Bagian ini akan menjelaskan mengenai prinsip-prinsip keadilan sosial menurut Agama Buddha.
Di dalam membicarakan mengenai keadilan sosial maka prinsip yang terkait erat adalah mengenai penyelenggaraan pemerintahan. Yang mana pemerintah bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi rakyatnya.
Di dalam berbagai Sutta dan Sutra Sang Buddha banyak membahas mengenai hal ini.
Di dalam Kutadanta Sutta yang merupakan Sutta ke 5 dari Digha Nikaya dikatakan demikian:
"Brahmana yang baik, dengar dan perhatikanlah apa yang akan Saya katakan."
"Baik," jawab Brahmana Kutadanta.
"Dahulu kala ada seorang raja bernama Mahavijito yang memiliki harta dan kekayaan yang besar sekali; memiliki gudang-gudang emas dan perak serta hal-hal yang menyenangkan, barang-barang serta panen yang baik; lumbung dan penyimpanan harta yang penuh.
Pada suatu hari ia sedang duduk sendiri, merenung dan berpikir:
"Saya memiliki segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Seluruh dunia menjadi milikku karena saya taklukkan. Suatu hal yang baik jika saya melakukan upacara korban yang besar guna memantapkan kesejahteraan dan kejayaanku saya untuk kemudian hari."
Raja memanggil brahmana penasehat spiritualnya dan mengatakan apa yang telah dipikirkannya dengan berkata: "Saya akan senang sekali melakukan upacara pengorbanan yang besar demi kejayaan dan kesejahteraanku untuk masa yang lama. Katakan padaku bagaimana caranya?"
Penasehat raja menjawab: "Kerajaan sedang dalam kekacauan. Ada perampok yang merajalela di desa-desa dan kota-kota dan mengakibatkan jalan-jalan tidak aman. Bilamana hal itu masih seperti itu, lalu raja akan menarik pajak, maka raja akan bertindak salah. Namun bilamana raja berpendapat, akan segera menghentikan perampok-perampok itu dengan cara penangkapan, mendenda, mengikat dan menghukum mati!' Tetapi kejahatan itu tidak akan lenyap dengan seperti itu. Karena penjahat yang tak tertangkap akan tetap melakukan kejahatan. Ada sebuah cara yang dapat dilakukan untuk menghentikan kekacauan ini. Siapa saja dalam kerajaan yang hidup sebagai peternak dan petani, Raja berikan makanan dan bibit kepada mereka.
Siapa saja dalam kerajaan yang hidup sebagai pedagang, raja berikan modal kepada mereka.
Siapa saja dalam kerajaan yang hidupnya sebagai pegawai negara, Raja berikan gaji dan makanan kepada mereka.
Orang-orang itu melaksanakan pekerjaan mereka masing-masing, maka pendapatan negara akan meningkat, kerajaan akan aman dan damai, rakyat akan senang dan bahagia, mereka akan menari dengan anak-anak mereka dan mereka hidup dengan rumah yang aman.
Raja Mahavijita menerima dan melaksanakan seperti apa yang disampaikan oleh penasehat kepadanya.
Demikianlah, rakyat hidup melaksanakan tugas mereka masing-masing, akibatnya kejahatan lenyap.
Perbendaharaan raja bertambah. Kerajaan menjadi aman dan damai. Rakyat menjadi senang dan bahagia, mereka menari dengan anak-anak mereka dan mereka hidup dengan rumah yang aman."
Membaca kutipan di atas kita akan langsung mengetahui bahwa pemimpin yang baik adalah yang memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Pemerintahan yang baik seyogyanya mewujudkan kemakmuran bagi rakyatnya dengan menyediakan kebutuhan mereka, seperti misalnya dalam bidang sosial ekonomi.
Sesuatu dengan sabda Sang Buddha di atas maka dengan meningkatkan kemakmuran hal tersebut dapat mengurangi kriminalitas.
Nasehat Sang Buddha tersebut sungguh tepat dan jitu, hanya saja dibutuhkan seorang pemimpin yang berkualitas dan berhati nurani untuk melaksanakannya.
Di dalam Cakkavati Sihanada Sutta atau Sutta ke 26 dari Digha Nikaya kita dapat menemukan contoh lain mengenai pemimpin yang baik:
"Para bhikkhu, pada zaman dahulu ada seorang maharaja dunia (cakkavatti) yang bernama Dalhanemi yang jujur, memerintah berdasarkan kebenaran, raja dari empat penjuru dunia, penakluk, pelindung rakyatnya, pemilik tujuh macam permata. "
Di sini ditekankan fungsi pemimpin sebagai pelindung rakyatnya. Yang dimaksud pelindung adalah pelindung bagi segenap rakyatnya dan bukan hanya pelindung bagi golongan tertentu saja.
Pada bagian berikutnya dari Sutta tersebut Sang Buddha menegaskan kembali sebagai berikut:
"Para bhikkhu, demikianlah karena dana-dana tidak diberikan kepada orang yang miskin maka kemelaratan meluas. Karena kemelaratan bertambah maka pencuri bertambah. Karena pencuri bertambah maka kekerasan berkembang dengan cepat. Disebabkan adanya kekerasan yang meluas maka pembunuhan menjadi biasa."
Demikianlah dari sabda Sang Buddha di atas kita jadi memahami bahwa untuk menekan angka kriminalitas adalah dengan mewujudkan keadilan sosial di dalam masyarakat. Salah satunya adalah dengan memberikan bantuan bagi kaum miskin. Namun bantuan atau dana tersebut tidak harus berupa uang.
Ada pepatah mengatakan bahwa lebih baik kita memberikan pancing daripada memberikan ikannya. Ikan dapat habis setelah dimakan, tetapi dengan pancing kita dapat mencari ikan sendiri, yang mana hal tersebut dapat menghidupi sepanjang hidup kita.
Kunci dari masalah ini adalah pemberdayaan masyarakat miskin, industri kecillah yang seharusnya disokong dan dibantu dan bukannya perusahaan konglomerat. Jika pemerintah terlalu berpihak pada kaum kaya maka keadilan sosial tidak akan terwujud.
Pada Suvarnabhasottama Sutra bab 12
(Petunjuk mengenai raja yang baik)
Sang Buddha memberikan perbandingan antara pemimpin yang bajik dan tidak bajik:
"Seorang raja adalah orang tua bagi mereka yang melakukan tindakan bajik."
"Jika seorang raja membiarkan kejahatan di negerinya, serta tidak menghukum mereka yang melakukan kejahatan, maka kejahatan akan bertambah banyak, serta pertengkaran dan keributan akan terjadi di mana-mana, juga bencana-bencana alam, seperti panen yang gagal, hujan yang tidak dikehendaki, serta kelaparan. Raja itu juga akan terpisah dari yang dicintai dan kehilangan kekuasaannya."
"Sebaliknya ada raja yang menegakkan Dharma di negerinya. Ia melakukan keadilan dan menindak tegas mereka yang melakukan kejahatan, bahkan demi keadilan, ia rela mengorbankan hidupnya sendiri.
Maka para raja-raja dewata akan melindungi. Hujan akan tepat waktu dan raja itu sendiri akan menjadi termashyur." "Sang raja harus melindungi rakyatnya sesuai dengan Dharma."
"Sang raja harus mengajarkan Dharma serta membimbing para makhluk melaksanakan kebajikan."
Demikianlah pada Sutra di atas telah dibabarkan mengenai dasar-dasar kepemimpinan. Seorang pemimpin yang membiarkan kejahatan dan bahkan terlibat dalam kejahatan tersebut akan kehilangan kekuasaannya, namun sebaliknya pemimpin yang mengajarkan dan melaksanakan kebenaran maka negerinya akan aman dan makmur, dan bahkan namanya sendiri akan harum.
Lebih jauh lagi di dalam kitab Jataka dapat dibaca cara untuk mendapatkan pemerintahan yang jujur dan bersih diterangkan dalam ajaran-Nya tentang "Sepuluh kewajiban seorang raja" (dasa-raja-dhamma). Tentu saja istilah raja sekarang dapat diganti dengan istilah pimpinan secara umum.
Sepuluh kewajiban dari seorang raja adalah sebagai berikut :
1. Dana (suka menolong orang, tidak kikir dan ramah tamah)
Seorang raja tidak boleh terlalu terikat kepada harta kekayaannya, tetapi pada waktu diperlukan ia harus berani/bersedia mengorbankannya demi kepentingan rakyat.
2.Sila (moralitas yang tinggi)
Ia seharusnya jangan membinasakan makhluk hidup, menipu, mencuri, korupsi, melakukan perbuatan asusila, berbicara tidak benar dan minum-minuman keras.
3.Pariccaga (mengorbankan segala sesuatu demi kepentingan rakyat)
Ia harus bersedia mengorbankan semua kesenangan pribadi, nama dan keagungan, sampaipun nyawa demi kepentingan rakyat.
4.Ajjava (jujur dan bersih)
Ia harus jujur, bebas dari rasa takut dan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi sewaktu menjalankan tugas, bersih tujuannya dan jangan sekali-kali menipu rakyat.
5.Maddava (ramah tamah dan sopan santun)
Ia harus mempunyai watak yang simpatik dan selalu ramah tamah terhadap siapapun.
6.Tapa (sederhana dalam penghidupan)
Ia harus membiasakan diri untuk hidup sederhana dan menjauhkan diri dari penghidupan yang berlebih-lebihan.
7.Akkodha (bebas dari kebencian,
keinginan jahat dan sikap bermusuhan).
Ia seharusnya tidak mempunyai rasa dendam terhadap siapapun juga.
8.Avihimsa (tanpa kekerasan).
Ini bukan saja berarti bahwa ia tidak boleh menyakiti orang lain, tetapi ia harus pula memelihara perdamaian dengan mengelakkan peperangan dan semua hal yang mengandung unsur kekerasan dan penghancuran hidup.
9.Khanti (sabar, rendah hati, dapat memaafkan kesalahan orang lain)
Ia harus dapat menghadapi halangan, kesulitan-kesulitan dan ejekan- ejekan dengan hati yang sabar, penuh pengertian dan memaafkan perbuatan orang lain yang menyakiti hatinya.
10.Avirodha (tidak menentang, tidak menghalang-halangi)
Ini berarti ia tidak boleh menentang kemauan rakyat, tidak boleh menghalang-halangi usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Dengan perkataan lain. Ia harus hidup bersatu dengan rakyat sesuai dengan tuntutan hati nurani rakyat.
Berikutnya kita dapat melihat prinsip keadilan sosial tersebut di dalam peraturan kebhikkhuan yang mana seluruh bhikkhu tidak memandang kastanya mengenakan jubah dan melaksakan aturan (vinaya) yang sama.
KESIMPULAN:
1) Agama Buddha telah mengajarkan mengenai keadilan sosial di dalam masyarakat.
2) Pemimpin yang baik mempunyai kewajiban untuk mewujudkan keadilan sosial.
3) Dengan meningkatnya keadilan sosial maka kejahatan akan berkurang dan negeri akan menjadi aman dan makmur
4) Pemimpin yang baik haruslah adil dan tidak hanya berpihak pada yang kaya atau yang kuat.
5) Agama Buddha telah mengajarkan prinsip-prinsip kemimpinan yang baik.
Orang besar memiliki hati yang besar, kebenaran pun diatas segalanya.
BalasHapus