Rabu, Maret 14, 2012

Ego menjadi sang pembatas


EGO MENJADI SANG PEMBATAS


EGO tiga huruf besar yang selalu membayangi kehidupan manusia. Mau bukti bagaimana sang EGO berperan?? Kisah ini dialami oleh guru spiritual saya sendiri yang tadi dikatakan selalu memegang prinsip, tetapi saat ini dia sudah berubah karena memang dia punya kesadaran atas perilakunya.

Dulu dia sering bentrok dan membuat sekat hubungan yang cukup tebal dengan temannya yang juga sama-sama seorang guru spiritual. Temannya ini lebih mementingkan hal-hal praktis, materi, dan terkadang beliau berpandangan bahwa uang dan bisnis itu penting.

Sedangkan guru spiritual saya lebih mementingkan hal-hal religius dan beranggapan bahwa nilai spiritual tidak seharusnya disamakan dengan bisnis dan uang. Otomatis segala tindakan mereka berdua selalu saja bertentangan. Saya yang saat itu masih remaja dan cukup hijau tak mau mencampuri urusan keduanya, otomatis saya tak punya masalah dengan keduanya dan bisa saja berhubungan dengan keduanya. Itulah enaknya, saya bisa jalan dengan guru saya, lalu beberapa menit kemudian bisa ngobrol-ngobrol dengan temannya itu. Setelah mengikuti keduanya, pada dasarnya apa yang mereka utarakan masingmasing ada benarnya, tak ada yang disalahkan dan masuk akal juga.

Tetapi kenapa masingmasing dari mereka menganggap bahwa pemikiran satu sama lainnya salah. Mengapa si guru A menganggap si guru B salah dan sebaliknya??? Sedangkan saya yang berada di tengah-tengah, menerima informasi, pandangan dan pemikiran mereka dengan pikiran kosong serta tidak memihak, menganggap hal itu biasa saja. Apa yang terjadi dengan si Guru A dan si Guru B? Mereka ternyata telah membangun sekat-sekat yangdibuatnya sendiri, karena masing-masing menganggap orang lain salah dan tidak sesuai dengan pemikirannya. Ego yang berperan dan menjadi pembatas diantara hubungan mereka dan setiap manusia.

Perlu Terbuka dan Saling Memahami
Satu obat bagi sang Ego untuk bisa mengenali jadi dirinya adalah memberikannya pengertian dan berusaha memahami. Kalau saja pacar saya saat itu mau membuka sedikit ruang untuk mengobrol dengan kedua orang yang dianggapnya tidak asik untuk berhubungan, pastinya ia akan lebih mengerti dan memahami.

Karena setahu saya guru spiritual saya itu tidak seburuk yang dibayangkannya, walaupun
dia agak sedikit memegang prinsip (keras dan kaku dengan prinsipnya), akan tetapi pada
dasarnya dia punya kesadaran atas prilaku yang dibuatnya dan mau mengoreksi diri.

Begitu juga halnya dengan ketua kebaktian saya, walaupun memang cara kepemimpinannya saat itu banyak menerima protes, tapi saya mengenal betul kalau wanita ini adalah seseorang yang mau menerima kritikan dan masukan, hanya saja perlu waktu untuk banyak belajar dalam mengubah cara kepemimpinannya. Sama pula dengan si kedua guru spiritual tadi, Kalau saja si kedua guru spiritual saling mau menanyakan kabar masing-masing dan mau membuka diri akan pemikiran dan pandangan masing-masing, serta berusaha memahami satu sama lain, tentunya pemikiran dan hubungan mereka akan lebih baik lagi karena masing-masing dapat melihat dari sisi pandang yang berbeda. Namun pada dasarnya Ego akan Harga Diri mengerem semua laju perbaikan, dan menghentikan semua niatan baik yang muncul karena merasa harga dirinya terlalu mahal untuk mengakui bahwa prinsip dan pandangannya belum tentu benar adanya.

Lihatlah dan Kenali Lebih Dalam, mereka Itu Berubah
Jika dirasakan dengan jujur, diperhatikan lebih dalam, Pandangan, pikiran, prinsip, perasaan, kesadaran dan lain sebagainya selalu berubah-ubah. Seakan-akan terlihat seperti mesin yang sedang menjalankan proses, yaitu proses kesadaran, proses pemikiran, proses perasaan dan proses-proses lainnya. Kita selalu dekat dengannya, akan tetapi kita bodoh, kita seakanakan tidak tahu atau pura-pura tidak tahu kalau pada dasarnya setiap pandangan, pemikiran, perasaan, kesadaran dan lainlain itu selalu berubah. Kita memandang seseorang dengan apa yang mereka miliki dan terlihat nyata bagi kita saat itu.

Kita tidak menyadari bahwa itu pun akan berubah. Namun pada dasarnya kita melihat ilusi yang diciptakan dari pikiran. Ya… ilusi-ilusi itu sudah berhasil baik dalam memainkan peranannya, dan sudah sukses dalam mengecohkan kebenaran serta banyak memberikan sekat-sekat di dalam kehidupan. Ilusi-ilusi yang bersumber dari kebodohan, kebencian dan keserakahan manusia dan makhluk di alam semesta.

Penakluk sang Ego
Untuk membuka diri, mengakui kesalahan dan saling meminta maaf adalah hal yang dirasakan sulit oleh sebagian orang yang merasa hal itu sulit. Perlu waktu bagi mereka untuk menaklukkan sang Ego dan berdamai dengan harga dirinya. Tetapi ada satu hal yang sebenarnya tidak kita sadari, bahwasanya sang Ego akan takluk dengan rasa kasihan dan kasih sayang. Merasakan penderitaan orang lain, dan merasakan kesamaan penderitaan yang kita alami akan memunculkan kasih sayang yang luar biasa, serta tidak tega untuk menyakiti ataupun memusuhi makhluk lain.

“Semua makhluk hidup adalah sahabat penderitaan, yang rentan terhadap kesulitan.”

Cobalah kita renungkan satu buah puisi di bawah ini :
Kita adalah satu
Kita adalah tetesan
dari satu samudera.
Kita adalah ombak dari satu laut.
Kita adalah pohon dari satu rimba.
Kita adalah buah dari satu pohon.
Kita adalah daun dari satu cabang.
Kita adalah bunga dari satu kebun.
Kita adalah bintang dari satu langit.
Kita adalah cahaya dari satu mentari.
Kita adalah jari dari satu tangan.
Kita adalah anggota
dari satu keluarga.
Dunia adalah satu keluarga.
Bumi adalah satu negeri.
(Sri Dhammananda 86)

Jika saja pikiran kasih sayang ini kita kembangkan setiap harinya, tentu saja segala pemikiran maupun pandangan yang berbeda dari orang lain tidak akan mengganggu dan membuat kita merasa tidak nyaman jika bersama dengan orang tersebut.

Takkan ada ruang lagi bagi sang Ego untuk berkeliaran dan datang mengusik. Dengan begitu sekat-sekat dalam hubungan pertemanan secara otomatis akan mulai hancur satu persatu, karena kita merasa satu dengan mereka.

Inilah keadaan yang disebut sebagai salah satu dari berkah yang sesungguhnya.


Daftar pustaka:
Dhammananda, Sri. “Be Happy –Mengatasi Takut dan Cemas Dari Akarnya dan Berbahagia Dalam Segala Situasi”, Yayasan Penerbit Karaniya: 2004



Tidak ada komentar:

Posting Komentar