Kamis, Februari 09, 2012

Bab VII : Paticcasamuppada


BAB VII

PATICCASAMUPPADA
( Sebab-musabab yang saling bergantungan )


“ Dengan adanya ini, terjadilah itu.
Dengan timbulnya ini, maka timbulah itu.
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
Dengan lenyapnya ini, maka lenyaplah itu. “
(Khuddhaka Nikaya, Udana 40 )

219. Sebab musabab yang saling bergantung (Paticcasamuppada) ini seringkali dibabarkan oleh Sang Buddha dan ini merupakan pokok Dhamma yang penting sekali dalam Buddha Dhamma. Doktrin yang terkandung sangat dalam dan luas, sehingga tidak mungkin ditelaah secara lengkap dalam karangan yang terbatas. Tulisan ini semata–mata dibuat berdasarkan ajaran Buddha untuk menjelaskan doktrin ini dengan mengesampingkan rincian yang rumit di dalamnya. Di dalam salah satu sutta Sang Buddha bersabda:

“Mereka yang melihat Paticcasamuppada, melihat Dhamma.
Mereka yang melihat Dhamma, melihat Paticcasamuppada.”
(Maha-hatthipadopama Sutta; Majjhima Nikaya 28)

"Mereka yang melihat Dhamma melihat Buddha,
mereka yang melihat Buddha melihat Dhamma."
(Majjhima Nikaya 28)

Jadi paticcasamuppada ini sangat erat sekali kaitannya dengan pengertian terhadap Dhamma secara utuh. Dalam Mahanidana Sutta, Bhikkhu Ananda setelah mendengarkan paticcasamuppada menyatakan kepada Sang Buddha:

"Sungguh dalam paticcasamuppada ini. Sebab musabab yang saling bergantung ini yang muncul dan padam saling terkait, dan tergantung mengkondisikan segala sesuatu ini. Sungguh dalam, sungguh halus. Tapi setelah saya melihatnya, Dhamma tersebut ternyata sangat sederhana."

Atas pernyataan Bhikkhu Ananda ini, Sang Buddha menyatakan:

"Janganlah berkata demikian Ananda, janganlah berkata demikian. Karena Paticcasamuppada ini demikian dalam, demikian halus, sulit untuk dipahami oleh mereka yang kekotoran batinnya masih tebal.”

220. Paticcasamuppada adalah suatu ajaran yang menyatakan adanya sebab-musabab yang terjadi dalam kehidupan semua makhluk, khususnya manusia. Hukum ini menekankan suatu prinsip penting bahwa semua fenomena di alam semesta ini merupakan keadaan relatif yang terkondisi dan tidak bisa muncul dengan sendirinya tanpa kondisi-kondisi yang mendukungnya. Sebagai contoh ; kita amati sebuah lampu minyak. Api dalam lampu minyak menyala tergantung pada minyak dan sumbu. Selama ada minyak dan sumbu, maka api dalam lampu minyak bisa menyala. Dengan menganalisa dan merenungkan Paticcasamuppada inilah, Petapa Gotama akhirnya mencapai Penerangan Sempurna menjadi Buddha.

Sejujurnya saja, kita ini masih banyak diliputi oleh dukkha (penderitaan / ketidakpuasan), hal ini dapat kita amati dalam kehidupan sehari-hari, kita masih bersusah-payah dengan bekerja keras, sebagai pedagang, pegawai, bersekolah untuk mendapatkan gelar sarjana agar memperoleh jabatan tertentu disuatu perusahaan/instansi pemerintah dan sebagainya, untuk apa semua itu ? tentu saja untuk mendapatkan uang bukan ?, setelah memiliki sejumlah uang, timbul keinginan ini dan itu......, ini pertanda bahwa kita belum terpuaskan / menderita dengan semua keinginan itu .

·      Menderita, apa sebabnya?
Bagi kalangan tertentu penderitaan itu disebabkan oleh  “ nasib / takdir ”. Dari sisi Buddha Dhamma kita diajarkan untuk melihat bahwa segala sesuatu itu ada sebab -musababnya bukan dengan tiba-tiba / kebetulan atau takdir. Semua sebab penderitaan dalam kehidupan ini karena kita dilahirkan. Kalau sudah lahir, suatu saat kita akan mengalami sakit , tua dan mati.

·         Mengapa ada kelahiran?
Karena ada dorongan yang menimbulkan kekuatan kelahiran yaitu dorongan perbuatan / kamma.

·         Mengapa ada perbuatan?
Karena ada kemelekatan untuk melakukan hal-hal tersebut atau merealisasikan apa yang kita lekati.

·         Mengapa ada kemelekatan?
Karena ada keinginan. Kalau ada sesuatu yang kita inginkan maka timbul satu keinginan yang kuat, hasrat rendah/nafsu. Begitu tercapai, ingin lagi, ingin lagi. Itu yang menimbulkan kemelekatan.

·         Mengapa timbul keinginan?
Karena ada perasaan, dari perasaan timbul keinginan terhadap sesuatu. Perasaan muncul karena adanya kontak.

·         Mengapa ada kontak?
Karena adanya indera. Kita mempunyai indera karena kita mempunyai batin dan jasmani.

·         Mengapa ada batin dan jasmani?
Karena ada kesadaran yang membentuk batin dan jasmani, salah satunya adalah kesadaran tumimbal lahir.

·         Mengapa bisa muncul kesadaran yang menyebabkan tumimbal lahir itu?
Karena adanya perbuatan/kamma.

·         Mengapa muncul kamma?
Karena akibat dari ketidaktahuan (avijja) maka kita melakukan ini dan itu. Jika diurut, sebab menimbulkan akibat, akibat mengkondisikan untuk akibat yang berikutnya, sebab akibat menjadi sumber dari sebab berikutnya, maka semuanya ada 12 mata rantai sebab-musabab (nidana)

221. Keduabelas mata rantai itu diuraikan demikian detil oleh Sang Buddha, sehingga Sang Buddha memahami bahwa itu adalah uraian yang sangat halus. Begitu halus dan sungguh sulit untuk menguraikan dan membabarkan paticcasamuppada, maka dibuatlah simbol-simbol atau gambar-gambar.

Sepertinya Agama Buddha itu ruwet, rumit, dan mendetil sekali. Ini faktanya, justru Sang Buddha tidak pernah menutup-nutupi. Ada sebab musabab didalamnya, tidak muncul begitu saja, bukan karena takdir/nasib tapi ada sebab-sebabnya.

222. Prinsip umum Paticcasamuppada adalah “Dengan timbulnya ini maka timbullah itu, dengan adanya ini maka adalah itu, dengan padamnya ini maka padamlah itu, dengan tidak adanya ini maka itupun tidak ada.”  (Samyutta nikaya II,28). Kalau empat kalimat ini berkurang satu, maka rumusan paticcasamuppada menjadi tidak lengkap dan salah. Dengan timbulnya avijja/kebodohan, maka muncullah perbuatan ini dan itu. Dengan timbulnya ini dan itu, maka muncullah kesadaran. Begitu juga untuk yang berikutnya, dengan adanya avijja, muncullah perbuatan-perbuatan. Dengan padamnya avijja, maka padamlah tindakan ini dan itu yang tak berguna. Begitu seterusnya......

“Karena ketidakmampuan mereka untuk memahami sebab-musabab yang saling bergantungan, maka orang terjerat seperti bola benang dan tidak dapat melihat kebenaran, selalu diliputi penderitaan, terlahir dalam kondisi yang sedih dan suram, dimana ada kebingungan dan penderitaan berkepanjangan. Dan mereka tidak tahu bagaimana melepaskan diri mereka sendiri untuk keluar .”, demikian menurut Sang Buddha pada saat Beliau berbicara kepada Ananda.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar