Jumat, September 11, 2009

HUKUM KARMA ( Bag.I )

Disusun oleh : Tanhadi

1.   Pengantar

Karma (bhs. Sanskerta) atau Kamma (bhs. Pali) berarti perbuatan atau aksi. Sang Buddha dalam Angutara Nikaya III : 415 menjelaskan secara jelas arti dari Karma :

karena didahului oleh kehendak,
seseorang lalu bertindak dengan jasmani, 
ucapan dan pikiran “.

Sejak dari jaman dahulu kala sampai dengan saat ini Hukum Kamma merupakan sebuah teka-teki bagi kebanyakan masyarakat non-Buddhis, karena mereka lebih mengenal paham Takdir atau Nasib ketimbang Hukum Kamma. Hal ini dapat dimaklumi, karena di-kitab-kitab suci mereka tidak ada satu katapun yang menyebutkan tentang Hukum Kamma.

Jadi, kamma berarti semua jenis kehendak (cetana), perbuatan yang baik maupun buruk/jahat, yang dilakukan oleh jasmani (kaya), perkataan (vaci) dan pikiran (mano), yang baik (kusala) maupun yang jahat (akusala).

Kamma atau sering disebut sebagai Hukum Kamma, merupakan salah satu hukum universal atau hukum alam yang bekerja berdasarkan prinsip sebab-akibat. Selama suatu makhluk berkehendak, melakukan kamma (perbuatan) sebagai sebab, maka akan menimbulkan akibat atau hasil.

Sering kita mendengar bahwa suatu kejadian yang tidak diduga sebelumnya dikatakan sebagai suatu kebetulan saja. Didalam paham Buddhisme tidak mengenal adanya istilah Kebetulan saja, sebab didunia ini tidak ada sesuatupun yang muncul dari ketidakadaan, tidak ada sesuatupun yang terjadi begitu saja tanpa ada sebab yang mendahuluinya , hal ini telah dijelaskan oleh sang Buddha :

“ Dengan adanya ini, terjadilah itu. 
Dengan timbulnya ini, timbulah itu. 
Dengan tidak adanya ini, maka tidak ada itu.
Dengan lenyapnya ini, maka lenyaplah itu. “
(Khuddhaka Nikaya, Udana 40 )

Mungkin akan timbul suatu pertanyaan dalam diri  kita; kalau bukan suatu kebetulan, apa yang dapat kita jelaskan tentang hal tersebut ?

Menyatakan suatu kebetulan adalah boleh-boleh saja, seperti halnya seorang pria dan wanita yang saling berjumpa disuatu toko, mereka mengatakan ; “wah....kebetulan sekali kita bertemu disini...emang kamu mau beli apa ?”..dan bermula dari pertemuan saat itu, kemudian berlanjut hingga terjalinnya suatu hubungan yang lebih serius dan dikemudian hari merekapun pada akhirnya memutuskan untuk menikah.

Kejadian tersebut sebenarnya samasekali bukan suatu kebetulan, karena baik si A maupun si B sejak keluar dari rumahnya masing-masing, sama-sama mempunyai alasan, rencana, niat maupun tujuan tertentu ke toko tersebut,...disini ada suatu proses  Sebab - akibat  yang sedang terjadi “. Jalinan perasaan yang sangat kuat diantara mereka pada kehidupan lampaunya adalah salah satu penyebab terjadinya pertemuan kembali dalam kehidupan saat ini, begitu pula kehidupan kita saat ini menjadi seorang anak dari ayah dan ibu kita…, disini Hukum Karma bekerja dan dapat diibaratkan seperti adanya suatu hubungan Hutang-Piutang antara kita dengan orang tua kita.

Hukum kamma adalah  salah satu bagian dari ajaran Sang Buddha yang sangat penting dan cukup sulit untuk dipahami oleh kebanyakan orang, namun bagi yang mempercayai maupun yang tidak mempercayai adanya hukum kamma, ia tetap akan menerima hukum kamma yang sifatnya universal ini.

“ Tidak ada tempat sembunyi untuk melarikan diri dari hasil Kamma “
( Dhammapada 127 )

Sebagai umat Buddhis, tentu saja kita harus mengerti dan memahami inti ajaran Sang Buddha, sebab kalau kita tidak memahaminya, samalah artinya kita ini sebagai umat Buddha KTP yang tahunya hanya ikut-ikutan ke Vihara dan melakukan ritual-ritual tanpa mengerti maksud dan manfaatnya.

Untuk itulah saya mencoba merangkum semua pengertian dan pemahaman dari berbagai sumber yang berkenaan dengan Hukum Kamma dan Tumimbal lahir, dimana kedua ajaran ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari dan sekaligus sebagai bahan pengkajian lebih lanjut tentang bagaimana kita sebaiknya berprilaku, baik yang dilakukan oleh pikiran, ucapan dan perbuatan jasmani.

Tentu saja pengertian dan pemahaman yang ada didalam buku ini belum dapat mewakili secara menyeluruh Buddha Dhamma, namun semoga saja dapat menambah wawasan bagi kita untuk lebih mengenal Buddha Dhamma yang agung dan sangat luas ini.


Bab. I
Kamma

"Sesuai dengan benih yang di tabur,
 begitulah buah yang akan dipetiknya.
Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebaikan,
pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula.
Taburlah biji-biji benih
 dan engkau pulalah yang akan merasakan 
buah dari padanya".
( Samuddaka Sutta; Samyutta Nikaya 11.10 {S 1.227})

Ajaran Sang Buddha tentang Hukum Kamma berbeda dengan paham yang meyakini adanya Takdir Illahi. Hukum Kamma berpusat pada suatu perbuatan yang dilakukan oleh diri sendiri dan hasilnya hanya untuk diri sendiri, tidak ada Si pemberi hukuman atas perbuatan buruk yang kita lakukan, tidak ada pula si Pemberi pahala atas perbuatan baik yang kita lakukan, dengan demikian hukum Kamma adalah hukum yang sangat adil, sekaligus dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan sulit tentang adanya perbedaan-perbedaan jalan hidup serta fenomena kehidupan yang tampaknya jauh dari azas Keadilan ini ;

Mengapa seseorang kaya dan berkuasa, sedangkan yang lain miskin dan tertekan ?

Mengapa seseorang sepanjang hidupnya sehat, sementara yang lain sejak lahir telah sakit dan cenderung sakit-sakitan ?

Mengapa ada yang terlahir dengan anggota tubuh lengkap, sementara ada yang terlahir dengan cacat, tanpa lengan atau kaki ?

Mengapa seseorang terberkahi rupa yang menawan dan kecerdasan, sedang yang lain buruk rupa dan dungu ?

Mengapa ada yang buta,tuli, bisu dan idiot, sedang yang lain tidak ?

Mengapa seorang anak terlahir diantara kemelaratan dan kemalangan, namun ada yang terlahir ditengah kemakmuran dan kesenangan ?

Mengapa seorang anak terlahir dari seorang penjahat, sementara ada yang terlahir dari orang tua yang mulia dan mengenyam pendidikan moral yang baik ?

Mengapa seseorang seringkali tanpa bersusah payah, sukses dalam seluruh bidang usahanya, sedangkan yang lain walaupun telah bekerja keras, selalu gagal mewujudkan rencananya ?

Mengapa seseorang dapat hidup dalam kelimpahan, sedangkan yang lain harus hidup dalam kemelaratan ?

Mengapa ada yang menikmati panjang usia, namun ada yang meninggal pada awal kehidupannya, bahkan sebelum sempat dilahirkan ?

Mungkinkah segala perbedaan yang ada pada manusia ini disebabkan oleh faktor keturunan dan lingkungan ?,  kita harus mengakui bahwa semua fenomena fisik-kimiawi yang diungkapkan oleh para ilmuwan, sebagian adalah sebagai faktor pembantu, tetapi tidak seluruhnya mutlak bertanggung jawab atas perbedaan-perbedaan besar yang terdapat di antara individu-individu. Lalu mengapa ada anak kembar yang memiliki tubuh serupa, mewarisi gen yang sejenis, menikmati kesempatan asuhan yang sama, seringkali memiliki watak, moral dan kecerdasan yang sangat berbeda ?

Keturunan saja tidak dapat menyebabkan perbedaan-perbedaan yang besar ini. Sesungguhnya,faktor keturunan lebih masuk akal atas persamaan-persamaan mereka daripada atas perbedaan-perbedaan. Benih fisik-kimiawi dengan panjangnya kira-kira sepertiga puluh inci yang diwarisi dari orang tua, hanya menerangkan satu bagian dari manusia, yaitu dasar fisiknya. Mengenai perbedaan-perbedaan batin, intelektual dan moral yang jauh lebih kompleks dan halus itu diperlukan penerangan batin yang lebih dalam. Teori keturunan tidak dapat memberikan suatu jawaban yang memuaskan tentang lahirnya seorang kriminal dalam sebuah keluarga yang mempunyai leluhur terhormat atau kelahiran seorang suci atau mulia dalam sebuah keluarga yang memiliki reputasi jelek dan tentang lahirnya seorang ideot, manusia genius dan guru-guru besar spiritual.

Menurut agama Buddha, perbedaan-perbedaan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor keturunan dan lingkungan, tetapi juga disebabkan oleh kamma kita sendiri, suatu perbuatan baik atau buruk memiliki akibatnya pada suatu saat, disuatu tempat.

Kebanyakan orang akan mengatakan bahwa semuanya itu adalah merupakan nasib atau Takdir Illahi..., semua yang terjadi adalah atas rencana dan kehendak Tuhan.......,Penjelasan-penjelasan seperti itu, pada awalnya memang bisa menghibur, memberikan ketabahan dan harapan bagi manusia untuk menghadapi kenyataan-kenyataan pahit dalam hidupnya. Tetapi karena Tuhan dilibatkan dalam penjelasan tersebut dan digambarkan sebagai " Sosok Yang Maha Kuasa " yang memiliki sifat-sifat seperti manusia; murka, cemburu, menghukum, berjanji, memberikan hadiah dan sebagainya, akhirnya justeru menimbulkan banyak kerancuan dan gambaran Tuhan jadi tidak sempurna bahkan membingungkan.

Agama Buddha menyangkal adanya nasib baik atau buruk karena takdir ataupun atas kehendak dan Rencana Tuhan. Agama Buddha mengajarkan sebab-musabab yang alami seperti halnya ilmu pengetahuan tentang aksi-reaksi. Dalam ajaran Buddha, apa yang tampak tidak adil itu  dijelaskan dengan dalil Kamma ( karma );

“ Semua makhluk adalah pemilik kammanya sendiri, 
pewaris kammanya, 
kammanya adalah kandungan yang melahirkannya,
dengan kammanya dia berhubungan, 
kammanya adalah pelindungnya. 
Apapun kammanya, baik atau buruk, 
mereka akan mewarisinya “.
( Majjhima Nikaya III : 135 ).

“ Semua makhluk memiliki kammanya sendiri,
mewarisi kammanya sendiri, 
lahir dari kammanya sendiri,
berhubungan dengan kammanya sendiri,
terlindung oleh kammanya sendiri.
Kammalah yang membuat semua makhluk 
menjadi berbeda, hina atau mulia “.
( Majjhima Nikaya 55 )

Hukum Kamma terbebas dari gagasan mengenai Penghakiman, Ganjaran, Pahala atau Penjatuhan Hukuman. Setiap perbuatan yang dilandasi oleh Kehendak, Pikiran, Ucapan dan Tindakan jasmani, akan membuahkan hasil atau akibat.  Perbuatan baik akan berbuah baik, perbuatan buruk akan berbuah buruk. Ini bukan penjatuhan hukuman ataupun pahala yang diberikan oleh siapapun atau kekuatan apapun yang menghakimi perbuatan kita, .... Siapa yang berbuat, dialah yang bertanggung jawab atas perbuatannya.

Salah pengertian tentang Hukum Kamma, ialah anggapan bahwa setiap perbuatan pasti berakibat, misalnya tindakan negatif, pasti tak terhindarkan/ mutlak akan berbuah negatif.

Memang benar bahwa kita akan memetik buah perbuatan yang kita tanam, kita adalah produksi (akibat) dari kumulatif perbuatan yang kita lakukan pada kelahiran di waktu lampau, dan perbuatan yang kita lakukan pada saat ini akan menjadi kumulatif akibat pada kelahiran berikutnya, Sang Buddha mengajarkan kepada kita bahwa perbedaan-perbedaan tersebut diatas berhubungan dengan karma kita masing-masing, namun Sang Buddha tidak menyatakan bahwa segala sesuatu hanya disebabkan oleh kamma saja.

Apabila segala sesuatu hanya disebabkan oleh karma, maka seorang penjahat akan selamanya menjadi jahat, karena kammanya yang menjadikan dirinya jahat dan orang yang sakit tidak perlu memeriksakan dirinya ke dokter untuk disembuhkan penyakitnya, karena bila kammanya memang harus demikian ia pasti akan sembuh dengan sendirinya.

Dalam Abhidhamma, Kamma hanyalah satu dari 24 kondisi-kondisi kausal (paccaya). Dengan demikian, maka tidak semua pengalaman yang kita alami berasal dari kamma. Dalam Anguttara Nikaya dijelaskan bahwa seandainya semua pengalaman hidup kita disebabkan oleh kamma lampau, maka seseorang yang menjadi pembunuh, pencuri, penjahat atau orang tidak bermoral tidak harus bertanggungjawab atas perbuatannya. Untuk apa mereka berusaha menjauhi perbuatan jahat jika mereka sudah ditakdirkan menjadi penjahat oleh kammanya.

Sang Buddha menjelaskan hal itu didalam  Anguttara  Nikaya  I : 248 .;

"Bila seseorang mengatakan, bahwa hanya apa yang diperbuat itulah yang akan diperolehnya, jika hal itu benar, maka menuntut kehidupan suci tidaklah berarti (*1) , sebab tak ada kesempatan untuk mengatasi penderitaan.

Tetapi bila seseorang berkata, bahwa bila seseorang berbuat demi apa yang hendak diperolehnya, lalu itulah yang diperolehnya, maka menuntut kehidupan suci adalah berarti, karena ada kesempatan untuk menghancurkan penderitaan. Contohnya,....suatu kejahatan kecil dilakukan seseorang, tindakan itu bisa berbuah pada kehidupan ini atau samasekali tidak berbuah. Sekarang manusia yang bagaimana, yang walaupun dengan kejahatan kecil sekalipun tetap akan membawanya ke Neraka ?.(*2)

Seseorang yang tidak berhati-hati dalam mengembangkan tindakan jasmani, pikiran dan ucapannya, dia tidak mengembangkan kebijaksanaannya, dia seorang yang tidak berarti, dia tidak mengembangkan dirinya sendiri, hidupnya sempit dan dapat diukur, Perbuatan kecil saja dapat membawanya ke Neraka.

Lalu sekarang, seseorang yang dengan hati-hati mengembangkan tindakan jasmani, pikiran dan ucapannya, dia mengembangkan kebijaksanaannya, dia seorang yang berarti, dia mengembangkan dirinya sendiri, hidupnya tanpa batas dan tidak terukur. Bagi orang seperti ini, sebuah kejahatan kecil bisa berbuah dikehidupan ini atau tidak samasekali.

Seandainya seorang menaruh sejumput garam kedalam sebuah cawan kecil, air tersebut tidak akan bisa diminum, mengapa?, karena cawan itu kecil....
Nah, sekarang, seandainya seorang menaruh sejumput garam ke sungai Gangga, airnya akan tetap dapat diminum, karena banyaknya air di sungai tersebut".

Kamma bersifat samvattanika, artinya “mengarah terjadinya”, Dengan demikian, Hukum Kamma adalah berarti suatu kecenderungan, bukan sekadar suatu konsekwensi yang tak dapat diubah dan mutlak tidak dapat dihindari. Perbuatan yang dikehendaki atau kamma yang diperbuat dalam kelahiran sebelumnya, merupakan benih atau akar yang turut menyebabkan nasib baik atau malang dikehidupan saat ini, dan perbuatan baik atau buruk saat ini akan turut menyebabkan nasib baik atau malang pada kehidupan berikutnya. Jadi apapun kondisi yang terjadi saat ini, apakah bahagia atau menderita adalah merupakan hasil Akumulasi perbuatan yang dilakukan sebelumnya. (Hukum Sebab-Akibat yang saling berhubungan ini dikenal dalam Buddhisme sebagai Paticcasamuppada dan akan kita bahas secara rinci pada bab-bab berikutnya........).

Kamma dapat berbuah jika hadir secara lengkap beberapa unsur yang mendukungnya. Jadi, tidak semua benih kamma menghasilkan buah kamma. Bila unsur pendukung berupa kondisi tidak ada, maka benih kamma tidak bisa berbuah menjadi suatu efek/akibat. kamma yang tidak menghasilkan buah kamma disebut sebagai Ahosi kamma (kamma yang sudah tidak efektif lagi).

Cara kerja Hukum Kamma terkadang tampak bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Kita sering menemukan orang yang dalam kehidupan sehari-harinya banyak melakukan kebajikan tetapi hidupnya banyak mengalami rintangan dan penderitaan, dan sebaliknya ada seseorang yang pekerjaannya sebagai perampok, lintah darat dan hal-hal yang berbau kejahatan, tetapi hidupnya makmur, serba mewah dan terpandang. Mengapa demikian? Apakah hukum kamma-nya keliru?

Tentu saja bukan hukum kammanya yang keliru....., bila hukum kamma diumpamakan sebagai sebuah lahan yang ditanami pohon  mangga dan bibit pohon kelapa, maka sudah tentu pohon mangga akan tumbuh terlebih dahulu daripada pohon kelapa, karena keduanya mempunyai usia pertumbuhan yang berbeda. Demikian pula halnya dengan perbuatan baik dan buruk, Kalau kita sudah berbuat baik tetapi masih menderita, ini disebabkan karena perbuatan baik kita belum saatnya dituai / dipanen. Dalam hal ini kita memetik buah dari perbuatan buruk terlebih dahulu. Jadi semua itu ada waktunya, walaupun adakalanya masih bisa dipercepat sampai batas-batas tertentu.

Menurut ajaran Buddha, matangnya buah kamma seseorang dipengaruhi oleh banyak sekali kondisi-kondisi dan sangat kompleks. Cara kerja hukum kamma sangat rumit, melibatkan banyak unsur sehingga perbuatan tidak selalu menghasilkan akibat di kehidupan sekarang, namun berkaitan dengan kehidupan masa akan datang, seperti tertera dalam Dhammapadda 119-120:

Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik 
selama buah perbuatan jahatnya belum masak, 
tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, 
ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.

Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk 
selama buah perbuatan bajiknya belum masak, 
tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, 
ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik.

Foot note :

( *1) Kehidupan suci adalah seseorang yang telah bertekad untuk melepaskan kehidupan yang bersifat  keduniawian dan ingin mencapai tingkat ke-Buddha-an dengan tujuan akhir adalah Nibbana, yaitu dengan pemahaman tentang Empat Kebenaran Mulia, melaksanakan Delapan Jalan Kebenaran Mulia dan Menghindari Tiga Kejahatan yang dilakukan oleh Pikiran, Ucapan dan Tindakan Jasmani dalam kehidupan sehari-harinya.

EMPAT KEBENARAN MULIA , yaitu :
          1. Penderitaan
          2. Asal penderitaan
          3. Akhir penderitaan
          4. Jalan menuju akhir penderitaan

DELAPAN JALAN KEBENARAN MULIA, yaitu :
          1. Pengertian benar
          2. Pikiran benar
          3. Ucapan benar
          4, Perbuatan benar
          5. Mata pencaharian benar
          6. Upaya benar
          7. Perhatian benar
          8. Konsentrasi benar

TIGA KEJAHATAN , yang dilakukan oleh ;
1. Pikiran : Keserakahan, Kehendak/niat  buruk, Kebencian, Kepercayaan dan pengertian  yang salah.

2. Ucapan : Berdusta, Memfitnah, Penipuan, Berbicara kasar dan menghina, berbicara tentang keburukan seseorang dan berbicara mengenai hal-hal yang tidak perlu ( omong kosong ).

3. Tindakan Jasmani : Pembunuhan, Pencurian, Perzinahan, Mabuk- mabukan.

(*2)  Neraka atau Surga, yang dimaksudkan oleh Sang Buddha adalah mengacu pada suatu keadaan perasaan-perasaan / batin yang penuh dengan penderitaan  dan  menyakitkan.  Sang  Buddha  menolak paham adanya Neraka kekal dan Surga kekal yang dipandang sebagai suatu ketidakadilan.

Sang Buddha bersabda :

“ Apabila seorang dungu berkata 
bahwa Neraka ada dibawah laut,
 maka sebenarnya mereka berkata palsu tak berdasar,
istilah “ Neraka “menunjukkan 
perasaan-perasaan yang menyakitkan “.
( Samyutta Nikaya  IV : 206 )

( bersambung ke Hukum Kamma bag. II)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar