Minggu, Juli 14, 2013

Konsep Masyarakat Buddhis, Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia Menurut Pandangan Agama Buddha

KONSEP MASYARAKAT BUDDHIS, HUKUM DAN HAK – HAK ASASI MANUSIA MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA
Oleh Bhikkhu Vajhiradhammo

A. Konsep Masyarakat Buddhis
Kehidupan manusia selalu berupaya untuk memperhatikan nilai-nilai, kemampuan, martabat, kebebasan dan kesejahteraan. Sebagai petunjuk atas sikap Buddha terhadap kepentingan dalam masyarakat Buddhis selalu mengedepankan kebenaran, keadilan dan kejujuran serta belas kasih sebagai ciri dalam konsep masyarakat Buddhis. Menuju pada kedisiplinan, yang menyangkut segi duniawi dan spiritual untuk dapat dipraktekan dengan suatu usaha. “Demi untuk kesejahteraan, kebahagiaan dan kebahagiaan banyak orang, demi kasih sayang bagi dunia, demi kebaikan dan kedamaian serta kebahagiaan para dewa dan manusia” (D. iii.127) sebagai dasar merupakan sikap kedisiplinan moralitas dan etika dalam masyarakat.

Sebagai umat Buddha yang berada di tengah-tengah masyarakat yang luas, sangat erat hubungannya dengan segala bentuk kehidupan sosial. Suatu pandangan yang berat sebelah apabila mengatakan Agama Buddha hanya bersangkut-paut dengan pembebasan diri sendiri, terhadap kehidupan spiritual. Kemudian mendorong orang untuk melepaskan diri sama sekali dari keterlibatan kehidupan vihara atau mengasingkan diri, tanpa memperdulikan orang lain dan tanpa berbuat sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat.

Sang Buddha dan Bhikkhu meninggalkan keramaian masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh pengertian yang baru mengenai kehidupan. Untuk mendapatkan kedudukan mereka yang menguntungkan di luar masyarakat diharapkan akan dapat mempengaruhi masyarakat yang ditinggalkan, sehingga untuk bersama-sama merenungkan keadaan atau permasalahan masyarakat yang dihadapinya, mengembangkan dan mengendalikan pikiran menuju cita-cita dalam kehidupan ini yang lebih baik.

Kehidupan masyarakat Buddhis, interaksi pribadi dan masyarakat adalah sangat berkaitan dan saling mendukung, karena kemajuan pribadi tidak bisa terlepas dengan keadaan orang lain. Hal ini ditekankan oleh Buddha dalam pembinaan terhadap para pengikutnya, maka seorang sarjana Buddha, Gokhale, menerangkan bahwa perkembangan masyarakat Buddhis berlangsung dalam tiga tahapan yaitu :

1.Tahap Isolasi dimana seseorang meninggalkan kehidupan berumah tangga, mengasingkan diri dengan tujuan untuk melatih diri dalam kehidupan pengembangan spritual menuju pembebasan “selagi kehidupan rumah tangga merupakan tekanan, kehidupan bertapa bagaikan menghirup udara yang segar dan bebas” (A. II.208; M.I.344).

2.Tahap Bergaul dengan terbentuknya Sangha, yang berhubungan dengan umat perumah tangga merupakan kehidupan yang harmonis yang saling mendukung menuju cita-cita pembebasan ahkir kehidupan “Perumah-tangga maupun mereka tak perumah-tangga, pada dasarnya saling bergantung satu sama lain, bersama-sama mencapai pemahaman Dhamma yang sejati, keadaan batin yang tentram, damai,…….dan bahagia yang diharapkan” (It. II.112).

3.Tahap Transformasi, dimana Agama Buddha sebagai kekuatan spiritual dan sosial yang menggariskan pada etika, aturan dan hukum tingkah laku kehidupan sosial, hal ini tentunya disesuaikan dengan etika sosial masyarakat yang ada (Wowor Cornelis. 1997 : 11).
Buddha Dhamma tidak mengajarkan manusia untuk melarikan diri dari bentuk kenyataan hidup yang wajar, melainkan mendorong untuk menghadapi dan menyelesai permasalahan hidup dengan baik serta bijaksana. Dalam konteks komunitas masyarakat Buddhis selalu berhubungan bersama dan bersosial, dimana kehidupan bermasyarakat setiap orang secara langsung maupun tidak langsung saling berhubungan satu dengan yang lainya yang sangat erat sekali.

Berdasarkan pada bentuk pandangan diatas, sang Buddha dalam pembinaan kehidupan masyarakat Buddhis, baik perumah tangga maupun kehidupan tanpa perumah tangga selalu menggariskan etika sosial atas dasar persaudaraan dan kasih sayang yang timbal balik antar sesama mereka dalam hubungan sosial, serta terus menerus mendorong mereka mengembangkan tenggang rasa, agar dapat hidup berdampingan secara damai dan bahagia. Dengan demikian kesejahteraan perumah tangga diperhatikan oleh Sang Buddha. Itulah sebabnya banyak ajaran Buddha selalu berhubungan dengan para umat perumah-tangga sebagai pengikut yang setia dalam memenuhi kebutuhan hidup demi kesejahteraan itu melaksanakan dan hidup sesuai dengan ajaran Buddha.

B. Hukum Sebagai Aturan
Hukum merupakan landasan atau aturan dalam kehidupan manusia sehingga dapat hidup saling berdampingan satu sama lain dengan penuh kedamaian dan ketentraman. Hukum menurut W. Luypen, yang sering kali dikemukakan adalah sedikit-dikitnya sebagai kasih sayang, sedikit-dikitnya merupakan etika dalam mengayomi kehidupan ini, hukum sebagai kasih sayang berkaitan erat tentang hubungan-hubungan pribadi, dari seseorang dengan orang-orang lain yang pada dasarnya sangat terbatas jumlahnya namun pada kekhususannya perorangan. Bahkan secara makro hubungan orang-orang yang hidup bersama dan tak dapat dikenal bersama-sama dapat berhubungan dengan baik, dalam suatu ikatan hukum. Di sini sesungghunnya hukum juga merupakan etika yang bergerak dalam suasana rasa saling menghormati sesama manusia pada umumnya. Namun hukum bukan kasih sayang. Namun hukum adalah suatu lembaga sosial yang menentang segala bentuk penindasan dan yang mengembangkan suatu hubungan pegakuan akan kebebasan setiap orang. Tujuan itu tiada berbatas, walaupun dalam pelaksanaanya yang sesungguhnya dia memang selalu tetap terbatas (Scheltens 1984 : 69).

Hukum dalam kenyataanya merupakan pelaksanaan keadilan yang minimal, namun hukum juga ditujukan pada kadar maksimum keadilan, tetapi karena faktor-faktor lain yang harus dihadapi oleh hukum pada dasarnya, yaitu kemungkinan teknis, persetujuan dan juga struktur peristiwa yang terjadi dan yang dihadapi oleh setiap individu. Pada saat ini dunia dalam keadaan kacau, nilai etika diputarbalikan. Kekuasaan skeptisisme materialistis telah mengubah pisau bedahnya pada konsep tradisional yang dianggap sebagai kualitas manusia. Karena etika berhubungan dengan tindakan manusia yang berkaitan dengan dirinya dan sesamanya.

Ajaran Buddha mengenai hukum berkaitan erat dengan hukum perbuatan yang tidak bisa terlepas dari ajaran mengenai hukum ketergantungan (paticca-samuppada). Hukum tersebut dalam bentuk aslinya menerangkan kondisi sebab-akibat yang menyebabkan penderitaan manusia, juga kondisi-kondisi yang menghasilkan lenyapnya penderitaan. Secara ringkas ajaran Buddha dalam dari segala hal yang mempunyai sebab, Sang Tathagata menerangkan sebabnya, dan juga lenyapnya sebab itu. Itulah ajaran seorang manusia pertapa yang Agung. Dalam sisi lain Buddhisme menekankan pada prinsip kehidupan yang sosial dalam etika.

Etika umat Buddha bukanlah patokan asal-asalan yang ditemukan orang untuk tujuan manfaat sendiri, namun etika umat Buddha juga tidak berlandaskan pada adat sosial yang berubah tetapi pada hukum alam yang tidak berubah. Nilai-nilai etika umat Buddha pada hakekatnya adalah bagian dari alam dan hukum tetap sebab dan akibat (karma). Fakta sederhana bahwa etika umat Buddha berakar hukum alam membuat prinsip-prinsip berguna dan tetap diterima oleh dunia modern.

Etika umat Buddha bertujuan praktis menuntun orang menuju ahkir kebahagiaan yang tertinggi. Dalam umat Buddha menuju pembebasan yang dilakukan dengan realisasi, setiap individu dianggap bertanggung jawab untuk keberuntungan dan kerugian sendiri dalam pemahaman dan usahanya. Keselamatan umat Buddha merupakan hasil pengembangan moralitas setiap individu sebagai usaha pembebasan. Secara konsekwen etika umat Buddha bukan merupakan perintah apa pun yang memaksa manusia untuk mengikutinya. Buddha telah menasehati manusia mengenai kondisi yang paling bermanfaat maupun yang tidak bermanfaat dalam jangka panjang (Dhammananda Sri 2002 : 182).

Perbedaan antara yang baik dan buruk di dalam Buddhisme sangat sederhana, semua tindakan yang memiliki akar dalam ketamakan, kebencian, dan keserakahan yang timbul dari keegoisan. Tindakan ini tercela atau buruk (akusala karma). Semua tindakan yang berakar dalam kemurahan hati, kasih sayang dan kebijaksanaan itu mulia (kusala karma) kriteria baik dan buruk berlaku pada aksi pikiran, ucapan dan perbuatan yang dilakukannya.

C. Pengertian Hak – Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kondratnya, jadi hak-hak yang dimiliki sebagai manusia. Maka kita tidak boleh mengecualikan kelompok-kelompok manusia tertentu. Sudah melekat pada pengertian hak-hak sasai manusia itu sendiri, bahwa hak-hak asasi manusia harus dipahami dan di mengerti secara universal. Memerangi atau menentang universalitas hak-hak asasi manusia berarti memerangi dan menentang hak-hak asasi manusia. Hak-Hak Asasi Manusia merupakan kewenangan yang melekat pada manusia sebagai manusia, yang harus diakui dan dihormati oleh sesama manusia maupun pemerintah dimana ia tinggal.

Manusia mempunyai derajat yang luhur sebagai manusia. Manusia mempunyai budi pekerti dan karsa yang merdeka. Manusia sebagai manusia memiliki martabat dan derajat yang sama dan dengan demikian memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama. Jadi Hak-Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak fundamental yang melekat pada kodrat manusia sendiri dalam kemanusiaanya. Kemanusiaan setiap manusia bernilai sangat tinggi dan unik. Kemanusiaan setiap manusia merupakan suatu ide yang luhur dan menghendaki supaya manusia dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan diri ini sebagai manusia adalah tujuan hidup manusia. Hak-hak ini ditegaskan adalah universal, dimana ada manusia disitu pasti ada hak-hak asasi manusia dan harus dihargai dan dijunjung tinggi (Setiardja Gunawan 11993 : 25).

Sikap tersebut merupakan langkah pendekatan dalam kehidupan pengembaraan sebagai manusia untuk saling hidup bertoleransi. Nasehat Sang Buddha adalah mari kita hidup dengan bahagia, tidak membenci mereka yang membenci kita. Di antara mereka yang membenci kita, mari kita hidup bebas dari membeci. Mari kita hidup dengan bahagia dan bebas dari penyakit. Mari kita hidup dengan bahagia dan bebas dari ketamakan, di antara mereka yang tamak.

Buddhisme memandang Hak-hak asasi manusia tidak hanya menyangkut interaksi-aksi antar umat manusia, tetapi berhubungan dengan alam sekitar. Apabila alam sekitarnya rusak maka umat manusia akan menghadapi malapetaka. Tidakkah alam juga memasuki hak asasi sendiri ? Agama Buddha sangat menaruh perhatian terhadap hak asasi setiap bentuk kehidupan hingga mahluk sekecil apa pun. Agar persoalan Hak asasi manusia dapat didudukkan pada tempatnya secara benar. Manusia harus memiliki internal yang bersifat spiritual, bebas dari keserakahan, kebencian dan kebodohan atau pandangan yang keliru. Tentunya mereka selalu berjuang untuk menegakkanya dan tidak boleh dipengaruhi oleh perasaan benci dan permusuhan.

D. Prinsip Hak Asasi Manusia
Setiap pernyataan hak-hak asasi manusia sesungguhnya martabat yang terkandung didalamnya yang dikemukakan sebagai bentuk prinsip dasar hukum. Martabat manusia ini diperoleh manusia dari kebebasan maupun kemandiriaanya. Karena manusia dapat memiliki hidupnya, maka pemiliki itu pun harus dipercayakan kepadanya. Landasan hak-hak asasi manusia merupakan tolak ukur setiap penindasan horizontal diantara manusia, tapi juga melarang campur tangan pemerintah yang terlalu banyak dalam kehidupan pribadi.

Prinsip hak-hak asasi manusia mengukuhkan pada tiap hak manusia. Seperti diakui R. Marcic dengan mengikuti G. del Cecchio, hak setiap manusia. Sama sucinya dengan hak jutaan manusia. Prinsip hak tersebut memberikan kepada hukum dasar kemanusiaan murni, landasan etika manusiawi yang umum. Berdasarkan hal ini sebenarnya setiap landasan hukum yang teokratis ditolak. Apa yang dinyatakan sebagai hukum, tidak boleh diambil dari wahyu, kepercayaan atau teologi. Hukum harus menciptakan suatu masyarakat antara sesama manusia, apa pun juga keyakinannya, dia merupakan razim tenggang rasa sepenuhnya. Hanya yang tak dapat dibiarkan ialah penindasan, sikap tak tenggang rasa, sikap tak menghargai manusia (Scheltens 1984 : 69).

Hak asasi manusia bukan hanya memiliki pengertian yang anivokal (bermakna satu) yang harus diartikan analoga dimana ada kesamaan dan titik perbedaan serta memiliki kategori dimana hak-hak yang dimiliki setiap warga negara dari negara yang bersangkutan (hak-hak warga negara) dan hak-hak yang pada dasarnya dimiliki semua yang berdomisili di negara yang bersangkutan (Krisnanda 2003 : 466).

Kenyataanya, menurut Grotius, semua bagsa menerima prinsip-prinsip yang sama, harus ada sesuatu sebab yang umum. Sebab umum itu adalah sensus communis, akal sehat. Secara rasional pula prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam hukum ialah setiap orang memiliki kecenderungan untuk hidup bersama orang lain dengan damai. Kecenderungan ini lepas dari karsanya, sebagai landasan obyek seluruh hukum. Secara deduktif dapat disimpulkan empat prinsip dasar dari prinsip pokok yang menjadi pilar seluruh sistem hukum alam, yaitu :

1.Prinsip “milikku” dan “milikmu”. Milik orang lain harus dihormati dan dihargai.

2.Prinsip kesetiaan pada janji.

3.Prinsip ganti rugi, kalau kerugian itu karena kesalahan orang lain.

4.Prinsip perlunya hukum karena pelanggaran atas hukum alam dan hukum-hukum lainya (Setiardja Gunawan 1993 : 82).

Berdasarkan hukum alam yang telah terdapat dalam bentuk prinsip obyektif, memunculkan juga dalam hak secara subyektif manusia. Menurut Grotius hak-hak subyektif itu mencakup tentang (1) hak untuk menguasai dirinya sendiri, yaitu hak kemerdekaan, (2) hak untuk menguasai orang lain, seperti kekuasaan orang tua terhadap anak mereka, (3) hak untuk menguasai harta miliknya (Setiardja Gunawan 1993 : 83).

Teori etika umat Buddha terungkap secara praktis dalam berbagai prinsip atau disiplin yang merupakan panduan umum untuk menuju arah kemana untuk melangkah menuju keselamatan ahkir. Walaupun banyak dari prinsip ini dinyatakan dalam bentuk yang negatif, kita tidak boleh berpikir bahwa moralitas umat Buddha terdiri dari penahanan diri dari kejahatan saja tanpa diimbangi dengan perbuatan yang baik. Moralitas yang ditemukan dalam prinsip itu dapat dirangkum dalam tiga prinsip yang sangat sederhana, “Hindarilah kejahatan, berbuatlah kebajikan, sucikan pikiran inilah nasehat yang telah diberikan oleh semua Buddha” (Dh. XIV, 183).

E. Pendekatan Agama Buddha Terhadap Hukum
Walaupun peranan mereka sangat penting, namun peraturan, hukum dan rumusan hak hasil konvensi masyarakat sama sekali bukanlah jaminan mutlak terhadap kualitas kehidupan manusia dan perkembangan kebijaksanaan umat manusia serta masyarkat yang adil. Kecuali kalau peraturan-peraturan ini secara hakiki bersesuaian dengan hukum alam, diterapkan dengan niat yang baik serta dengan pemahaman tentang tatanan masyarkat, demi pembelajaran dan pengembangan anggota masyarakat jika jika tidak, maka mereka takkan mampu menjadi sarana yang dapat menuntun anggota masyarkat menuju sasaran ahkir yang damai.

Buddhisme mengakui bahwa hukum dan rumusan hak masyarkat sebelumnya telah menciptakan ketertiban dalam masyarakat yang mungkin sebelumnya kacau balau. Di dalam peraturan-peraturan tersebut membantu meningkatkan kesejahteraan baik individu mupun kolektif. Namun betapapun bermanfatnya ini, bahwa Buddhisme mempunyai pandangan tentang peraturan, hukum, pegangan hukum dan rumusan hak yang dibuat manusia hanylah berupa kebenaran (realitas) sekunder. Kecuali kalau mereka berlandaskan prinsip-prinsip “Dhamma” (hukum, realitas yang sesungguhnya, sebab akibat yang benar), serta telah diselami oleh orang-orang yang memiliki pemahaman mendalam atas prinsip-prinsip demikian. Bila tidak, pengembangan kualitas manusia yang bermakna serta ihwal hidup berdampingan secara damai di antara sesama manusia baik secara local maupun lingkungan dimana demokrasi telah menciptakan ketegangan diantara beragam unsure yang bersifat multi dimensi dan oleh karena itu sangat memerlukan persatuan masyarakat.

Hukum realitas menurut Buddhisme ada dua tingkat realitas, yaitu sosial dan hakiki, dimana keduannya memiliki hubungan kausal dan hukum tersendiri. Realitas hakiki berlaku dimana saja, keberadaannya tidak tergantung pada umat manusia, tetapi dapat diselami melalui kebijaksanaan manusia (panna). Realitas sosial, di pihak lain, merupakan kontruksi manusia dimana pegertian dan pelaksaannya bergantung pada kesepakatan di antara orang-orang yang menciptakannya. Karena umat manusia baik secara individu maupun secara kelompok tidak dapat hidup terpisah dari alam, oleh karena itu salah satu persyaratan untuk memperoleh tatanan sosial yang efektif adalah mempelajarai hukum-hukum di alam serta bijaksana menerapkannya dalam penciptaan atau perancangan peraturan, hukum dan rumusan hukum hak masyarakat. Kalau kontruksi sosial ini tidak ini berlandaskan hukum-hukum alam, maka tatanan sosial bukan hanya memiliki cacat tetapi juga menjadi dangkal dan tidak berati (Scheltens 1984 : 71).

Hidup didalam lingkungan demikian, orang-orang pasti akan merasa terasingkan, terkucilkan, putus asa atau tertekan, sehingga mungkin mereka akan kehilangan vitalitas dan kesnggupan untuk mengambil tindakan bagi perbaikan hidup maupun lingkungan mereka. Oleh karena itu esensi peraturan, hukum dan rumusan sosial harus secara terus menerus dinilai dan selalu diawasi kembali. Tolak ukurnya adalah hukum-hukum alam.

Buddhisme memandang terhadap hukum, peraturan dan pegangan hukum maupunrumusan hak masyarakat yang bermakna bukan hanya harus mencakup kebenaran hukum alam, tetapi juga mampu mendorong orang meningkatkan kualitas diri. Sebagaimana dalam Sangha komunikasi para bhikkhu, terhadap peraturan, hukum dan rumusan hak ditetapkan secara seksama agar para bhikkhu memiliki kesempatan sebesar-besarnya untuk mencapai kondisi batin yang lebih baik. Pemahaman yang lebih dalam lagi melalui meditasi, realisasi serta usaha belajar yang giat (Dhammananda Sri 2002 : 185).

Dalam komunitas demikian, peraturan, hukum dan rumusan hak walaupun oleh kalangan luar tampak seperti sangat mengekang, namun oleh anggota komunitas Sangha dipandang sebagai pelajaran atau latihan bagi penyempurnaan diri. Walaupun Buddhisme mengakui bahwa komunitas demikian mungkin mendekati ideal kalau tidak mau mengatakan ideal, namun tetap diusahakan adanya hukum, peraturan, pegangan hukum dan rumusan hak yang positif, yang dapat membantu orang-orang mengembangkan jasmani dan batin yang sehat serta bijaksana, daripada hanya menjalankan hukum, peraturan, legalitas dan rumusan hak yang negatif, yang hanya berkisar pada pengukuhan dan penyingkiran serta mengesampingkan belaka.

F.Hak – Hak Asasi Manusia Dalam Kesejahteraan Manusia
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah ihwal dimana umat manusia datang berkumpul bersama dan bersepakat bahwa setiap individu harus diperlakukan secara terhormat, dengan penuh pertimbangan dan perlindungan serta diperbolehkan untuk mendapatkan kesejahteraan dalam menjalani kehidupannya atau dengan kata lain setiap individuharus diperlakukan dengan “cara yang terbaik”. Umat manusia di sini meliputi orang-orang di segenap tataran dunia yaitu yang bergabung dalam perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1945, yang berasal dari beraneka ragam negara di dunia ini, yang bersepakat dan menetapkan perundang-undangan di mana setiap individu dapat mengajukan tuntutan secara sah dan memiliki hak dan perlindungan yang baik. Dimana peraturan perundang-undangan tersebut dapat menjamin dan berfungsi sebagai standar kesejahteraan seseorang karena memungkinkannya untuk menjangkau kebaikan dan semua yang patut untuk di dapatkannya (Payuttho 2000 : 66).

Dari hasil penjelasan yang tampak dalamDeklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan peroduk umat manusia beradab dan berbudaya yang peduli terhadap kehidupan sesamannya, yang peduli terhadap suka duka sesamannya. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mencerminkan suatu kesadaran akan pentingnya peraturan dan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai landasan hidup bersama yang harmonis dimana merupakan lambang kemajuan peradaban manusia.

Walaupun boleh dikatakan Perserikatan Bangsa Bangsa adalah sebagai perakarsa dalam lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dimana sejarahnya tersebutpenuh dengan pelanggaran dan penindasan hebat yang terorganesir dan sistematis yang juga merupakan pelopor moral dalam meletakkan dasar-dasar peraturan dan perundang-undangan Hak Asasi Mnusia (HAM) seperti tampak dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang telah disepakati bersama (Payuttho 2000 : 71).

Untuk pelanggaran yang terjadi di antara sesama umat manusia antara masyarakat yang berbeda, dapat dilihat dengan jelas pada sejarah penjajahan Barat di masa lampau. Warga negara yang daerahnya dijajah mengalami penindasan dan kekerasan (hak asasi mereka telah dirampasnya). Dengan melihat pelanggaran yang terjadi maka muncullah bentuk perjuangan umat manusia untuk berkumpul bersama-sama dalam merumuskan perundang-undangan mengenai Hak Asai Manusia. Sehingga orang barat memiliki keahlihan dalam merancang peraturan dan perundang-undangan untuk melindungi hak mereka sendiri serta mencegah hak mereka dilanggar oleh pihak lainya.

Faktor utama penyebab lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah untuk mencegah pelanggaran hak asasi, sehingga dapat diharapkan dan berfungsi sebagai alat untuk mencegah orang lain saling menggangu, menjamin seseorang untuk tidak sesuka hati mencabut kesempatanan orang lain dalam bertahan hidup atau memiliki kesempatan terbaik untuk eksis dan dapat menjangkau keuntungan dan semua kebaikan yang ada di dalam masyarakat atau di dunia. Sehingga masalah Hak Asasi Manusia akan terjaga dan tidak berahkir cukup di sini saja.

Permasalahan Hak Asasi Manusia bukan saja berhubungan dengan manusia akan tetapi dekat sekali dengan alam sekitar. Sesungguhnya dengan memperhatikan lebih dekat terhadap alamsekitar bertujuan untuk membuat kehidupan manusia menjadi lebih bahagia. Umat manusia lebih peduli terhadap lingkungan menjadi lebih bahagia. Umat manusia peduli terhadap lingkungan hidup dan alam karena mereka peduli terhadap diri mereka. Melindungi lingkungan hidup adalah juga melindungi diri mereka, memungkinkan manusia bertahan hidup dan hidup bahagia. Apabila alam sekitar dirusak, maka umat manusia akan menghadapi malapetaka. Walaupun manusia pada dasarnya menduduki dan menjadikan tanah sebagai sumber kekayaan atas milik hak mereka. Namun permasalahannnya adalah bagaimana manusia memperlakukan hak milik mereka dan apakah hal tersebut menimbulkan kerusakan pada tanah airnya atau dunia.

Sebagai contoh dalam membesarkan anak, orang tua tidak hanya bertindak berdasarkan hak asasi anak. Tetapi bahkan memberi lebih banyak daripada standar minimum yang menjadi hak anak tersebut. Orang tua menjaga anak mereka penuh cinta kasih dan kasih sayang bukan hanya secara khusus memikirkan sekedar hak asasi anak. Dengan alam pikiran seperti “orang tua yang memperlakukan anaknya” maka umat manusia akan mampu untuk hidup secara harmonis.

Bentuk permasalahan yang muncul dalam hak asasi manusia khususnya hubungan anak dan orang tua, sebagai contoh di Amerika Serikat bahwa apabila orang tua salah dalam memperlakukan anak mereka, maka anak-anak dapat memanggil polisi atau memberitahu seorang guru untuk memanggilkan polisi dan menahan orang tua mereka. Konsep hak asasi manusia merupakan satu sisi dari sebuah mata uang atau hanya mengukur tingkat kemajuan tertentu dari umat manusia dan pada kenyataanya terjadi sekenario ekstrim dimana sejumlah masyarakat tidak saling menghormati kehidupan, keselamatan dan kebebasan, pelanggaran terhadap kehidupan, hak milik dan kebebasan serta kemerdekaan pribadi senantiasa terjadi. Sebaliknya dibagian masyarakat lainnya, hak-hak selalu dituntut, hidup semata-mata menuntut hak asasi.

Kedua ekstrim tersebut sama-sama menimbulkan masalah. Bagi mereka yang tidak mempedulikan hak orang lain, jelas sekali akan menimbulkan persoalan dan akan sangat merugikan masyarakat umat manusia. Bagi umat Buddha, tentu saja bisa mengambil manfaat dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang di dalamnya mengandung prinsip dasar serta butiran-butiran praktek yang baik. Dengan meperbandingkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dengan Pancasila (Buddhis). Dapat dilihat bahwa Pancasila berfungsi sebagai tonggak utama masyarakat. Apabila umat manusia bertindak sesuai dengan kelima sila tersebut maka tidak perlu lagi akan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Bila diamati lebih mendalam sejumlah ketentuan yang dinyatakan dalam pengejawantahan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dari Pancasila ini terhadap Sigalovada Sutta, disamping mencerminkan enam arah yang berhubungan pada arah timur atau arah depan (melambangkan ibu dan ayah), arah selatan atau arah kanan (melambangkan hubungan guru dan murid), arah barat atau arah belakang (melambangkan hubungan orang tua dan anak), arah utara atau arah kiri (melambangkan hubungan dengan sahabat-sahabat), arah bawah melambangkan hubungan pelayan dan pekerja dan arah atas melambangkan hubungan pertapa dan guru-guru spiritual (Payuttho 2000 : 78).

Dalam bentuk pendekatan Buddhisme, ketentuan yang terdapat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi hakikatnya memiliki prinsip yang sama dengan Pancasila Buddhis dan enam arah. Namun dalam masyarakat hal ini belum cukup, yang merupakan standar sosial minimum setidak-tidaknya dapat melindungi dunia agar tidak terbakar dengan kobaran api. Memungkinkan manusia untuk tinggal bersama. Mengembangkan kehidupan manusia menuju taraf yang tinggi melalui sila, samadhi dan panna. Hak asasi manusia itu ibaratnya masih dalam taraf pada sila.

Harus di ingat bahwa Pancasila atau sila ada dalam tataran etika, konsep Hak Asasi Manusia ini merupakan tinjauan dari sudut perlindungan orang lain. Dengan bentuk penekanannya pada perlindungan dan penuntutan hak asasi. Dengan melihat cara pandang demikian saja akan menghadirkan etika negatif Hak Asasi Manusia. Karena itulah perlu mengembangkannya dengan etika yang positif, yang konstruktif. Jadi Hak Asasi Manusia dalam Deklarasi Universal Hak Asai Manusia merupakan dasar, landasan yang memungkinkan umat manusia menjalani kehidupan yang bajik serta hidup dalam kedamaian dan keharmonisan.

G. Simpulan
Setiap kehidupan manusia dapat timbul rasa takut, merasa bersalah, takut disalahkan oleh orang lain, takut terhadap hukum, dan juga takut menghadapi akibat-akibat yang tidak diinginkan dalam kehidupan yang akan datang (A.II, 121). Perasaan ini merupakan langkah pengontrol kehidupan sosial yang bersumber dari hati nurani. Prinsip moral yang menyangkut kehidupan manusia berkaitan dengan hai nurani adalah tahu malu (hiri) dan takut akan akibat perbuatan yang salah (ottappa) yang merupakan cahaya dalam menerangi dan melindungi dunia ini (A.I, 51).

Kebenaran Dharma merupakan pertentangan nilai dari kebaikan dan kejahatan atau cinta kasih dan kebencian, sebagai tema yang mendasar. Orang melakukan kebaikan dan menyingkirkan kejahatan dengan penuh cinta kasih berdasarkan kehendak yang membawa akibat sebagai hasil dari sebab yang telah terjadi yaitu karma. Karma bukanlah hukum pembalasan, tetapi hukum alam.

Pemahaman demikian bagi umat Buddha dalam perkembangan dan kemajuan diri, memiliki batin yang luhur (Brahma-vihara), yang melaksanakan pancasila. Pelaksanaan pancasila berarti menghargai dan melindungi hak-hak asai manusia (HAM).lebih dari pada itu hak manusia tentunya memiliki kewajiban. Apa yang dimaksud dengan kewajiban seorang anggota masyarakat buddhis, yang dikemukakan oleh Buddha dalam Sigalovada-sutta sebagai pemujaan dan melindungi keenam arah. Walaupun hak asasi manusia diakui tanpa keharusan tentunya berhubungan dengan kewajiban orang yang bersangkutan, sebagai hubungan atau konsep kehidupan masyarakat buddhis.

Pengalaman mengajarkan bahwa orang yang melaksanakan kewajibannya terhadap pihak lain akan mendapatkan dirinya terlindungi dan hidup dengan aman di dalam kehidupann masyarakat.

Dalam menciptakan hidup seseorang lebih baik, sekaligus dunia penuh kedamaian, sebagaimana yang dikemukakan kepada Kutadhanta, Buddha mengajarkan bentuk pengorbanan sosial demi kesejahteraan banyak orang. Ia menukar kurban bagi para dewa menjadi kurban rakyat kecil yang membutuhkan pertolongan.

Reffrensi :
-       Cornelis Wowor, 1997, Pandangan Social Agama Buddha, Arya Surya Candra, Jakarta.

-       Krisnanda Wijaya-Mukti, 2003, Wacana Buddha-Dhamma, Yayasan Sharma Pembangunan, Jakarta.

-       Gunawan Setiardja, 1993, Hak-Hak Asasi Manusia Ideology Pancasila, Kanisius, Semarang

-       Phra Dhammapitaka (Payutto), 2000, Hak Asasi Keharmonisan Atau Disintegrasi Social, Asosiasi Rajamuni Samiromo, Medan.

-       Sri Dharmananda,2002, Keyakinan Umat Buddha, Karaniya, Jakarta.

-       Scheltens, 1984, Pengantar Filsafat Hukum, Erlangga, Jakarta.

-oOo-





Tidak ada komentar:

Posting Komentar