Rabu, Maret 21, 2012

Penyembah Berhala Dalam Pandangan Agama Buddha

PENYEMBAH BERHALA
DALAM PANDANGAN AGAMA BUDDHA

Disusun oleh : Tanhadi


Menyembah  berhala  secara  umum berarti mendirikan  patung dalam berbagai bentuk yang dipuja sebagai Tuhan. Mereka (pemeluknya) berdoa, menyembah, memberi persembahan dan memohon kemurahannya,  mencari  berkah,  perlindungan, berkah kemewahan, kesehatan dan kekayaan, bahkan memohon kepada patung tersebut untuk memenuhi bermacam kekuasaan pribadi walaupun kekuasaan itu diperoleh dengan cara yang salah. Mereka juga berdoa agar dosa mereka diampuni.

Disetiap Vihara, bila kita perhatikan, memang banyak perlengkapan sembahyang yang ada di altar, ada banyak Rupang (gambar / patung)  para  Buddha  dan  Bodhisattva dari ukuran yang kecil sampai yang maha besar dan para umat bernamaskara atau bersujud kepada patung tersebut, sehingga banyak orang salah paham dan menganggap umat Buddha  sebagai penyembah berhala.  Kesalahpahaman ini   disebabkan  oleh kurang nya pengetahuan tentang ajaran Buddha serta adat istiadat dan tradisi Buddhis atau memang mereka dengan sengaja mengemukakan pernyataan yang keliru demi kepentingan kelompoknya.

Seperti kita ketahui, bahwa Sang Buddha tidak pernah mengatakan bahwa Dia adalah Tuhan, anak Tuhan, atau Utusan Tuhan. Dia adalah seorang manusia yang telah  menyempurnakan  dirinya sendiri  dan  mengajar kan bahwa jika kita mengikuti teladan-Nya, kita juga dapat  menyempurnakan  diri kita sendiri. Umat Buddha-pun  tidak menganggap Sang Buddha sebagai Tuhan, bagaimana mungkin seseorang bisa percaya bahwa sepotong kayu, keramik atau logam, maupun gambar adalah Tuhan ?

Umat Buddha tidak berdoa maupun  menyembah kepada patung atau  berhala; apa yang mereka lakukan adalah memberi penghormatan kepada sifat-sifat seorang guru agama yang mulia, yang layak diberi penghormatan.

Dengan bersujud , umat Buddha mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Buddha atas ajaran-Nya yang telah dibabarkan kepadanya.

Penghormatan itu tidak ada bedanya dengan saat kita menunjukkan rasa hormat kepada seseorang atau sesuatu yang kita hargai. Ketika guru memasuki ruang kelas, kita berdiri. Ketika kita bersua dengan orang terhormat, kita mengangguk dan berjabat tangan. Ketika Bendera merah-putih dikibarkan dan lagu kebangsaan dinyanyikan, kita berdiri tegap dan memberi hormat. Semuanya ini adalah sikap hormat dan pemujaan  yang  menunjukkan rasa salut kita terhadap suatu pribadi atau lambang. Inilah jenis pemujaan yang dipraktekkan oleh umat Buddha.

Bagi seorang Buddhis,meskipun ada atau tidak  adanya rupang tersebut  sama sekali tidaklah penting , rupang- rupang tersebut hanya merupakan suatu tanda, simbol yang membantunya mengingat ajaran-ajaran kebenaran dari Sang Buddha. Mereka merenung dan bermeditasi untuk mendapatkan inspirasi dari kepribadian mulia Sang Buddha.


Penghormatan Terhadap Objek
Dalam setiap agama pasti terdapat objek-objek atau simbol-simbol yang ditujukan untuk penghormatan kepada guru panutan agama mereka, baik dalam bentuk visual atau dalam bentuk penggambaran secara pikiran untuk penghormatan.

Dalam agama Hindu, banyak terdapat patung Dewa, baik Dewa Brahma, Wisnu, maupun Siwa. Dan masih banyak lagi patung-patung yang lainnya. Semua patung-patung itu, merupakan simbol dari Tuhan, manifestasi dari Tuhan itu sendiri.

Dalam agama Katholik, banyak terdapat patung-patung, seperti patung Tuhan Yesus Kristus, patung Bunda Maria, serta patung para suciwan lainnya.

Dalam agama Kristen, meskipun di”haram”kan adanya patung-patung, namun mereka mempunyai lambang “Salib” , sebagai objek / image dari kekudusan, kerohanian, atau sesuatu yang “absolut” itu sendiri.

Dalam agama Islam, agama yang sangat mengharamkan adanya objek-objek pemujaan, mempunyai sebuah objek lambang-suci mereka , yaitu Ka’bah, atau rumah-Tuhan. Menurut sejarahnya, di dalam Ka’bah dulunya terdapat tiga ratus enam puluh (360 ) patung, dan sudah disingkirkan semuanya oleh Nabi Muhammad SAW.  Diluar Ka’bah terdapat Batu Hajar Aswat , yang dipercaya sebagai batu bertuah dari surga. Hingga kini, ummat Islam sedunia, bila sholat , dan juga saat-saat berdoa, memohon suatu berkah, selalu menghadap Kiblat , yaitu arah menuju rumah-Tuhan itu, Ka’bah- di Mekah di tanah-Arab. Selain itu, juga terdapat seni Kaligrafi yang menggambarkan religiusitas mereka, dan seni ini sangat terkenal dan digemari karena keelokannya.

Dalam Agama Tao, simbol yin-yang dipakai untuk melambangkan keharmonisan antara hal-hal yang berlawanan sifat, demikian pula terdapat patung-patung Dewa, seperti Dewa Bumi, Dewa Langit, Dewa Naga, Dewa Kekayaan, Dewa Kesehatan, dan lain-lain patung Dewa, yang kesemuanya berfungsi sebagai sarana untuk mengajukan permohonan kepadanya.

Dalam ajaran Sikh, pedang melambangkan perjuangan batiniah.

Dalam Kejawen, terdapat Keris-Keris, batu-batu bertuah, jimat-jimat, beberapa jenis patung, lukisan-lukisan Dewa tertentu, seperti Semar, Ratu Kidul, dan lain-lain. Ummat Kejawen, juga melakukan doa-doa serta ritual-ritual kepada Tuhan , tak jarang melalui media-media tersebut diatas,  baik secara langsung maupun tidak langsung ( Misal, dengan doa-doa seperti, “Duh Gusti Ingkang Maha Agung, Ingkang Murbeng Dumadi, Ingkang Maha Kuwaos…, Kula Nyuwun Gunging Pangapunten, Gunging Pangaksami… , Nyuwun Sih Pitulungan Panjenengan , duh Gusti Pengeran…dst.” ).

Sedangkan dalam agama Buddha, patung Buddha digunakan untuk melambangkan kesempunaan manusia. Patung  Buddha juga mengingatkan kita pada dimensi manusia dalam ajaran Buddha, bahwasanya ajaran Buddha bersifat Humanosentris ( Berpusat pada manusia), bukannya Theosentris ( berpusat pada Tuhan), kita hendaknya “ melihat ke dalam” untuk mencapai kebijaksanaan dan kesempurnaan. Jadi mengatakan bahwa umat Buddha menyembah berhala adalah tidak benar.

Melihat betapa universalnya tradisi patung-patung / objek-objek suci bagi ritual sebuah agama di berbagai agama tersebut , lalu, adakah yang salah ? Tentu tidak. Adakah yang paling benar ? Artinya, bahwa hanya ada satu patung saja yang boleh disembah, sedang yang lain harus dihancurkan ?

Sesungguhnya, semua agama sama-sama mempunyai objek pemujaannya sendiri-sendiri, dan terlepas dari agama apapun yang dianutnya, seyogyanya kita patut untuk saling menghormati tradisi agama-agama lainnya yang berbeda latar belakang, kebudayaan dan keyakinannya.

Sikap saling tuding bahwa agama yang dianut oleh orang lain adalah penyembah berhala adalah sikap yang tidak bijaksana dan sangat menyakitkan pihak yang lain dan sekaligus menunjukkan sikap ‘ke-egoisan’nya sendiri dengan beranggapan bahwa hanya agamanyalah yang paling benar dan agama yang lain adalah sesat.

Tindakan memberi penghormatan kepada seorang yang mulia seperti Sang Buddha, bukanlah suatu perbuatan yang dilakukan atas dasar rasa takut atau perbuatan untuk memohon kebahagiaan duniawi. Umat Buddha percaya bahwa mereka sendiri yang bertang-gung jawab atas keselamatan diri mereka sendiri dan tidak harus bergantung kepada pihak ketiga. Hal ini dengan jelas dikatakan oleh Sang Buddha dalam sabdanya:

" Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
oleh diri sendiri pula orang ternoda,
oleh diri sendiri kejahatan tak dilakukan,
oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci.
Suci atau tidak sucinya seseorang tergantung pada diri sendiri ;
tak ada seseorangpun yang dapat mensucikan orang lain."
( Dhammapada XII : 165 )

“....Demikian pula, ada Nibbana, ada jalan menuju ke Nibbana
dan ada Aku sebagai penunjuk jalan ke Nibbana.
Tapi hanya sebagian murid yang diajar dan diarahkan oleh-Ku
 yang mencapai Nibbana, sebagian lainnya tidak.
Apa yang dapat Aku perbuat dalam hal ini ? ,
Sang Tathagata hanyalah penunjuk jalan.”
( Majjhima Nikaya II ; 5 ).

Ketika kita mempelajari ajaran Sang Buddha, kita dapat memahami bahwa Sang Buddha hanyalah seorang guru  yang telah menunjukkan  jalan  yang benar untuk keselamatan dan berpulang  kembali   kepada  penganutnya untuk menjalani kehidupan beragama dan menyucikan pikiran mereka untuk  mendapatkan keselamatan tanpa bergantung kepada guru agama mereka. Menurut Sang Buddha, tidak ada Tuhan atau guru agama manapun yang dapat memasukkan  seseorang ke dalam surga atau neraka.  Manusia  menciptakan surga dan nerakanya sendiri melalui pikiran, perbuatan serta perkataan mereka sendiri.

" Engkau masing-masing wajib membuat dirimu sendiri sebagai pulaumu,
dirimu sendiri dan bukan hal-hal yang lain sebagai perlindunganmu ;
masing-masing kamu wajib membuat Dhamma sebagai pulaumu,
hanya Dhamma dan bukan hal-hal yang lain sebagai perlindunganmu."
(Samyutta Nikaya 47 : 13 )

Oleh karena itu, berdoa kepada pihak ketiga untuk keselamatan diri tanpa menyingkirkan pikiran jahat merupakan satu perbuatan yang sia-sia. Walaupun demikian, ada beberapa orang termasuk umat Buddha  masih melakukan sembahyang tradisonal di hadapan rupang sembari mencurahkan masalah-masalah mereka, nasib malang yang dialami serta kesulitan yang dihadapi dan memohon pertolongan Sang Buddha untuk membantu mereka  menyelesaikan masalah-masalah tsb. Walaupun perbuatan tersebut bukan suatu praktik Buddhis yang sebenarnya ,tetapi perbuatan  demikian  dapat mengurangi ketegangan emosi, memberi inspirasi kepada pemohon untuk mendapatkan keberanian dan ketetapan hati untuk menyelesaikan masalah yang mere ka hadapi. Hal ini juga umum dilakukan dibeberapa agama lain. Tetapi bagi mereka yang dapat memahami sebenarnya penyebab dasar dari permasalahan mereka, mereka tidak membutuhkan tindakan seperti itu.

Ketika umat Buddha menghormati Sang Buddha, mereka menghormatiNya dengan melafalkan kalimat-kalimat yang memuliakan kebajikan murniNya. Kalimat-kalimat ini bukanlah doa-doa yang meminta kepada Tuhan atau Dewa untuk menghapus dosa mereka. Kalimat-kalimat ini hanya bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada seorang Guru Agung yang telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menunjukkan cara hidup yang benar untuk kebaikan manusia.Umat Buddha menghormati guru agama mereka atas dasar rasa berterima kasih sedangkan penganut agama lain berdoa dan   membuat   permohonan  untuk mendapatkan keun tungan dan manfaat bagi diri mereka sendiri. Sang Buddha juga menasihati kita untuk “menghormati mereka yang pantas dihormati.” Oleh karena itu, seorang Buddhis boleh mengakui dan menghormati guru agama manapun yang pantas dan layak dihormati.

Di tempat puja bakti, umat Buddha melaksanakan meditasi untuk melatih pikiran dan disiplin diri.Untuk tujuan meditasi, sebuah objek diperlukan; tanpa suatu objek untuk dipegang, tidaklah mudah untuk berkonsen trasi. Umat Buddha kadangkala  menggunakan rupang Sang  Buddha  sebagai  objek dimana mereka dapat berkonsentrasi dan mengontrol pikiran mereka. Di antara banyak objek meditasi, objek visual (yang bisa dilihat dengan nyata) memiliki efek yang lebih baik dalam pikiran. Di antara lima panca-indera, objek yang kita tangkap melalui kesadaran penglihatan (mata) memiliki pengaruh lebih besar pada pikiran dibanding dengan objek-objek yang ditangkap melalui kesadaran indera lainnya. Indera penglihatan dapat mempengaruhi pikiran lebih dari indera lainnya. Oleh karena itu, objek yang dapat ditangkap oleh mata membantu pikiran untuk konsentrasi secara lebih mudah dan lebih baik.

Gambar atau bentuk adalah bahasa bawah sadar (sub-conscious). Rupang Sang Buddha terefleksikan dalam pikiran seseorang sebagai penjelmaan seorang yang sempurna, refleksi ini akan menembus pikiran bawah sadar seseorang dan jika cukup kuat, secara otomatis akan bertindak sebagai pengerem keinginan jahat.

Sebagai suatu objek visual, rupang Buddha mempunyai dampak yang baik dalam pikiran; perenungan akan pen capaian dari Sang Buddha dapat  menghasilkan  kegem biraan,  kesegaran   pikiran   dan   menghilangkan  kete gangan, keresahan dan frustasi di dalam diri seseorang. Salah satu tujuan dalam meditasi “Buddha-nussati” (Perenungan Terhadap Buddha), yaitu  untuk  mencipta kan rasa bakti dan keyakinan terhadap Sang Buddha dengan menyadari dan menghargai keagungan Beliau. Oleh karena itu, “menyembah” rupang (gambar/patung) Sang Buddha, dimana  tidak terdapat doa permohonan, sumpah-sumpah atau ritual tidak bisa dianggap sebagai menyembah berhala, tetapi sebagai suatu bentuk peng hormatan yang ideal.


Penghormatan
Beberapa kalimat yang dibacakan oleh umat Buddha untuk mengenang Guru Agung mereka sebagai tanda penghormatan dalam rasa terima kasih, dan dalam pujian kepada Sang Buddha berbunyi seperti berikut:

“ Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa“
(Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci,
Yang Telah Mencapai Pencerahan Sempurna.)

Selanjutnya mereka membaca  kalimat  yang menjelas kan ciri-ciri agung dan kebajikan Sang Buddha seperti berikut:

“Iti pi so Bhagava Araham Samma sambuddho vijja carana–sampanno Sugato Lokavidu Anuttaro Purisa dammasarathi Sattha Devamanussanam Buddho Bhagavati.”

(Demikianlah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna: Sempurna pengetahuan serta tindak–tandukNYA, Sempurna menempuh Sang Jalan (ke Nibbana), Pengenal segenap alam, Pembimbing yang tiada taranya, Guru para dewa dan manusia, Yang Sadar , Yang Patut Dimuliakan)”


Sebuah Kisah Buddhis (Mara dan Bhikkhu Upagupta)
Ada sebuah kisah yang akan  membantu kita memahami mengapa rupang (gambar/patung) Sang Buddha penting untuk memberi inspirasi pikiran kita serta mengenang Sang Buddha dalam pikiran kita. Kisah ini terdapat di dalam kitab suci Buddhis tetapi tidak di dalam Tipitaka Pali.

Beberapa ratus tahun setelah Sang Buddha mangkat, ada seorang bhikkhu yang taat di India bernama Upagupta. Beliau adalah penyebar agama yang paling popular pada masa itu. Setiap kali Beliau menyampaikan ceramah Dhamma, beribu-ribu orang akan datang mendengarkan ceramah Dhamma yang disampaikannya.

Pada suatu hari, Mara, si penggoda, merasa iri hati dengan  kemasyhuran Yang Mulia Upagupta. Mara mengeta hui bahwa kemasyhuran Upagupta membantu penyebar an ajaran Sang Buddha. Mara tidak menyukai melihat perkataan Sang Buddha memenuhi pikiran dan hati banyak orang. Mara membuat rencana untuk menghentikan orang-orang orang mendengarkan ceramah-ceramah Upagupta.

Suatu hari, ketika Upagupta memulai ceramahnya, Mara mengadakan suatu pertunjukan bersebelahan dengan tempat dimana Upagupta berkotbah.Sebuah pentas yang indah muncul dengan tiba-tiba. Terdapat gadis-gadis pe nari yang cantik dan musisi yang lincah. Orang-orang segera melupakan ceramah Upagupta dan beralih ke pertunjukkan untuk menikmati  penampilannya. Upagupta memperhatikan orang-orang perlahan-lahan meninggalkannya. Kemudian Beliau juga memutuskan untuk bergabung dalam kerumunan. Setelah itu ia memutuskan untuk memberikan pelajaran kepada Mara.

Ketika pertunjukkan itu berakhir, Upagupta menghadiah kan sebuah kalung bunga kepada Mara. “Kau telah menyusun suatu pertunjukan  yang luar biasa,“ kata Yang Mulia Upagupta. Mara tentu saja merasa senang dan bangga dengan pencapaiannya. Dengan sukacitanya , Mara menerima kalung bunga dari Upagupta dan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Tiba-tiba kalung bunga itu berubah menjadi lilitan menyerupai ular. Perlahan-lahan lilitan itu menjadi semakin ketat dan mencekik leher Mara. Lilitan itu mencengkram lehernya begitu kuatnya, sehingga ia mencoba menarik lilitan itu agar putus. Walau seberapa kuat Mara menariknya, ia tidak bisa melepaskan lilitan itu dari lehernya. Ia pergi mencari Sakka untu membuka lilitan itu. Sakka juga tidak bisa melepasnya. “Aku tidak dapat melepaskan lilitan ini,” kata Sakka. “Pergilah dan temui Maha Brahma yang paling kuat.”

Lalu, Mara pun pergi menemui Maha Brahma dan meminta pertolongannya; tapi Maha Brahma juga tidak bisa berbuat apapun. “Aku tidak dapat melepaskan lilitan ini, satu-satunya orang yang dapat melepaskan lilitan ini adalah orang yang memakaikannya kepadamu" kata Maha Brahma. Lalu, Mara terpaksa kembali ke Yang Mulia Upagupta.

“Tolong bukakan lilitan ini; ia sangat menyakitkan,” Mara memohon.

“Baiklah, aku akan melakukannya tetapi dengan dua syarat,” kata Upagupta. “Syarat pertama yaitu; kau harus berjanji untuk tidak mengganggu para penganut ku di masa depan. Syarat kedua yaitu; kau harus menunjukkan kepadaku wujud Sang Buddha yang sebenarnya. Karena aku tahu engkau pernah melihat Sang Buddha dalam beberapa kesempatan, tapi aku tidak pernah melihatNya. Aku ingin melihat wujud sebenarnya  dari   Sang  Buddha  sama  persis ,  dengan 32 tanda istimewa yang terdapat pada fisikNya.”

Mara   sangat   gembira .  Ia   setuju   dengan  Upagupta.

“Tapi satu hal", pinta Mara. “Jika aku merubah diriku menjadi rupa Sang Buddha, kau harus berjanji untuk tidak akan menyembahku kerena aku bukan orang suci sepertimu.”

“Aku tidak akan menyembahmu,” janji Upagupta.

Tiba-tiba Mara merubah  dirinya menjadi rupa yang ter lihat persis sama seperti Sang Buddha. Ketika Upagupta melihat rupa itu,pikirannya dipenuhi dengan inspirasi besar, rasa baktinya muncul dari  dalam hatinya.Dengan tangan beranjali, dengan segera Beliau menyembah figur Buddha itu.

“Kau telah melanggar janjimu,” teriak Mara. “Engkau berjanji tidak akan menyembahku. tetapi, kenapa kau menyembah aku?”

“Aku tidak menyembahmu. Kau harus memahami aku sedang menyembah Sang Buddha,” kata Yang Mulia Upagupta.

Berdasarkan kisah ini, kita dapat memahami mengapa rupang (gambar /patung)Sang Buddha penting untuk memberi inspirasi kepada kita dan mengingat kemuliaan Sang Buddha dalam pikiran kita sehingga kita dapat memuliakannya. Kita sebagai Buddhis tidak menyembah simbol material atau wujud yang hanya mewakili  Sang  Buddha.  Tetapi kita memberi penghormatan kepada Sang Buddha.


Inspirasi dari Rupa Sang Buddha
Sang Buddha telah mangkat dan mencapai Nibbana Sang Buddha tidak memerlukan penghormatan atau persembahan ,tetapi hasil dari penghormatan akan mengikuti  kita dan orang-orang akan  mendapatkan manfaat dengan mengikuti teladanNya serta merefleksi kan  melalui  pengorbanan  tertinggi dan kualitas agung Nya. Ketika beberapa umat Buddhis melihat rupang Sang Buddha, rasa bakti dan kebahagiaan muncul dalam pikirannya. Rasa bakti atau kebahagiaan ini merupakan suatu objek yang menciptakan pikiran luhur di dalam pikiran seorang Buddhis yang berbakti. Rupang  Sang Buddha ini juga membantu orang untuk melupakan kerisauan mereka, kekecewaan dan masalah-masalah serta membantu mereka mengontrol pikiran mereka.

Beberapa filosof terkenal dunia, para sejarahwan dan sarjana menyimpan rupang Sang Buddha di atas meja di dalam ruang baca mereka untuk mendapatkan inspirasi kehidupan dan pemikiran yang lebih tinggi. Kebanyakan dari mereka adalah non-Buddhis. Banyak orang menghormati kedua orang tua mereka yang telah meninggal, guru, para pahlawan besar, para raja dan ratu, pemimpin nasional dan politik serta orang-orang lain yang disayangi dengan menyimpan gambar-gambar untuk menghargai memori mereka. Mereka mempersembahkan bunga untuk menyatakan  perasaan kasih, terima kasih, penghargaan, penghormatan dan bakti mereka. Mereka  mengenang  kembali  kualitas mulia dan meng ingatnya dengan bangga atas pengorbanan dan  pelayan an yang diberikan oleh para tokoh ketika mereka masih hidup.

Orang-orang juga mendirikan patung untuk mengenang beberapa tokoh pemimpin politik tertentu yang telah membantai berjuta nyawa yang tidak bersalah. Karena kejahatan dan ketamakan mereka untuk  mendapatkan kekuasaan, mereka menjajah negara-negara yang miskin dan menciptakan penderitaan, kekejaman dan kesengsa raan  yang  tak  terkira dengan tindakan perampasan. Namun, mereka masih dianggap sebagai pahlawan besar; dan peringatan tanda jasa diselenggara kan  untuk  menghormati  mereka, dan memberikan bunga-bunga di atas makam  mereka. Jika perbuatan tersebut dapat dibe narkan mengapa sebagian orang mengejek umat Buddha sebagai pemuja berhala  ketika mereka  memberikan penghormatan kepada guru agama mereka  yang telah  melayani  umat manusia tanpa merugikan yang lain dan yang telah menaklukan seluruh dunia melalui kasih sayang, belas kasih dan kebijaksanaanNya!

Bisakah seseorang dengan pikiran sehat mengatakan bahwa menghormati rupang Sang Buddha sebagai sesuatu yang tidak berbudaya, tidak bermoral atau tindakan  yang  merugikan   seperti  mengganggu  keda maian dan kebahagiaan orang lain?

Apabila sebuah rupang sama sekali tidak penting bagi manusia dalam menjalankan agama maka simbol-simbol agama tertentu dan tempat-tempat beribadat juga tidak diperlukan. Umat Buddha dikecam oleh beberapa orang sebagai penyembah batu. Tetapi menyembah batu tidak berbahaya dan lebih terhormat dibandingkan dengan umat agama lain yang melakukan pelemparan batu.


Pentingnya Praktek
Bagaimanapun juga, untuk mempraktekkan ajaran-ajaran Sang Buddha, keberadaan rupang Sang Buddha bukanlah suatu keharusan. Seorang Buddhis dapat mem praktekkan agama mereka tanpa rupang Sang Buddha; mereka bisa melakukan hal ini karena Sang Buddha  tidak  menganjurkan  manusia  untuk mengembangkan pengkultusan individu ,dimana menurut ajaran Sang Buddha, seorang Buddhis tidak sepatutnya bergantung kepada orang lain bahkan kepada Sang Buddha sendiri untuk keselamatan dirinya.

Semasa kehidupan Sang Buddha, ada seorang bhikkhu bernama Wakkali. Bhikkhu ini selalu duduk di hadapan Sang Buddha  dan  mengagumi keindahan ciri-ciri fisik Sang Buddha. Wakkali mengatakan bahwa ia mendapat kebahagiaan dan inspirasi yang besar dengan mengagumi keindahan Sang Buddha. Sang Buddha menjawab, “Engkau tidak dapat melihat Buddha yang sebenarnya dengan hanya melihat tubuh fisiknya saja. Mereka yang melihat ajaranku maka melihat Aku”.

Aspek yang paling penting sekali dalam Buddhisme adalah mempraktekkan nasihat-nasihat yang diberikan oleh Sang Buddha. Di dalam hal ini, tidak ada bedanya antara seorang Buddhis yang memberi penghormatan kepada  Sang  Buddha  dengan  yang  tidak.  Tetapi bagi beberapa umat, penghormatan ini sangat penting. Bagaimanapun juga, Sang Buddha tidak pernah menga takan bahwa Beliau mengharapkan penghormatan.


Asal Muasal Rupang Buddha
Lalu, Bagaimanakah  Rupang Buddha bermula? Sukar untuk mengetahui apakah ide ini diberikan oleh Sang Buddha atau tidak. Tidak ada satupun dalam kitab suci Buddhis bahwa Sang Buddha meminta untuk membuat rupang-Nya. Namun, Sang Buddha memberi kan ijin untuk menyimpan relik-relik Beliau.

Suatu ketika Yang Mulia Ananda pernah bertanya, apakah diijinkan mendirikan pagoda (cetiya) untuk mengenang  Sang  Buddha sebagai cara untuk menghormati Beliau. ”Apakah layak, Yang Mulia, untuk membangun sebuah pagoda ketika Sang Bhagava masih hidup?” .

Sang Buddha menjawab, “Tidak, adalah tidak layak ketika Aku masih hidup. Engkau bisa membangun objek penghormatan ini hanya setelah Aku tiada.”

Juga dalam kotbah terakhirNya, Maha Parinibana Sutta, Sang Buddha menasihati para  siswa-Nya bahwa jika mereka ingin menghormati Sang Buddha setelah Ia tiada, mereka boleh membangun  pagoda-pagoda  untuk  menyimpan relik tubuhNya. Nasihat ini sesuai dengan kebiasaan di India pada masa itu,kebiasaan membangun  pagoda-pagoda  untuk menyimpan relik orang-orang yang suci. Relik ini disimpan sebagai suatu kenangan, sebagai tanda penghormatan kepada orang-orang suci. Pada saat yang sama, Sang Buddha sendiri tidak menganjurkan dan juga tidak melarang para siswaNya untuk mendirikan Rupang-Nya setelah Ia meninggal dunia. Ide untuk menciptakan Rupang Buddha datang dari pengikut-pengikutNya yang ingin memuja pemim pin terkasih mereka dan bertujuan mendapat inspirasi dari pribadi Sang Buddha yang luhur. Mereka juga menggunakannya untuk menyimpan sebagian dari relik Sang Buddha di dalam Rupang tersebut setelah didirikan.

Fa-hsien, yang mengunjungi India pada akhir abad  keempat  menyebutkan  dalam catatannya bagaimana rupang Sang Buddha  yang  pertama didirikan. Bagaima napun, kitab-kitab suci Buddhis tidak menyebut apa-apa   tentang  pengamatan Fa-hsien tsb. Meskipun demikian, mitologi mencatat sbb: Pada suatu ketika, Sang Buddha menghabiskan waktu  selama tiga bulan di surga menga jarkan Abhidhamma atau  Dhamma Yang Tertinggi. Selama kepergian Beliau, orang-orang yang pergi ke vihara merasa sangat tidak gembira kerena mereka tidak dapat melihat Sang Buddha. Mereka mulai mengeluh. Siswa Utama, Yang Mulia Sariputta, pergi menemui dan melaporkan situasi itu kepada Sang Buddha.

Sang Buddha menasehati Beliau untuk mencari seseorang yang dapat membuat rupang yang sama persis dengan diri Sang Buddha. Sariputta pun kembali dan menemui raja untuk meminta kebaikannya untuk menolong mencari seseorang yang dapat membuat tiruan Sang Buddha. Tidak lama  kemudian, orang  yang dicari ditemukan; dia mengukir rupang dari kayu cendana. Setelah rupang itu diletakkan di vihara, orang-orang menjadi sangat gembira. Sejak saat itu, selanjut nya, menurut Fa-hsien, orang-orang mulai meniru replika Sang Buddha tersebut.

Tetapi hal yang sukar untuk  menemukan bukti didalam literatur Buddhis dan sejarah untuk mendukung  kebera daan Rupang Sang Buddha di India sampai hampir 500 tahun setelah Sang Buddha mangkat. Pada masa itu, para umat biasanya menghormati Sang Buddha dengan menyimpan bunga  teratai atau gambar telapak kaki Sang Buddha. Nampaknya, pada awalnya, beberapa umat Buddha tidak menyukai membuat rupang Sang Buddha,  mengingat  memungkinkan terjadinya penyimpangan terhadap ciri-ciri penting Sang Buddha.

Banyak para sejarahwan mengklaim bahwa rupang Sang Buddha dibuat pertama kali di India pada masa pendudukan bangsa Yunani. Orang-orang Yunani membantu  dan  menganjurkan orang-orang India dalam seni membangun rupang Sang Buddha. Sejak saat itu, orang-orang di berbagai negara mulai mendirikan rupang Sang Buddha. Rupang-rupang di berbagai negara diukir dan dibentuk mengikut gaya dan seni yang menggambarkan ciri-ciri fisik  orang-orang di negara tersebut. Di dalam negara Buddhis itu sendiri, gaya dari rupang Buddha-pun berkembang menjadi beragam bentuk dan gaya disesuaikan dengan perubahan jaman dan sejarah.


Pendapat Para Intelektual Mengenai Rupang Buddha
Pandit Nehru, mantan Perdana Menteri India, mengulas tentang rupang Buddha seperti berikut:

“MataNya tertutup, tetapi ada suatu kekuatan spiritual yang keluar dari matanya dan energi vital memenuhi strukturnya. Banyak jaman bergulir,dan nampaknya Sang Buddha tidak pergi terlalu jauh; suaraNya berbisik di telinga kita dan memberitahu kita supaya jangan lari dari perjuangan , tetapi menghadapinya dengan  pandangan  tenang, dan melihat peluangpeluang besar dalam hidup untuk terus berkembang dan maju.”

Nehru juga pernah berkata, “Semasa saya berada di dalam penjara, saya sentiasa memikirkan tentang rupang (gambar/patung) Buddha yang merupakan sumber inspirasi yang luar biasa untuk saya.”

Semasa Perang Dunia Kedua, General Ian Hamilton menemukan sebuah rupang Buddha di dalam sebuah reruntuhan vihara di Burma. Ia mengirim rupang tersebut ke Winston Churchill, yang pada waktu itu menjadi Perdana Menteri Inggris dengan satu pesan: “Ketika anda khawatir, lihatlah  rupang yang wajahnya begitu tenang dan tersenyumlah kepada kekhawatiran anda.”

Count Keyserling, seorang filosof berkata: “Saya tidak mengetahui hal lain yang lebih agung di dunia ini selain dari figur seorang Buddha; yang merupakan suatu penjelmaan spiritual yang sungguh sempurna di dalam dunia nyata (visible domain)”

Sarjana lain berkata:“Rupang(gambar/patung) Buddha yang kita lihat merupakan suatu simbol yang mewakili kualitas. Pujian dan penghormatan kepada Sang Buddha tidak lain merupakan suatu simbol penghargaan atas keagungan dan kebahagian yang kita ketemui melalui ajaranNya.”

Ketenangan dan ketentraman rupang Sang Buddha telah menjadi konsep umum kecantikan dari keindahan yang ideal. Rupang Sang  Buddha  merupakan sesuatu yang sangat berharga, aset kebudayaan Asia yang paling berharga dan dipunyai oleh banyak orang. Tanpa rupang Buddha, Asia hanya akan dikenali sebagai suatu kawasan geografi saja mespikun semakmur apapun.

Umat Buddhis menghormati patung Sang Buddha sebagai monumen keagungan, kebijaksanaan, yang paling sempurna, dan penuh belas kasih dari seorang guru agama yang pernah hidup di dunia ini. Rupang ini diperlukan untuk mengingat kembali Sang Buddha dan kualitas agungNya yang memberikan inspirasi kepada jutaan manusia dari generasi ke generasi dalam dunia yang berbudaya. Rupang  ini  menolong mereka berkonsentrasi kepada Buddha. Mereka merasakan kehadiran Sang Guru di dalam pikiran mereka, dan dengan demikian menjadikan penghormatan mereka lebih jelas dan bermakna.

Sebagai seorang Buddhis, akan sangat tepat sekiranya anda mempunyai rupang atau gambar Buddha di dalam rumah anda. Simpanlah rupang atau gambar ini bukan sebagai pajangan yang dipamerkan, tetapi sebagai objek puja, penghormatan, dan inspirasi.

Ketentraman  rupang  Buddha merupakan satu simbol yang memancarkan kasih sayang,  kesucian  dan kesempurnaan yang menjadi sumber penghibur dan  inspirasi anda untuk mengatasi berbagai permasalahan dan kekhawatiran yang harus anda hadapi dalam aktivitas keseharian di dunia yang bermasalah ini.

Ketika anda memberi penghormatan kepada Sang Buddha, anda akan mendapat banyak manfaat apabila anda bermeditasi beberapa saat dengan memfokuskan pikiran anda pada kualitas agung dan mulia Sang Buddha. Jika anda memikirkan Guru Agung, anda dapat menyempurnakan diri anda melalui bimbingan-Nya. Oleh karena itu, bukan hal yang tidak wajar penghormatan ini terekspresikan di dalam bentuk seni dan pahatan yang terbaik dan terindah di dunia.
Seorang penulis terkenal lainnya mengatakan di dalam bahasa filsafatnya mengenai arti sebenarnya di dalam memberi penghormatan kepada Sang Buddha, seperti berikut:

“Kita juga perlu memberi penghormatan meskipun pemujaan itu diarahkan bukan untuk seseorang, karena sebenarnya semua personalitas merupakan mimpi, tetapi pemujaan itu diarahkan kepada kesesuaian hati kita. Dengan itu, kita dapat menemui kekuatan baru dan membangun mahligai kehidupan kita sendiri, membersihkan hati kita sampai layak untuk membawa rupang tersebut di dalam tempat perlindungan kasih sayang yang mendalam. Di atas altarnya, kita semua perlu mempersembahkan hadiah bukan cahaya yang padam, bunga-bunga yang layu, tetapi tindakan kasih sayang, pengorbanan dan tanpa keakuan terhadap semua yang berada di sekeliling kita.”

Anatol France, di dalam autobiografinya menulis, “Di awal bulan Mei, 1890, kesempatan membawaku untuk mengunjungi sebuah musium di Paris. Di sana berdiri dewa-dewa Asia dalam kesunyian dan kesederhanaan, pandanganku jatuh pada patung Sang Buddha yang memberi isyarat kepada penderitaan manusia untuk mengembangkan pemahaman dan belas kasih. Jika ada Tuhan yang pernah berjalan di atas muka bumi ini, saya merasakan Beliaulah (Buddha) orangnya. Saya merasa seperti berlutut dan berdoa kepadaNya seperti kepada Tuhan.”

Mr. Ouspensky, seorang penulis Barat lainnya, mengekspresikan perasaannya terhadap rupang Buddha yang ia temukan di Sri Lanka. Ia berkata,

“Rupang Buddha ini merupakan suatu bagian seni yang sungguh istimewa. Saya tidak mengetahui hasil karya seni lainnya yang sejajar dengan rupang Buddha dengan mata dari batu safir, dimana sepengetahuan saya tidak ada karya seni yang dapat mengekspresikan dengan sempurna ide suatu agama, seperti wajah rupang Buddha yang mengekspresikan ide Buddhisme.” Selanjutnya ia berkata, ”Tidak perlu membaca banyak buku tentang Buddhisme atau berjalan bersama dengan para professor yang mempelajari agama-agama Timur atau belajar dengan para Bhikkhu. Seseorang harus datang ke sini, berdiri di hadapan rupang Buddha ini dan biarkan pancaran mata birunya menembus kehidupannya, dan dia akan memahami apa itu Buddhisme.”

Kesenian Buddhis yang indah  dari  membangun rupang ,menciptakan lukisan dinding  tentang beragam kisah Buddhis telah memberikan inspirasi yang sangat besar pada kekayaan seni dan budaya di hampir setiap negara Asia lebih dari 2000 tahun.

Apakah yang membuat pesan-pesan Sang Buddha begitu diminati oleh orang yang telah mengembangkan intelektual mereka? Jawabannya mungkin terlihat pada ketentraman rupang Sang Buddha. Bukan hanya dalam warna dan garis, manusia  mengekspresikan keyakinannya terhadap Sang Buddha dan ajaranNya. Tangan manusia menempa logam dan batu memproduksi rupang Buddha yang merupakan salah satu ciptaan terbesar dari kejeniusan manusia.
Jika umat Buddha  benar-benar  ingin melihat kehadiranSang Buddha dalam segala keagungan dan keindahanNya, mereka harus menerjemahkan ajaran-ajaranNya ke dalam tindakan dan situasi praktis pada kehidupan sehari-hari  mereka. Dengan mempraktekkan ajaran-ajaranNya mereka dapat mendekatkan diri dan merasakan pancaran yang luar biasa dari kebijaksanaan dan belas kasihNya  yang tidak kunjung  padam.

Hanya menghormati rupang Sang Buddha tanpa mengikuti ajaran muliaNya, bukanlah cara untuk menemukan keselamatan.

KehidupanNya begitu indah, hatiNya begitu suci dan baik, pikiranNya begitu dalam dan tercerahkan, kepribadianNya begitu menginspirasikan dan tanpa ke-“aku’’-an ,kehidupan yang sangat sempurna, hati yang sangat berbelas kasih, pikiran yang sangat tenang,  kepribadian  yang sangat tentram yang patut di hormati, layak diberi penghormatan dan layak diberi persembahan. Sang Buddha  yang  merupakan kesempurnaan tertinggi dari umat manusia, dan keindahan dari kemanusiaan.
    
Sir Edwin Arnold menjelaskan sifat alami Kebuddhaan di dalam bukunya Light of Asia” (Cahaya Asia) seperti berikut:

“Ini adalah bunga dari pohon manusia kita yang berkembang dalam beribu–ribu tahun. Takkala berkembang, mengisi dunia dengan harum kebijaksanaan dan menjatuhkan madu kasih sayang.”

Seorang penyair terkemuka India, Rabindranath Tagore menyebutkan hal penting dari penampilan Sang Buddha dalam bahasa puitisnya dengan cara berikut:

Semua makhluk menangis atas kelahiran baru mereka,
Oh, Engkau yang hidup tanpa batas,
Selamatkanlah mereka,
Bangkitkanlah suara harapan abadiMu.
Biarkan teratai cinta dengan harta madu yang tak terhingga itu,
membuka kelopaknya dalam cahayanya.
Oh Kedamaian, Oh Kebebasan,
Di dalam belas kasih dan kebaikanMu yang tidak terukur,
Singkirkanlah semua noda gelap dari hati dunia ini.


Sumber :
 -   Ven.K. Sri Dhammananda
 -  YM.Bhikkhu Uttamo Thera.
-   Ratana Kumaro
  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar