Senin, Juni 13, 2011

Dhamma bagaikan rakit


DHAMMA BAGAIKAN RAKIT



Bab ini akan menjelaskan secara lebih seksama mengapa Dhamma ini diperumpamakan sebagai rakit oleh Buddha.  Kita akan mengkaji perumpamaan ini dari dua sisi.  Sisi pertama akan membahas segi keterikatan terhadap Dhamma dan sisi kedua akan membahas segi ketidak-melekatannya.

A.  Keterikatan mulia pada Dhamma

Seperti yang telah disebutkan, Buddha menasihati kita untuk menggunakan Dhamma ini selayaknya seseorang menggunakan rakit. Yakni kita seharusnya hanya menggunakan Dhamma ini untuk menyeberangi pantai seberang (Nibbâna), bukan untuk hal-hal lainnya, seperti untuk mencari perdebatan, permusuhan, kemahsyuran, bahkan bukan untuk sekedar menjadi seorang ahli Dhamma (yang masih belum mencapai pantai seberang). Buddha menyuruh kita untuk melepaskan rakit tersebut setelah tiba di pantai seberang. [MN 22].

Tetapi orang-orang bertanya, “Bukankah dengan berkeyakinan terhadap ajaran Buddha (melatih diri sesuai dengan Dhamma) itu juga termasuk keterikatan?”  Benar!  Tapi keterikatan semacam ini tidak dapat dikatakan tak pantas. Karena keterikatan tersebut bertujuan untuk mengurangi keterikatan lebih lanjut. Dalam perumpamaan rakit di atas, kalau kita tidak terikat (menggenggam) dulu pada rakit itu, maka kita akan tenggelam. Jadi kita hanya terikat pada rakit itu untuk membawa kita ke pantai seberang yang aman.

Marilah kita mempelajari ulang nasihat Bhikkhu Ânanda mengenai hal ini.  Pernah seorang bertanya kepada Bhikkhu Ânanda, "Apakah mungkin keinginan (keterikatan) tertentu dapat melenyapkan (segala) keinginan (keterikatan)?"

Bhikkhu Ânanda menjelaskan demikian [SN 51.15]:

Bagaikan seseorang yang berkeinginan untuk pergi ke taman, maka ia harus mampu membedakan mana arah yang benar dan salah [menuju ke taman tersebut], dan ketika ia telah tiba di taman tersebut, maka keinginannya (untuk pergi ke taman) tersebut akan lenyap dengan sendirinya.

Begitu pula keinginan (keterikatan) pada Dhamma, ia yang bijaksana berkeinginan mengenal (terikat) pada Dhamma, dan jeli dalam "membedakan" hal yang sesuai dengan Dhamma dan yang tidak, dan ketika ia telah mencapai tujuan akhir (Nibbâna), maka (segala) keterikatan akan lenyap dengan sendirinya."

Jadi kita seharusnya dengan sungguh-sungguh menjaga sîla kita, bagaikan seorang menjaga harta berharganya, hanya sejauh untuk melatih pikiran ini.  Pikiran ini juga seharusnya dilatih (termasuk keterikatan) hanya sejauh untuk menembusi Dhamma ini. Dan Dhamma yang telah ditembusi tersebut hanya akan menghasilkan lenyapnya semua keterikatan [AN 11.1, MN 24]. Inilah yang dinamakan “keterikatan mulia pada Dhamma."

Perumpamaan lainnya yang lebih rinci adalah sebagai berikut :  Bagaikan seorang yang ingin mencapai puncak tebing, ia akan memegang erat-erat bagian tebing yang rendah dulu, dan kemudian melepaskan genggamannya pada bagian tebing yang lebih rendah itu untuk meraih bagian tebing yang lebih tinggi (naik ke atas).  Proses ini akan diulang olehnya sampai akhirnya ia mencapai puncak tebing; di mana pada saat itu, ia tidak akan lagi mengenggam tebing tersebut [Pelajarilah perumpamaan yang mirip di MN 24].

