Minggu, September 01, 2013

Dhammapada XXII : 316-317- Kisah Para Pertapa Nigantha

KISAH PARA PERTAPA NIGANTHA
 Dhammapada XXII : 316-317


Suatu hari, beberapa pertapa Nigantha pergi untuk mengumpulkan dana makanan dengan mangkok mereka yang ditutupi dengan sepotong kain.

Beberapa bhikkhu melihat mereka dan berkomentar, "Para pertapa Nigantha ini, yang menutupi tubuh bagian depan lebih terhormat dibandingkan dengan para pertapa Acelaka yang pergi tanpa mengenakan penutup apapun".

Mendengar komentar ini, para pertapa tersebut menjawab dengan pedas, "Ya, sesungguhnya, kami benar-benar menutupi bagian depan kami (dengan menutupi mangkuk kami); tetapi kami menutupinya bukan karena malu pergi bertelanjang. Kami hanya menutupi mangkuk kami untuk mencegah debu pada makanan kami, karena biarpun debu sekalipun, tetap mengandung kehidupan di dalamnya".
       
Ketika para bhikkhu tersebut menceritakan apa yang dikatakan para pertapa Nigantha kepada Sang Buddha, Beliau menjawab, "Para bhikkhu, para pertapa tersebut yang pergi dengan menutupi hanya bagian depan tubuh mereka tidak malu dengan apa yang seharusnya memalukan, tetapi malu dengan apa yang seharusnya tidak memalukan; karena pandangan salah mereka, maka mereka hanya akan menuju ke tujuan yang buruk".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 316 dan 317 berikut ini:

Mereka yang merasa malu
terhadap apa yang sebenarnya tidak memalukan,
dan sebaliknya tidak merasa malu
terhadap apa yang sebenarnya memalukan;
maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu
akan masuk ke dalam sengsara.
(316)

Mereka yang merasa takut
terhadap apa yang sebenarnya tidak menakutkan,
dan sebaliknya tidak merasa takut
 terhadap apa yang sebenarnya menakutkan;
maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu
akan masuk ke alam sengsara.
(317)

Pada akhir khotbah Dhamma ini, banyak pertapa Nigantha menjadi ketakutan dan bergabung dalam Pasamuan Bhikkhu (Sangha).

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar