KISAH ANAK LAKI-LAKI
PENEBANG KAYU
Dhammapada XXI: 296-297-298-299-300-301
Suatu ketika di Rajagaha, seorang penebang kayu pergi
ke dalam hutan dengan anak laki-lakinya untuk mencari kayu. Waktu kembali ke
rumah pada sore hari, mereka berhenti dekat suatu pemakaman untuk makan. Mereka
juga melepaskan kuk dari dua lembu jantannya sehingga lembu-lembu bisa merumput
di sekitar tempat itu. Tetapi kedua lembu jantan itu pergi tanpa mereka sadari.
Segera setelah mereka sadar bahwa dua ekor lembunya telah hilang, penebang kayu
pergi mencarinya, meninggalkan anaknya dengan kereta berisi kayu bakar. Sang
ayah memasuki kota, mencari lembunya. Ketika ia kembali pada anaknya, ternyata
ia sudah terlambat, gerbang kota telah ditutup. Karena itu anak laki-lakinya
terpaksa tidur sendiri di bawah kereta.
Anak laki-laki penebang kayu itu, meskipun usianya
muda, selalu penuh perhatian dan mempunyai kebiasaan merenungkan sifat-sifat
mulia Sang Buddha.
Malam itu dua raksasa datang untuk menakut-nakuti dan
ingin membuatnya celaka. Ketika salah satu raksasa menarik kaki anak laki-laki
itu, ia berteriak, "Saya menghormat kepada Sang Buddha!" (Namo
Buddhassa).
Mendengar kata-kata dari anak itu, raksasa-raksasa
menjadi ketakutan dan juga merasa harus melindungi anak itu. Sehingga salah
satu dari kedua raksasa itu tetap berada dekat anak itu, menjaganya dari semua
bahaya. Raksasa lainnya pergi ke istana raja dan membawa nampan berisi makanan
Raja Bimbisara. Kedua raksasa memberi makan kepada anak itu bagaikan anaknya
sendiri. Di istana raja, raksasa meninggalkan pesan tertulis perihal nampan
makanan istana, dan pesan ini hanya terbaca oleh sang raja.
Pada pagi hari, pegawai raja menemukan bahwa nampan
makanan istana telah hilang, mereka sangat putus asa dan ketakutan. Raja
menemukan pesan yang ditinggalkan oleh raksasa dan menunjukkan pegawainya
tempat di mana ia harus mencari. Pegawai raja menemukan nampan makanan istana
di antara kayu bakar di dalam kereta. Mereka juga menemukan anak laki-laki yang
masih tidur di bawah kereta. Ketika ditanya, anak itu menjawab bahwa ayahnya
datang kepadanya untuk memberi makan pada malam hari dan ia tidur pulas, tanpa
takut setelah memakan makanannya. Anak itu hanya mengetahui sampai di situ,
tidak lebih.
Raja mengharapkan kedua orang tuanya bersama dengan
anak itu kepada Sang Buddha. Raja waktu itu telah mendengar bahwa anak tersebut
selalu penuh perhatian merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha dan juga ia
telah meneriakkan "Namo Buddhassa" ketika raksasa menarik kakinya di
malam hari.
Raja bertanya kepada Sang Buddha, "Apakah penuh
perhatian terhadap sifat-sifat mulia Sang Buddha adalah satu-satunya Dhamma
yang dapat memberi perlindungan kepada seseorang terhadap kemalangan dan
mara-bahaya, ataukah penuh perhatian terhadap sifat-sifat mulia Dhamma sama
manfaat dan kuatnya?"
Sang Buddha menanggapi, "O raja, siswa-Ku!
Terdapat enam hal, apabila penuh perhatian terhadapnya akan merupakan
perlindungan yang baik mengatasi kemalangan dan mara-bahaya".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
296, 297, 298, 299, 300 dan 301 berikut ini:
Para siswa Gotama telah bangun dengan
baik dan selalu sadar,
sepanjang siang dan malam mereka selalu merenungkan
sifat-sifat mulia Sang Buddha dengan
penuh kesadaran.
(296)
Para siswa Gotama telah bangun dengan
baik dan selalu sadar,
sepanjang siang dan malam mereka selalu
merenungkan
sifat-sifat mulia Dhamma dengan penuh
kesadaran.
(297)
Para siswa Gotama telah bangun dengan
baik dan selalu sadar,
sepanjang siang dan malam mereka selalu
merenungkan
sifat-sifat mulia Sangha dengan penuh
kesadaran.
(298)
Para siswa Gotama telah bangun dengan
baik dan selalu sadar,
sepanjang siang dan malam mereka selalu
merenungkan
sifat-sifat badan jasmani dengan penuh
kesadaran.
(299)
Para siswa Gotama telah bangun dengan
baik dan selalu sadar,
sepanjang siang dan malam mereka
bergembira
dalam keadaan bebas dari kekejaman.
(300)
Para siswa Gotama telah bangun dengan
baik dan selalu sadar,
sepanjang siang dan malam mereka
bergembira
dalam ketenteraman samadhi.
(301)
Pada saat khotbah Dhamma berakhir, anak itu beserta
kedua orang tuanya mencapai tingkat kesucian sotapatti. Kemudian mereka
bergabung dalam Pasamuan Bhikkhu (Sangha) dan akhirnya mencapai tingkat
kesucian arahat.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar