Selasa, Maret 11, 2014

Agama Dapat Diperbandingkan Tapi Bukan Dipertandingkan

AGAMA DAPAT DIPERBANDINGKAN
TAPI BUKAN DIPERTANDINGKAN



PERBANDINGAN AGAMA
Apakah orang dapat memahami agama yang bukan agamanya sendiri? Jika persoalan ini belum teratasi, perbandingan antara agama-agama yang dipelajari mungkin bias, atau malah yang terjadi adalah mempertandingkan agama-agama itu. Sikap religius yang ideal melihat agama dapat Diperbandingkan tapi bukan dipertandingkan.1 Perbandingan agama dilakukan dengan menjaga keseimbangan antara pencarian persamaan dan pencarian perbedaan. Kesulitan yang dihadapi berasal dari keunikan fenomena keagamaan yang ada dalam struktur-struktur yang berbeda.
Gejala-gejala keagamaan yang paralel atau mirip dari agama-agama dapat dikaji secara berdampingan. Misalnya oleh Joachim Wach, Nirwana disejajarkan dengan tujuan final kehidupan dalam agama-agama lain, salah satunya tawhid (bersatu dengan Tuhan) dalam Islam. tetapi menurut Kautsar Azhari Noer, jika tawhid itu keesaan Tuhan sebagaimana yang dipahami Islam ortodoks, perbandingan tersebut tentu kelitu. Jika yang dimaksud tawhid para Sufi atau ittihad, bersatu dengan Tuhan, masih bisa diperdebatkan apakah keduanya dapat dibandingkan. Hajime Nakamura memandang Nirwana lebih mirip dengan Kehidupan yang Kekal yang merupakan tujuan kehidupan orang Kristen. Kehidupan yang Kekal juga adalah surga dalam tradisi Islam. Beberapa sarjana membandingkan Nirwana dengan Ketuhanan (Godhead), Realitas Tertinggi, Yang Absolut, namun berbeda dengan konsep personal tentang Tuhan dalam agama lain. Nirwana bukan Wujud Substantif yang menjadi dasar kosmos, bukan pencipta, tidak disembah dan doa tidak ditujukan kepadanya.

A. Durwood Foster membandingkan Trikaya dengan Trinitas dalam Kristen. Pandit Usharbudh Arya membandingkan keduanya dengan tiga tingkat realitas Tuhan dalam tradisi Yoga-Wedanta. Foster memandang Buddha Amitabha sebagai Tuhan yang personal. Berbeda dengan Robert E. Florida yang melihat Amitabha sebagai wujud absolut nonteistik yang impersonal.2

Apabila orang mengakui kebenaran agama di luar agamanya sendiri, ia akan melihatnya dengan kaca mata agamanya sendiri, dan akan menjelaskannya sebagai kebenaran agamanya yang ditemukan dalam agama lain. Masing-masing pihak dari agama yang berbeda akan menyebut kebenaran itu dengan nama yang cocok bagi tradisi partikular (mengutamakan kepentingan pribadi) yang dipeluknya sendiri.

KERUKUNAN HIDUP BERAGAMA
Perbedaan agama pada dasarnya tidak menghalangi hubungan antar-umat yang akrab, baik secara pribadi, keluarga atau kelompok. Interaksi terjadi lewat berbagai kepentingan. Sebuah rumah makan halal bagi Muslim mungkin saja dibuka oleh pemiliknya yang beragama Buddha atau Kristen, patung-patung Buddha dibuat oleh seniman Hindu dan Muslim, begitu pun Wihara dibangun oleh tangan-tangan tukang yang bukan beragama Buddha. Pelayanan sosial seperti rumah sakit walalu berlatar belakang keagamaan tertentu menerima pasien dari semua golongan agama, begitu pun tentunya dalam memberi kesempatan kerja.

Kerukunan hidup beragama adalah suatu kondisi di mana semua golongan agama bisa hidup bersama-sama secara damai tanpa mengurangi hak dan kebebasan masing-masing untuk menganut dan melaksanakan kewajiban agamanya. Kerukunan yang dimaksud bukan berarti penganut agama yang satu tidak merasa perlu atau menahan diri untuk melibatkan persoalan keberagamaan dengan pihak lain, karena kebersamaan menghendaki tenggang rasa, yang hanya benar-benar dimungkinkan jika saling memahami.

Kerukunan akan bisa dicapai apabila setiap golongan agama memiliki prinsip “Setuju dalam perbedaan”. Setuju dalam perbedaan berarti orang mau menerima dan menghormati orang lain dengan seluruh aspirasi, keyakinan, kebiasaan dan pola hidupnya, menerima dan menghormati orang lain dengan kebebasannya untuk menganut keyakinan agamanya sendiri. Memelihara kerukunan hidup umat beragama tidaklah berarti mempertahankan status quo sehingga menghambat kemajuan masing-masing agama. Kerukunan itu harus dilihat dalam konteks perkembangan masyarakat yang dinamis, yang menghadapi beraneka tantangan dan persoalan.3

Untuk memelihara kerukunan, Buddha memberi petunjuk berupa “Enam Faktor yang Membawa Keharmonisan” (Saraniya-dhamma). Keenam faktor itu adalah :
1.    Cinta Kasih diwujudkan dalam perbuatan,
2.    Cinta Kasih diwujudkan dalam tutur kata,
3.    Cinnta Kasih diwujudkan dalam pikiran dan pemikiran, dengan memiliki itikad baik terhadap orang lain.
4.    Memberi kesempatan kepada sesamanya untuk ikut menikmati apa yang diperoleh secara halal.
5.    Di depan umum atau pun pribadi ia menjalankan kehidupan bermoral, tidak berbuat sesuatu yang melukai perasaan orang lain.
6.    Di depan umum atau pun pribadi, memiliki pandangan yang sama, yang bersifat membebaskan dari penderitaan dan membawanya berbuat sesuai dengan pandangan tersebut, hidup harmonis, tidak bertengkar karena perbedaan pandangan. (AN.III, 288-289).

HAMBATAN KERUKUNAN
Agama mengatur hubungan antarmanusia dan berinteraksi dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat lainnya. Praktik keberagamaan selalu memunculkan wajah ganda; sebagai kekuatan integrasi (pembauran) dan sekaligus juga kekuatan disintegrasi (perpecahan). Agama mampu mempersatukan dan menciptakan ikatan bagi sekelompok masyarakat, namun sekaligus menciptakan pemisahan dari kelompok yang lain. Simbol-simbol agama terkait erat dengan kepentingan sosial, ekonomi dan politik para penganutnya. Karena itu agama sering dipersepsikan atau diasosiasikan tumpang tindih dengan pengkategorian suku, ras, kelompok atau golongan.  Apa yang kelihatannya sebagai konflik agama bisa mengandung muatan lain yang kompleks, yang menyangkut dimensi kepentingan golongan. Simbol-simbol agama dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik dan hal-hal lain di luar agama. Kesenjangan sosial, ekonomi, pendidikan, dan ketidakadilan atau diskriminasi mudah menyulut konflik antarpemeluk agama. Berbagai benturan kepentingan pribadi dan golongan bahkan menimbulkan pertikaian antara mereka yang seiman.

Ekspresi keagamaan yang keliru jelas merupakan masalah, misalnya dalam hal fanatisme memonopoli dan memutlakkan kebenaran sendiri, diikuti semangat misioner yang militan, merendahkan pihak lain bahkan memandangnya sebagai musuh. Seringkali terdapat disparitas (perbedaan) antara apa yang diajarkan agama dengan sikap hidup dan perilaku pemeluknya. Adanya prasangka, perasaan terancam, takut terdesak, kurang toleran, tidak dapat menahan diri merupakan sumber dari ketegangan yang menghambat kerukunan umat beragama.

Keberagamaan sekarang ini lebih sering merupakan pewarisan turun-temurun, tidak bermula dari pilihan bebas, dan komunitas suatu agama sulit menerima terjadinya perpindahan agama. Agama menjadi ikatan primordial (mendasar), yang memberi rasa aman hanya untuk orang-orang segolongan. Penyiaran agama yang ditujukan kepada orang-orang yang telah memeluk agama lain menimbulkan konflik dalam masyarakat. Karena itu pemerintah mengatur kegiatan tersebut.4
______________________________
Catatan kaki :
1.         Eka Darmaputera, “ Perbandingan Agama: Memperbandingkan atau Mempertandingkan?” dalam Nurcholis Madjid et al, op.cit, hlm.248.
2.         Kautsar Azhari Noer, “ Perbandingan Agama : Apa yang Diperbandingkan.”. ibid., hlm.226-230 dan 233-236.
3.         Alamsjah, Ratu Perwiranegara, Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Jakarta: Dep. Agama R.I, 1982, hlm. 56-57.
4.         Ada yang menggunakan bujukan, memberi berbagai macam materi atau jasa, menyebarkan barang cetakan, kunjungan dari rumah ke rumah. Pemerintah melarang kegiatan penyiaran agama tersebut yang ditujukan kepada pemeluk agama lain, berdasarkan keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1079, tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.

*      Disadur oleh : Tanhadi
dari buku Wacana Buddha-Dharma - Krishnanda Wijaya-Mukti


-oOo-




Tidak ada komentar:

Posting Komentar