DAMPAK
AJARAN ‘EHIPASSIKO’ YANG DISALAHMENGERTI
Oleh : Upa. Amaro
Tanhadi
“Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu;
atau oleh karena sesuatu yang merupakan tradisi;
atau sesuatu yang didesas-desuskan.
Janganlah percaya begitu saja apa yang dikatakan di dalam kitab-kitab
suci;
juga apa yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka;
juga apa yang katanya merupakan hasil dari suatu penelitian;
juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama;
juga apa yang terlihat cocok dengan pandanganmu;
atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu.'
Tetapi, setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui,
'Hal ini berguna; hal ini tidak tercela;
hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana;
hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan
kebahagiaan,'
maka sudah selayaknya kamu menerima
maka sudah selayaknya kamu menerima
dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut."
( Anguttara Nikaya 3.65 : Kalama Sutta )
Seperti yang telah banyak diketahui oleh umat Buddha bahwa
Kalama Sutta inilah yang mendasari Ajaran Sang Buddha yang disebut Ehipassiko (secara harfiah diterjemahkan sebagai : datang dan
lihatlah sendiri), yaitu Ajaran yang mengajarkan kepada kita untuk menyelidiki
terlebih dahulu secara cermat terhadap sebuah kepercayaan atau agama yang
hendak kita jadikan pedoman atau pegangan hidup, kemudian setelah diselidiki
dengan cermat, seyogianya kita mempraktikkannya sendiri untuk memastikan apakah
ajaran tersebut bermanfaat atau tidak bermanfaat, dibenarkan atau dicela oleh
para bijaksanawan, membawa keberuntungan
atau kerugian, membawa kebahagiaan atau penderitaan bagi diri kita sendiri dan
orang lain?
Namun sayangnya, masih ada beberapa umat Buddha sendiri yang
secara agak serampangan memahami Kalama Sutta tersebut dengan hanya mengambil
sepotong kalimatnya saja (yang ‘katanya’ merupakan inti dari Kalama Sutta)
yaitu : “Janganlah
percaya begitu saja..., tetapi apabila setelah diselidiki sendiri..”,
dan potongan kalimat inilah yang diartikan oleh mereka sebagai Ehipassiko!
Jelas ini adalah salah satu kekeliruan yang cukup fatal dalam memahami makna
secara keseluruhan dari Kalama Sutta tersebut, dan inilah yang membuat
seseorang menjadi takabur (angkuh; sombong); merasa dirinya lebih hebat dari
ajaran-ajaran yang tertulis di kitab suci, sehingga merasa sah-sah saja
mengabaikan Tipitaka dengan alasan Tipitaka sudah tidak murni lagi berisikan
ajaran-ajaran Sang Buddha ! (?). Koq tahu ? atau sok tahu?
Bahkan ada yang ekstrim menilai orang lain dengan mengatakan
bahwa orang-orang yang banyak membaca dan mempelajari Sutta-Sutta yang terdapat
di dalam Tipitaka itu hanyalah pandai berTEORI saja, praktiknya NOL BESAR! Bagi
orang yang beranggapan demikian, tampaknya mereka lebih suka ber-Ehipassiko
dengan CARANYA SENDIRI tanpa harus repot-repot mempelajari Ajaran Sang Buddha
yang tertulis dalam Tipitaka. [Tipitaka berisikan ribuan Sutta yang dikelompokkan
menjadi SUTTA PITAKA yang dibagi menjadi Empat kumpulan buku (nikaya) ditambah lagi dengan satu nikaya yang berisikan 15 kitab kumpulan
khotbah pendek, belum lagi ajaran Sang Buddha yang terdapat dalam VINAYA PITAKA
( terdiri dari 5 buku) dan ABHIDHAMMA PITAKA (terdiri dari 7 buku)].
“Lieur euy !” kata
orang sunda.
“ Malas ahhh bacanya…terlalu
jelimet, sulit dimengerti, gak ada waktu untuk membacanya !” demikianlah
alasan yang mungkin sering kita dengar dari beberapa umat Buddha sendiri. Halo…Bagaimana
dengan Anda sendiri ?
Pertanyaannya adalah : ‘Bagaimana jika ternyata Ehipassiko
yang dilakukan dengan ‘caranya sendiri’ itu menyesatkan dan hanya menguntungkan
dirinya sendiri tetapi merugikan orang lain ?, hanya membuat dirinya sendiri
bahagia tetapi membuat orang lain menderita? hanya membuat dirinya sendiri
merasa mulia tetapi orang lain melihatnya sebagai sesuatu yang tercela? dan
hanya merasa dirinya sudah paling benar tetapi orang lain menilainya sebagai
suatu kesalahan?
Padahal bila kita amati dengan cermat, ESENSI Kalama Sutta
secara lengkapnya adalah :
“…Tetapi, setelah diselidiki sendiri,
kamu mengetahui,
'Hal ini berguna;
hal ini tidak tercela;
hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana;
hal ini kalau terus dilakukan akan
membawa keberuntungan dan kebahagiaan,'
maka sudah selayaknya kamu menerima dan
hidup sesuai dengan hal-hal tersebut."
Lalu, tindakan apa yang dimaksud dengan
‘Hal ini berguna, tidak tercela, dibenarkan oleh para bijaksana dan sesuatu
yang membawa keberuntungan dan kebahagiaan itu ?’
Di dalam Kalama Sutta itu pula, Sang Buddha telah memberikan
nasihatnya sekaligus menjawab pertanyaan tersebut diatas secara singkat namun
padat yaitu :
Kita harus melatih diri untuk membebaskan diri dari
cengkeraman sifat-sifat SERAKAH/KETAMAKAN (lobha), KEBENCIAN
(dosa) dan KEBODOHAN
BATIN (moha) sehingga kita
dapat mengendalikan diri dengan baik untuk tidak melakukan penganiayaan dan
pembunuhan makhluk hidup, tidak mengambil sesuatu yang tidak diberikan
(mencuri), tidak melakukan perzinahan, tidak mengucapkan kata-kata yang tidak
benar (berbohong), dan tidak menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain.
Bila kita telah mampu dan telah terbebas dari sifat-sifat
ketamakan, kebencian dan kebodohan batin tersebut, maka dengan sendirinya kita
dapat mengendalikan diri dengan baik dan pikiran menjadi terpusat, sedangkan
batin kita akan dipenuhi oleh cinta kasih, belas kasih, simpati, dan keseimbangan
batin (Brahmavihara) yang
berkembang terus tanpa batas, terbebas dari permusuhan dan perasaan tertekan.
Dan tentu saja hal-hal tersebut akan memberikan banyak manfaat bagi diri
sendiri maupun orang lain, tidak akan di cela oleh orang-orang yang
berpandangan benar, para bijaksanawan pun akan setuju dan membenarkan perbuatan
kebajikan kita, sehingga jika kita hidup sesuai dengan hal-hal tersebut,
pastilah akan mendatangkan perlindungan, keselamatan, keberuntungan serta
kebahagiaan bagi diri sendiri dan makhluk lainnya.
Waru, 21 September 2013
-oOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar