( TIADA INTI DIRI )
Ajaran Buddhisme tentang Kelahiran kembali harus dibedakan dari teori Transmigrasi atau Reinkarnasi dari ajaran lain yang mempercayai adanya jiwa/roh yang kekal. Ajaran Buddha, bagaimanapun juga, menolak adanya suatu jiwa yang kekal .
Sang Buddha bersabda :
“ Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal adanya.
Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini;
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.
Inilah jalan yang membawa pada kesucian.”
( Dhammapada XX ; 277 )
Ketidak-kekalan ( Anicca ) merupakan suatu fakta yang bersifat Universal. Hal ini berlaku bagi manusia, gagasan, pemikiran dan perasaan, bagi hewan, tanaman, gunung, sungai atau segala sesuatu yang mungkin bisa kita beri nama. Ketidak-kekalan adalah suatu fakta yang tak terhindarkan. Segala sesuatunya mengalami perubahan yang konstan dari waktu ke waktu, seperti halnya suatu proses, kehamilan berlanjut ke proses kelahiran, bayi tumbuh menjadi anak-anak, anak-anak tumbuh mejadi remaja, remaja tumbuh menjadi dewasa, lalu menjadi tua dan mati.
Tak ada kehidupan yang bisa menembus segala waktu, yang ada hanyalah suatu Khandha atau juga dikenal sebagai Agregat ( Unsur / Kelompok penyusun kehidupan atau Unsur pokok yang terkumpul dalam suatu massa yang selalu berubah ). Proses perubahan ini mungkin cepat dan bisa diamati, atau lambat dan mengendap-endap sehingga tidak bisa diamati, namun yang pasti, semuanya senantiasa dalam proses perubahan ke sesuatu yang lain, perubahan adalah suatu hukum kodrat Alam yang tidak dapat kita sangkal keberadaannya. Didunia ini tidak ada yang kekal, yang kekal hanyalah perubahan itu sendiri.
Manusia percaya bahwa ada sesuatu yang kekal di dalam dirinya. Sesuatu yang kekal ini diberi berbagai nama : Atta, Jiwa, Diri, Ego, Aku , Pribadi dan sebagainya. Sang buddha mengatakan; bahwa apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang kekal, semata-mata merupakan gabungan dari kelompok-kelompok energi batin-jasmani yang senantiasa berubah.
Sang Buddha bersabda:
“Badan jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran
dan kesadaran adalah lima khanda,
yang semuanya tidak memiliki inti diri yang kekal.
Bila khanda itu memiliki atta,
maka ia dapat berubah sekehendak atta itu dan tidak akan menderita,
karena semua keinginannya dapat dipenuhi misalnya,
‘Semoga khanda-ku begini dan begitu.’
Tetapi, karena khanda itu anatta,
maka ia tidak dapat berubah sekehendak atta itu
dan oleh sebab itu menderita, karena semua kehendak dan keinginannya tak dapat dipenuhi.
Misalnya, ‘ Semoga khanda-ku begini dan bukan begitu.’ “
( Vin. Mv. Kh. 1 ; cf. S. 22 : 59 ).
Anatta /Tiada inti diri adalah salah satu doktrin yang sangat penting dalam ajaran Buddha. Anatta adalah ajaran yang paling unik, yang diakui oleh banyak cendekiawan, membedakan ajaran Buddha terhadap agama-agama lainnya. Para cendekiawan menyatakan bahwa semua agama selain ajaran Buddha menerima adanya jiwa atau diri yang ada di dalam atau di luar makhluk hidup.
Donald Watson menulis, “Diantara agama-agama besar di dunia, hanya ajaran Buddha yang tidak mengakui keberadaan jiwa”.
Pelajar lainnya, Richard Kennedy menyatakan, “ Menurut ajaran Kristiani, Islam dan Yahudi, setiap jiwa akan dihakimi pada akhir zaman… Jiwa itulah yang menentukan apakah seseorang akan dihukum dalam Neraka atau di hadiahi kehidupan abadi di dalam Surga… Ajaran Buddha mengajarkan bahwa jiwa atau diri yang kekal itu tidak ada .”
Sekalipun doktrin Anatta adalah begitu penting, unik dan semestinya dipahami oleh umat Buddha, namun sampai saat ini dari seluruh ajaran Sang Buddha, doktrin inilah yang paling banyak disalahpahami dan paling banyak disalahtafsirkan, karena doktrin Anatta diajarkan oleh Sang Buddha dari sudut pandang seseorang yang telah mencapai pencerahan sempurna, pandangan yang melihat bahwa segala sesuatu adalah Anatta.
Sang Buddha bersabda :
“ Segala sesuatu yang berkondisi adalah tanpa inti;
apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini,
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan,
Inilah jalan yang membawa pada kesucian .”
( Dhammapada XX ; 279 )
Kontroversi mengenai doktrin Anatta sepertinya didasari oleh rasa takut yang mendalam terhadap penolakan adanya jiwa. Manusia pada umumnya sangat melekat pada hidupnya, sehingga mereka cenderung untuk mempercayai adanya sesuatu yang bersifat tetap, kekal, abadi di dalam dirinya.
Bila ada orang yang mengatakan bahwa tiada sesuatupun yang kekal dalam diri mereka, tidak ada semacam jiwa dalam diri mereka yang akan berlangsung selamanya, mereka akan merasa ketakutan. Mereka bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan mereka di kehidupan mendatang, mereka takut menjadi musnah !.
Sang Buddha sangat memahami hal ini, seperti yang dapat kita lihat dalam cerita tentang Vacchagotta, yang seperti orang pada umumnya, takut dan bingung terhadap doktrin Anatta.
Vacchagotta adalah seorang pertapa yang pada suatu hari mengunjungi Sang Buddha untuk menanyakan beberapa hal penting. Dia bertanya kepada Sang Buddha, : “ Apakah atta (jiwa) itu ada ?.” Sang Buddha Diam. Kemudian, dia bertanya kembali,: “ Apakah atta itu tidak ada ?.” Namun Sang Buddha tetap diam.
Setelah Vacchagotta berlalu, Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda, mengapa Ia telah bersikap diam. Sang Buddha menjelaskan bahwa Ia mengetahui Vacchagotta sedang mengalami kebingungan tentang atta, dan jika Ia menjawab bahwa atta itu ada, berarti Ia mengajarkan paham Eternalistik ( teori jiwa yang kekal ), yang tidak Ia setujui. dan, bila Ia menjawab bahwa atta itu tidak ada, maka Vacchagotta akan berpikir bahwa Sang Buddha mengajarkan paham Materialistik/Nihilisme ( paham yang mengajarkan bahwa makhluk hidup hanyalah suatu organisme batin-jasmani yang akan musnah total setelah kematian ).
Sang Buddha menolak paham materialistik, karena paham ini tidak sesuai dengan hukum kamma, tumimbal lahir dan hukum Sebab-Akibat yang saling bergantungan. Sebaliknya Sang Buddha mengajarkan bahwa manusia terlahir kembali dengan “Kesadaran yang berkesinambungan”. (patisandhi), yaitu kesadaran tumimbal lahir yang tidak berpindah dari kehidupan sebelumnya, melainkan timbul karena adanya berbagai kondisi dari kehidupan sebelumnya.
Sang Buddha menolak paham materialistik, karena paham ini tidak sesuai dengan hukum kamma, tumimbal lahir dan hukum Sebab-Akibat yang saling bergantungan. Sebaliknya Sang Buddha mengajarkan bahwa manusia terlahir kembali dengan “Kesadaran yang berkesinambungan”. (patisandhi), yaitu kesadaran tumimbal lahir yang tidak berpindah dari kehidupan sebelumnya, melainkan timbul karena adanya berbagai kondisi dari kehidupan sebelumnya.
Jadi orang yang terlahir kembali bukanlah orang yang sama dengan yang telah meninggal, namun juga bukan orang yang sepenuhnya berbeda dengan yang telah meninggal.
Yang paling penting, adalah didalam ajaran Buddha tidak dikenal adanya tubuh metafisik, jiwa, atau roh yang sama berlanjut dari satu kehidupan ke- kehidupan berikutnya.
Sebelum Sang Buddha muncul didunia, Brahmanisme, yang kemudian hari disebut Hinduisme adalah ajaran utama yang dianut di India . Brahmanisme mengajarkan doktrin keberadaan Atta ( atau Atman, dalam Sansekerta ), yang pada umumnya diterjemahkan sebagai Jiwa atau Diri.
Ketika Sang Buddha muncul, Ia menyatakan bahwa Atman itu tidak ada. Doktrin ini sangat penting bahwasanya Beliau mengajarkannya hanya 5 hari setelah khotbah pertama-Nya mengenai Empat Kesunyataan Mulia. Kelima murid yang mendengarkan khotbah pertama ini mencapai tingkat ‘Pemenang arus’( Sotapanna ), orang yang telah mencapai tahap pertama pencerahan. Lima hari kemudian, Sang Buddha mengumpulkan kembali kelima muridNya dan mengajarkan doktrin Anatta kepada mereka. Pada akhir khotbahNya, kelimanya menjadi Arahat, orang yang telah mencapai tahap tertinggi pencerahan.
Atta mempunyai makna yang luas, yang dibahas dalam 2 kitab terkemuka Hindu yaitu Upanishad dan Bahagavad Gita. Dalam ajaran Buddha berbagai pandangan tentang Atta dapat ditemukan dalam Brahmajala Sutta. Atta adalah inti dalam segala sesuatu, gagasan tentang atta sebagai inti dari segala sesuatu ditemukan dalam Chandogya dan Brihadaranyaka Upanishad.
Arti lain atta adalah jiwa, suatu sosok rohaniah di dalam semua orang, jiwa, yang disebut atman dalam kitab-kitab Hindu, adalah diri individual dan identik dengan diri Universal, Makhluk tertinggi, yang disebut Brahman.
Atman tinggal dalam setiap makhluk hidup. Seperti Brahman, atman adalah kekal. Saat tubuh mati, atman berpindah dan menempati tubuh lain sebagai rumah barunya. Dengan cara ini, atman berpindah dari satu tubuh ke tubuh lainnya, meninggalkan tubuh lama yang telah usang dan menempati tubuh baru.
Dalam agama Hindu, kebebasan identik dengan atman universal atau Brahman, atau bahwasanya atman individual tersebut adalah bagian dari Brahman.
Sang Buddha menolak teori atman. Menurut Beliau, tidak ada sesuatupun yang dapat kita sebut sebagai inti diri yang kekal dan mulia. Juga tidak ada sesuatupun yang dapat kita katakan sebagai penguasa sesuatu.
Dalam ajaran Buddha tidak ada pelaku, namun yang ada hanyalah perbuatan melakukan ; tidak ada yang mengalami, yang ada hanyalah pengalaman. Tidak ada apapun atau siapapun yang mahakuasa karena segala sesuatu hanyalah merupakan pembentukan dan penguraian konstan hal-hal yang terkondisi.
PANCA KHANDHA (Lima Kelompok Kehidupan)
Sang Buddha mengajarkan bahwa hanya ada Panca Khandha (Lima Kelompok Kehidupan ):
Panca Khandha (Pali) atau Panca Skandha (Sanskerta) berasal dari kata “panca” dan “khandha”. Panca berarti lima dan khandha berarti kelompok /kumpulan. Jadi panca khandha berarti lima kelompok pembentuk kehidupan.
Sang Buddha dalam Satta Sutta; Radha Samyutta; Samyutta Nikaya 23.2 {S 3.189} menjelaskan:
”Radha, nafsu keinginan, kegemaran, atau kehausan apapun terhadap rupa, viññana, sañña, sankhära, vedanä. Ketika sesuatu terperangkap di sana, terikat di sana, maka sesuatu itu disebut sebagai makhluk hidup.”
Jadi, apa yang disebut sebagai makhluk hidup termasuk manusia, dalam pandangan Buddha Dhamma adalah hanya merupakan perpaduan dari Panca Khandha yang saling bekerja sama secara erat satu sama yang lain. Tidak ditemukan suatu atma/atta atau roh yang kekal dan abadi.
Panca Khandha terdiri dari:
· Rupa = Bentuk, tubuh, badan jasmani.
· Viññana = Kesadaran.
· Sañña = Pencerapan.
· Sankhära = Pikiran, bentuk-bentuk mental
· Vedanä = Perasaan.
Kelima Khandha ini dapat digolongkan menjadi 2 bagian utama , yaitu:
· Jasmani atau disebut Rupa.
· Batin atau disebut Nama.
Rupa digolongkan sebagai Rupa (kaya) atau jasmani, sesuatu yang berbentuk dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki berikut hal-hal lainnya yang ada dalam tubuh seperti jantung, paru-paru, ginjal, pernapasan, suara, suhu tubuh, dan sebagainya. Rupa atau jasmani ini juga merupakan perpaduan dari 4 unsur, yaitu : unsur padat (pathavi dhatu), unsur cair (apo dhatu), unsur api/panas (tejo dhatu), unsur angin/gerak (vayo dhatu).
Viññana, Sañña, Sankhära, Vedanä digolongkan sebagai Nama (citta) atau batin, sesuatu yang berada dalam jasmani dan tidak dapat dilihat.
Di bawah ini merupakan penjelasan atas Viññana, Sañña, Sankhära, Vedanä sekaligus proses batin secara berurutan yang terjadi ketika jasmani kita melakuan kontak dengan sesuatu.
· Viññana
Viññana berarti kesadaran atau juga disebut dengan citta. Keberadaannya dapat kita analisa ketika kita menyadari bahwa bathin kita telah menangkap suatu rangsangan ketika anggota tubuh kita berhubungan dengan sesuatu, misalnya:
- terjadi kontak antara mata dengan suatu bentuk.
- terjadi kontak antara jasmani dengan sentuhan.
- terjadi kontak antara telinga dengan suara.
- terjadi kontak antara hidung dengan bau-bauan.
- terjadi kontak antara pikiran dengan situasi.
· Sañña
Sañña berarti pencerapan. Keberadaannya dapat kita analisa ketika batin kita mencerap atau menerima ataupun mengenal rangsangan-rangsangan yang terjadi pada tubuh kita melalui suatu bagian dari otak kita.
· Sankhära
Sankhära berarti bentuk-bentuk pikiran. Keberadaannya dapat kita analisa ketika rangsangan pada tubuh yang telah disadari dan dicerap akan dibanding-bandingkan dengan pengalaman kita yang dulu-dulu melalui gambaran-gambaran pikiran yang tersimpan dalam batin kita, yang pernah kita lihat, dengar, sentuh dan lain-lain.
· Vedanä
Vedanä berarti perasaan. Keberadaannya dapat kita analisa ketika kita telah membanding-bandingan rangsangan kemudian timbul perasaan senang (suka) atau tidak senang (tidak suka), bahagia maupun menderita, dan perasaan netral.
Secara singkat, proses batin yang terjadi ketika tubuh kita menerima rangsangan sebagai berikut:
Kesadaran => Pencerapan => Pikiran => Perasaan
( proses batin ini terjadi secara cepat )
Karena makhluk hidup khususnya manusia merupakan perpaduan dari berbagai unsur atau kelompok kehidupan (khandha), maka sesuai dengan hukum Tiga Corak Kehidupan (Tilakkhana) yaitu : segala sesuatu yang berkondisi akan selalu mengalami perubahan dan memiliki sifat tidak kekal (anicca), segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur, merupakan sesuatu yang tidak memuaskan akan menimbulkan beban berat atau penderitaan (dukkha) dan segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur maupun sesuatu yang tidak berkondisi merupakan sesuatu yang tidak memiliki inti/’roh’ dan bukan diri yang sejati (anatta).
Perpaduan kelima khandha itulah yang kita sebut sebagai “diri”, “Aku”, orang, makhluk, pria atau wanita . Setelah ditelaah dan diamati satu per satu dengan meditasi mendalam, kita akan menyadari bahwa tidak ada sesuatupun, baik jiwa ataupun diri, selain kelima khandha tadi. Hanya kelima khandha inilah (tubuh, perasaan, pencerapan, bentukan mental dan kesadaran), yang berinteraksi dan saling tergantung satu sama lain. Tiada yang mengarahkan, tiada yang melakukan, tiada yang mengalami dan tiada inti yang dapat ditemukan. Atta hanyalah semata gagasan yang tidak sesuai dengan kebenaran.
Dalam Majjhima Nikaya 35, terdapat cerita mengenai seorang pertapa terpelajar yang sangat terkenal, bernama Saccaka. Pada suatu hari ia mendengar bahwa Sang Buddha mengajarkan doktrin Anatta. Karena dia adalah seorang ahli debat yang sangat piawai, dia memutuskan untuk mendatangi dan meyakinkan Sang Buddha bahwa doktrin anatta adalah salah. Saccaka sangatlah percaya diri; dia menyatakan bahwa bila ia berdebat melawan sebuah tiang yang tanpa akal, maka tiang tersebut akan terguncang , menggigil, gemetar dan berkeringat. Dia menyatakan bahwa ibarat orang kuat yang dapat dengan mudah merenggut seekor kambing dan menyeretnya kesana kemari, maka dia akan dengan mudah mengalahkan Sang Buddha dalam perdebatan.
Saccaka dan para pengikutnya mendatangi Sang Buddha. Setelah bertukar salam, Saccaka meminta Sang Buddha untuk menjelaskan doktrin-doktrin yang diajarkanNya. Sang Buddha menjawab bahwa ia mengajar anatta. Saccaka ber-argumentasi ; bahwasanya seseorang mempunyai bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan mental, dan kesadaran sebagai diri (atta) dan berdasar atas atta itu dia menghasilkan jasa kebajikan atau perbuatan buruk…...
Sang Buddha bertanya kembali kepada Saccaka:
“Saccaka, apakah engkau menyatakan bahwa ‘bentuk materi (Jasmani) adalah diriku’, ‘perasaan adalah diriku’, ‘persepsi (Pencerapan) adalah diriku’, ‘bentukan-bentukan (Bentukan mental) adalah diriku’, ‘kesadaran adalah diriku ‘?.”
“ Saya menyatakan demikian, guru Gotama ”. jawab Saccaka.
“ Bagaimana pendapatmu, Saccaka ? Ketika engkau mengatakan demikian:
‘Bentuk materi adalah diriku,’ apakah engkau mempunyai kekuasaan atas bentuk materi tersebut dengan berkata : ‘biarlah bentukku seperti ini; biarlah bentukku tidak seperti ini’ ?”
Ketika hal ini dikatakan oleh Sang Buddha, Saccaka putra Nigantha-pun terdiam.
Untuk kedua kalinya Sang buddha mengajukan pertanyaan yang sama, dan untuk kedua kalinya Saccaka terdiam.
Untuk ketiga kalinya Sang Buddha mengajukan pertanyaan yang sama, dan karena merasa telah tersudut oleh pernyataannya sendiri, butir-butir keringat mulai membasahi dahinya, Saccaka-pun akhirnya menjawab :
“ Tidak Guru Gotama .”
“ Perhatikan, Saccaka, perhatikan bagaimana engkau menjawab, apa yang telah engkau katakan sebelumnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya…., ketika engkau mengatakan bahwa ;‘Perasaan adalah diriku’,‘Persepsi adalah diriku’, ‘Bentukan-bentukan adalah diriku’, ‘Kesadaran adalah diriku’, apakah engkau mempunyai kekuasaan atas semuanya itu ?”
“ Tidak Guru Gotama .” jawab Saccaka.
“ Bagaimana pendapatmu,Saccaka, apakah lima khandha itu kekal atau tidak kekal ?”
“ Tidak kekal Guru Gotama .”
“ Sesuatu yang tidak kekal itu, merupakan penderitaan atau kebahagiaan , Saccaka ? ”
“ Penderitaan Guru Gotama.”
“ Sesuatu yang tidak kekal, penderitaan, dan terkena perubahan itu, apakah tepat untuk dianggap demikian : ‘ Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku ‘.?
“ Tidak, Guru Gotama.”
Ketika Dhamma telah dibabarkan oleh Sang Buddha, Saccaka hanya duduk terdiam, cemas, dengan bahu yang lunglai dan kepala tertunduk, tanpa tanggapan lagi.
“ Guru Gotama, tadi kami sungguh nekat dan tidak sopan, karena berpikir bahwa kami dapat menyerang Guru Gotama dalam perdebatan..., Sudilah Yang Terberkahi bersama dengan Sangha para Bhikkhu bersedia menerima dana makanan esok hari dari saya.” Sang Buddha menyetujui dengan berdiam diri.
Disini dapat kita lihat Sang Buddha mematahkan argumentasi tentang beberapa karakteristik yang dikaitkan dengan atta. Jika Saccaka memiliki atta, dia dapat memerintah atta untuk mengerahkan kekuasaannnya untuk mengubah penampakannya, karena atta identik dengan Brahman, sang penguasa tertinggi, yang tak terbatas, pencipta yang maha kuasa dan sumber segala sesuatu, seperti tercantum dalam Bhagavad Gita.
Namun, menurut Sang Buddha, yang ada hanyalah kelima agregat / kelima khandha, dan mereka bukanlah atta karena mereka terikat oleh hukum-hukum kefanaan, tidak memuaskan dan tiada inti diri. Rupa ( bentuk materi ) bukanlah atta, bukan tuan dan pemerintah dirinya sendiri, serta terikat pada kesengsaraan. Khandha lainnya ( perasaan, pencerapan, bentukan mental dan kesadaran ) juga terikat pada hukum yang sama, jadi, Saccaka telah dikalahkan.
Dalam Majjhima Nikaya, Sang Buddha menguraikan bahwa kepercayaan akan atta adalah gagasan yang hanya akan menimbulkan egoisme dan keangkuhan : “ Yang Sempurna telah bebas dari teori apapun ( Dittigata ). Karena Yang Sempurna telah melihat apa yang sebenarnya tubuh itu, dan bagaimana tubuh muncul dan berlalu. Ia telah melihat apakah sebenarnya Perasaan, pencerapan, bentukan mental dan kesadaran itu, bagaimana mereka muncul dan berlalu. Oleh sebab itu aku katakan; bahwa Yang Sempurna telah memenangkan pembebasan penuh melalui pemusnahan, peluruhan, pelenyapan, penolakan dan menghalau seluruh khayalan dan dugaan, melepaskan diri dari seluruh kecenderungan keangkuhan ‘ aku’ dan ‘ Milikku’ .”
Dalam Brahmajala Sutta yang tersohor, yang sangat dianjurkan bagi mereka yang ingin mempelajari penjelasan mengenai pandangan salah, Sang Buddha mengatakan : “ Disanalah, Bhikku, ketika para pertapa dan Brahmana penganut paham kekekalan menyatakan bahwa diri dan dunia adalah kekal adanya, itu hanyalah hasutan dan kebimbangan mereka yang tidak tahu dan tidak melihat; yang terbenam dalam nafsu .”
Dalam Anattalakkhana Sutta, terdapat uraian panjang mengenai ajaran anatta yang dibabarkan oleh Sang Buddha ketika tinggal di Benares , di Taman Rusa Isipatana.
Meskipun kita dengan mudah memahami bahwa rupa (bentukan materi) adalah bukan atta, ada yang sulit untuk memahami mengapa Khandha yang lainnya ( Perasaan, pencerapan, bentukan mental dan kesadaran ) yang dapat dirangkum sebagai nama ( pikiran ), adalah bukan sesuatu yang disebut atta. Pada akhirnya, banyak orang percaya bahwa pikiran dan jiwa adalah sama atau saling berhubungan, dan mereka mendefinisi pikiran atau jiwa sebagai bagian dari manusia yang memberikan hidup dan kesadaran pada tubuh fisik. Lebih jauh, mereka percaya bahwa dengan demikian pikiran dan/ atau jiwa adalah pusat spiritual dan psikologis seseorang.
Namun, menurut Sang Buddha, nama bukan atta seperti halnya rupa bukan atta. Nama juga terikat pada kaidah kefanaan, tidak memuaskan dan tiada inti diri. Sang Buddha memperlakukan nama dan rupa secara setara, dan keduanya saling tergantung satu sama lain.
Suatu benda baru ber-eksistensi bila semua bagian-bagian (sebagai prasyarat) telah terpadu. Rumah,misalnya, adalah perpaduan dari batu-bata, semen, pasir, jendela-jendela, pintu-pintu dan atap, dan tidak merupakan bagian tersendiri yang terpisah dari kelompok unsur-unsur tersebut diatas.
Hal penting yang juga perlu diingat adalah bahwa nama-rupa atau Khandha hanyalah sekedar pengelompokan abstrak yang dibuat oleh Sang Buddha, maka tidak berarti mereka punya keberadaan nyata sebagai kelompok. Oleh karenanya, khandha-khandha ini tidak pernah berfungsi sebagai suatu kesatuan atau kelompok yang disebut tubuh atau perasaan atau pencerapan atau bentukan mental atau kesadaran, namun hanya fungsi individual yang mewakili masing-masing kelompok.
Contohnya : Satu unit kesadaran hanya diasosiasikan dengan satu bentuk perasaan saja. Dua unit pencerapan yang berbeda tidak dapat timbul pada saat yang bersamaan, dan hanya menghasilkan satu unit kesadaran saja, misalnya kesadaran “ Melihat ”, dapat timbul pada satu waktu. Sejumlah bentukan mental dapat timbul dengan tiap-tiap bentuk kesadaran, Kelompok-kelompok ini tidak pernah timbul sebagai suatu totalitas; hanya tiap penyusun atau tiap detak dari kelompok tertentu yang dapat timbul, tergantung pada kondisinya. Tidak ada paduan fungsi kelompok yang bisa disebut suatu diri atau jiwa.
Cara lain untuk mempelajari bahwa nama bukanlah atta adalah dengan melihat kembali definisi Khandha yang diberikan oleh Sang Buddha dalam Samyutta Nikaya XX; 56. Keempat Khandha yang diklasifikasikan sebagai Nama ( Pikiran ), bukan suatu bentuk pikiran yang bersifat kekal atau apapun yang dapat disebut atta. Melainkan khandha-khandha saling bergantung sepenuhnya, dimana komponen dari masing-masing khandha mengkondisikan timbulnya komponen yang lain.
Cara lain untuk menelaah sifat nama dan rupa adalah melalui pendekatan Abhidhamma; suatu sistem psikologis yang sangat rumit dan bersifat teknis. Abbhidamma menurut Narada Maha Thera ( dalam A Manual of Abhidhamma ) adalah “ Ilmu jiwa ( Psikologi ) tanpa jiwa( psikis ) ”.
Abhidhamma mengajarkan bahwa kebenaran sejati terdiri dari empat unsur penyusun. Yang pertama adalah Nibbana ( yang tak terkondisi ) dan ketiga unsur lainnya adalah citta, cetasika dan rupa ( Kesadaran, faktor mental dan materi ) yang terkondisi dan merupakan bagian dari penyusun nama dan rupa.
Semua gagasan konseptual seperti diri, makhluk, atau orang, dibahas hanya sebagai fenomena mental dan material apa adanya, yang bersifat fana, terkondisi, saling ketergantungan dan tidak adanya inti diri. Kesadaran sebagai contohnya, yang tampak seperti arus berkesinambungan, dijabarkan sebagai citta ( Suatu pergantian peristiwa mental individual yang bersifat sementara ) dan cetasika . ( suatu kumpulan faktor mental yang kompleks ) yang berperanan khusus dalam pembentukan kesadaran. Dalam proses ini tidak terlihat adanya diri , jiwa atau sub-sub lainnya.
Untuk memahami kebenaran, perlu pengetahuan akan sifat segala sesuatu yang anatta dan itu hanya dapat ditembus melalui meditasi Vipassana ( Pandangan terang ), yang berkaitan langsung dengan pengetahuan tentang annica (sifat segala sesuatu yang tidak kekal), dukkha ( tidak memuaskan ) dan anatta ( tanpa inti diri.)
Seseorang tidak akan dapat mencapai kemajuan jika belum mampu mengalami 3 corak umum ini secara langsung, bukan sekedar secara intelektual. Selama meditasi, akan tampak jelas apa yang menyamarkan ketiga corak ini.
Sifat kefanaan ( Ketidak kekalan ) tersamarkan oleh kesinambungan. Jika kita melihat nyala sebuah lilin, kita akan berpikir bahwa nyala tersebut sama dari waktu kewaktu, padahal, nyala lilin itu secara terus-menerus lenyap dan muncul lagi setiap saat. Kita melihat ilusi satu nyala yang sama karena gagasan dan penampakan kesinambungan.
Sifat tidak memuaskan ( Penderitaan ) tersamarkan oleh perubahan posisi tubuh. Ketika kita duduk dan merasa tidak nyaman, kita mengubah posisi dan merasa nyaman kembali. Sesungguhnya, kita selalu mengubah posisi setiap saat dalam hidup kita, tetapi kita tidak menyadarinya. Setiap saat rasa tidak nyaman muncul, kita segera mengubah posisi tubuh kita.
Sifat Tiada inti diri tersamarkan oleh persepsi bahwa segala benda, makhluk hidup, maupun diri kita sendiri sebagai sesuatu yang solid dan berbentuk.
Sumber :
- Dawai edisi.46 - Team penulis.
- Dasar pandangan agama Buddha - Venerable S.Dhammika.
- Anguttara Nikaya - Bhikkhu Jotidhammo Thera, M.Hum & Rudy Ananda Umiadi.SSI,MM.
- Majjhima Nikaya - Bhikkhu Nanamoli dan Bhikkhu Boddhi.
- Udana - John D.Ireland
- Damai tak tergoyahkan - Venerable Ajahn Chah.
- Sang Buddha dan ajaran-ajarannya - Bhikkhu Narada Mahathera
- Pemahaman Dhamma Sang Buddha jilid I - Tanhadi
Sumber :
- Dawai edisi.46 - Team penulis.
- Dasar pandangan agama Buddha - Venerable S.Dhammika.
- Anguttara Nikaya - Bhikkhu Jotidhammo Thera, M.Hum & Rudy Ananda Umiadi.SSI,MM.
- Majjhima Nikaya - Bhikkhu Nanamoli dan Bhikkhu Boddhi.
- Udana - John D.Ireland
- Damai tak tergoyahkan - Venerable Ajahn Chah.
- Sang Buddha dan ajaran-ajarannya - Bhikkhu Narada Mahathera
- Pemahaman Dhamma Sang Buddha jilid I - Tanhadi
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar