Minggu, Juli 14, 2013

Bolehkah Umat Buddha Menjadi Tentara?

BOLEHKAH UMAT BUDDHA MENJADI TENTARA?

Engkau dapat menjadi seorang prajurit kebenaran,
tetapi bukanlah seorang penyerang.

Suatu hari, Sinha, seorang tentara, mengunjungi Guru Buddha dan mengatakan, “O Bhagava, saya adalah seorang tentara yang ditunjuk oleh raja untuk menegakkan hukum dan berperang. Guru Buddha mengajarkan cinta kasih yang universal, kebaikan, dan kasih sayang untuk makhluk yang menderita.

Apakah Buddha mengizinkan pemberian hukuman untuk para penjahat?

Dan juga, apakah Buddha menyatakan bahwa berperang demi melindungi rumah, istri, anak-anak, dan harta kita adalah salah?  

Apakah Buddha mengajarkan agar kita menyerahkan diri sepenuhnya?

Apakah saya harus menderita dengan melakukan apa yang disenangi oleh para pelaku kejahatan dan memberikan secara patuh kepadanya yang mengancam akan mengambil secara paksa apa yang menjadi milik saya?  

Apakah Buddha menetapkan bahwa semua perselisihan termasuk berperang demi alasan-alasan yang pantas seharusnya dilarang?”

Buddha menjawab, “Mereka yang pantas dihukum harus dihukum. Dan mereka yang pantas ditolong wajib ditolong. Tidak melukai makhluk hidup apapun, tetapi harus adil, penuh dengan cinta dan kebaikan.”  

Keputusan ini tidaklah bertentangan karena orang yang dihukum atas kejahatannya akan menderita atas lukanya bukan karena niat jahat sang hakim namun dikarenakan oleh tindakan jahatnya itu sendiri. Tindakan jahat itu sendiri yang telah mengakibatkan luka yang diberikan oleh sang penegak hukum. Jika seorang hakim memberikan hukuman, dia seharusnya tidak menyimpan rasa benci di hatinya. Jika seorang pembunuh dieksekusi mati, dia seharusnya menyadari bahwa hukumannya itu adalah akibat perbuatannya sendiri. Dengan pemahaman ini, dia tidak perlu lagi meratapi nasibnya tetapi dapat menenangkan pikirannya.  

Guru Buddha melanjutkan, “Buddha mengajarkan bahwa segala perang di mana terjadi pembantaian terhadap saudara-saudara sendiri adalah sangat disayangkan sekali. Akan tetapi, Buddha tidak mengajarkan bahwa mereka yang terlibat perang untuk memelihara perdamaian dan ketentraman, setelah menggunakan berbagai cara untuk menghindari konflik, adalah pantas disalahkan.”

“Perjuangan tetap harus ada, karena pada hakikatnya hidup adalah perjuangan.

Tetapi pastikan bahwa engkau tidak berjuang demi kepentingan pribadi hingga menentang kebenaran dan keadilan. Seseorang yang berjuang demi kepentingan pribadi untuk membesarkan dirinya sendiri atau memiliki kekuasaan atau kaya atau terkenal, tidak akan mendapatkan penghargaan. Tetapi, dia yang berjuang demi perdamaian dan kebenaran akan memperoleh penghargaan besar; bahkan kekalahannya akan dianggap sebagai kemenangan.”

“Kemudian Sinha, jika seseorang pergi berperang bahkan untuk alasan yang pantas, dia harus siap-siap untuk dibunuh musuhnya karena kematian adalah bagian dari resiko seorang prajurit. Dan jika karmanya itu mengikutinya, dia tidak memiliki alasan apapun untuk mengeluh. Tetapi jika dia yang menang, keberhasilannya akan dianggap besar, tetapi tidak peduli sebesar apapun itu, roda kehidupan akan berputar kembali dan membawa hidupnya hancur lebur seperti debu. Akan tetapi, apabila dia mampu berkompromi dengan dirinya sendiri dan melenyapkan semua kebencian di hatinya, dan jika dia dapat mengangkat musuhnya yang tertindas dan mengatakan pada mereka, ‘Marilah berdamai dan biarlah kita menjadi saudara,’ maka dia akan memperoleh kemenangan yang bukan keberhasilan sementara; dikarenakan buah kemenangan ini akan bertahan selamanya.”

“Seorang jenderal yang berhasil adalah seorang pemenang, Sinha, tetapi dia yang menaklukkan diri sendiri adalah pemenang sejati. Ajaran penaklukkan diri sendiri ini, Sinha, tidaklah diajarkan untuk menghancurkan kehidupan orang lain, tetapi untuk melindungi mereka. Seseorang yang telah menaklukkan dirinya sendiri akan lebih siap menghadapi hidup, mengukir keberhasilan, dan meraih kemenangan daripada seseorang yang diperbudak diri sendiri.  

Seseorang yang pikirannya terbebas dari ilusi keakuan, akan lebih mampu bertahan dan tidak terjatuh dalam pertempuran hidup. Dia, yang tujuannya penuh kebenaran dan keadilan, tidak akan menemui kegagalan.  

Dia akan berhasil dalam usahanya dan keberhasilannya akan bertahan. Dia yang memiliki cinta akan kebenaran dalam hatinya akan hidup terus dan tidak akan menderita. Jadi, berjuanglah dengan berani dan bijaksana. Kemudian, engkau akan menjadi prajurit pembela kebenaran.”

Tidak ada keadilan dalam peperangan atau kekerasan. Ketika kita yang menyatakan perang, kita membenarkannya; namun ketika pihak lain menyatakan perang, kita menganggap itu tidak adil. Selanjutnya, siapa sebenarnya yang dapat membenarkan perang? Orang seharusnya tidak mengikuti hukum rimba untuk mengatasi masalah manusia.

Diterjemahkan dari:

Dhammanada, K. Sri, 2002, What Buddhist Believe, 4th Ed., pp. 385-387, Buddhist Missionary Society Malaysia, Kuala Lumpur




Tidak ada komentar:

Posting Komentar