Jumat, Juli 05, 2013

Aspek-Aspek Mitologi Dalam Suatu Agama

Aspek-Aspek Mitologi Dalam Suatu Agama
Oleh: Bhikkhu Indaratano

Para sarjana masih mengalami kesulitan untuk mendefinisi-kan/membatasi apa yang dimaksud dengan mitologi itu. Ada yang mengatakan bahwa mitologi adalah sesuatu yang abstrak, tidak nyata, dan bukan sesuatu yang sesuai dengan kenyataan.

Tetapi kita akan coba mengutip definisi mitologi menurut kamus besar Bahasa Indonesia edisi ke-3 terbitan Departemen Pendidikan Nasional. Menurut kamus (meskipun tidak 100% benar kebenarannya tetapi kita bisa menjadikannya sebagai bahan acuan), mitologi adalah ilmu tentang bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk halus dalam suatu kebudayaan.

Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan jaman dahulu yang mengandung penafsiran tentang asal usul alam semesta, manusia, dan bangsa tersebut, yang mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara "gaib".

Sedangkan mitos menurut Mircea Eliade dalam bukunya "Myth and Reality" mempunyai karakteristik sebagai berikut: Mitos sebagaimana yang dialami oleh masyarakat kuno/primitif berisi sejarah (riwayat dan peristiwa yang terjadi pada waktu lampau) tentang perbuatan atau pun aktifitas para makhluk supranatural. Bahwasanya sejarah ini dianggap sebagai benar (karena ini berhubungan dengan kenyataan-kenyataan) dan sakral (sebab ini adalah hasil kerja para makhluk supranatural). Bahwa-sanya sebuah mitos selalu berhubungan dengan sebuah "penciptaan", yang mengatakan bagaimana sesuatu yang terjadi itu ada, atau bagaimana cara berkelakuan tertentu sebuah lembaga dengan cara bertindaknya menjadi ada; oleh sebab itu mitos me-ngandung paradigma-paradigma untuk segala perbuatan-perbuatan manusia yang penting. Bahwasanya dengan mengetahui mitos itu seseorang mengetahui asal usul segala sesuatu dan di sini dia bisa mengontrol dan memanipulasinya sesuai dengan kehendak-nya. Ini bukan pengetahuan eksternal dan abstrak tetapi pengetahuan yang dialami secara ritual, entah dengan upacara menceritakan mitos itu ataupun dengan melakukan ritual yang mana ini ada-lah sesuatu alasan yang bisa diterima untuk melakukan sesuatu.

Bahwasanya dalam satu cara ataupun cara lainnya, seseorang hidup (dalam) mitos itu, dalam pengertian bahwa seseorang dikuasai/dipengaruhi oleh sesuatu yang sakral, di mana kekuatan yang luar biasa dari even-even yang diingat kembali atau dipertunjukkan (secara diritualkan).

Maksud uraian di atas bahwa mitos itu adalah sesuatu yang benar secara logika karena itu sesuatu yang berhubungan dengan kenyataan yang sekarang ini ada. Seperti penciptaan bumi ini dianggap suci sebab hasil kerja makhluk supra-natural. Dan bumi ini dianggap sesuatu yang sakral karena dianggap sebagai ciptaan-Nya. Bagaimana bumi ini terjadi, timbul bintang, manusia, binatang-binatang, dan lain sebagainya, yaitu selalu berhubungan dengan konsep penciptaan; anggapan bahwa bumi ini benar-benar diciptakan Tuhan, itu adalah suatu alasan agar kita mempunyai paradigma tertentu atau pola berpikir tertentu yaitu kita harus berbuat sesuai dengan kehendak-Nya.

Demikian juga misalnya orang-orang yang tinggal di Gunung Bromo, mereka akan mempunyai suatu pola pikir bahwa tiap bulan tertentu mereka akan melaksanakan ritual tertentu. Kalau tidak dilakukan, mereka akan merasa khawatir dan dapat menim-bulkan suatu penyesalan. Makanya mitos itu biasanya akan menentukan bagaimana seseorang itu berbuat dalam kehidupan sehari-hari. Pada waktu mengetahui tentang mitos itu, kita bisa mengontrol dan memanipulasi sesuai dengan kehendak kita.

Dalam konteks Buddhis, kita mempunyai mitos tentang munculnya paritta yang biasa dibacakan kepada seorang ibu yang akan melahirkan. Paritta ini timbul karena memang ada kisah yang benar-benar terjadi yaitu cerita tentang Bhikkhu Angulimala yang mendapat nasehat Sang Buddha untuk membuat semacam tekad yang berisi tentang kebenaran. Kemudian nasehat Sang Buddha ini dilaksanakan, dan pada waktu Bhikkhu Angulimala bertemu kembali dengan ibu yang akan melahirkan, Bhikkhu Angulimala kemudian mengucapkan tekad kebenaran dan ibu tersebut dapat dengan mudah melahirkan. Sampai sekarang kita bisa menggunakan paritta tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Umumnya mitos selalu berhubungan dengan ritual, upacara-upacara keagamaan, dan memang biasanya bersifat abstrak, dan kita tidak bisa secara ilmu pengetahuan menyelidiki bagaimana hal tersebut membuahkan hasil. Seseorang yang mempercayai mitos dan kemudian dia melakukan suatu upacara tertentu, ia akan hidup dalam mitos itu. Misalnya dalam konteks agama tertentu, kalau seseorang mempercayai tentang kewajiban yang harus dijalankan menurut agamanya, bila dia tidak melaksanakan atau lupa, ia merasa berdosa, tetapi bila ia telah melakukan kegiatan keagamaan, ia akan merasa puas secara psikologis.

Di Buddhis juga ada hal demikian. Kadang-kadang dalam perayaan keagamaan umat merasa puas jika mendapat blessing. Bila sudah kena percikan air mereka merasa lega/puas. Apakah benar air paritta itu membawa berkah? Kita tidak tahu tetapi kita hidup dalam mitos itu dan puas secara psikologis, tidak khawatir lagi. Demikian pula saat umat sedang sakit minta dibacakan paritta, atau umat agama lain minta dibacakan doa, mereka merasa puas jika sudah dibacakan.

Di masyarakat, tingkatan kemampuan intelektual seseorang berbeda-beda. Makanya para penyusun kitab itu termasuk Sang Buddha berusaha dengan menggunakan metode tertentu supaya ajaran Beliau bisa diterima dan dimengerti kemudian bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh sebab itu, mitos sulit sekali untuk bisa dihindari meskipun sebenarnya bisa. Yang menjadi harapan adalah kita jangan langsung terjebak/terjerumus bahwa sesuatu yang kadang-kadang mitos itu disebut sesuai fakta sejarah dan benar-benar terjadi. Mitos bisa berasal dari sesuatu yang benar terjadi seperti Paritta Angulimala tetapi tidak semuanya dari fakta nyata seperti yang dikisahkan dalam Jataka. Namun semua-nya bisa dimanfaatkan atau kita praktikkan meskipun sesuatu itu tidak harus berdasarkan fakta. Kita bisa mengambil dari makna yang tersirat bukan dari sekedar makna yang tersurat. [MR]


Hak Cipta © 1997-2003 Vihara Jakarta Dhammacakka jaya





Tidak ada komentar:

Posting Komentar