Dengan demikian, ajaran Buddha tidak mengatakan, "Tidak diperbolehkan segala jenis keterikatan!" Lebih tepatnya, terikat pada hal dasar (moral) untuk mencapai hal yang lebih tinggi (pelatihan pikiran); dan setelah itu, terikat pada hal yang tinggi untuk mencapai kebebasan total (Nibbâna). Karena setelah mencapai Nibbâna, segala keterikatan akan lenyap dengan sendirinya.  Dan ia yang belum mencapai Nibbâna, tentu masih memiliki keterikatan dalam dirinya. Bedanya, keterikatan jenis apa yang berada dalam dirinya itu ?  Itu juga alasannya mengapa dikatakan bahwa Dhamma ini bersifat bertahap-tahap pelaksanaannya [MN 107].

B. Ketika ketidak-kekalan dianggap nihilistik

Ketidak-kekalan (anicca) memang adalah ajaran Buddha.  Semuanya adalah sementara keberadaannya.  Mulai dari materi yang berbentuk sampai kepada segala unsur batiniah yang tidak berbentuk.  Kebahagiaan yang diperoleh dari perbuatan baik adalah juga tidak kekal.  Penderitaan yang diperoleh dari perbuatan jahat adalah juga tidak kekal.  Yah, kalau dipikir-pikir untuk apa susah-susah berbuat baik ?  Mending “enjoy” saja lah, ya kan ?  Kalau berbahagia, kita menerimanya loh.  Kalau menderita, kita juga menerimanya begitu.

Terus kalau semuanya adalah tidak kekal, apa yang menjadi tujuan hidup ini ?  Apakah kita hanya sekedar berusaha untuk melarikan diri dengan mengatakan semuanya adalah semu, semuanya adalah tidak nyata ?  Bila demikian adanya, maka niat berbuat baik akan dengan sendirinya terkikis habis, niat berbuat jahat tidak akan dilenyapkan.

Jadi apa pandangan yang sesuai dengan Dhamma dan yang bermanfaat bagi kesejahteraan diri kita ?  Perbuatan jahat seharusnya dihindari untuk menjauhi diri kita dari penyesalan, penderitaan, dan keresahan batin. Perbuatan baik seharusnya dikembangkan untuk menghasilkan kebahagiaan, kegirangan, dan ketenangan. Ketidak-kekalan seharusnya dipahami melalui kebijaksanaan dan ketenangan batin yang telah diperoleh sebelumnya dari terhindarnya perbuatan jahat dan berkembangnya perbuatan baik [AN 11.1, MN 22].

Dengan kata lain: Hindarilah perbuatan jahat, kembangkanlah perbuatan baik, raihlah batin yang terhindar dari kerisauan, batin yang penuh energi, dan kegirangan; kemudian sifat-sifat batiniah ini dikembangkan untuk menghasilkan batin yang lebih tenang dan terkonsentrasi.  Batin yang tenang dan terkonsentrasi inilah yang sanggup melihat “segala sesuatu seperti apa adanya” yang kesemuanya memang bersifat tidak kekal.

Jadi perbuatan jahat dihindari demi menghindarkan diri kita dari kerisauan batin.  Perbuatan baik dikembangkan demi menghasilkan ketenangan batin.  Karena tanpa batin yang tenang, bagaimana mungkin ketidak-kekalan ini dapat dipahami dengan sebenar-benarnya ?  Jadi inilah manfaat dari penghindaran diri dari perbuatan jahat, pengembangan diri dengan perbuatan baik, dan pelatihan pikiran melalui meditasi. Singkatnya: Dengan melatih diri sesuai dengan sîla, kita akan meraih ketenangan. Dengan teraihnya ketenangan batin ini, kita kemudian menggunakannya untuk melihat kenyataan (Dhamma).


Sumber :

Salam Metta,

Sabbe satta bhavantu sukhitatta
Semoga semua makhluk berbahagia


]˜


Tidak ada komentar:

Posting Komentar