Rabu, Agustus 14, 2013

Misi Buddha

MISI BUDDHA
Cuplikan buku : Buddha dan DhammaNya
 Oleh : Bhikku Bodhi

Pertanyaan mengapa ajaran Buddha terbukti sangat atraktif dan mendapatkan pengikut yang sedemikian besar di antara semua sektor masyarakat India timur laut ialah pertanyaan yang juga relevan bagi kita sekarang. Bagi kita yang hidup di satu zaman ketika Buddhisme sedang menunjukkan daya pikat kuat dengan meningkatnya sejumlah orang, khususnya di antara orang-orang yang tingkat pendidikan dan kemampuannya untuk merenung telah membuat mereka tidak berbeda dengan tuntutan-tuntutan dari agama wahyu.

Saya mempercayai sukses Buddhisme yang luar biasa, juga daya pikatnya pada zaman sekarang, pada hakikatnya dapat dimengerti dalam hubungan dengan dua faktor. Pertama, tujuan ajaran. Kedua, ciri-cirinya yang metodologis.

1. Tujuan Ajaran
Berbeda dari yang disebut agama-agama wahyu, yang menitikberatkan pada keyakinan pada doktrin-doktrin yang tidak dapat dibantah, Buddha merumuskan ajarannya dengan satu cara yang secara langsung mengarah pada masalah-masalah yang kritis di jantung kehidupan manusia – masalah penderitaan - dan beliau menjamin bahwa orang-orang yang mengikuti ajarannya hingga akhirnya akan merealisasi kebahagiaan dan kedamaian tertinggi di sini dan saat ini.

Semua persoalan lain yang diluar ini, seperti dogmadogma teologis, keruwetan-keruwetan metafisik, ritual-ritual dan peraturan-peraturan penyembahan, Buddha mengesampingkannya diluar karena tidak relevan dengan tugas utamanya, yaitu menyelesaikan masalah penderitaan.

Kebenaran Dhamma yang pragmatik (bersifat praktis) secara jelas digambarkan di dalam berbagai teks dengan sebuah insiden yang berhubungan.

Suatu ketika seorang bhikkhu bernama Malunkyaputta mengajukan pertanyaan pertanyaan metafisik yang besar –apakah dunia ini abadi atau tidak abadi, terbatas atau tidak terbatas, dan lain-lain- dan dia merasa kecewa karena Buddha menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Maka suatu hari Malunkyaputta pergi kepada Guru dan berkata kepadanya, “Anda menjawab pertanyaan-pertanyaan itu untukku atau aku meninggalkan Sangha.”

Buddha kemudian berkata kepada Malunkyaputta bahwa kehidupan spiritual tidak bergantung pada jawaban-jawaban atas pertanyaan itu, yang hanya merupakan selingan-selingan dari tantangan yang nyata untuk mengikuti sang jalan.

Beliau kemudian membandingkan orang metafisik dengan orang yang terpanah oleh anak panah beracun. Ketika para kerabatnya membawa obat penawar, orang itu berkata kepadanya, “Aku tidak membiarkan kamu mencabut anak panah ini sebelum kamu membolehkan aku mengetahui nama orang yang memanahku, jenis busur yang digunakan, dari bahan apa anak panah ini dibuat, dan jenis racun apa yang digunakan.”

Kata Buddha, orang itu akan mati sebelum anak panah tercabut; demikian pula dengan orang metafisik itu, yang tertancap oleh anak panah penderitaan, akan mati tanpa pernah menemukan jalan untuk mencapai kebebasan.

Buddha bukan hanya menjadikan penderitaan dan kebebasan dari penderitaan sebagai fokus ajarannya, tetapi beliau mencermati problem penderitaan dengan satu cara yang menunjukkan tingkat pengetahuan psikologis yang luar biasa.

Seperti seorang psikoanalis, Buddha meruntut (menelusuri) penderitaan hingga akarnya di dalam pikiran kita, hingga nafsu keinginan dan keterikatan kita, dan beliau mengatakan bahwa cara pengobatan, solusi untuk problem penderitaan, juga harus diperoleh di dalam pikiran kita.

Untuk mendapatkan kebebasan dari penderitaan dengan berdoa kepada suatu makhluk tingkat tinggi, menyembah bendabenda suci (keramat), mengikatkan diri kita pada ritual dan upacara merupakan hal yang sia-sia. Karena penderitaan muncul dari kotoran-kotoran batin kita sendiri, kita harus menyucikan batin kita dari kotoran-kotoran tersebut, dari keserakahan, kebencian, dan ketidaktahuan, dan hal ini menuntut kejujuran batin yang sedalam-dalamnya.

Sementara agama-agama lain membimbing kita keluar -kearah gagasan-gagasan tentang satu makhluk tingkat tinggi yang menentukan nasib kita, atau ke abstraksi-abstraksi filosofis yang melangit seperti gagasan tentang satu diri universal atau realitas yang tidak mendua dimana semua perlawanan dipisahkan- Buddha membimbing kita kembali ke diri kita sendiri, selalu menjaga ajarannya selaras dengan faktafakta yang sulit dari pengalaman. Beliau menempatkan pikiran di muka analisisnya dan mengatakan bahwa pikiranlah yang mempolakan tindakan-tindakan kita, pikiranlah yang membentuk nasib kita, pikiranlah yang membimbing kita menuju kesengsaraan atau kebahagiaan. Titik awal dari ajarannya ialah pikiran yang umum, yang berada dalam keterikatan dan subjek bagi penderitaan; titik akhirnya adalah pikiran yang tercerahkan, yang tersucikan sepenuhnya dan terbebaskan dari penderitaan. Seluruh ajarannya terbentang diantara kedua titik tersebut, mengambil rute yang paling langsung.

2. Ciri-ciri Khas Ajaran

a. Ketergantungan pada diri sendiri.
Diskusi tentang tujuan dari ajaran Buddha ini membimbing kita pada ciri-ciri khas ajaran. Salah satu dari ciri-cirinya yang menarik, yang sangat berhubungan dengan orientasi psikologisnya, ialah penekanannya pada ketergantungan pada diri sendiri. Bagi Buddha, kunci untuk kebebasan ialah kesucian batin dan pengertian yang benar, dan karena alasan ini beliau menolak gagasan bahwa kita dapat memperoleh keselamatan dengan bergantung pada kekuasaan eksternal (di luar diri). Beliau bersabda,

“Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
Oleh diri sendiri seseorang menjadi tercemar.
Oleh diri sendiri kejahatan tidak dilakukan,
Oleh diri sendiri seseorang tersucikan.
Kesucian dan kecemaran tergantung pada diri sendiri;
tak satu pun orang yang dapat menyucikan orang lain.”
(Dhammapada, v. 165).

Tekanan pada usaha manusia ini, pada kemampuan kita untuk membebaskan diri sendiri, adalah satu ciri yang berbeda pada Buddhisme awal dan memberikan satu penegasan yang menakjubkan tentang potensi manusia. Buddha tidak mengklaim suatu status keilahian bagi diri sendiri, maupun menyatakan bahwa dirinya adalah seorang pengantar bagi keselamatan manusia. Beliau mengklaim sebagai, bukan seorang juru selamat, tetapi seorang pembimbing dan guru,

“Kamu sendiri yang harus berjuang,
Buddha hanya sebagai penunjuk jalan.
Mereka-mereka yang bermeditasi dan mempraktikkan sang jalan
akan terbebaskan dari belenggu kematian”
(Dhammapada, v. 276).

Sepanjang pelayanannya beliau mendorong muridmuridnya

“Jadilah pulau bagi dirimu sendiri,
berlindunglah pada dirimu sendiri,
tanpa melihat pada satu perlindungan eksternal.”

Bahkan di ranjang kematiannya beliau memberikan kepada para pengikutnya sepotong nasihat terakhir:

“Segala sesuatu yang berkondisi merupakan subjek bagi kelapukan.
Capailah sasaran dengan ketekunan.”

b. Penekanan pada pengalaman.
Karena kebijaksanaan atau pandangan terang adalah alat utama untuk pencerahan, Buddha selalu meminta kepada para siswanya untuk mengikuti beliau berdasarkan pengertian mereka sendiri, bukan karena ketaatan atau percaya begitu saja. Beliau menyebut Dhammanya “ehipassiko”, yang berarti “datang dan lihat untuk dirimu sendiri”. Beliau mengundang para penanya untuk menginvestigasi ajarannya, mengujinya dalam cahaya pertimbangan dan intelegensia mereka, dan untuk memperoleh konfirmasi tentang ajarannya bagi diri mereka sendiri. Dhamma dikatakan sebagai paccatam veditabbo vinnuhiti (dimengerti oleh orang bijaksana secara pribadi) dan ini membutuhkan intelegensia dan penyelidikan yang berkesinambungan.

Suatu kali Buddha tiba di kota orang-orang Kalama, yang telah dikunjungi oleh banyak petapa yang lain. Setiap guru yang berkunjung akan memuji ajaran mereka sendiri hingga setinggi langit dan menjatuhkan pandanganpandangan para rival (saingan) mereka, dan hal ini membuat orang-orang Kalama sangat bingung. Maka tatkala Buddha tiba mereka mendatangi beliau, menerangkan dilemma mereka, dan memohon agar beliau dapat memberikan suatu bimbingan.

Buddha tidak memuji ajarannya sendiri dan menyerang para rivalnya. Sebaliknya beliau berkata kepada mereka, “Adalah wajar bagi kalian untuk menjadi ragu; keraguan telah muncul di dalam diri kalian tentang berbagai hal yang meragukan. Wahai orang-orang Kalama, janganlah bergantung pada tradisi lisan, atau pada silsilah para guru, atau pada kitab-kitab suci, atau pada logika abstrak. Janganlah menempatkan kepercayaan yang buta pada pribadi-pribadi yang mengesankan atau pada guru-guru yang terhormat, tetapi ujilah pokok bahasan tersebut bagi dirimu sendiri. Jika kalian tahu bagi diri kalian sendiri bahwa sesuatu itu tidak berguna dan membahayakan (merugikan), maka kalian harus menolaknya. Dan jika kalian tahu bagi diri kalian sendiri bahwa sesuatu itu baik dan berguna, maka kalian harus menerimanya dan mempraktikkannya.”

3. Universalitas.
Karena ajaran Buddha berhubungan dengan yang paling universal dari semua problem manusia, yakni problem penderitaan, beliau membuat ajarannya sebagai satu pesan universal, pesan yang dialamatkan kepada semua insan semata-mata dengan pertimbangan kemanusiaan. Pada waktu itu Buddha yang muncul di India menyajikan ajaran-ajaran religius yang lebih tinggi, yang tercatat di dalam kitab-kitab Veda, yang dipelihara untuk para brahmana, golongan elit yang berkuasa yang melakukan pengorbanan-pengorbanan dan ritual-ritual untuk orang lain. Orang-orang awam diceritakan melakukan tugas-tugas mereka dengan satu semangat kemanusiaan dengan harapan agar mereka dapat memenangkan kelahiran kembali yang lebih menguntungkan dan dengan demikian dapat mengakses ajaranajaran keramat. Akan tetapi Buddha tidak menempatkan restriksi (batasan) pada orangorang yang kepadanya beliau mengajarkan Dhamma. Beliau mengatakan bahwa apa yang membuat seseorang itu mulia adalah karakter dan perbuatannya pribadi, bukan keluarganya atau status kastanya. Dengan demikian beliau membuka pintu kebebasan bagi orang-orang dari semua kelas sosial. Kaum brahmana, rajaraja dan para pangeran, para pedagang, petani, pekerja (buruh), bahkan kaum candala (paria, kelompok diluar kasta yang dipandang oleh masyarakat Hindu sebagai yang berderajat paling rendah) – semuanya dipersilakan untuk mendengar Dhamma tanpa perbedaan, dan banyak dari kelas yang lebih rendah mencapai tingkat pencerahan yang tertinggi.

Di dalam masyarakat India yang lebih luas, Buddha tidak mencoba mengabolisi sistem kasta, yang mana, ia tampaknya, belum dikembangkan menjadi sistem yang kompleks dan opresif seperti beberapa abad kemudian.

Namun, beliau secara tegas menolak pandangan brahmana yang ortodoks bahwa status kelas seseorang menunjukkan nilainya yang hakiki.

Di dalam Sangha, Ordo monastik, beliau menolak sama sekali semua perbedaan kelas sosial, dengan menyatakan,

“ Bagaikan air dari empat sungai besar yang mengalir ke samudra raya
dan menjadi dikenal sebagai air samudra saja,
demikian pula orang-orang dari semua kelas sosial,
menjadi para bhikkhu dalam ajaranku,
mereka melepaskan status sosial mereka
dan selanjutnya hanya dikenal sebagai siswa-siswa Buddha.”
(Udana 5-5).

Sebagai bagian dari proyek universalisnya, Buddha juga membuka pintu ajarannya bagi kaum hawa. Di antara para pengikut brahmanisme, ajaran-ajaran keramat merupakan dominasi kaum laki-laki. Kaum hawa untuk melakukan tugas-tugas rumah sepenuhnya, mengurusi suami dan ipar mereka, dan melahirkan anak-anak, terutama  anak laki-laki. Mereka diluar dari melakukan ritual-ritual vedik dan bahkan ajaran-ajaran Upanishad, dengan perkecualian-perkecualian yang jarang, yang merupakan hak prerogatif laki-laki.

Sebaliknya Buddha mengajarkan Dhamma secara bebas kepada kaum adam maupun kaum hawa. Semula beliau meragukan untuk membangun ordo bhikkhuni, karena ini akan menjadi satu langkah radikal dalam zamannya, tetapi begitu beliau setuju untuk membangun sangha bhikkhuni, para perempuan dari semua status –para putri raja, ibu rumah tangga, dara-dara dari keluarga yang baik, pelayan-pelayan perempuan, bahkan yang semula pelacur- pergi bergabung dan mencapai tujuan tertinggi.

4. Satu Kode Etik.
Satu aspek dari universalisme Buddha berhak mendapat sebutan khusus: ini adalah konsepsinya tentang satu kode etik universal. Adalah sangat ekstrim untuk mengatakan bahwa Buddha adalah guru agama pertama yang merumuskan kode moral, karena kode-kode moral dari jenisjenis yang berbeda telah diletakkan sejak awal peradaban. Namun mungkin tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Buddha adalah salah satu dari guru-guru paling awal yang memisahkan prinsip-prinsip moral dari pabrik norma-norma sosial dan peradaban-peradaban komunal yang kompleks dengan mana mereka biasanya berhubungan.

Dengan kematangan pikiran yang tajam, Buddha menyediakan bagi kita satu prinsip abstrak untuk digunakan sebagai bimbingan dalam menentukan peraturan dasar moralitas.

Ini adalah peraturan tentang “memperlakukan diri sendiri sebagai satu standar” untuk menentukan bagaimana memperlakukan orang lain. Dari prinsip yang abstrak ini, beliau mendasarkan empat peraturan utama dari kode moralnya: abstain dari membunuh, mencuri, pelanggaran seksual, dan berbohong. Untuk kepentingan kesejahteraan perorangan dan harmoni di masyarakat, Buddha menambahkan yang kelima: abstain dari minuman keras. Secara bersama-sama, semuanya itu memberikan kepada kita Lima Peraturan (Pancasila) kode moral yang mendasar dari Buddhisme.

Akan tetapi, Buddha tidak hanya memandang moralitas sebagai satu perangkat peraturan yang didasarkan pada pertimbangan yang sehat. Beliau mengajarkan bahwa ada hukum universal yang menghubungkan perbuatan kita dengan “nasib” kita, yang menjamin bahwa penegakan moral akhirnya tersedia di dunia ini. Ini adalah hukum karma dan buahnya, yang menyatakan bahwa tindakan-tindakan intensional kita (yang disengaja) menentukan jenis kelahiran kembali yang kita ambil dan berbagai pengalaman yang kita alami dalam perjalanan hidup kita. Hukum ini benar-benar tak pandang bulu dalam operasinya. Ia tidak memberikan satu perlakuan yang istimewa; ia tidak mengenal VIP atau favorit-favorit, tetapi bekerja dengan uniformitas (keseragaman) mutlak terhadap semuanya. Mereka-mereka yang melanggar hukum moralitas –tidak peduli dari kelas tinggi atau kelas rendah, kaya atau miskin memperoleh karma buruk dan pasti menderita sebagai akibatnya: kelahiran kembali yang buruk dan kesengsaraan di masa depan.

Mereka-mereka yang taat pada peraturan moral, yang melakukan perbuatan bajik, memperoleh karma baik yang mengakibatkan keberuntungan di masa depan: kelahiran kembali yang baik, kehidupan yang bahagia, dan kemajuan di jalan menuju kebebasan akhir.

Untuk menyesuaikan orientasi psikologis dari ajarannya, Buddha memberikan perhatian khusus pada pertumbuhan moralitas yang subjektif. Beliau menelusuri tingkahlaku amoral hingga tiga faktor mental yang disebut “tiga akar negatif”, yakni: keserakahan, kebencian, dan delusi (pandangan sesat, ketidaktahuan); dan beliau menelusuri tingkahlaku yang baik hingga perlawanan mereka, tiga akar positif: tanpa keserakahan atau kemurahan hati, tanpa kebencian atau kebaikan hati, dan tanpa delusi atau kebijaksanaan. Beliau juga mengarahkan kita ke level interior yang lebih baik atau kesucian etis yang dapat dicapai dengan mengembangkan -dalam meditasi- empat sikap mulia yang disebut “kediaman brahma” (Brahma-vihara).

Keempatnya adalah cinta kasih (metta), menginginkan orang lain bahagia dan sejahtera; belas kasih (karuna), menginginkan agar semua makhluk yang terjangkit penderitaan terbebaskan dari penderitaan; sukacita altruistik (mudita), bersukacita dalam kebahagiaan dan sukses orang lain; dan keseimbangan batin (upekkha), pikiran yang tidak memihak.

Keempat sikap mulia itu harus dikembangkan secara universal kepada semua makhluk tanpa perbedaan atau diskriminasi.

Sebelum saya menutup ada satu lagi ciri dari metode Buddha yang ingin saya sebutkan.

Ini adalah apa yang dapat dinamakan “ketrampilan dalam pelbagai cara”. Melalui pencapaian meditatifnya yang dalam dan kebijaksanaannya yang cemerlang, Buddha memiliki kemampuan khusus untuk menemukan cara yang cocok (pas) untuk mengajar orang-orang yang datang kepadanya untuk meminta bimbingan. Beliau dapat membaca apa yang tersembunyi di dalam lubuk hati seseorang, mencerap bakat dan minat orang itu, dan menentukan ajarannya dengan cara yang tepat yang dibutuhkan untuk mengubah orang itu dan membimbing dia di jalan kebebasan.

Teks-teks menyuguhkan banyak contoh tentang ketrampilan pedagogik (bersifat mendidik) tertinggi dari Buddha. Di sini saya hanya akan menyajikan dua contoh yang terkenal. Per tama adalah kasus Angulimala, seorang pembunuh berantai yang hidup di hutan Kosala di luar ibukota Savatthi.

Angulimala berulangkali menyerang orang-orang yang melakukan perjalanan, membunuh mereka, dan memotong jari-jari mereka, yang ia untai menjadi sebuah kalung yang melingkari lehernya. Dia telah membunuh ratusan orang dan menimbulkan rasa takut di seluruh kerajaan. Dia “ingin mati atau hidup”, tetapi tak seorang pun yang memiliki keberanian untuk mendekati dia. Namun Buddha melihat dengan pandangan supra naturalnya bahwa Angulimala memiliki sisi lain dalam karakternya: betapa pun ganasnya dia, dia memiliki potensi yang tersimpan untuk menjadi seorang Arahat, seorang suci. Demikianlah, suatu hari, seorang diri, beliau berangkat ke hutan dimana Angulimala berdiam.

Tatkala Angulimala melihat Buddha, dia berpikir, “Ah, sekarang aku akan membunuh petapa ini dan memotong jarinya untuk kalungku.” Dia mulai mengejar beliau dengan pisaunya yang diangkat di udara. Karena Buddha, sementara berjalan dengan pelahan, telah melakukan satu perbuatan besar dengan kekuatan batinnya yang sedemikian rupa sehingga Angulimala, yang mengejar dengan segenap kemampuannya, tidak dapat mendekati beliau. Angulimala mengejar dan mengejar tetapi tidak dapat memperpendek jarak sedikit pun. Kemudian dia berteriak, “Berhenti, petapa, berhenti!” Buddha menjawab, “Aku telah berhenti, Angulimala, kamu juga harus berhenti.”

Pernyataan ini memiliki dampak kuat pada sang kriminal, dampak kuat yang menembus hingga ke dasar hatinya yang terdalam. Dia menyadari bahwa petapa di hadapannya adalah guru kondang, Yang Tercerahkan, dan dia tahu bahwa Buddha telah datang kepada dirinya karena belas kasih, untuk menyelamatkan dirinya dari perbuatannya yang mengerikan. Dia melemparkan pisaunya, menyembah di kaki sang Guru, dan mohon untuk diterima sebagai seorang bhikkhu. Buddha menerima dia ke dalam Sangha dan setelah melalui satu periode waktu yang pendek Angulimala menjadi seorang Arahat, yang benar-benar bijaksana dan penuh belas kasih.

Kisah kedua berkenaan dengan perempuan bernama Kisagotami. Dia adalah seorang perempuan yang miskin yang telah menikah dengan satu keluarga yang kaya, tetapi dia tidak memiliki anak dan kemudian dihina oleh para iparnya. Hal ini membuat dirinya sangat menderita. Namun beberapa waktu kemudian dia hamil dan melahirkan seorang anak lakilaki, yang menjadikan sumber sukacita luar biasa bagi dirinya. Bahwa sekarang dia telah membawa satu ahli waris untuk kekayaan mereka, setiap orang lain dalam keluarga suaminya juga menerima dia. Namun beberapa bulan setelah kelahirannya anak itu mati, dan Kisagotami menjadi putus asa. Dia menolak untuk mempercayai bahwa bayinya telah mati, tetapi meyakinkan diri sendiri bahwa anaknya hanya sakit. Maka dia pergi ke mana-mana meminta kepada orang-orang untuk memberi dirinya obat untuk anaknya.

Masyarakat kota menertawakan dia dan menghina dia, menyebutnya perempuan gila, hingga akhirnya dia tiba di hadapan Buddha. Ketika dia meminta Buddha untuk memberi obat, beliau tidak memberi dia satu khotbah indah tentang ketidakabadian. Buddha berkata kepadanya bahwa beliau sesungguhnya dapat membuat suatu obat untuk anaknya, tetapi lebih dahulu dia harus membawa kepadanya satu ramuan: biji-biji lada dari satu rumah yang belum pernah mengalami kematian satu pun dari anggota keluarnya. Cukup optimistik, dia pergi dari rumah ke rumah, meminta bijibiji lada. Di setiap pintu orang-orang siap memberi dia biji-biji lada, tetapi ketika dia bertanya kepada si pemberi apakah pernah terjadi kematian atas seseorang di dalam rumah itu, dia diberitahu, “Di sini seorang ayah telah mati, di sini seorang ibu telah mati, di sini seorang istri telah mati, di sini seorang suami telah mati, seorang saudara laki-laki, seorang saudara perempuan telah mati,” dan sebagainya.

Dia kemudian dapat mengetahui bahwa kematian merupakan “nasib” universal semua makhluk hidup, bukan sebuah bencana unik yang menimpa anaknya. Maka dia kembali kepada Buddha, sekarang menyadari tentang hukum ketidakabadian yang universal. Ketika Guru melihat dia kembali, beliau bertanya kepadanya, “Apakah kamu membawa biji-biji lada, Gotami?” Dan dia menjawab, “Melakukan kesibukan ini untuk biji-biji lada, guru. Berilah aku tempat perlindungan.” Buddha menahbiskan dia sebagai seorang bhikkhuni, dan tak lama kemudian dia merealisasi tujuan tertinggi dan menjadi salah satu bhikkhuni yang paling eminen (unggul) di dalam Sangha atau Ordo Bhikkhuni.

Secara singkat, misi Buddha adalah membangun satu jalan menuju kesempurnaan spiritual, menuju pencerahan penuh dan Nibbana, kebebasan dari penderitaan. Beliau melakukan hal itu dengan mendalami satu ajaran yang memperkenalkan kapasitas kita untuk mencapai kesempurnaan spiritual yang juga masih tetap menghargai sepenuhnya intelegensia dan otonomi umat manusia.

Pendekatannya bersifat psikologis dalam orientasi, tidak dogmatik, pragmatik, dan terbuka terhadap investigasi. Beliau menekankan usaha sendiri, penegakan moral, dan tanggungjawab pribadi, dan beliau mengumumkan pesannya secara universal, menyatakan bahwa potensi untuk perkembangan spiritual dan bahkan untuk pencerahan tertinggi dapat dicapai oleh siapa saja yang melakukan usaha yang tepat. Faktorfaktor inilah yang memberikan kepada ajaran Buddha yang “kuno” kesan modern yang sedemikian jelas, yang membuatnya begitu relevan bagi kita pada berbagai zaman dengan gagasan-gagasan yang berubah dan nilai-nilai yang berganti.


-oOo-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar