Jumat, Desember 13, 2013

Si Penagih dan Si Pembayar Karma

Si Penagih dan Si Pembayar Karma

Kisah ini menceritakan seorang tukang kayu yang hidup bersama istrinya di sebuah rumah sederhana di pinggiran hutan. Meskipun sudah lama menikah, namun mereka belum dikaruniai anak. Si tukang kayu adalah orang yang rutin bermeditasi. Karena diasah setiap hari, konsentrasinya menjadi sangat kuat dan lama kelamaan indra pendengarannya pun semakin tajam. Kadang-kadang dia bisa mendengar suara-suara makhluk halus disekitarnya.

Suatu hari, seperti biasa si tukang kayu pergi ke gudang mengambil kapak dan setelah itu dia pergi ke hutan mencari kayu bakar. Ketika sedang membelah kayu, tiba-tiba dia mendengar suara anak-anak kecil sedang bercakap cakap.

"Hei, kamu mau kemana?"

"Saya mau ke rumah itu, saya mau menagih karma."

"Oh, saya juga mau kesana, kalo saya sih mau bayar karma."

Si tukang kayu hanya diam sambil melanjutkan pekerjaaannya seolah dia tidak mendengar apa-apa. Kemudian dia mengumpulkan kayu bakar yang suda dibelah, mengikatnya menjadi satu dan mengusungnya ke rumah.

Setibanya di rumah, betapa kagetnya dia ketika mendapati seorang tabib tengah memeriksa istrinya. Ternyata istrinya sedang hamil anak kembar. Si tukang kayu berpikir "Ah... pastilah dua anak kecil tadi yang masuk ke rahim istriku."

Tahun berganti tahun, si kembar pun mulai tumbuh. Sejak kecil, sudah tampak perbedaan yang mencolok diantara keduanya. Yang sulung malas dan nakal, yang bungsu rajin dan penurut. Seiring pertumbuhannya, si sulung terus menerus membuat masalah dan keributan bagi keluarganya. Banyak perbuatannya yang membuat si tukang kayu terpaksa harus menanggung malu. Tukang kayu pun berpikir "Pasti ini anak yang datang untuk menagih karma, makanya dia sering membuat aku susah dan malu. Baiklah, aku tidak mau anak ini terus menerus menagih karmanya sampai aku tua. Akan aku usir dia dari rumah."

Akhirnya si sulung pun diusir dari rumah. Sekarang hanya tinggal si bungsu yang rajin dan penurut. Tidak ada lagi yang membuat keributan. Si tukang kayu dapat hidup dengan tentram dan damai, mencurahkan seluruh harapan dan kasih sayangnya kepada si bungsu.

Tahun berlanjut, rasa sayang kepada si bungsu semakin dalam, harapan pun semakin besar. Namun tiba tiba si bungsu jatuh sakit. Tukang kayu menghabiskan tabungannya untuk membayar tabib-tabib terbaik, membeli obat-obat terbaik, namun si bungsu belum sembuh juga. Karena tabungannya sudah habis, tukang kayu pun menjual sawah serta ternak peliharaannya untuk menambah biaya pengobatan. Tapi, penyakit anaknya ternyata sangat langka, belum pernah ada orang yang terserang penyakit seperti itu, para tabib mulai kebingungan dan akhirnya menyerah.

Tukang kayu tidak kehabisan akal. Dia menjual rumah serta seluruh harta bendanya dan pergi keluar kota untuk mencari tabib lain. Demi kesembuhan anak kesayangannya, apapun akan dia lakukan. Tapi sampai di luar kota, dia memperoleh jawaban yang sama. Penyakit anaknya sangat langka. Belum ada obat untuk penyakit itu. Tak lama kemudian, di tengah kemelaratan dan keputus-asaan si tukang kayu, anaknya meninggal.

Tak terlukiskan lagi kepedihan dan kekecewaan yang dirasakan si tukang kayu...

Ternyata, inilah anak yang datang untuk menagih karma ...

Tukang kayu sadar dia tidak bisa lari dari karmanya sendiri. Dulu dia berpikir, si sulung-lah yang datang untuk menagih karma, karena kenyataannya anak itu seringkali membuat masalah. Tukang kayu teringat kembali pada anak sulung yang telah diusirnya. Dia merasa sangat menyesal.

Sementara si sulung, setelah diusir dia pergi keluar kota, mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya. Dia bekerja dengan sangat rajin, sehingga dalam waktu singkat dia menjadi karyawan kepercayaan dan kesayangan majikannya. Setelah tabungannya cukup, dia berhenti dari pekerjaannya dan pulang ke kampung halaman untuk mencari orang tuanya. Meskipun telah diusir, tapi dia tidak mempunyai rasa dendam di hati. Karena dia adalah anak yang datang untuk membayar karmanya.

Si sulung akhirnya tiba di kampung halamannya. Dengan tabungan yang dia kumpulkan, dia membelikan rumah baru untuk keluarganya. Merekapun hidup dengan damai.

-oOo-

----------------------------------------------------
Karma seperti buah yang tergantung pada cabang pohon. Menunggu kematangannya pada waktu yang tepat, pada kondisi yang tepat. Dan saat buah itu matang, ia akan jatuh menghantam tanah dibawahnya.

Apakah tidak ada cara untuk menghapus karma buruk?

Kita tidak bisa menghapus karma buruk, tapi bisa membuat dampak buruknya menjadi lebih ringan. Perbanyaklah berbuat kebajikan !.

Seperti halnya segelas air garam yang sangat asin, jika ditambah dengan air tawar, sampai gelas itu tak mampu lagi menampung dan air mulai berceceran keluar, lama kelamaan air yang asin akan mengalir keluar dan yang tersisa di gelas hanyalah air tawar saja.

Seperti itulah seharusnya yang kita lakukan dalam kehidupan kali ini. Entah sudah berapa karma buruk yang telah kita lakukan. Dan sekarang, di kehidupan ini, di saat kita berkesempatan bertemu dengan Dhamma, seharusnya kita banyak berbuat kebajikan untuk mengurangi karma-karma buruk kita.

Dan ingatlah, jika ada karma buruk yang terjadi pada Anda, janganlah membalasnya, karena disaat Anda membalasnya, disitulah ‘karma buruk baru’ tercipta. Relakan saja, dan berpikirlah positif : "Ah, karma burukku telah berkurang satu."

Mungkin kedengarannya sangat susah untuk dijalankan. Seberapa banyak dari kita yang bisa tetap baik dan bersahabat dengan orang yang telah mencuri, menipu, menganiaya dan memfitnah kita?

Tapi pernahkan Anda mencoba untuk tetap bertahan dengan tidak membalasnya, mencoba untuk berdamai dengan perasaan kecewa dan marah?

Cobalah sekali saja, berdiamlah dalam Dhamma, tutup rapat-rapat mulut Anda disaat hendak marah, disitulah Anda bertemu dengan Dhamma yang mengatakan :

Kebencian tidak akan pernah berakhir
apabila dibalas dengan kebencian.
Kebencian baru akan berakhir
bila dibalas dengan tidak membenci.
Inilah satu hukum abadi
(Dhp. 5)

Sumber : Internet





1 komentar: