Senin, Januari 02, 2012

Dhamma Sebagai Pelita Kehidupan


Oleh: Bhikkhu Dhammajato

Sabbapajassa akaranam,
Kusalassapasampada,
Sacittapariyodapana,
Etam Buddhana sasanam.

Tidak melakukan segala bentuk kejahatan,
Senantiasa mengembangkan kebajikan,
dan membersihkan batin
Inilah ajaran para Buddha.
( Dhammapada : 183 )


Pendahuluan

Dunia semakin lama dipenuhi oleh penemuan-penemuan yang mengagumkan. Pada satu sisi kita patut bangga, karena dengan adanya penemuan tersebut, hidup kita menjadi lebih mudah. Namun di sisi yang lain, kita sangat prihatin dengan kondisi dunia saat ini, di mana kebencian, keserakahan,mudah tersinggung, stres, dan sifat mementingkan diri sendiri semakin berkembang. Perang terjadi antar negara, sehingga rakyat yang tidak tahu apa-apa harus menjadi korban dari ambisi pimpinan. Tawuran sesama warganegara menjadi hal yang biasa. Sebetulnya hal itu tidak akan terjadi, kalau kita bersama mengembangkan sikap saling peduli, saling menghormati, saling menghargai, dan saling mencintai. Sebagai sesama umat manusia yang sama-sama mendambakan keharmonisan, kedamaian, dan kebahagiaan dalam kehidupan ini, kita tidak bisa mengedepankan kepentingan kita sendiri. Dunia bisa terang dengan lampu-lampu di jalan, tetapi hati manusia semakin lama semakin redup.  

Sebab masalah

Mungkin Sangat sulit bagi kita untuk mendapatkan kebersamaan di satu negara, namun kadang kala, tidak jarang dalam satu keluargapun mengalami kesulitan yang sama, karena masing-masing memiliki pandangan hidup yang berbeda dan tidak mau menerima perbedaan yang ada. Ada tiga hal yang mempengaruhi sikap hidup seseorang dalam berhadapan dengan dunia luar, yaitu:

1) Pengaruh kebenaran menurut diri sendiri (Attadhipateyya). Seseorang melakukan perbuatan baik atau jahat sesuai dengan kesenangan dan keinginannya sendiri. Orang seperti ini dikatakan telah berbuat atas pengaruh diri sendiri. Pengertian yang demikian ini, selain mengakibatkan kemunduran bagi dirinya sendiri, juga berbahaya bagi makhluk lain. Sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, kita harus menyadari adanya hukum yang berlaku di masyarakat. Apa yang seseorang anggap baik dan benar belum tentu bagi masyarakat hal itu adalah benar. Seseorang yang selalu menganggap dirinya benar akan menimbulkan sikap yang egois, ingin menang sendiri, dan cenderung menimbulkan keresahan di masyarakat.

2) Pengaruh kebenaran menurut dunia atau masyarakat umum (Lokadhipateyya). Seseorang melakukan perbuatan baik atau jahat, karena mengikuti pendapat atau sikap orang lain. Pada tahapan ini, pengertian seseorang sedikit lebih maju, karena dia tidak lagi menganggap bahwa hanya dirinya yang paling benar, tetapi dia mengakui hukum yang ada di masyarakat atau di lingkungan sekitar dia. Keegoisan yang dimilikinya sedikit berubah dari yang pertama tadi. Namun demikian, hal ini belum mampu mencerminkan bahwa apa yang diperbuatnya akan sesuai dengan hukum kebenaran yang universal. Sebagai contoh, seseorang yang membunuh binatang yang menjadi miliknya menurut umum dan hukum negara adalah sah, tetapi menurut hukum kebenaran yang universal perbuatan itu tidak benar, karena tidak ada satupun makhluk hidup yang menginginkan penderitaan, meskipun itu seekor binatang, apalagi manusia.

3) Pengaruh kebenaran yang universal (Dhammadhipateyya). Pada tahapan ini, seseorang berbuat bukan lagi didasarkan menurut pendapat pribadi atau orang lain, tetapi pada hukum kebenaran yang universal. "Semua makhluk hidup gemetar menghadapi ancaman hukuman atau ancaman akan dibunuh, semua makhluk hidup mencintai kehidupan; setelah membandingkan bahwa makhluk lain juga seperti dirinya sendiri, hendaknya seseorang tidak menyakiti atau membunuh makhluk lain, atau menyebabkan terjadinya pembunuhan."(Dhp.X:2) Kebenaran ini berlaku di mana-mana, tidak akan terpengaruh oleh waktu, tempat, dan keadaan.  

Sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, kita tidak bisa mengedepankan kebenaran pribadi ataupun kebenaran umum (kelompok). Agar terjadi kedamaian dan keharmonisan di masyarakat yang majemuk ini, kita hendaknya bisa mengendalikan diri, menghormati, dan mencintai sesama umat manusia, bahkan sesama makhluk hidup yang menginginkan kebahagiaan.  

“Apabila seseorang ingin hidup bahagia dan memperoleh kesenangan dengan menyiksa makhluk lain, dan makhluk yang tersiksa itu juga mendambakan kebahagiaan, maka dalam kelahiran yang berikutnya, ia tidak akan memperoleh kebahagiaan."

“Apabila seseorang ingin hidup bahagia dan memperoleh kesenangan dengan tidak menyiksa makhluk lain, yang juga mendambakan kebahagiaan, maka dalam kelahiran yang berikutnya, ia akan memperoleh kebahagiaan." (Dhp. X:3,4)

Kewajiban kita

Walaupun Ajaran Dhamma yang disampaikan oleh Sang Buddha sudah lebih dari duapuluh lima abad, namun bukan berarti kebenaran Dhamma sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi kehidupan masyarakat modern saat ini. Karena sejak zaman dahulu, sekarang, dan yang akan datang semua makhluk mendambakan kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup. Oleh karena itu Dhamma masih sangat relevan, karena menuntun kita ke arah menuju pada akhir dari penderitaan. Sebagai sesama mahluk hidup yang menginginkan kedamaian dan kebahagiaan, hendaknya apa yang kita lakukan, jangan sampai menimbulkan kesengsaraan pada mahluk lain. Justru apa yang kita lakukan hendaknya bisa membuat ketentraman bagi kehidupan mereka. Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha secara ringkas adalah;

1) Tidak melakukan segala bentuk kejahatan,

Menghindari kejahatan adalah dengan pengendalian perbuatan badan jasmani dan ucapan kita agar tidak menyebabkan orang atau makhluk lain menderita. Dalam hal ini, kita minimal berusaha untuk menghindari lima perbuatan buruk atau lebih dikenal dengan sebutan Pancasila Buddhis, yaitu: menghindari pembunuhan makhluk hidup, menghindari mengambil barang milik orang lain (mencuri), menghindari berbuat asusila, menghindari berkata yang tidak benar, menghindari minum-minuman keras yang mengakibatkan lemahnya kesadaran. Dengan melakukan lima latihan kemoralan ini, seseorang akan terhindar dari perbuatan yang tidak disukai masyarakat di manapun kita tinggal. Menghindari perbuatan jahat tidak hanya berguna bagi kelompok tertentu saja, tetapi akan berguna bagi setiap makhluk hidup.  

Cara lain agar perbuatan kita tidak menimbulkan kerugian pada makhluk lain, kita bisa bercermin pada diri kita sendiri terlebih dahulu sebelum berbuat.

“Apabila seseorang bermaksud membunuhku, saya tidak akan menyukai hal itu. Demikian pula apabila saya bermaksud membunuh orang lain, dia juga tidak akan menyukainya. Apabila seseorang bermaksud mencuri milikku, saya tidak akan menyukai hal itu. Demikian pula apabila saya bermaksud mencuri milik orang lain, dia juga tidak akan menyukainya. Apabila seseorang bermaksud berselingkuh dengan pasanganku, saya tidak akan menyukai hal itu. Demikian pula apabila saya bermaksud berselingkuh dengan pasangan orang lain, dia juga tidak akan menyukainya.  

Apabila seseorang bermaksud menghancurkan keberuntungan orang lain dengan berkata yang tidak benar, memfitnah dan berkata-kata kasar pada saya, saya tidak akan menyukai hal itu. Demikian pula apabila saya bermaksud menghancurkan keberuntunganku dengan berkata yang tidak benar, memfitnah dan berkata-kata kasar pada orang lain, dia juga tidak akan menyukainya." (S,V:354)  

Pengendalian tingkah laku ini akan menjauhkan sikap kekerasan di masyarakat, tanpa mengenal suku dan kelompok. Tetapi kalau kita memegang paham bahwa diri kita atau kelompok kita yang benar, tanpa mempertimbangkan masyarakat yang lebih luas, maka kita akan mudah terperosok pada perbuatan yang tidak baik. Sebagai akibatnya, kedamaian dan kebersamaan sesama makhluk hidup yang mendambakan kehidupan yang tenang akan jauh dari harapan. Tetapi sebaliknya apabila kita mau melakukan suatu perbuatan dengan merenungkannya terlebih dahulu, maka kita akan bisa menjaga kedamaian, keharmonisan di masyarakat dan mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan selanjutnya.

2) Senantiasa mengembangkan kebajikan,

Perbuatan baik yang paling mudah dilakukan adalah dengan berdana. Melalui berdana, seseorang akan mampu menciptakan kedamaian di masyarakat. Beberapa orang mengatakan bahwa berdana hanya mampu dilakukan oleh mereka yang memiliki ekonomi cukup, sedangkan mereka yang tidak memiliki ekonomi yang cukup atau miskin tidak bisa berdana. Pandangan yang seperti ini adalah salah, karena berdana bukan hanya bisa dilakukan dengan materi saja, tetapi berdana bisa kita lakukan dengan ucapan, badan jasmani, dan pikiran. Maksud dari berdana ini adalah kita menginginkan kebahagiaan semua makhluk tanpa membeda-bedakan suku dan kelompok.

Dalam agama Buddha dikenal empat macam pemberian. Yang pertama adalah amisa dana, yaitu; pemberian yang berupa barang materi, seperti makanan, pakaian, uang, obat-obatan, dan barang-barang lain yang dapat bermanfaat bagi orang lain. Sebagai contoh kita memberi obat kepada seseorang yang sedang sakit, maka kita tidak hanya memberi kumpulan bahan kimia, tetapi kita juga telah memberi kesehatan dan kebahagiaan, bahkan kehidupan. Yang kedua adalah parichayadana, yaitu; pemberian yag berupa tenaga. Yang ketiga adalah abhayadana, yaitu pemberian rasa aman, maaf, sehingga orang tersebut akan jauh dari ketakutan. Yang keempat adalah dhammad1na, yaitu; pemberian dhamma atau menunjukkan cara hidup yang benar sesuai dengan hukum kebenaran yang universal. Diantara pemberian-pemberian, maka pemberian yang paling tinggi adalah pemberian yang terakhir ini.  

Sebagai umat Buddha ada tradisi berdana kepada Sangha, setelah para bhikkhu selesai melakukan masa vassa, yaitu; berdiam di satu tempat atau vihara selama tiga bulan dan para bhikkhu tersebut tidak diperkenankan bermalam di tempat lain. Namun, apabila ada keperluan yang sangat penting, para bhikkhu diijinkan bermalam di tempat lain tidak lebih dari tujuh malam. Tradisi berdana kepada Sangha ini dikenal dengan hari raya Kathina. Pada hari raya Kathina ini para umat mempersembahkan empat kebutuhan pokok bagi para bhikkhu, yaitu; jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan sebagai hubungan timbal balik antara umat dan para bhikkhu. Umat membantu kelangsungan hidup para bhikkhu dengan mempersembahkan kebutuhannya dan para bhikkhu membantu umat dalam segi spiritual.

Praktik berdana ini dilakukan untuk mengikis kemelekatan pada materi yang kita miliki dan mengurangi keegoan kita. Praktik dana yang terus menerus akan menimbulkan sikap mudah melepas. Karena kita hidup di masyarakat yang majemuk ini, maka tidak tertutup kemungkinan kita akan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, yang disebabkan dari perbuatan orang lain maupun diri sendiri. Ketika kita menghadapi situasi yang demikian ini, maka kita akan dengan mudah melepas, tidak sampai menyimpan kebencian dan dendam pada orang lain.  

3)  dan membersihkan batin

Setelah kita melakukan kebajikan dengan mengendalikan diri dari segala bentuk kejahatan dan menambah kebajikan dengan berdana, maka perbuatan baik yang paling tinggi adalah dengan membersihkan pikiran kita dari noda-noda yang tidak baik, yaitu; keserakahan, kebencian, dan kebodohan atau keegoisan. Hal ini hendaknya kita perhatikan juga, karena ada istilah ‘seperti musang yang berbulu domba.’ Ucapan dan perbuatannya kelihatan baik, tetapi di hatinya menyimpan kebencian yang luar biasa. Tentu hal ini akan sangat berbahaya sekali. Oleh karena itu melalui pelatihan meditasi seseorang akan membuat pikirannya menjadi tuan yang baik dan penuh cinta kasih.  

Ada dua macam meditasi yang diajarkan oleh Sang Buddha, yaitu Samatha Bhavana dan Vipassana Bhavana. Samatha Bhavana adalah meditasi untuk mencapai konsentrasi, sedangkan vipassana Bhavana adalah meditasi untuk melihat hakikat hidup sebagaimana adanya.

Apabila dalam tradisi keyakinan lain perhatian sepenuhnya ditujukan kepada tuhan, karena dengan mengerti kehendaknya mereka akan mendapatkan keselamatan, maka dalam agama Buddha, perhatian lebih ditujukan pada pikiran, sebab pikiran merupakan pemimpin, pelopor, dan pembentuk dari segala sesuatu. Dunia menjadi damai atau kacau di mulai dari pikiran. Tidak ada makhluk lain yang memiliki pengaruh lebih besar pada seseorang, kecuali pikirannya sendiri.

“Berapapun besar pertolongan ibu, ayah, atau sanak keluarga,
namun pikiran yang diarahkan secara benar
adalah lebih baik dan lebih berguna dari semua pertolongan."
(Dhp; III : 11)

Tiga hal ini kalau dijalankan dalam kehidupan sehari-hari akan membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi kita juga bagi masyarakat. Ketiga hal ini pula yang menjadi jantung dari seluruh ajaran Sang Buddha.

Kesimpulan

Kita menyadari bahwa kita tidak bisa hidup tanpa hadirnya makhluk-makhluk lain di sekitar kita. Ketika kita hidup bersama, maka akan tampaklah perbedaan-perbedaan. Namun jangan sampai perbedaan ini menjadi jurang pemisah bagi kita, karena pada dasarnya setiap makhluk adalah sama, yaitu; tidak menyukai penderitaan dan mendambakan kebahagiaan. Sebagai umat manusia yang menginginkan kebahagiaan, kedamaian, keharmonisan dalam masyarakat, kita tidak bisa menggunakan keegoisan dalam berbuat. Pengendalian diri yang benar akan menyebabkan kita bisa menjaga perbuatan maupun ucapan yang tidak baik, yang menimbulkan kecemasan dan ketakutan pada orang lain. Sedangkan memiliki prinsip untuk senantiasa berusaha membahagiakan makhluk lain sesuai dengan kemampuan kita, akan menjauhkan kita dari sikap serakah, benci, iri hati dan egois dan menumbuhkan sikap saling mencintai. Namun dengan menyadari hakikat hidup yang sesungguhnya, maka kita akan memperoleh kebahagiaan yang paling tinggi.


Daftar pustaka
* Dasar pandangan agama Buddha, Ven. S. Dhammika


Tidak ada komentar:

Posting Komentar