Minggu, September 22, 2013

Dampak Ajaran Ehipassiko yang disalahmengerti

DAMPAK AJARAN ‘EHIPASSIKO’ YANG DISALAHMENGERTI
Oleh : Upa. Amaro Tanhadi

“Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu;
atau oleh karena sesuatu yang merupakan tradisi;
atau sesuatu yang didesas-desuskan.

Janganlah percaya begitu saja apa yang dikatakan di dalam kitab-kitab suci;
juga apa yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka;
juga apa yang katanya merupakan hasil dari suatu penelitian;
juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama;
juga apa yang terlihat cocok dengan pandanganmu;
atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu.'

Tetapi, setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui,
'Hal ini berguna; hal ini tidak tercela;
hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana;
hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan,' 
maka sudah selayaknya kamu menerima
dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut."

( Anguttara Nikaya 3.65 : Kalama Sutta )

Seperti yang telah banyak diketahui oleh umat Buddha bahwa Kalama Sutta inilah yang mendasari Ajaran Sang Buddha yang disebut Ehipassiko (secara harfiah diterjemahkan sebagai : datang dan lihatlah sendiri), yaitu Ajaran yang mengajarkan kepada kita untuk menyelidiki terlebih dahulu secara cermat terhadap sebuah kepercayaan atau agama yang hendak kita jadikan pedoman atau pegangan hidup, kemudian setelah diselidiki dengan cermat, seyogianya kita mempraktikkannya sendiri untuk memastikan apakah ajaran tersebut bermanfaat atau tidak bermanfaat, dibenarkan atau dicela oleh para bijaksanawan,  membawa keberuntungan atau kerugian, membawa kebahagiaan atau penderitaan bagi diri kita sendiri dan orang lain?

Namun sayangnya, masih ada beberapa umat Buddha sendiri yang secara agak serampangan memahami Kalama Sutta tersebut dengan hanya mengambil sepotong kalimatnya saja (yang ‘katanya’ merupakan inti dari Kalama Sutta) yaitu : “Janganlah percaya begitu saja..., tetapi apabila setelah diselidiki sendiri..”, dan potongan kalimat inilah yang diartikan oleh mereka sebagai Ehipassiko! Jelas ini adalah salah satu kekeliruan yang cukup fatal dalam memahami makna secara keseluruhan dari Kalama Sutta tersebut, dan inilah yang membuat seseorang menjadi takabur (angkuh; sombong); merasa dirinya lebih hebat dari ajaran-ajaran yang tertulis di kitab suci, sehingga merasa sah-sah saja mengabaikan Tipitaka dengan alasan Tipitaka sudah tidak murni lagi berisikan ajaran-ajaran Sang Buddha ! (?). Koq tahu ? atau sok tahu?

Bahkan ada yang ekstrim menilai orang lain dengan mengatakan bahwa orang-orang yang banyak membaca dan mempelajari Sutta-Sutta yang terdapat di dalam Tipitaka itu hanyalah pandai berTEORI saja, praktiknya NOL BESAR! Bagi orang yang beranggapan demikian, tampaknya mereka lebih suka ber-Ehipassiko dengan CARANYA SENDIRI tanpa harus repot-repot mempelajari Ajaran Sang Buddha yang tertulis dalam Tipitaka. [Tipitaka berisikan ribuan Sutta yang dikelompokkan menjadi SUTTA PITAKA yang dibagi menjadi Empat kumpulan buku (nikaya) ditambah lagi dengan satu nikaya yang berisikan 15 kitab kumpulan khotbah pendek, belum lagi ajaran Sang Buddha yang terdapat dalam VINAYA PITAKA ( terdiri dari 5 buku) dan ABHIDHAMMA PITAKA (terdiri dari 7 buku)].

Lieur euy !” kata orang sunda.

“ Malas ahhh bacanya…terlalu jelimet, sulit dimengerti, gak ada waktu untuk membacanya !” demikianlah alasan yang mungkin sering kita dengar dari beberapa umat Buddha sendiri. Halo…Bagaimana dengan Anda sendiri ?

Pertanyaannya adalah : ‘Bagaimana jika ternyata Ehipassiko yang dilakukan dengan ‘caranya sendiri’ itu menyesatkan dan hanya menguntungkan dirinya sendiri tetapi merugikan orang lain ?, hanya membuat dirinya sendiri bahagia tetapi membuat orang lain menderita? hanya membuat dirinya sendiri merasa mulia tetapi orang lain melihatnya sebagai sesuatu yang tercela? dan hanya merasa dirinya sudah paling benar tetapi orang lain menilainya sebagai suatu kesalahan?

Padahal bila kita amati dengan cermat, ESENSI Kalama Sutta secara lengkapnya adalah :

“…Tetapi, setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui,
'Hal ini berguna;
hal ini tidak tercela;
hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana;
hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan,'
maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut."

Lalu, tindakan apa yang dimaksud dengan ‘Hal ini berguna, tidak tercela, dibenarkan oleh para bijaksana dan sesuatu yang membawa keberuntungan dan kebahagiaan itu ?’

Di dalam Kalama Sutta itu pula, Sang Buddha telah memberikan nasihatnya sekaligus menjawab pertanyaan tersebut diatas secara singkat namun padat yaitu :

Kita harus melatih diri untuk membebaskan diri dari cengkeraman sifat-sifat SERAKAH/KETAMAKAN (lobha), KEBENCIAN (dosa) dan KEBODOHAN BATIN (moha) sehingga kita dapat mengendalikan diri dengan baik untuk tidak melakukan penganiayaan dan pembunuhan makhluk hidup, tidak mengambil sesuatu yang tidak diberikan (mencuri), tidak melakukan perzinahan, tidak mengucapkan kata-kata yang tidak benar (berbohong), dan tidak menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain.

Bila kita telah mampu dan telah terbebas dari sifat-sifat ketamakan, kebencian dan kebodohan batin tersebut, maka dengan sendirinya kita dapat mengendalikan diri dengan baik dan pikiran menjadi terpusat, sedangkan batin kita akan dipenuhi oleh cinta kasih, belas kasih, simpati, dan keseimbangan batin (Brahmavihara) yang berkembang terus tanpa batas, terbebas dari permusuhan dan perasaan tertekan. Dan tentu saja hal-hal tersebut akan memberikan banyak manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain, tidak akan di cela oleh orang-orang yang berpandangan benar, para bijaksanawan pun akan setuju dan membenarkan perbuatan kebajikan kita, sehingga jika kita hidup sesuai dengan hal-hal tersebut, pastilah akan mendatangkan perlindungan, keselamatan, keberuntungan serta kebahagiaan bagi diri sendiri dan makhluk lainnya.


Waru, 21 September 2013


-oOo-




Tidak ada komentar:

Posting Komentar