KISAH MAHA MOGGALLANA
THERA
Dhammapada X: 137,138,139,140
Suatu saat pertapa Nigantha merencanakan untuk
membunuh Maha Moggallana Thera dengan tujuan akan menghilangkan kemashuran dan
keberuntungan Sang Buddha. Mereka menyewa para perampok untuk membunuh Maha
Moggallana yang kala itu berdiam di Kalasila dekat Rajagaha.
Perampok itu mengepung vihara tempat Maha Moggallana
Thera berdiam, tetapi Maha Moggallana dengan kemampuan batin luar biasanya
dapat menghilang, sehingga mereka tidak dapat menangkap Maha Moggallana dalam
waktu dua bulan.
Ketika para perampok kembali mengepung vihara pada
bulan ketiga, Maha Moggallana Thera mengetahui bahwa ia harus menerima akibat
perbuatan (kamma) jahat yang dilakukannya pada salah satu kehidupan lampaunya,
maka beliau tidak menggunakan kelebihan batinnya, sehingga para perampok
berhasil menangkap dan menganiayanya dengan kejam. Setelah itu tubuhnya dibuang
ke semak-semak, karena dianggap telah menjadi mayat.
Dengan kekuatan batin/jhananya Maha Moggallana dapat
bangkit kembali, dan pergi menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana. Tetapi
Maha Moggallana juga menyadari akibat dari penganiayaan yang dideritanya,
beliau tidak akan dapat hidup lebih lama lagi. Maka beliau memberitahu Sang
Buddha bahwa beliau akan segera meninggal dunia (parinibbana) di Kalasila.
Sang Buddha kemudian menganjurkan agar beliau
membabarkan Dhamma terlebih dahulu sebelum parinibbana. Maha Moggallana
membabarkan Dhamma kepada para bhikkhu, setelah itu bersujud (namaskara) kepada
Sang Buddha sebanyak tujuh kali.
Berita wafatnya
Maha Moggallana Thera di tangan para perampok menyebar bagaikan kobaran api.
Raja Ajatasattu menyuruh orang-orangnya agar menyelidiki hal ini, mereka
berhasil menangkap para perampok dan menghukum mati dengan cara membakarnya.
Para bhikkhu mendengar wafatnya Maha Moggallana Thera
sangat sedih dan tidak mengerti mengapa orang seperti beliau meninggal dunia di
tangan para perampok.
Kepada mereka Sang Buddha kemudian mengatakan,
"Para bhikkhu, pada kehidupan saat ini beliau hidup dengan kemuliaan
sehingga beliau tidak akan mengalami kematian lagi. Akan tetapi pada kehidupan
yang lampau ia telah melakukan kejahatan besar terhadap kedua orang tuanya yang
buta kedua-duanya. Pada awalnya beliau adalah seorang anak yang berbakti,
tetapi setelah ia menikah, istrinya membuat permasalahan, istrinya mendorong
agar ia berpisah dengan orang tuanya. Kemudian ia membawa kedua orang tuanya
yang buta pergi ke hutan dengan pedati, di sana kedua orang tuanya dibunuh
dengan cara dipukul. Sebelumnya, dengan tipu muslihat ia meyakinkan kedua orang
tuanya, seolah-olah mereka akan dibunuh oleh penjahat. Untuk perbuatan jahat
yang dilakukannya ini, ia telah menderita di alam neraka untuk waktu lama; dan
pada kehidupan saat ini beliau harus mengalami kematian di tangan perampok.
Tentunya dengan melakukan perbuatan jahat terhadap mereka yang tidak jahat,
seseorang pasti akan menderita karenanya".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
137, 138, 139, dan 140 berikut ini:
Seseorang yang menghukum
mereka yang tidak patut dihukum dan
tidak bersalah,
akan segera memperoleh salah satu
di antara sepuluh keadaan berikut:
(137)
Ia akan mengalami penderitaan hebat,
kecelakaan, luka berat, sakit berat,
atau bahkan hilang ingatan.
(138)
Atau ditindak oleh raja,
atau mendapat tuduhan yang berat,
atau kehilangan sanak saudara,
atau harta kekayaannya habis.
(139)
Atau rumahnya musnah terbakar;
dan setelah tubuhnya hancur,
orang bodoh ini akan terlahir kembali di
alam neraka.
(140)
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar