Minggu, Juli 14, 2013

Nasib Ada di Tangan Sendiri

NASIB ADA DI TANGAN SENDIRI

Tidak ada yang disebut dengan nasib yang tak terelakkan atau takdir yang tak dapat diperbaiki dalam ajaran Buddha. Jika kita mengamati pengalaman diri sendiri dan orang lain, kita akan menyadari bahwa ketidakbahagiaan dan penderitaan yang dialami pada hari ini adalah hasil dari kesalahan yang telah dilakukan kemarin.

ANDA MEMBAWA SIAL PADAKU.
Kalidasa adalah penyair Sansekerta termasyhur yang hidup di India pada abad ketiga Masehi. Sebagai anak kecil, ia tinggal bersama ibunya dalam sebuah gubuk yang berhadapan dengan istana raja. Di balik tembok istana banyak terdapat pohon mangga yang tumbuh lebat. Pada musimnya, buahbuah mangga yang harum berlimpah ruah. Jika tidak ada orang di sekitar, Kalidasa akan memanjat tembok dan mengambil beberapa mangga.

Suatu hari ketika sedang mencuri mangga, Kalidasa tidak menyadari kehadiran raja yang melihatnya dari jendela istana. Pagi itu ketika sedang mengupas mangga, sang raja secara tidak sengaja melukai tanganya sendiri. Karena luka itu mengeluarkan banyak darah, raja segera mengumpulkan semua penasehat dan tukang ramalnya untuk mengungkapkan padanya apa makna luka itu.  

Para penasehat kerajaan itu berpikir sejenak, kemudian mereka bertanya apakah raja melihat sesuatu yang tidak biasa pada hari itu. Sang raja menjawab bahwa ia melihat seorang anak kecil mencuri mangga dari kebun istana. “Oh! Apa yang Paduka lihat sungguh tidak baik. Anak itu akan membawa malapetaka bagi Paduka,” kata para penasehat itu. “Lebih baik Paduka segera menyingkirkan anak itu.”

Raja segera memerintahkan agar anak kecil itu segera dibawa kehadapannya. Dengan gemetar Kalidasa bersujud dihadapan raja. Ia diberitahu bahwa raja telah melihatnya mencuri mangga dan ini akan membawa kesialan bagi raja. Ia ditanya apakah ada pesan terakhir sebelum dieksekusi.

“Hamba menyesal telah membawa nasib buruk bagi Paduka,” kata Kalidasa, “Tapi akan adil juga jika orang yang melihat hamba mencuri mangga tadi pagi ikut dihukum karena diapun membawa nasib buruk bagi saya.” Jawaban ini sangat mengejutkan sang raja karena ia segera menyadari betapa bodoh tindakannya mengikuti anjuran para tukang ramal yang enyebut diri mereka orang bijaksana. Terkesan dengan Kalidasa, raja mengangkatnya sebagai anak.  

Didalam istana Kalidasa belajar kesusastraan dan akhirnya menjadi penyair yang termasyur di India. Dia menulis drama Shankuntala yang masih dimainkan sampai saat ini.

Manusia bukanlah sekedar pion dipapan catur kekuatan universal yang tak mampu dikendalikan. Nasib adalah ciptaannya sendiri, apakah baik atau buruk. Manusia menciptakan nasibnya sendiri dengan pikiran, ucapan, dan perbuatanya sendiri dan ia cepat atau lambat akan mendapatkan dari kehidupan apa yang telah ia berikan kepada kehidupan. Tak ada jalan pelarian diri dari segala konsekuensi perbuatannya. Karenanya, setiap orang adalah pembentuk kehidupannya sendiri, pencipta nasibnya sendiri, saat ini dan pada masa yang akan datang.

Hukum karma yang mengukir nasib seseorang tidak mengenal istilah pembalasan. Tidak ada motif untuk menghukum dalam hukum jagad raya tersebut. Alam itu adil. Ia tak bisa dirayu, tak juga bisa memberikan kompensasi bagi yang memohonmohon.

Pada waktu keadaan yang sesuai muncul, perbuatan yang telah kita tanam akan berbuah. Karenanya, dalam menghadapi malapetaka, tak ada gunanya meratapi atau memaki langit. Kita harus belajar memahami sifat kondisi duniawi yang dicirikan oleh ketidakpastian dan tegar menghadapi penderitaan yang seolah “tidak adil” dengan pikiran yang tenang seimbang.

Pengaruh karma terhadap nasib seseorang bukannya tak bisa diubah. Oleh karena itu, konsep penderitaan abadi di neraka dan kebahagiaan kekal di surga adalah hal yang asing dalam ajaran Buddha. Semua jenis kehidupan dalam lingkaran kelahiran dan kematian (samsara) adalah tidak kekal. Hanya jika seseorang telah bebas dari kekotoran batin, barulah ia dapat mencapai kebahagiaan abadi.

Proses pengembangan kedewasaan spiritual meliputi latihan diri dan disiplin moral, penyucian batin, menjalankan kehidupan bajik, penuh dengan kasih sayang, harmoni, dan pelayanan tanpa pamrih. Berbagai agama memberikan interpretasi yang berbeda mengenai bagaimana cara-cara penyelamatan dari penderitaan.

Dalam ajaran Buddha, seseorang bisa terselamatkan dengan cara menjalankan hidup sesuai dengan hukum moral universal dan dengan menyucikan pikiran. Jadi kita bisa membentuk nasib kita sendiri tanpa harus bergantung pada kekuatan dari luar diri kita.

Sebagai umat manusia, kita mesti tidak menyia-nyiakan keberadaan kita dengan meratapi masa lalu, atau menghabiskan waktu dalam kegiatan yang siasia dan tak bermanfaat. Sikap hidup seperti itu cuma akan membuang kesempatan untuk menyadari tujuan hidup yang sebenarnya dan menghambat kemajuan kita menuju pembebasan sempurna dari penderitaan.

Kita harus selalu mengingat hal ini dalam pikiran kita, dan berbuat kebajikan selagi hidup. Dengan menyianyiakan waktu kita, tidak saja akan membawa kerugian bagi orang lain, tetapi kita juga melepaskan peluang emas untuk mencapai sesuatu yang berharga dalam kehidupan sebagai manusia.

“Tidak ada yang disebut nasib, kecuali efek dari perbuatan kita pada masa lalu. Perbuatan kita pada masa lalu adalah nasib kita. Pencapaian kita ditentukan oleh usaha kita. Usaha kita dengan demikian adalah nasib kita. Usaha kita yang dahulu dan

sekarang, jika berlawanan, adalah seperti dua ekor domba yang berlaga. Yang lebih kuat akan melemparkan yang lebih lemah. Apakah itu usaha pada masa lalu atau pada kala ini,yang lebih kuat yang menentukan nasib kita. Dalam kasus manapun, usaha manusia sendirilah yang menentukan nasibnya berdasarkan kekuatannya.  

Manusia menentukan nasibnya dengan pikirannya sendiri. Ia bisa membuat terjadi apa yang tidak ditentukan untuk terjadi. Hanya kejadian-kejadian di dunia ini yang ia ciptakan dengan perbuatannya sendiri dan bukan yang lain. Karenanya, seseorang harus mengatasi nasib buruknya sendiri (efek dari perbuatannya pada masa lalu) dengan usaha yang lebih baik saat ini. Tak ada yang tidak bisa dicapai oleh manusia dengan usaha yang tepat.

“Setiap hal memiliki keindahannya sendiri,
namun tak setiap orang melihatnya.”

Disadur dari:
Buku Be Happy

Oleh:  Ven. Sri Dhammananda





Tidak ada komentar:

Posting Komentar