatan di masa lampau. Pada jaman Buddha orang-orang sektarian seperti Nigantha Nataputta, Makkhali Gosala dan lain-lain, memiliki pandangan bahwa apapun yang dialami individu, baik kenikmatan atau penderitaan atau bukan keduanya, semuanya timbul dari perbuatan sebelumnya, atau karma di masa lampau.

Bagaimanapun, Buddha menolak teori mengenai takdir yang eksklusif ditentukan oleh masa lampau ( pubbekatahetu ) ini yang dipandangNya tak masuk akal. Banyak hal merupakan hasil dari perbuatan kita sendiri yang dilakukan dalam kehidupan sekarang, dan sebab-sebab eksternal. Karena itulah, tidaklah benar untuk mengatakan bahwa segala hal yang terjadi disebabkan semata-mata oleh karma atau perbuatan lampau.

Bukankah tidak masuk akal jika seorang murid yang gagal dalam ujian karena kelalaiannya, menghubungkan kegagalan ini dengan karmanya di masa lampau ? Apakah tidak menggelikan jika seseorang yang terburu-buru dengan cerobohnya, membentur sebuah batu atau benda yang sejenis, menganggap kecelakaan itu sebagai akibat perbuatan atau karmanya di masa lalu ? Seseorang dapat memberi contoh seperti itu lebih banyak untuk menunjukkan bahwa segalanya tidak terjadi karena perbuatannya yang dilakukan di masa lampau. 

Tetapi pada saat sebab dan kondisi dari sesuatu hal dilenyapkan, dengan sendirinya akibatnya juga lenyap. Kesedihan akan lenyap jika akar penyebab kesedihan yang beraneka ragam itu dilenyapkan. Seorang manusia, contohnya, yang membakar habis sebutir biji mangga, mengakhiri kekuatan tumbuh dari tanaman itu dan biji itu tidak akan pernah menghasilkan pohon mangga. Hal ini serupa dengan segala sesuatu yang terdiri dari paduan unsur ( sankhara ), yang hidup ataupun tak hidup. Dengan karma sebagai penghasil, kita memiliki kekuatan untuk memutuskan rantai yang tak berakhir, roda kehidupan ini ( bhava cakka ). Mengenai mereka yang telah mencapai penerangan, yang telah menakhlukkan dirinya dengan menumbangkan kotoran batin, Buddha berkata dalam Ratana Sutta.

“Karma lampau mereka telah habis, karma baru mereka tidak lagi muncul,  pikiran  mereka ke arah  penjelmaan  di kemudian hari telah di lenyapkan. Bibitnya ( yang melahirkan kesadaran ) telah musnah, mereka tidak memiliki keinginan untuk hidup kembali.  Mereka yang  bijaksana  ( yang mantap )  telah lenyap( kehidupannya ) seperti api dari lampu ini “. (Dikatakan bahwa ketika Buddha mengucapkan kata-kata ini Beliau melihat api dari sebuah lampu yang padam).

Paticca Samuppada, dengan dua belas mata rantainya yang dimulai dengan ketidaktahuan diakhiri dengan pelapukan dan kematian, menunjukkan bagaimana manusia terbelenggu dan berkelana dalam samsara, kelahiran demi kelahiran. Tetapi dengan melenyapkan kedua belas faktor ini manusia dapat membebaskan diri dari penderitaan dan kelahiran kembali. Buddha telah mengajarkan kita jalan untuk mengakhiri pengembaraan yang berulang-ulang. Dengan berusaha keras menghentikan roda kehidupan kita mungkin menemukan jalan keluar dari kerumitan ini. Sabda Buddha mengenai lenyapnya penderitaan sebagai berikut :

“ Dengan berhentinya seluruh ketidaktahuan, maka bentuk-bentuk karma berhenti ;
Dengan berhentinya bentuk – bentuk karma, maka kesadaran berhenti ;
Dengan berhentinya kesadaran, maka batin dan jasmani berhenti ;
Dengan berhentinya batin dan jasmani,maka enam landasan indra berhenti ;
Dengan berhentinya enam landasan indra, maka kontak berhenti ;
Dengan berhentinya kontak, maka perasaan berhenti ;
Dengan berhentinya perasaan, maka nafsu keinginan berhenti ;
Dengan berhentinya nafsu keinginan, maka kemelekatan berhenti ;
Dengan berhentinya kemelekatan, maka penjelmaan berhenti ;
Dengan berhentinya penjelmaan, maka kelahiran berhenti ;
Dengan berhentinya kelahiran, maka pelapukan dan kematian, kesedihan, keluh kesah, kesakitan, penderitaan dan keputusasaan berhenti.
Demikianlah berhentinya seluruh bentuk penderitaan “.

Walaupun dalam agama Buddha waktu dianggap sebagai konsep (pannatti) semata-mata, dalam bahasa kebenaran yang mutlak ( sammuti sacca ) kita membicarakan tiga periode waktu, dan rumusan Paticca samuppada dapat digunakan sebagai petunjuk dari tiga periode waktu, yaitu masa lampau, masa sekarang, dan masa depan. Dua faktor ketidaktahuan dan bentuk -bentuk pikiran ( avijja dan sankhara ) masuk dalam masa lampau ; delapan faktor selanjutnya, yang dimulai dengan kesadaran ( vinnana ) masuk dalam masa sekarang ; dan dua faktor terakhir, kelahiran, pelapukan dan kematian, dalam masa depan.

Dalam roda kehidupan ini ada tiga mata rantai ( sandhi ) yang saling berhubungan. Antara bentuk-bentuk karma ( sankhara ), faktor terakhir dari masa lampau, dan kesadaran ( vinnana ), faktor pertama dari masa sekarang, terdapat satu mata rantai yang terdiri dari sebab lampau dan buah yang sekarang ( hetu phala ). Kesadaran, batin dan jasmani, enam landasan indra, kontak dan perasaan adalah akibat di masa sekarang yang disebabkan oleh ketidaktahuan dan bentuk-bentuk karma di masa lampau.

Karena kelima faktor ini muncullah tiga faktor yang lain dalam diri manusia, yaitu nafsu keinginan, kemelekatan, dan penjelmaan yang akan menyebabkan kelahiran di masa depan. Karena itulah, antara perasaan dan nafsu keinginan ada mata rantai lain yang terdiri dari buah di masa sekarang dan sebab di masa sekarang ( phala hetu ). Karena nafsu keinginan, kemelekatan dan penjelmaan di masa sekarang, muncullah manusia dengan kelahiran, pelapukan dan kematian di masa depan.

Karena itulah antara penjelmaan dan kelahiran ada mata rantai yang lain. Ketiga mata rantai ini terdiri dari empat bagian :

(1) Ketidaktahuan, bentuk – bentuk karma ;
(2) Kesadaran, batin dan jasmani, enam landasan indra, kontak, perasaan ;
(3) Nafsu keinginan, kemelekatan, penjelmaan ;
(4) Kelahiran, pelapukan dan kematian.

“ Ada lima penyebab di masa lampau,
dan sekarang ada lima jenis buah,
Sekarang ada lima penyebab juga,
Dan di masa depan menghasilkan lima jenis buah “.

Dalam kitab disebutkan ketidaktahuan dan bentuk-bentuk karma sebagai penyebab di masa lampau. Tetapi orang yang bodoh, rindu, kerinduan yang sangat, melekat, dan dengan kemelekatannya sebagai kondisi maka muncullah penjelmaan, sehingga keinginan, kemelekatan, dan penjelmaan juga termasuk di dalamnya. Karena itu dikatakan :

“Dalam proses penjelmaan buah karma yang lalu terdapat kebodohan, yaitu kegelapan batin ; ada penimbunan, yaitu bentuk - bentuk karma ; ada ikatan, yaitu keinginan ; ada rangkulan, yaitu kemelekatan ; ada kehendak, yaitu penjelmaan ; demikianlah kelima hal ini dalam proses penjelmaan buah karma yang lalu menjadi kondisi bagi mata rantai kelahiran kembali sekarang ini ( dalam penjelmaan di masa sekarang )”.

Kelima jenis buah di kehidupan sekarang seperti yang dikemukakan dalam kitab, ditimbulkan oleh lima faktor, yaitu : kesadaran, batin dan jasmani, enam landasan indra, kontak dan perasaan.

Ada lima penyebab yang kini kita hasilkan, yang dikemukakan dalam kitab hanyalah keinginan, kemelekatan dan penjelmaan ; Tetapi pada saat penjelmaan termasuk, bentuk-bentuk karma yang mendahuluinya ataupun yang berhubungan dengannya juga termasuk. Dan dengan memasukkan keinginan dan kemelekatan, ketidaktahuan yang berhubungan dengannya, kegelapan batin di mana seorang manusia melakukan karma, juga termasuk. Dengan demikian ada lima semuanya.

Lima jenis buah yang kita tuai di masa depan. Ini diperankan oleh kesadaran, batin dan jasmani, enam landasan indra, kontak, perasaan. Kitab suci juga menyertakan kelahiran dan pelapukan dan kematian sebagai lima jenis buah di masa depan. Kelahiran sebenarnya ditimbulkan oleh kelima faktor yang dimulai dengan kesadaran dan diakhiri dengan perasaan. Pelapukan dan kematian adalah pelapukan dan kematian dari kelima faktor ini.

Dengan penelitian yang mendalam, menjadi jelaslah bahwa dalam sebab musabab yang saling bergantungan, pattica samuppada ini, dalam proses kelahiran yang berulang-ulang, dalam lingkaran kehidupan ini, tak ada sesuatu pun yang permanen, tak ada kesatuan jiwa yang kekal dan berpindah dari satu kelahiran ke kelahiran selanjutnya. Seluruh Dhamma saling bergantungan mengikuti sebab akibat, mereka terkondisi ( sabbe dhamma patticasamuppanna ), dan proses kejadian ini sama sekali bebas dari pikiran mengenai jiwa atau diri yang kekal.

Sang Buddha menyatakan dalam sabdanya :

“Mempercayai sang pelaku perbuatan akan sama dengan orang yang mengalami akibatnya ( di kehidupan selanjutnya ), ini adalah salah satu pandangan ekstrim. Mempercayai sang pelaku perbuatan, dan orang yang mengalami akibatnya, sebagai dua orang yang berbeda, ini adalah pandangan ekstrim yang lain. Kedua pandangan ekstrim ini yang dihindari oleh tathagata, Yang Maha Sempurna, yang mengajarkan kebenaran yang terletak di antara keduanya, yakni : “bergantung pada ketidaktahuan, timbullah bentuk – bentuk karma dan seterusnya ( lihat rumusan di atas ). Demikianlah kemunculan seluruh penderitaan”.

Karena itu pepatah kuno mengatakan :

“ Tak ada pelaku dari suatu perbuatan,
ataupun orang yang menuai hasil perbuatan ;
Fenomena sendiri yang mengalir
Tak ada pandangan lain yang sebenar ini.

Bukan Sang Brahma di sana di sini,
Pencipta lingkaran kelahiran ;
Fenomena sendiri yang mengalir
Menyebabkan dan membentuk kondisi mereka”.

Mengakhiri tulisan mengenai sebab musabab yang saling bergantungan ini, kebingungan yang mungkin timbul dalam pikiran pembaca harus dicegah. Karena menurut sebab musabab yang saling bergantungan, segala sesuatu ditentukan oleh kondisinya, orang mungkin cenderung berpikir bahwa Buddha menganjurkan fatalisme atau determinisme, dan dengan demikian kemerdekaan dan kebebasan manusia akan dikesampingkan.

Tetapi apa itu fatalisme ? Menurut Dictionary of Philosophy, “Fatalisme adalah determinisme, khususnya dalam bentuk keagamaan yang menegaskan bahwa seluruh perbuatan manusia telah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan”. Determinisme, menurut Oxford English Dictionary, adalah ajaran filosofi yang menyatakan “perbuatan manusia tidaklah bebas melainkan perlu ditentukan oleh motif, yang dianggap sebagai kekuatan luar yang mendorong tindakan memenuhi keinginan”. Ajaran karma menyangkal hal itu.

Pemahaman yang jelas mengenai agama Buddha menunjukkan Buddha tidak menganut teori bahwa segala sesuatu sudah pasti tak dapat diubah,bahwa semua hal terjadi karena kebutuhan yang tak terelakkan itu adalah determinisme yang kaku ( niyati vada ). Beliau   tidak   pula   membenarkan  teori  sebaliknya  mengenai Indeterminisme mutlak (adhicca samuppanna) Dimana-mana kita melihat peranan hukum dan kondisi bersyarat tertentu, dan satu di antaranya adalah cetana atau kehendak, yaitu karma. Tak ada pemberi hukuman, tak ada kekuatan luar yang mencampuri kejadian dalam batin dan jasmani. Melalui sebab dan kondisilah sesuatu terjadi.

Demikianlah permainan sebab dan akibat yang berakhir ini tetap bergerak dengan kekal karena karma, terselubung oleh kebodohan, dan digerakkan oleh keinginan. Tak bisa lain hal ini mempengaruhi kebebasan keinginan dan tanggung jawab manusia pada perbuatannya ( karmanya ).

Akhirnya sebuah kata tentang “Keinginan bebas” : keinginan bukanlah sesuatu yang statis. Ia bukanlah kesatuan yang nyata, atau suatu keberadaan diri yang berdiri  sendiri. Keinginan sungguh bersifat sewaktu seperti keadaan batin yang lain ; karena itulah, tak ada “keinginan” sebagai “sesuatu” baik yang bebas maupun tidak bebas. Yang benar adalah “keinginan” diliputi kondisi bersyarat dan merupakan suatu fenomena yang berlalu.

Bagi umat Buddha yang sejati masalah utama kehidupan bukanlah spekulasi semata – mata, atau perjalanan yang sia-sia menuju dunia impian dengan khayalan yang tinggi, melainkan pencapaian kebahagiaan yang sebenarnya dan terbatas dari seluruh penderitaan. Paticca samuppada, yang membicarakan penderitaan ( dukkha ), dan lenyaplah penderitaan, merupakan konsep sentral dari agama Buddha.

Demikianlah seluruh rangkaian tulisan mengenai "Khotbah Pencerahan" ini, Semoga bermanfaat bagi kita semua.


Sadhu...Sadhu...Sadhu.


Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Semoga Semua Makhluk Berbahagia



SUMBER BACAAN :
1. Dhamma-Sari – MP.Sumedha Widyadharma
2. Jalan Mulia berunsur delapan – Bhagavant.com
3. Sebab-musabab yang saling bergantungan – Yayasan pendidikan Buddhis Tri Ratna
4. Dasar pandangan agama Buddha – Venerable S.Dhammika.
5. Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya – Ven.  Narada Mahathera.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar