Senin, Agustus 05, 2013

Dhammapada XXI: 306- Kisah Sundari, Pertapa Wanita Pengembara

KISAH SUNDARI, PERTAPA WANITA
 Dhammapada XXI : 306


Pada saat jumlah orang-orang yang menghormat Sang Buddha meningkat, pertapa-pertapa bukan Buddhis mendapatkan jumlah pengikut mereka semakin berkurang. Oleh karena itu mereka menjadi sangat iri hati terhadap Sang Buddha. Mereka juga takut bahwa keadaan akan semakin buruk jika mereka tidak melakukan sesuatu untuk merusak nama baik Sang Buddha.

Kemudian mereka mengundang Sundari, dan berkata kepadanya, "Sundari, kamu adalah seorang wanita muda yang cantik dan pintar. Kami menginginkan kamu membuat malu Samana Gotama dengan mengatakan kepada banyak orang bahwa kamu telah berhubungan kelamin dengannya. Dengan melakukan hal ini citra baiknya akan rusak, pengikutnya akan berkurang sehingga banyak orang yang akan datang kepada kita. Buatlah penampilan yang terbaik dan pandai-pandailah".

Sundari mengerti apa yang diharapkan darinya. Kemudian pada malam hari, dia pergi ke Vihara Jetavana.

Ketika dia ditanya kemana hendak pergi, dia menjawab, "Saya pergi mengunjungi Samana Gotama, saya tinggal bersamanya di kamar harum (Gandha Kuti) di Vihara Jetavana".

Setelah mengatakan hal ini, dia pergi ke tempat pertapa-pertapa bukan Buddhis.

Pagi-pagi sekali keesokan harinya dia kembali ke rumahnya. Jika orang-orang menanyakan dia dari mana, dia akan menjawab, "Saya baru dari kamar harum (Gandha Kuti) setelah bermalam semalam dengan Samana Gotama".

Wanita itu terus mengatakan hal ini selama dua hari. Pada akhir hari ketiga, pertapa-pertapa menyuruh beberapa pemabuk untuk membunuh Sundari dan meletakkan jenazahnya ditumpukan sampah dekat Vihara Jetavana.

        Hari berikutnya, para pertapa menyebarkan berita mengenai hilangnya pertapa wanita pengembara (Paribbajika) Sundari. Mereka pergi menghadap raja untuk melaporkan kecurigaan mereka. Raja mengizinkan mereka untuk menyelidiki di tempat yang mereka perkirakan. Ketika menemukan jenazah di dekat Vihara Jetavana, mereka membawanya ke istana.

Kemudian mereka berkata kepada raja, "O raja. Pengikut-pengikut Gotama telah membunuh Paribbajika Sundari dan membuang jenazahnya di tumpukan sampah dekat Vihara Jetavana, untuk menutupi kesalahan guru mereka".

Kepada mereka raja menjawab, "Dalam kasus ini kalian boleh berkeliling kota dan mengumumkan bukti-bukti tersebut".

Mereka lalu mengelilingi kota membawa jenazah Sundari dan berteriak, "Lihat! Apa yang telah dilakukan oleh pengikut-pengikut Gotama! Lihat bagaimana mereka mencoba menutupi kesalahan Gotama!"

Arak-arakan tersebut kemudian kembali ke istana. Para bhikkhu yang tinggal di Vihara Jetavana mengatakan kepada Sang Buddha apa yang telah dilakukan oleh pertapa-pertapa untuk merusak nama baik dan merusak citra Sang Buddha.

Tetapi Sang Buddha hanya berkata, "Anak-anakKu, kalian harus memberitahukan mereka mengenai hal ini",

Kemudian Beliau membabarkan syair 306 berikut ini:

Orang yang selalu bicara tidak benar, dan juga orang yang setelah berbuat kemudian berkata, "Aku tidak melakukannya", akan masuk ke neraka. Dua macam orang yang mempunyai kelakuan rendah ini, mempunyai nasib yang sama dalam dunia selanjutnya.

Sementara itu, raja memerintahkan anak buahnya untuk menyelidiki lebih lanjut pembunuhan Sundari. Dari penyelidikan itu mereka menemukan Sundari meninggal dunia di tangan pemabuk-pemabuk. Kemudian para pemabuk dibawa menghadap raja. Ketika ditanya, para pemabuk mengakui bahwa mereka disuruh oleh pertapa-pertapa untuk membunuh Sundari dan meletakkan jenazahnya di dekat Vihara Jetavana. Raja memanggil pertapa-pertapa bukan Buddhis dan akhirnya pertapa-pertapa itu mengakui rencana mereka dalam pembunuhan Sundari.

Raja memerintahkan mereka untuk pergi berkeliling kota, mengakui kesalahan mereka pada umum.

Mereka berkeliling kota dan berkata, "Kami adalah orang-orang yang membunuh Sundari, kami telah bersalah menuduh pengikut Gotama hanya untuk memalukan Gotama. Pengikut-pengikut Gotama tidak bersalah, kamilah yang bersalah atas kejahatan ini".

Sebagai kesimpulan dari peristiwa ini, kekuatan, keagungan dan keberuntungan Sang Buddha sangatlah tinggi.


]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar