AGAMA DAPAT
DIPERBANDINGKAN
TAPI BUKAN
DIPERTANDINGKAN
PERBANDINGAN AGAMA
Apakah orang dapat
memahami agama yang bukan agamanya sendiri? Jika persoalan ini belum teratasi,
perbandingan antara agama-agama yang dipelajari mungkin bias, atau malah yang
terjadi adalah mempertandingkan agama-agama itu. Sikap religius yang ideal
melihat agama dapat Diperbandingkan tapi
bukan dipertandingkan.1 Perbandingan agama dilakukan dengan menjaga
keseimbangan antara pencarian persamaan dan pencarian perbedaan. Kesulitan yang
dihadapi berasal dari keunikan fenomena keagamaan yang ada dalam
struktur-struktur yang berbeda.
Gejala-gejala
keagamaan yang paralel atau mirip dari agama-agama dapat dikaji secara
berdampingan. Misalnya oleh Joachim Wach, Nirwana
disejajarkan dengan tujuan final kehidupan dalam agama-agama lain, salah
satunya tawhid (bersatu dengan Tuhan)
dalam Islam. tetapi menurut Kautsar Azhari Noer, jika tawhid itu keesaan Tuhan sebagaimana yang dipahami Islam ortodoks,
perbandingan tersebut tentu kelitu. Jika yang dimaksud tawhid para Sufi atau ittihad,
bersatu dengan Tuhan, masih bisa diperdebatkan apakah keduanya dapat
dibandingkan. Hajime Nakamura memandang Nirwana
lebih mirip dengan Kehidupan yang Kekal yang merupakan tujuan kehidupan orang
Kristen. Kehidupan yang Kekal juga adalah surga dalam tradisi Islam. Beberapa
sarjana membandingkan Nirwana dengan
Ketuhanan (Godhead), Realitas
Tertinggi, Yang Absolut, namun berbeda dengan konsep personal tentang Tuhan
dalam agama lain. Nirwana bukan Wujud
Substantif yang menjadi dasar kosmos, bukan pencipta, tidak disembah dan doa
tidak ditujukan kepadanya.
A. Durwood Foster
membandingkan Trikaya dengan Trinitas dalam Kristen. Pandit Usharbudh
Arya membandingkan keduanya dengan tiga tingkat realitas Tuhan dalam tradisi
Yoga-Wedanta. Foster memandang Buddha Amitabha sebagai Tuhan yang personal.
Berbeda dengan Robert E. Florida yang melihat Amitabha sebagai wujud absolut
nonteistik yang impersonal.2
Apabila orang mengakui
kebenaran agama di luar agamanya sendiri, ia akan melihatnya dengan kaca mata
agamanya sendiri, dan akan menjelaskannya sebagai kebenaran agamanya yang
ditemukan dalam agama lain. Masing-masing pihak dari agama yang berbeda akan
menyebut kebenaran itu dengan nama yang cocok bagi tradisi partikular (mengutamakan kepentingan pribadi) yang dipeluknya
sendiri.
KERUKUNAN HIDUP BERAGAMA
Perbedaan agama pada
dasarnya tidak menghalangi hubungan antar-umat yang akrab, baik secara pribadi,
keluarga atau kelompok. Interaksi terjadi lewat berbagai kepentingan. Sebuah
rumah makan halal bagi Muslim mungkin saja dibuka oleh pemiliknya yang beragama
Buddha atau Kristen, patung-patung Buddha dibuat oleh seniman Hindu dan Muslim,
begitu pun Wihara dibangun oleh tangan-tangan tukang yang bukan beragama
Buddha. Pelayanan sosial seperti rumah sakit walalu berlatar belakang keagamaan
tertentu menerima pasien dari semua golongan agama, begitu pun tentunya dalam
memberi kesempatan kerja.
Kerukunan hidup beragama
adalah suatu kondisi di mana semua golongan agama bisa hidup bersama-sama
secara damai tanpa mengurangi hak dan kebebasan masing-masing untuk menganut
dan melaksanakan kewajiban agamanya. Kerukunan yang dimaksud bukan berarti
penganut agama yang satu tidak merasa perlu atau menahan diri untuk melibatkan
persoalan keberagamaan dengan pihak lain, karena kebersamaan menghendaki
tenggang rasa, yang hanya benar-benar dimungkinkan jika saling memahami.
Kerukunan akan bisa
dicapai apabila setiap golongan agama memiliki prinsip “Setuju dalam perbedaan”. Setuju dalam perbedaan berarti orang mau
menerima dan menghormati orang lain dengan seluruh aspirasi, keyakinan,
kebiasaan dan pola hidupnya, menerima dan menghormati orang lain dengan
kebebasannya untuk menganut keyakinan agamanya sendiri. Memelihara kerukunan
hidup umat beragama tidaklah berarti mempertahankan status quo sehingga menghambat kemajuan masing-masing agama.
Kerukunan itu harus dilihat dalam konteks perkembangan masyarakat yang dinamis,
yang menghadapi beraneka tantangan dan persoalan.3
Untuk memelihara
kerukunan, Buddha memberi petunjuk berupa “Enam
Faktor yang Membawa Keharmonisan” (Saraniya-dhamma).
Keenam
faktor itu adalah :
1. Cinta
Kasih diwujudkan dalam perbuatan,
2. Cinta
Kasih diwujudkan dalam tutur kata,
3. Cinnta
Kasih diwujudkan dalam pikiran dan pemikiran, dengan memiliki itikad baik
terhadap orang lain.
4. Memberi
kesempatan kepada sesamanya untuk ikut menikmati apa yang diperoleh secara
halal.
5. Di
depan umum atau pun pribadi ia menjalankan kehidupan bermoral, tidak berbuat
sesuatu yang melukai perasaan orang lain.
6. Di
depan umum atau pun pribadi, memiliki pandangan yang sama, yang bersifat
membebaskan dari penderitaan dan membawanya berbuat sesuai dengan pandangan
tersebut, hidup harmonis, tidak bertengkar karena perbedaan pandangan. (AN.III,
288-289).
HAMBATAN KERUKUNAN
Agama mengatur
hubungan antarmanusia dan berinteraksi dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat
lainnya. Praktik keberagamaan selalu memunculkan wajah ganda; sebagai kekuatan integrasi (pembauran) dan sekaligus juga
kekuatan disintegrasi (perpecahan).
Agama mampu mempersatukan dan menciptakan ikatan bagi sekelompok masyarakat,
namun sekaligus menciptakan pemisahan dari kelompok yang lain. Simbol-simbol agama
terkait erat dengan kepentingan sosial, ekonomi dan politik para penganutnya.
Karena itu agama sering dipersepsikan atau diasosiasikan tumpang tindih dengan
pengkategorian suku, ras, kelompok atau golongan. Apa yang kelihatannya sebagai konflik agama
bisa mengandung muatan lain yang kompleks, yang menyangkut dimensi kepentingan
golongan. Simbol-simbol agama dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik
dan hal-hal lain di luar agama. Kesenjangan sosial, ekonomi, pendidikan, dan
ketidakadilan atau diskriminasi mudah menyulut konflik antarpemeluk agama. Berbagai
benturan kepentingan pribadi dan golongan bahkan menimbulkan pertikaian antara
mereka yang seiman.
Ekspresi keagamaan
yang keliru jelas merupakan masalah, misalnya dalam hal fanatisme memonopoli dan memutlakkan kebenaran sendiri, diikuti
semangat misioner yang militan, merendahkan pihak lain bahkan memandangnya
sebagai musuh. Seringkali terdapat disparitas (perbedaan) antara apa yang
diajarkan agama dengan sikap hidup dan perilaku pemeluknya. Adanya prasangka,
perasaan terancam, takut terdesak, kurang toleran, tidak dapat menahan diri
merupakan sumber dari ketegangan yang menghambat kerukunan umat beragama.
Keberagamaan sekarang
ini lebih sering merupakan pewarisan turun-temurun, tidak bermula dari pilihan
bebas, dan komunitas suatu agama sulit menerima terjadinya perpindahan agama.
Agama menjadi ikatan primordial (mendasar),
yang memberi rasa aman hanya untuk orang-orang segolongan. Penyiaran agama yang
ditujukan kepada orang-orang yang telah memeluk agama lain menimbulkan konflik
dalam masyarakat. Karena itu pemerintah mengatur kegiatan tersebut.4
______________________________
Catatan kaki :
1.
Eka Darmaputera, “ Perbandingan Agama: Memperbandingkan atau Mempertandingkan?”
dalam Nurcholis Madjid et al, op.cit, hlm.248.
2.
Kautsar Azhari Noer, “ Perbandingan Agama : Apa yang
Diperbandingkan.”. ibid., hlm.226-230 dan 233-236.
3.
Alamsjah, Ratu Perwiranegara, Pembinaan Kerukunan Hidup Umat
Beragama, Jakarta: Dep. Agama R.I, 1982, hlm. 56-57.
4.
Ada yang menggunakan bujukan, memberi berbagai macam materi
atau jasa, menyebarkan barang cetakan, kunjungan dari rumah ke rumah.
Pemerintah melarang kegiatan penyiaran agama tersebut yang ditujukan kepada
pemeluk agama lain, berdasarkan keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri No. 1 Tahun 1079, tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan
Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
Disadur oleh :
Tanhadi
dari buku Wacana Buddha-Dharma - Krishnanda Wijaya-Mukti
-oOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar