Sabtu, Januari 01, 2011

JANGANLAH PERCAYA DENGAN KETAKHAYULAN

Oleh: Bhikkhu Gunasilo

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Assaddho akataññū ca, sandhiccedho ca yo naro
Hatāvakāso vantāso, sa ve uttamaporiso


Orang yang telah terbebas dari ketahayulan,
yang telah mengerti keadaan tak tercipta (Nibbāna),
yang telah memutuskan semua ikatan (tumimbal lahir),
yang telah mengakhiri kesempatan (baik dan jahat),
yang telah menyingkirkan semua nafsu keinginan;
maka sesungguhnya ia adalah orang yang paling mulia.
(Dhammapada 97)

Pada zaman dahulu hingga sekarang orangtua kita cenderung mempercayai adanya ketakhayulan. Menurut cerita-cerita kuno, bagi siapa saja yang tidak mempercayai adanya tanda-tanda buruk, maka ia akan celaka. Orangtua kita dahulu mengatakan bahwa tanda-tanda buruk ini harus dipercayai, karena ini sudah turun-temurun dan tidak boleh dilanggar.

Berikut ini adalah contoh tanda-tanda buruk yang dipercayai oleh sebagian masyarakat hingga sekarang. Misalnya, ketika berada di rumah, tiba-tiba pada siang hari kita dikejutkan oleh suara burung gagak, burung ini terus berkicau di luar rumah, maka ini merupakan pertanda buruk bahwa di sekitar rumah kita nantinya bakal ada yang meninggal dunia. Contoh lain, apabila kita ingin pergi ke rumah duka, kadang-kadang kita dilarang dengan alasan apabila kita pergi maka akan mengalami kesialan. Untuk menangkal hal ini, biasanya orangtua mengajarkan anak-anaknya membawa jahe, cabe merah, paku yang kemudian diikat dan dimasukkan ke dalam kantong kain. Setelah pulang dari rumah duka kantong tersebut dibuang di jalanan. Semua ketakhayulan ini seharusnya sudah kita tinggalkan, karena hal semacam ini tidak bisa diterima dengan akal sehat serta tidak sesuai dengan ajaran kebenaran. Anehnya, orang-orang zaman sekarang yang sudah berpendidikan tinggi dan serba modern masih saja mempercayai adanya ketakhayulan ini, bahkan ia mengajarkan anak-anaknya untuk mempercayai dengan tujuan agar anak-anaknya dapat terbebas dari kesialan. Padahal tanda-tanda buruk ini belum tentu benar, apabila dibuktikan kebenarannya.

Misalnya, apabila ada suara burung gagak di pekarangan rumah kita; apakah benar akan ada orang yang meninggal dunia? Seandainya saja benar, mungkin saja hal ini disebabkan karena di sekitar lingkungan kita ada orang yang terkena penyakit keras yang sulit untuk sembuh ataupun orang yang sudah sewajarnya harus meninggal dunia karena usianya sudah tua. Jadi, meninggalnya seseorang bukan disebabkan oleh suara burung gagak. Bagi mereka yang suka mempercayai adanya ketakhayulan ini bukannya mendatangkan kedamaian, kebahagiaan, tetapi akan mendatangkan keterikatan, belenggu, dan penderitaan baginya. Oleh karena itu, janganlah mudah percaya terhadap hal-hal yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.

Pada zaman Sang Buddha, kejadian ini juga sering terjadi. Salah satunya dikisahkan bahwa di Rajagaha tinggallah seorang brahmana yang memiliki kepercayaan takhayul dan memiliki pandangan salah serta tidak memiliki kepercayaan terhadap Sang Tiratana. Brahmana ini sangat kaya dan memiliki kekayaan yang berlimpah. Pada suatu hari, ada seekor tikus betina yang menggigit pakaian brahmana tersebut di bagian dadanya. Setelah mandi, ia diberitahu bahwa pakaiannya digigit tikus. Kemudian ia menyuruh anaknya untuk membuang baju tersebut dengan menggunakan kayu, karena akan membawa kesialan jika pakaian itu disentuh. Ketika mau dibuang, anak brahmana tersebut bertemu dengan Sang Buddha. Setelah dibuang, Sang Buddha memungutnya dan hal ini diadukan kepada orangtuanya. Lalu brahmana tersebut mendatangi Sang Buddha dengan membawa pakaian yang lebih bagus untuk ditukar dengan pakaian yang telah dibuang itu dengan tujuan agar Sang Buddha terbebas dari bahaya.

Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepada brahmana itu bahwa secara jelas saya telah mengumumkan kepada dunia bahwa saya puas terhadap kain-kain bekas yang terdapat di pinggir jalan atau pemandian, sampah atau di tempat pembuangan mayat. Sedangkan engkau memegang kepercayaan ketakhayulan. Kemudian Sang Buddha menceritakan kisah kelahiran yang lampau.

Pada suatu masa, pada saat pemerintahan seorang raja yang adil dari Magadha. Pada saat itu, Sang Buddha terlahir sebagai seorang brahmana. Ketika dewasa ia menjadi petapa. Melihat petapa itu, Sang Raja mengundang ke istana untuk diberikan jamuan makanan dan meminta sang petapa untuk menetap di halaman kerajaan milik raja.

Pada suatu hari, ada seorang brahmana sebagai seorang peramal pakaian dan ia memiliki sepasang pakaian yang digigit tikus persis sama kejadiannya. Pada saat dibuang, Bodhisatta mengambilnya. Ketika diberitahu oleh sang brahmana muda kepada ayahnya, ayahnya mengatakan akan terjadi kematian pada petapa raja. Kemudian brahmana itu menyuruh untuk membuangnya namun sang petapa menjawab; bagi saya, kain bekas yang dibuang adalah cukup baik, karena saya tidak percaya ketakhayulan yang tidak dibenarkan oleh para Buddha, oleh karena itu orang bijaksana sepatutnya tidak mempercayai hal-hal semacam itu. Mendengar kata-kata dari Bodhisatta, ia menyadari kesalahannya dan menyatakan diri berlindung kepada Sang Bodhisatta. Setelah menceritakan kisah itu, Sang Buddha menerangkan; siapapun yang meninggalkan ramalan-ramalan, mimpi-mimpi, pertanda buruk, orang tersebut akan bebas dari ketakhayulan dan akan memperoleh kemenangan atas moral yang rendah dan terbebas dari kemelekatan sampai akhir waktu.

Kita sebagai umat Buddha hendaknya berpedoman kepada ajaran Sang Buddha seperti yang dijelaskan dalam Kalama Sutta. Dengan cinta kasih dan kebijaksanaan, Sang Buddha menerangkan dengan seksama hal mana yang memberikan manfaat dan hal mana yang merugikan, singkatnya Sang Buddha bersabda dalama Kalama Sutta sebagai berikut:

-     Janganlah percaya begitu saja pada sesuatu yang telah engkau dengar;
-     Janganlah percaya begitu saja pada suatu tradisi, karena telah berlangsung untuk banyak generasi;

-     Janganlah percaya begitu saja sesuatu yang sedang dibicarakan dan didesas-desuskan oleh banyak orang;

-     Janganlah percaya pada sesuatu hanya karena tertulis dalam kitab-kitab agama;

-     Janganlah percaya pada sesuatu yang dikatakan sesuai logika atau kesimpulan belaka;

-     Janganlah percaya pada sesuatu yang dikatakan telah direnungkan dengan seksama;

-     Janganlah percaya pada sesuatu yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu;

-     Janganlah percaya pada sesuatu yang diucap oleh gurumu atau orang-orang yang lebih tua karena demi menghormatinya.

Akan tetapi setelah dianalisa, bahwa sesuatu itu sesuai dengan akal sehat, berfaedah, bermanfaat untuk kebaikan, tidak tercela dan dibenarkan oleh para bijaksana, dan memberi berkah bagi kita dan banyak orang, terimalah sesuatu itu dan jalankan (Kalama Sutta, Aguttara Nikāya I, 187-192).

Dengan berpedoman kepada ajaran Sang Buddha, kita tidak akan tertipu atau terbelenggu dengan segala sesuatu yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, sehingga kita akan terbebas dari ketahayulan atau kesialan dan akan memperoleh kemenangan atas moral yang rendah dan terbebas dari kemelekatan.

Sumber: Kalama Sutta, Aguttara Nikāya I, 187-192

Tidak ada komentar:

Posting Komentar