Senin, Maret 17, 2014

Selamatkan Dirimu Sendiri

Selamatkan Dirimu Sendiri

Janganlah karena demi kesejahteraan orang lain 
lalu seseorang melalaikan kesejahteraan sendiri. 
Setelah memahami tujuan akhir bagi diri sendiri, 
hendaklah ia teguh melaksanakan tugas kewajibannya. 

(Dhammapada 166)
  
Saat Sang Buddha hampir wafat, murid-murid-Nya datang dari berbagai tempat untuk berada di dekat-Nya. Sementara murid-murid lain terus berada disisi-Nya dan sangat bersedih akan kehilangan guru mereka, seorang bhikkhu bernama Attadatta pergi ke dalam ruangannya dan bermeditasi. Bhikkhu yang lain berpikir bahwa ia tidak mempedulikan kesejahteraan Sang Buddha, marah dan melaporkan hal itu kepada Sang Buddha. Bhikkhu Attadatta menjelaskan kepada Sang Buddha, “Guru sebagai Yang Terberkahi akan segera wafat, saya rasa cara terbaik untuk menghormati Yang Terberkahi adalah dengan mencapai Arahat selama masa hidup Yang Terberkahi sendiri.” Sang Buddha memuji niat dan tindakannya dan berkata bahwa kesejahteraan spiritual seseorang tidak boleh ditelantarkan demi orang lain.

Dalam cerita ini digambarkan salah satu aspek terpenting dalam ajaran Buddha. Seseorang harus terus menerus berada dalam kewaspadaan untuk mencari pembebasannya sendiri dari Samsara (baca : Sangsara) dan ‘keselamatan’-nya harus diraih oleh orang itu sendiri. Seseorang tidak dapat mencari kekuatan atau agen eksternal apapun untuk menolongnya merealisasi Nibbana.

Orang yang tidak memahami ajaran Buddha mengkritik hal ini dan berkata bahwa ajaran Buddha adalah agama yang egois yang hanya berbicara tentang perhatian akan kebebasan diri sendiri dari rasa sakit dan kesedihan. Hal ini sama sekali tidak benar. Sang Buddha menyatakan dengan jelas bahwa seseorang harus bekerja tanpa henti bagi kesejahteraan spiritual dan material semua makhluk, sementara pada saat yang sama dengan gigih mengejar tujuannya sendiri untuk merealisasi Nibbana. Pelayanan yang tidak mementingkan diri sangat dihargai oleh Sang Buddha.

Sekali lagi, orang yang tidak memahami ajaran Buddha dapat bertanya, “Mungkin tidak jadi masalah bagi manusia yang beruntung, yang dapat menguasai kekuatan mental mereka, untuk merealisasi Nibanna dengan usaha mereka sendiri. Tetapi bagaimana dengan mereka yang cacat secara mental dan fisik atau bahkan material? Bagaimana mereka dapat mengandalkan diri sendiri? Apakah mereka tidak memerlukan pertolongan suatu kekuatan eksternal, suatu Tuhan atau dewa untuk membantu mereka?”

Jawaban untuk hal ini adalah umat Buddha tidak percaya bahwa pembebasan akhir harus terjadi dalam satu masa kehidupan. Proses ini dapat berjalan lama, melalui banyak kelahiran. Seseorang harus dapat sebaik-baiknya menerapkan pada diri sendiri dan perlahan-lahan mengembangkan kepercayaan diri. Karena itu, bahkan mereka yang cacat secara dan spiritual tetap harus berusaha, bagaimanapun kecilnya, untuk memulai proses pembebasan dan tugas bagi mereka yang lebih mampu adalah membantunya melakukan hal ini; sebagai contoh, bhikkhu dan bhikkhuni menolong orang awam untuk memahami dan menjalani Dhamma.

Sekali roda-roda itu bergerak, individu itu secara perlahan melatih dirinya sendiri untuk meningkatkan kekuatan keyakinan dirinya. Sebuah biji kecil suatu hari akan tumbuh menjadi pohon yang kuat, tetapi tidak dalam semalam. Kesabaran adalah bahan baku yang penting dalam proses yang sulit ini.

Sebagai contoh, kita tahu dari pengalaman, berapa banyak orangtua melakukan segalanya untuk membesarkan anak-anak mereka sesuai dengan harapan dan cita-cita orang tua. Namun ketika anak-anak ini tumbuh besar, mereka berkembang dengan cara mereka sendiri, tidak harus dalam cara yang diinginkan orang tuanya. Dalam ajaran Buddha, kita percaya bahwa sementara orang lain dapat mempengaruhi kehidupan seseorang, akhirnya orang itu akan menciptakan kamma-nya sendiri dan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Pada akhirnya, tidak ada orang lain atau dewa yang dapat mengatur atau mengendalikan pencapaian seseorang akan keselamatan akhir. Inilah makna keyakinan diri.

Tidak berarti bahwa ajaran Buddha mengajarkan seseorang menjadi egois. Dalam ajaran Buddha, jika seseorang dengan upayanya sendiri mencoba merealisasi Nibanna, ia memutuskan untuk tidak membunuh, tidak mencuri, tidak bernafsu pada orang lain, tidak berdusta, dan tidak kehilangan kendali indranya karena minuman keras. Jika ia mengendalikan dirinya sendiri, maka ia secara otomatis menyumbang terhadap kebahagiaan orang lain. Jadi, tidakkah hal yang disebut “egois” ini merupakan hal yang baik bagi kesejahteraan umum orang lain?

Pada tingkat yang lebih biasa, ada pertanyaan bagaimana bentuk kehidupan yang lebih rendah dapat melepaskan diri mereka sendiri dari lingkaran keberadaan yang rendah itu. Tentunya dalam keadaan yang tak berdaya itu diperlukan suatu kekuatan eksternal yang penuh kebaikan untuk menarik makhluk malang ini dari pasir apung. Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mengacu pada pengetahuan tentang teori evolusi. Dengan jelas dinyatakan bahwa kehidupan dimulai dari bentuk yang sangat primitif - tidak lebih dari sebuah sel tunggal yang mengapung dalam air. Selama jutaan tahun bentuk kehidupan dasar ini berevolusi dan menjadi lebih kompleks, lebih pandai. Pada tingkat yang lebih pandai inilah bentuk-bentuk kehidupan mampu berorganisasi, berpikir bebas, mengkonsep dan sebagainya.

Saat umat Buddha berbicara tentang kemampuan untuk menyelamatkan diri sendiri, mereka   mengacu pada bentuk kehidupan di tingkat perkembangan mental yang lebih tinggi. Pada tahap awal evolusi, kekuatan kamma dan mental tetap tidak aktif, tetapi melalui kelahiran berulang yang tak terhitung, suatu makhluk meningkatkan dirinya sendiri ke tingkat berpikir dan menjadi mampu berperilaku rasional daripada sekedar naluriah. Pada tahap inilah makhluk itu menjadi sadar dan ketidakberartian mengalami kelahiran kembali yang tak berakhir dengan rasa sakit dan kesedihan yang berturutan. Saat itulah makhluk tersebut mampu membuat keputusan untuk mengakhiri kelahiran kembali dan mencari kebahagiaan dengan merealisasi Pencerahan dan Nibanna. Dengan tingkat kepandaian yang tinggi ini, individu itu tentu mampu untuk memperbaiki dan mengembangkan diri.

Kita semua tahu bahwa manusia terlahir dengan tingkat kepandaian dan kekuatan pikiran yang sangat beragam. Sebagian terlahir jenius, sementara di ujung lain, beberapa terlahir dengan kepandaian yang sangat rendah. Tetapi semua makhluk memiliki suatu kemampuan untuk membedakan antara pilihan, khususnya jika hal itu menyangkut kelangsungan hidup. Jika kita meneruskan fakta kelangsungan hidup ini sampai ke dunia hewan, kita dapat membedakan antara hewan tingkat tinggi dan rendah dengan kemampuan yang sama ini (dalam beragam tingkatan tentunya) untuk membuat pilihan demi kelangsungan hidup.

Jadi, bahkan suatu bentuk kehidupan yang lebih rendah memiliki potensi untuk menciptakan kamma baik, bagaimanapun terbatasnya. Dengan peningkatan kamma baik secara rajindan bertahap, suatu makhluk dapat meningkatkan dirinya ke tingkat keberadaan dan pemahaman yang lebih tinggi.

Untuk melihat masalah ini dari sudut lain, kita dapat memeprtimbangkan salah satu cerita awal yang telah dikisahkan untuk menunjukkan bagaimana Bakal Buddha (Boddhisatta) pertama-tama membuat keputusan awal untuk berjuang menuju Pencerahan. Dalam sejumlah besar kelahiran kembali sebelum Sang Buddha lahir sebagai Siddhattha, ia terlahir sebagai orang biasa.

Suatu saat, ia bepergian dalam perahu bersama ibunya, muncul badai besar dan perahu itu terbalik, melemparkan penumpangnya ke dalam laut yang marah. Tanpa memikirkan keselamatan dirinya, pemuda yang berani ini menggendong ibunya di punggungnya dan berusaha berenang ke daratan. Tetapi luapan air didepannya sangat besar sehingga ia tidak tahu jalan terbaik agar selamat. Saat berada dalam dilema ini, tidak tahu jalan mana yang harus ditempuh, keberaniannya terlihat oleh salah satu dewa. Dewa ini tidak dapat menolongnya secara fisik, tetapi ia dapat membuatnya mengetahui rute terbaik yang harus ditempuh. Sang pemuda mendengarkan dewa itu dan akhirnya ia dan ibunya selamat. Setelah ibunya selamat, ia merenungkan betapa bahagianya Ia telah menyelamatkan seorang makhluk. Betapa jauh lebih membahagiakan jika ia menyempurnakan dirinya dan kemudian menyelamatkan seluruh makhluk? Disana kemudian ia membuat keputusan teguh untuk tidak beristirahat sampai ia akhirnya merealisasi Pencerahan.

Cerita ini menggambarkan kenyataan bahwa umat Buddha bisa saja mencari pertolongan dewa dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dewa adalah makhluk yang dengan kebajikannya terlahir dengan kekuatan untuk menolong makhluk lain. Tetapi kekuatan ini terbatas pada hal-hal material dan fisik. Dalam keberadaan kita sehari-hari, kita dapat mencari pertolongan dari dewa (jika tertimpa kemalangan, jika kita perlu ditenangkan, jika kita sakit atau takut, dan sebagainya).

Kenyataan bahwa kita mencari bantuan dari dewa-dewa ini berarti bahwa kita masih terikat dengan dunia material. Kita harus menerima kenyataan bahwa dengan terlahirkan, kita menjadi subyek keinginan dan kebutuhan fisik. Dan tidak salah untuk memuaskan kebutuhan ini sampai skala tertentu. Saat Buddha menyarankan Jalan Tengah, Ia berkata bahwa kita tidak boleh menuruti diri kita pada kemewahan atau sepenuhnya menolak kebutuhan dasar hidup kita.

Bagaimanapun, kita tidak boleh berhenti pada hal itu. Sementara kita menerima kondisi kelahiran kita, kita juga harus berusaha, dengan mengikuti Jalan Mulia Berunsur Delapan, untuk mencapai suatu tingkat perkembangan di mana kita menyadari bahwa kemelekatan pada dunia material hanya menciptakan rasa sakit dan kesedihan. Jika kita mengembangkan pemahaman kita akan kelahiran kembali yang tak terhitung, kita akan semakin tidak bernafsu pada kesenangan indrawi. Pada tahap inilah kita menjadi benar-benar percaya diri. Pada tahap ini, dewa-dewa tidak mampu lagi menolong kita, karena kita tidak lagi mencari pemuasan kebutuhan material kita.

Umat Buddha yang benar-benar memahami sifat kesementaraan dunia melatih ketidakmelekatan dari hal-hal material. Karena mereka tidak melekat padanya, maka mereka membagi hal materi tersebut dengan mereka yang lebih tidak beruntung - mereka melatih kemurahan hati (kedermawanan). Dengan cara ini sekali lagi umat Buddha menyumbang bagi kesejahteraan orang lain.

Saat Sang Buddha memperoleh Pencerahan sebagai hasil usaha-Nya sendiri, Ia tidak dengan egois menyimpan pengetahuan ini bagi diri-Nya sendiri. Sebenarnya, setelah merealisasi Pencerahan Tertinggi, Ia tidak memerlukan apapun bagi diri-Nya sendiri - tetapi belas kasih-Nya menggerakkan-Nya untuk menunjukkan jalan yang telah Ia temukan kepada orang lain. Ia melewatkan tidak kurang dari empat puluh lima tahun membagikan pengetahuan-Nya, tidak hanya kepada umat manusia, bahkan juga kepada dewa.

Sering dikatakan bahwa Sang Buddha menolong para pengikut yang berada dalam masalah. Tetapi Ia melakukan hal ini, tidak dengan melakukan mukjizat seperti menghidupkan orang mati dan seterusnya, tetapi melalui tindakan kebijaksanaan dan belas kasih yang membantu orang itu untuk memahami kenyataan hidup.

Dalam satu contoh, seorang wanita bernama Kisa Gotami pergi mencari pertolongan Sang Buddha untuk menghidupkan anaknya yang meninggal. Karena tahu bahwa Ia tidak dapat membuat permpuan itu menerima penjelasan karena ia dalam keadaan sangat tertekan dan berduka, Sang Buddha berkata padanya bahwa Ia harus terlebih dahulu mendapatkan segenggam biji lada hitam dari seseorang yang tak pernah kehilangan orang yang disayangi karena kematian. Wanita yang berduka itu lari dari rumah ke rumah dan semua orang dengan sukarela ingin memberinya biji lada hitam, namun tidak seorangpun yang bisa menyatakan bahwa mereka tidak pernah kehilangan orang yang disayangi karena kematian. Lambat laun Kisa gotami menyadari bahwa kematian adalah kejadian alami yang dialami oleh semua makhluk yang terlahir. Terpenuhi dengan penyadaran ini, ia kembali pada Sang Buddha dan berterima kasih pada-Nya karena telah menunjukkan kenyataan tentang kematian.

Nah, intinya disini adalah Sang Buddha lebih memperhatikan pemahaman wanita itu akan sifat kehidupan daripada memberinya kelegaan sementara dengan menghidupkan anaknya (anak itu tentu akan menjadi tua dan tetap akan meninggal). Dengan penyadaran terbesarnya, Kisa Gotami tidak hanya mampu memahami fenomena kematian, namun juga belajar tentang sebab kesedihan karena kemelekatan. Ia mampu menyadari bahwa kemelekatan menyebabkan kesedihan, bahwa jika kemelekatan hilang, maka kesedihan juga hilang.

Karena itu dalam Ajaran Buddha, seseorang dapat mencari pertolongan agen eksternal (seperti dewa) dalam pencarian kebahagiaan sementara, tetapi dalam tahap perkembangan lebih lanjut saat kemelekatan pada kondisi duniawi berhenti, dimulailah jalan menuju Pencerahan yang harus dijalani sendiri oleh seseorang. Jika seseorang mencari pembebasan, untuk memutuskan siklus kelahiran dan kematian yang tanpa akhir, untuk meraih penyadaran dan Pencerahan, ia hanya dapat melakukannya dengan usaha sendiri, dengan tekad terpusat: “Tak seorangpun menolong kita, kecuali diri kita sendiri.”

Ajaran Buddha menjunjung tinggi martabat manusia. Ini adalah satu-satunya agama yang menyatakan bahwa manusia memiliki kekuatan untuk menolong dan membebaskan dirinya sendiri. Pada tahap lanjut perkembangannya, manusia tidak berada dalam belas kasihan kekuatan eksternal manapun yang harus terus disenangkannya dengan pemujaan atau persembahan korban.


Sumber  : “Keyakinan Umat Buddha “- Dr. Kirinde Sri Dhammananda Nayaka Mahathera

-oOo-







2 komentar: