NASIB
ADA DI TANGAN SENDIRI
Tidak ada yang disebut dengan nasib
yang tak terelakkan atau takdir yang tak dapat diperbaiki dalam ajaran Buddha.
Jika kita mengamati pengalaman diri sendiri dan orang lain, kita akan menyadari
bahwa ketidakbahagiaan dan penderitaan yang dialami pada hari ini adalah hasil
dari kesalahan yang telah dilakukan kemarin.
ANDA
MEMBAWA SIAL PADAKU.
Kalidasa adalah penyair Sansekerta
termasyhur yang hidup di India pada abad ketiga Masehi. Sebagai anak kecil, ia
tinggal bersama ibunya dalam sebuah gubuk yang berhadapan dengan istana raja.
Di balik tembok istana banyak terdapat pohon mangga yang tumbuh lebat. Pada
musimnya, buahbuah mangga yang harum berlimpah ruah. Jika tidak ada orang di
sekitar, Kalidasa akan memanjat tembok dan mengambil beberapa mangga.
Suatu hari ketika sedang mencuri
mangga, Kalidasa tidak menyadari kehadiran raja yang melihatnya dari jendela
istana. Pagi itu ketika sedang mengupas mangga, sang raja secara tidak sengaja
melukai tanganya sendiri. Karena luka itu mengeluarkan banyak darah, raja
segera mengumpulkan semua penasehat dan tukang ramalnya untuk mengungkapkan
padanya apa makna luka itu.
Para penasehat kerajaan itu berpikir
sejenak, kemudian mereka bertanya apakah raja melihat sesuatu yang tidak biasa
pada hari itu. Sang raja menjawab bahwa ia melihat seorang anak kecil mencuri
mangga dari kebun istana. “Oh! Apa yang Paduka lihat sungguh tidak baik. Anak
itu akan membawa malapetaka bagi Paduka,” kata para penasehat itu. “Lebih baik
Paduka segera menyingkirkan anak itu.”
Raja segera memerintahkan agar anak
kecil itu segera dibawa kehadapannya. Dengan gemetar Kalidasa bersujud
dihadapan raja. Ia diberitahu bahwa raja telah melihatnya mencuri mangga dan
ini akan membawa kesialan bagi raja. Ia ditanya apakah ada pesan terakhir
sebelum dieksekusi.
“Hamba menyesal telah membawa nasib
buruk bagi Paduka,” kata Kalidasa, “Tapi akan adil juga jika orang yang melihat
hamba mencuri mangga tadi pagi ikut dihukum karena diapun membawa nasib buruk
bagi saya.” Jawaban ini sangat mengejutkan sang raja karena ia segera menyadari
betapa bodoh tindakannya mengikuti anjuran para tukang ramal yang enyebut diri
mereka orang bijaksana. Terkesan dengan Kalidasa, raja mengangkatnya sebagai
anak.
Didalam istana Kalidasa belajar
kesusastraan dan akhirnya menjadi penyair yang termasyur di India. Dia menulis
drama Shankuntala yang masih dimainkan sampai saat ini.
Manusia bukanlah sekedar pion dipapan
catur kekuatan universal yang tak mampu dikendalikan. Nasib adalah ciptaannya
sendiri, apakah baik atau buruk. Manusia menciptakan nasibnya sendiri dengan
pikiran, ucapan, dan perbuatanya sendiri dan ia cepat atau lambat akan
mendapatkan dari kehidupan apa yang telah ia berikan kepada kehidupan. Tak ada
jalan pelarian diri dari segala konsekuensi perbuatannya. Karenanya, setiap
orang adalah pembentuk kehidupannya sendiri, pencipta nasibnya sendiri, saat
ini dan pada masa yang akan datang.
Hukum karma yang mengukir nasib
seseorang tidak mengenal istilah pembalasan. Tidak ada motif untuk menghukum
dalam hukum jagad raya tersebut. Alam itu adil. Ia tak bisa dirayu, tak juga
bisa memberikan kompensasi bagi yang memohonmohon.
Pada waktu keadaan yang sesuai muncul,
perbuatan yang telah kita tanam akan berbuah. Karenanya, dalam menghadapi
malapetaka, tak ada gunanya meratapi atau memaki langit. Kita harus belajar
memahami sifat kondisi duniawi yang dicirikan oleh ketidakpastian dan tegar
menghadapi penderitaan yang seolah “tidak adil” dengan pikiran yang tenang
seimbang.
Pengaruh karma terhadap nasib
seseorang bukannya tak bisa diubah. Oleh karena itu, konsep penderitaan abadi
di neraka dan kebahagiaan kekal di surga adalah hal yang asing dalam ajaran
Buddha. Semua jenis kehidupan dalam lingkaran kelahiran dan kematian (samsara)
adalah tidak kekal. Hanya jika seseorang telah bebas dari kekotoran batin,
barulah ia dapat mencapai kebahagiaan abadi.
Proses pengembangan kedewasaan
spiritual meliputi latihan diri dan disiplin moral, penyucian batin,
menjalankan kehidupan bajik, penuh dengan kasih sayang, harmoni, dan pelayanan
tanpa pamrih. Berbagai agama memberikan interpretasi yang berbeda mengenai
bagaimana cara-cara penyelamatan dari penderitaan.
Dalam ajaran Buddha, seseorang bisa
terselamatkan dengan cara menjalankan hidup sesuai dengan hukum moral universal
dan dengan menyucikan pikiran. Jadi kita bisa membentuk nasib kita sendiri
tanpa harus bergantung pada kekuatan dari luar diri kita.
Sebagai umat manusia, kita mesti tidak
menyia-nyiakan keberadaan kita dengan meratapi masa lalu, atau menghabiskan
waktu dalam kegiatan yang siasia dan tak bermanfaat. Sikap hidup seperti itu
cuma akan membuang kesempatan untuk menyadari tujuan hidup yang sebenarnya dan
menghambat kemajuan kita menuju pembebasan sempurna dari penderitaan.
Kita harus selalu mengingat hal ini
dalam pikiran kita, dan berbuat kebajikan selagi hidup. Dengan menyianyiakan
waktu kita, tidak saja akan membawa kerugian bagi orang lain, tetapi kita juga
melepaskan peluang emas untuk mencapai sesuatu yang berharga dalam kehidupan
sebagai manusia.
“Tidak ada yang disebut nasib, kecuali
efek dari perbuatan kita pada masa lalu. Perbuatan kita pada masa lalu adalah
nasib kita. Pencapaian kita ditentukan oleh usaha kita. Usaha kita dengan
demikian adalah nasib kita. Usaha kita yang dahulu dan
sekarang, jika berlawanan, adalah
seperti dua ekor domba yang berlaga. Yang lebih kuat akan melemparkan yang
lebih lemah. Apakah itu usaha pada masa lalu atau pada kala ini,yang lebih kuat
yang menentukan nasib kita. Dalam kasus manapun, usaha manusia sendirilah yang
menentukan nasibnya berdasarkan kekuatannya.
Manusia menentukan nasibnya dengan
pikirannya sendiri. Ia bisa membuat terjadi apa yang tidak ditentukan untuk
terjadi. Hanya kejadian-kejadian di dunia ini yang ia ciptakan dengan
perbuatannya sendiri dan bukan yang lain. Karenanya, seseorang harus mengatasi
nasib buruknya sendiri (efek dari perbuatannya pada masa lalu) dengan usaha
yang lebih baik saat ini. Tak ada yang tidak bisa dicapai oleh manusia dengan
usaha yang tepat.
“Setiap
hal memiliki keindahannya sendiri,
namun
tak setiap orang melihatnya.”
Disadur dari:
Buku Be Happy
Oleh:
Ven. Sri Dhammananda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar