Jumat, Maret 21, 2014

Ibu Gajah yang Buta

Ibu Gajah yang Buta

Dahulu kala, di sebuah kaki bukit di pegunungan Himalaya, di dekat sebuah kolam teratai, lahirlah seekor bayi gajah. Bayi gajah ini luar biasa indah menawan, putih bersih seperti salju dengan wajah yang sedikit bersemu kemerahan seperti warna batu karang. Belalainya berkilau indah bagaikan utas tali yang berwarna keperakan, gadingnya yang kuat dan kokoh membentuk sedikit leng­kungan yang manis.

Ia selalu mengikuti ibunya ke manapun. Ibu Gajah memetik daun terlembut dan buah mangga termanis dari pohon-pohon yang tinggi dan kemudian memberikannya. “Kamu dulu, baru Ibu,” Ibu Gajah ber­kata. Ia kemudian dimandikan oleh ibunya di kolam teratai yang sejuk diantara semerbak keharuman bunga. Dengan belalainya, Ibu Gajah menghisap air lalu menyemprotkannya ke kepala dan punggung anaknya hingga bersih mengkilap. Kemudian Anak Gajah ini diam-diam mengisi belalainya, dan dengan hati-hati menyemprotkan tepat ke dahi ibunya. Tanpa berkedip, Ibu Gajah balas menyemprotkan air. Balas membalas menyemprot, mereka dengan gembira saling mem­basahi satu sama lain. Splish! Splash!

Setelah lelah bermain, mereka kemudian beristirahat di atas tanah yang lembut dengan kedua belalai melengkung dan saling membelit satu sama lain. Di bawah bayang-bayang sore hari, Ibu Gajah beristira­hat di balik keteduhan pohon jambu air, sambil melihat pu­tranya bermain dengan penuh keriangan bersama anak-anak gajah lainnya.

Gajah kecil tumbuh dan tumbuh hingga ia menjadi gajah tergagah dan terkuat dalam kawanannya. Pada saat yang bersamaan, Ibu Gajah pun menjadi semakin tua. Gadingnya mulai retak dan menguning, dan tidak lama kemudian Ibu Gajah menjadi buta. Anak Gajah yang telah tumbuh dewasa dan kuat ini kemudian memetik daun terlembut dan buah mangga termanis dari pohon-pohon yang tinggi dan memberi­kannya kepada ibunya yang telah tua dan buta yang amat ia sayangi. “Ibu dulu, baru Aku,” ia berkata.

Ia memandikan ibunya di kolam teratai yang sejuk diantara semer­bak keharuman bunga. Dengan belalainya, ia menyemprotkan air ke kepala dan punggung ibunya hingga bersih mengkilap. Setelah itu, mereka kemudian beristirahat di atas tanah yang lembut dengan kedua belalai saling membelit satu sama lain. Di bawah bayang-bay­ang sore hari, Anak Gajah menuntun ibunya untuk beristirahat di balik keteduhan pohon jambu air. Ia kemudian pergi bersama gajah-gajah yang lain.

Suatu hari seorang raja pergi berburu dan melihat seekor gajah putih yang begitu indah. “Luar biasa indah! Aku harus memilikinya sebagai peliharaan untuk ditunggangi!” Raja lalu menangkap gajah tersebut dan membawanya ke kandang istana. Raja memberikan kain sutra dan permata yang indah serta untaian kalung bunga teratai kepada gajah tersebut. Raja juga memberikannya rumput manis dan buah-buahan yang lezat serta air murni yang segar untuk diminum.

Akan tetapi, gajah tersebut tidak mau makan ataupun minum. Ia terus menerus menangis, dan menjadi semakin kurus dari hari ke hari. “Ga­jah yang mulia,” Raja berkata, “Aku menyayangimu dan memberimu sutra dan permata. Aku juga memberikan makanan terbaik dan air termurni, namun Engkau tidak juga mau makan dan minum. Lalu apa yang bisa membuatmu bahagia?” Gajah tersebut menjawab, “Sutra  dan permata, makanan dan minuman tidak membuatku bahagia. Ibuku yang sudah tua dan buta sedang sendirian di hutan tanpa ada seorangpun yang merawatnya. Walaupun aku akan mati, aku tidak akan makan dan minum sebelum aku memberikannya terlebih dahulu kepada Ibu.”

Raja terharu dan berkata, “Tidak pernah aku menyaksikan kebaikan yang sedemikian rupa, bahkan diantara manusia. Tidaklah benar untuk mengurung gajah ini.” Setelah dilepaskan, gajah tersebut segera ber­lari diantara bebukitan mencari ibunya. Ia menemukan ibunya di tepi kolam teratai. Ibu Gajah berbaring di atas lumpur, terlalu lemah untuk bergerak. Dengan air mata yang membasahi pelupuk matanya, Anak Gajah tersebut mengisi belalainya dengan air dan menyemprotkan ke kepala dan punggung ibunya hingga bersih mengkilap. “Apakah hujan?” Ibu Gajah bertanya-tanya, “atau anakku telah kembali?” “Ini anakmu, Ibu!” ia berseru, “Raja telah membebaskan aku!” Ketika ia membersihkan mata ibunya, terjadi keajaiban. Penglihatan ibunya pulih kembali. “Semoga Raja hari ini berbahagia sebagaimana kebaha­giaanku bisa melihat anakku kembali!” Ibu Gajah berkata.

Anak Gajah kemudian memetik daun terlembut dan buah mangga termanis dari sebuah pohon dan memberikannya kepada ibunya, “Ibu dulu, baru Aku.”

Anda tentunya dapat menduga siapa Anak Gajah? Anak Gajah ini adalah Buddha pada kelahiran Beliau sebelumnya. Ya, kasih sayang lah yang menggerakkan dunia ini. Kita bisa berada di dunia ini juga karena adanya kasih sayang. Kasih sayang dari orang tua kita, keluarga, saudara, sahabat dan tak terkira banyaknya benih-benih kepedulian dan kasih dalam dunia ini.

Bagaikan seorang ibu yang mempertaruhkan jiwanya
Melindungi anaknya yang tunggal,
Demikianlah terhadap semua makhluk
Dipancarkannya pikiran kasih sayangnya tanpa batas.
(Metta Sutta)

-oOo-





Tidak ada komentar:

Posting Komentar