Kamis, Mei 05, 2011

Ringkasan Ajaran Buddha (2)

RINGKASAN AJARAN BUDDHA (2)

Disusun oleh : Tanhadi


KIAMAT

Pada suatu ketika bumi kita ini akan hancur lebur dan tidak ada. Tapi hancur leburnya bumi kita ini atau kiamat bukanlah merupakan akhir dari kehidupan kita. Sebab seperti apa yang telah diuraikan di halaman terdahulu, bahwa di alam semesta ini tetap berlangsung pula evolusi terjadinya bumi. Lagi pula, bumi kehidupan manusia bukan hanya bumi kita ini saja tetapi ada banyak bumi lain yang terdapat dalam tata surya - tata surya yang tersebar di alam semesta ini.

Kiamat atau hancur leburnya bumi kita ini menurut Anguttara Nikaya, Sattakanipata diakibatkan oleh terjadinya musim kemarau yang lama sekali dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang ini muncullah matahari yang kedua, lalu dengan berselangnya suatu masa yang lama matahari ketiga muncul, matahari keempat, matahari kelima, matahari keenam dan akhirnya muncul matahari ketujuh. Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi kita terbakar hingga menjadi debu dan lenyap bertebaran di alam semesta. Pemunculan matahari kedua, ketiga dan lain-lain bukan berarti matahari-matahari itu tiba-tiba terjadi dan muncul di angkasa, tetapi matahari-matahari tersebut telah ada di alam semesta kita ini. Dalam setiap tata surya terdapat matahari pula.

Menurut ilmu pengetahuan bahwa setiap planet, tata surya, dan galaxi beredar menurut garis orbitnya masing-masing. Tetapi kita sadari pula, karena banyaknya tata surya di alam semesta kita ini, maka pada suatu masa garis edar tata surya kita akan bersilangan dengan garis orbit tata surya lain, sehingga setelah masa yang lama ada tata surya yang lain lagi yang bersilangan orbitnya dengan tata surya kita. Akhirnya tata surya ketujuh menyilangi garis orbit tata surya kita, sehingga tujuh buah matahari menyinari bumi kita ini. Baiklah kita ikuti uraian tentang kiamat yang dikhotbahkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu :

Bhikkhu, akan tiba suatu masa setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, atau ratusan ribu tahun, tidak ada hujan. Ketika tidak ada hujan, maka semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon penghasil obat-obatan, pohon-pohon palem dan pohon-pohon besar di hutan menjadi layu, kering dan mati .... 
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kedua muncul. Ketika matahari kedua muncul, maka semua sungai kecil dan danau kecil surut, kering dan tiada .....

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketiga muncul. Ketika matahari ketiga muncul, maka semua sungai besar, yaitu sungai Gangga, Yamuna, Aciravati, Sarabhu dan Mahi surut, kering dan tiada .....

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari keempat muncul. Ketika matahari keempat muncul, maka semua danau besar tempat bermuaranya sungai-sungai besar, yaitu danau Anotatta, Sihapapata, Rathakara, Kannamunda, Kunala, Chaddanta, dan Mandakini surut, kering dan tiada .....

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kelima muncul. Ketika matahari kelima muncul, maka air maha samudra surut 100 yojana lalu surut 200 yojana, 300 yojana, 400 yojana, 500 yojana, 600 yojana dan surut 700 yojana. Air maha samudra tersisa sedalam tujuh pohon palem, enam, lima, empat, tiga, dua pohon palem, dan hanya sedalam sebatang pohon palem. Selanjutnya, air maha samudra tersisa sedalam tinggi tujuh orang, enam, lima, empat, tiga, dua dan hanya sedalam tinggi seorang saja, lalu dalam airnya setinggi pinggang, setinggi lutut, hingga airnya surut sampai sedalam tinggi mata kaki.

Para bhikkhu, bagaikan di musim rontok, ketika terjadi hujan dengan tetes air hujan yang besar, mengakibatkan ada lumpur di bekas tapak-tapak kaki sapi, demikianlah dimana-mana air yang tersisa dari maha samudra hanya bagaikan lumpur yang ada di bekas tapak-tapak kaki sapi.

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari keenam muncul. Ketika matahari keenam muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung, mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap.

Para bhikkhu, bagaikan tungku pembakaran periuk yang mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap, begitulah yang terjadi dengan bumi ini. Demikianlah, para bhikkhu, semua bentuk (sangkhara) apa pun adalah tidak kekal, tidak abadi atau tidak tetap. Janganlah kamu merasa puas dengan semua bentuk itu, itu menjijikkan, bebaskanlah diri kamu dari semua hal.

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketujuh muncul. Ketika matahari ketujuh muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung terbakar, menyala berkobar-kobar, dan menjadi seperti bola api yang berpijar. Cahaya nyala kebakaran sampai terlihat di alam Brahma, demikian pula dengan debu asap dari bumi dengan gunung Sineru tertiup angin sampai ke alam Brahma. Bagian-bagian dari puncak gunung Sineru setinggi 1, 2, 3, 4, 5 ratus yojana terbakar dan menyala ditaklukkan oleh amukan nyala yang berkobar-kobar, hancur lebur. Disebabkan oleh nyala yang berkobar-kobar bumi dengan gunung Sineru hangus total tanpa ada bara maupun abu yang tersisa. Bagaikan mentega atau minyak yang terbakar hangus tanpa sisa. Demikian pula bumi maupun debu tidak tersisa sama sekali.


KESELAMATAN ATAU KEBEBASAN

Konsep ini pun sangat penting diperhatikan karena salah sebuah ajaran yang terpenting dari agama adalah tentang keselamatan atau kebebasan. Keselamatan atau kebebasan merupakan tujuan dari semua agama. Ada agama yang menjanjikan keselamatan bagi pengikutnya yang akan didapatnya setelah berbuat kebaikan selama hidupnya dan bila pengikut itu meninggal dunia maka di akhirat ia akan mendapat pahalanya hidup di alam surga untuk selama-lamanya dan menikmati kebahagiaan yang tiada taranya. Tetapi bila orang melakukan perbuatan-perbuatan yang salah, buruk dan tidak terpuji, maka sesudah ia meninggal dunia maka orang tersebut akan mendapat ganjaran yang menyedihkan di dalam neraka. Demikianlah ajaran yang umum diketahui oleh masyarakat termasuk umat Buddha. Menurut pandangan agama Buddha pandangan yang menyatakan keselamatan yang dapat dinikmati setelah kematian adalah suatu pandangan yang spekulatif. Keselamatan menurut pandangan agama Buddha harus didasarkan pada akal dan pengalaman, seperti apa yang dikatakan oleh G.P. Malalasekera bahwa :

"Agama Buddha adalah ajaran empiris dan antimetafisika, dan tidak dapat menerima sesuatu yang tak dapat dialami oleh akal atau pancaindera".

Keselamatan atau kebebasan dapat dicapai dalam masa kehidupan kita sebagai manusia, dan kebebasan ini pun diketahui oleh orang bersangkutan pula, seperti apa yang disabdakan oleh Sang Buddha dalam Parinibbana Sutta :

Mengenai Bhikkhu Salba, O, Ananda, dengan melenyapkan kekotoran-kekotoran batinnya selama hidupnya itu, maka ia telah memperoleh kebebasan batiniah dari noda, telah mendapatkan kebebasan melalui kebijaksanaan, dan hal itu telah dipahami dan disadarinya sendiri.

Untuk mencapai kebebasan atau keselamatan, Sang Buddha telah menunjukkan jalan yang dapat dilaksanakan oleh setiap orang. Dengan mengikuti jalan yang telah ditunjukkan ini kita dapat mencapai kesucian pada kehidupan sekarang ini juga, seperti apa yang diuraikan Beliau dalam Satipatthana Sutta, Digha Nikaya dan Majjhima Nikaya sebagai berikut :

Para bhikkhu, ini adalah satu-satunya jalan untuk mensucikan mahluk-mahluk, untuk mengatasi penderitaan duka nestapa, untuk menghancurkan kesusahan dan kesedihan, untuk mencapai jalan kebenaran, untuk mencapai Nibbana (nirvana), jalan itu adalah Empat Perkembangan Perhatian ..........

Para bhikkhu, bilamana seseorang melaksanakan dengan sungguh-sungguh Empat Perkembangan Perhatian seperti ini selama tujuh tahun, maka salah sebuah dari dua hasil yang dapat dicapainya Pengetahuan (Kesuciannya) pada kehidupan sekarang ini, atau jika masih ada bentuk ikatan tertentu ia mencapai tingkat kesucian Anagami.

Empat Perkembangan Perhatian tidak dapat diuraikan secara terperinci di sini, bila ada yang mau mempelajari dan melaksanakannya dapat melihat langsung pada Satipatthana Sutta atau dalam Visuddhi Magga (The Path of Purification). Empat Perkembangan Perhatian ini merupakan dasar dari meditasi Vipassana didasarkan pada segala sesuatu yang bersyarat adalah tidak kekal (anicca), segala sesuatu yang bersyarat adalah tidak menyenangkan (dukkha), dan segala sesuatu yang bersyarat maupun tidak bersyarat adalah tanpa aku atau jiwa yang kekal (anatta).


KITAB SUCI

Kitab Suci Agama Buddha yang tertulis dalam Bahasa Pali adalah TIPITAKA, yang terdiri dari :
·       Vinaya Pitaka = Yang berisikan tata-tertib bagi para bhikkhu/bhikkhuni.
·       Sutta Pitaka = Yang berisikan khotbah-khotbah Sang Buddha
·       Abidhamma Pitaka = Yang berisikan Ajaran tentang metafisika dan ilmu kejiwaan.

Sedangkan yang tertulis dalam bahasa Sansekerta adalah :
·       Avatamsaka Sutra.
·       Lankavatara Sutra.
·       Saddharma Pundarika Sutra.
·       Vajracchendika Prajna Paramita Sutra (Kim Kong Keng), dan lain-lain


TIMBULNYA DUA ALIRAN BESAR

Segera setelah Buddha Gautama mencapai Pari-Nibbana, maka diadakanlah Sidang Agung (Sanghasamaya):

Yang pertama di kota Rajagaha (543 S.M.). Sidang ini dipimpin oleh Y.A. Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang bhikkhu yang semuanya telah mencapai tingkat Arahat. Maksud dari sidang ini ialah untuk menghimpun Ajaran-ajaran dari Buddha Gautama yang diberikan di tempat-tempat yang berlainan, kepada orang-orang yang berlainan dan pada waktu yang berlainan pula selama 45 tahun. Dalam sidang tersebut Y.A. Upali mengulang tata-tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni (Vinaya) dan Y.A. Ananda mengulang khotbah-khotbah (Sutta) dari Buddha Gautama. Ajaran-ajaran dan khotbah-khotbah ini dihafalkan di luar kepala dan diajarkan lagi kepada orang lain dari mulut ke mulut.

Sidang Agung ke-dua diadakan di kota Vesali lebih kurang 100 tahun kemudian (l.k. 443 S.M.). Sidang ini diadakan untuk membicarakan tuntutan segolongan bhikkhu (golongan Mahasangika), yang menghendaki agar beberapa peraturan tertentu dari Vinaya, yang dianggap terlalu keras, dirobah atau diperlunak. Dalam sidang ini golongan Mahasangika dikalahkan dan sidang memutuskan untuk tidak merobah Vinaya yang sudah ada.

Sidang Agung ke-tiga diadakan lebih kurang 230 tahun setelah Sidang Agung pertama (l.k. 313 S.M.), di ibu kota kerajaan Asoka, yaitu Pataliputta. Sidang ini dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta dan bertujuan menertibkan beberapa perbedaan pendapat yang menyebabkan perpecahan di dalam Sangha. Di samping itu sidang memeriksa kembali dan menyempurnakan Kanon (Kitab Suci) Pali. Di Sidang Agung ke-tiga ini Ajaran Abidhamma diulang secara tersendiri, sehingga dengan demikian lengkaplah sudah Kanon Pali yang terdiri dari tiga kelompok besar, meskipun masih belum dituliskan dalam kitab-kitab dan masih dihafal di luar kepala. Golongan bhikkhu-bhikkhu yang terkena penertiban meninggalkan golongan Sthaviravada (pendahulu dari golongan yang sekarang dikenal sebagai Theravada) dan mengungsi ke arah Utara.

Sidang Agung ke-empat diadakan di Srilangka pada 400 tahun setelah Buddha Gautama meninggal dunia dan dipimpin oleh seorang anak dari Raja Asoka, yaitu Mahinda. Sidang ini berhasil untuk secara resmi menulis Ajaran-Ajaran Buddha Gautama di daun-daun lontar yang kemudian dijadikan buku Tipitaka dalam bahasa Pali.

Sidang Agung ke-lima diadakan di Kanishka oleh Raja Kanishka pada kurang lebih 600 tahun setelah Buddha Gautama meninggal dunia. Sidang ini diadakan oleh mereka yang memisahkan diri dari golongan Sthaviravada dan di sidang ini buku Tipitaka menurut pandangan golongan Mahayana secara resmi ditulis dalam bahasa Sansekerta.

Catatan :
Buddha Gautama bukanlah Buddha yang pertama di dalam masa-dunia ini (masa-dunia atau kalpa; satukalpa lamanya kurang lebih 4.320.000.000 tahun). Buddha-Buddha sebelumnya adalah Buddha Kakusandha, Buddha Konagamana, Buddha Kassapa, Buddha yang akan datang adalah Buddha Mettaya (Maitreya). Menurut Buddha Gautama, Ajaran Beliau akan dapat bertahan selama lebih kurang 5.000 tahun; setelah itu Ajaran Beliau akan demikian diselewengkan, sehingga mungkin masih ada yang menggunakan nama Agama Buddha, tetapi ajarannya akan jauh sekali berbeda dengan Ajaran Beliau yang asli. Karena itu akan datang kembali Seorang Buddha lain yang akan dikenal sebagai Buddha Mettaya (Maitreya).

Yojana, dari bahasa Sansekerta adalah sebuah unit atau satuan untuk mengukur jarak. Satu yojana kurang lebih panjangnya sekitar 15 kilometer.(kurang lebih 7 mil)


KESUNYATAAN DAN KENYATAAN

·  Paramatha-sacca : Kebenaran mutlak (absolute truth), dan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
o    Harus benar.
o   Tidak terikat oleh waktu ; waktu dulu, sekarang dan waktu yang akan datang sama saja.
o   Tidak terikat oleh tempat ; di sini, di Amerika ataupun di bulan sama saja.

·    Sammuti-sacca : Kebenaran relatif ; berarti bahwa sesuatu itu benar, tetapi masih terikat oleh waktu dan tempat.


EHIPASSIKO

Ehipassiko berarti "datang dan alamilah sendiri". Umat Buddha tidak diminta untuk percaya saja, tetapi justru untuk mengalami sendiri segala sesuatu. Ini menunjukkan khas Buddhis, berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Agama-agama lain.


EMPAT KESUNYATAAN MULIA

1.  Kesunyataan Mulia tentang Dukkha
Hidup dalam bentuk apa pun adalah dukkha (penderitaan) :
·       dilahirkan, usia tua, sakit, mati adalah penderitaan.
·       berhubungan dengan orang yang tidak disukai adalah penderitaan.
·       ditinggalkan oleh orang yang dicintai adalah penderitaan.
·       tidak memperoleh yang dicita-citakan adalah penderitaan.
·       masih memiliki lima khanda adalah penderitaan.

Dukkha dapat juga dibagi sbb. :
·   dukkha-dukkha - ialah penderitaan yang nyata, yang benar dirasakan sebagai penderitaan tubuh dan bathin, misalnya sakit kepala, sakit gigi, susah hati dll.

·  viparinäma-dukkha - merupakan fakta bahwa semua perasaan senang dan bahagia --berdasarkan sifat ketidak-kekalan-- di dalamnya mengandung benih benih kekecewaan, kekesalan dll.

·   sankhärä-dukkha - lima khanda adalah penderitaan ; selama masih ada lima khanda tak mungkin terbebas dari sakit fisik.

2.  Kesunyataan Mulia tentang asal mula Dukkha
Sumber dari penderitaan adalah tanhä, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya. Semakin diumbar semakin keras ia mencengkeram. Orang yang pasrah kepada tanhä sama saja dengan orang minum air asin untuk menghilangkan rasa hausnya. Rasa haus itu bukannya hilang, bahkan menjadi bertambah, karena air asin itu yang mengandung garam. Demikianlah, semakin orang pasrah kepada tanhä semakin keras tanhä itu mencengkeramnya. Dikenal tiga macam tanhä, yaitu :

·      Kämatanhä : kehausan akan kesenangan indriya, ialah kehausan akan :
§  bentuk-bentuk (indah)
§  suara-suara (merdu)
§  wangi-wangian
§  rasa-rasa (nikmat)
§  sentuhan-sentuhan (lembut)
§  bentuk-bentuk pikiran

·  Bhavatanhä : kehausan untuk lahir kembali sebagai manusia berdasarkan kepercayaan tentang adanya "atma (roh) yang kekal dan terpisah" (attavada).

· Vibhavatanhä : kehausan untuk memusnahkan diri, berdasarkan kepercayaan, bahwa setelah mati tamatlah riwayat tiap-tiap manusia (ucchedaväda).

3. Kesunyataan Mulia tentang lenyapnya Dukkha
Kalau tanhä dapat disingkirkan, maka kita akan berada dalam keadaan yang bahagia sekali, karena terbebas dari semua penderitaan (bathin). Keadaan ini dinamakan Nibbana.

1. Sa-upadisesa-Nibbana = Nibbana masih bersisa. Dengan 'sisa' dimaksud bahwa lima khanda itu masih ada

2. An-upadisesa-Nibbana = Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Pari-Nibbana. Sang Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Misalnya, kalau api padam, kejurusan mana api itu pergi? jawaban yang tepat : 'tidak tahu' Sebab api itu padam karena kehabisan bahan bakar.

Arti Nibbana [Pali]; Sanskerta= Nirvana-s [nir; nis = "tidak ada, lenyap, habis'; + va = "meniup"] = "Musnah, Lenyap, Padam, memadamkan". Merupakan suatu keadaan/ kondisi padamnya nafsu keinginan dan Tidak pernah diartikan sebagai Alam atau tempat atau Tuhan.


4.  Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha
Delapan Jalan Utama (Jalan Utama Beruas Delapan) yang akan membawa kita ke Jalan Menuju lenyapnya Dukkha, yaitu :

·    Pañña
o   Pengertian Benar (sammä-ditthi)
o   Pikiran Benar (sammä-sankappa)

·    Sila
o   Ucapan Benar (sammä-väcä)
o   Perbuatan Benar (sammä-kammanta)
o   Pencaharian Benar (sammä-ajiva)

·    Samädhi
o   Daya-upaya Benar (sammä-väyäma)
o   Perhatian Benar (sammä-sati)
o   Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)
Delapan Jalan Utama ini dapat lebih lanjut diperinci sbb. :

1.  Pengertian Benar (sammä-ditthi)menembus arti dari :
·      Empat Kesunyataan Mulia
·      Hukum Tilakkhana (Tiga Corak Umum)
·      Hukum Paticca-Samuppäda
·      Hukum Kamma

2.  Pikiran Benar (sammä-sankappa)
·       Pikiran yang bebas dari nafsu-nafsu keduniawian (nekkhamma-sankappa).
·       Pikiran yang bebas dari kebencian (avyäpäda-sankappa)
·       Pikiran yang bebas dari kekejaman (avihimsä-sankappa)

Ucapan Benar (sammä-väcä) Dapat dinamakan Ucapan Benar, jika dapat memenuhi empat syarat di bawah ini:

·       Ucapan itu benar
·       Ucapan itu beralasan
·       Ucapan itu berfaedah
·       Ucapan itu tepat pada waktunya

3.  Perbuatan Benar (sammä-kammanta)
·       Menghindari pembunuhan
·       Menghindari pencurian
·       Menghindari perbuatan a-susila

4.  Pencaharian Benar (sammä-ajiva)Lima pencaharian salah harus dihindari (M. 117), yaitu :
·       Penipuan
·       Ketidak-setiaan
·       Penujuman
·       Kecurangan
·       Memungut bunga yang tinggi (praktek lintah darat)

Di samping itu seorang siswa harus pula menghindari lima macam perdagangan , yaitu :

·      Berdagang alat senjata
·      Berdagang mahluk hidup
·   Berdagang daging (atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan mahluk-mahluk hidup)
·      Berdagang minum-minuman yang memabukkan atau yang dapat menimbulkan ketagihan
·      Berdagang racun.

5.  Daya-upaya Benar (sammä-väyäma)
·   Dengan sekuat tenaga mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik di dalam bathin.
·   Dengan sekuat tenaga berusaha untuk memusnahkan unsur-unsur jahat dan tidak baik, yang sudah ada di dalam bathin.
·  Dengan sekuat tenaga berusaha untuk membangkitkan unsur-unsur baik dan sehat di dalam bathin.
·     Berusaha keras untuk mempernyata, mengembangkan dan memperkuat unsur-unsur baik dan sehat yang sudah ada di dalam bathin.

6.  Perhatian Benar (sammä-sati)Sammä-sati ini terdiri dari latihan-latihan Vipassanä-Bhävanä (meditasi untuk memperoleh pandangan terang tentang hidup), yaitu :
·       Käyä-nupassanä = Perenungan terhadap tubuh
·       Vedanä-nupassanä = Perenungan terhadap perasaan.
·       Cittä-nupassanä = Perenungan terhadap kesadaran.
·       Dhammä-nupassanä = Perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran

7.  Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)Latihan meditasi untuk mencapai JhänaJhäna. Siswa yang telah berhasil melaksanakan Delapan Jalan Utama memperoleh :
·    Sila-visuddhi - Kesucian Sila sebagai hasil dari pelaksanaan Sila dan terkikis habisnya Kilesa

·   Citta-visuddhi - Kesucian Bathin sebagai hasil dari pelaksanaan Samadhi dan terkikis habisnya Nivarana

·      Ditthi-visuddhi - Kesucian Pandangan sebagai hasil dari pelaksanaan Pañña dan terkikis habisnyaAnusaya.

Kekotoran bathin(Asava), dapat dibagi dalam 3 (tiga) golongan besar, yaitu:
1.  Kilesa = Kekotoran bathin yang kasar dan dapat jelas dilihat atau didengar.
2.  Nivarana = Kekotoran bathin yang agak halus, yang agak sukar diketahui
3.  Anusaya = Kekotoran bathin yang halus sekali dan sangat sukar untuk diketahui.


Agama Buddha mengenal 2 (dua) macam meditasi (Bhavana) :

Samatha-bhavana = Meditasi untuk mendapatkan ketenangan bathin melalui  Jhäna-Jhäna:

·  Jhäna pertama :
·  Vitakka = Usaha dalam tingkat permulaan untuk memegang obyek.
·  Vicära = Pikiran yang berhasil memegang obyek dengan kuat.
·  Piti = Kegiuran
·  Sukha = Kebahagiaan.
·  Ekaggata = Pemusatan pikiran yang kuat.

·  Jhäna kedua
·       Vicära, Piti, Sukha, Ekaggata.

·  Jhäna ketiga
·       Piti, Sukha, Ekaggata.

·  Jhäna keempat
·       Sukha, Ekaggata.

·  Jhäna kelima
·       Ekaggata + keseimbangan bathin.

Meditasi Samatha-bhävanä yang sangat dipujikan ialah Brahma-Vihära-bhävanä yang terdiri dari :

a.  Mettä-bhävanä = Usaha dalam tingkat permulaan untuk memegang obyek.
b.  Karunä-bhävanä = Meditasi welas-asih terhadap semua mahluk yang sedang menderita.
c.  Muditä-bhävanä = Meditasi yang mengandung simpati terhadap kebahagiaan orang lain.
d.  Upekkhä-bhävanä = Meditasi keseimbangan bathin.

Brahmä-Vihära-bhävanä dapat juga dipakai untuk melemahkan kecenderungan - kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang tidak baik.

Tiga Akar Perbuatan
Tiga hal yang di bawah ini dapat disebut sebagai tiga akar atau sumber untuk melakukan perbuatan, yaitu :

· Lobha = Kemelekatan yang sangat terhadap sesuatu sehingga menimbulkan keserakahan.

·    Dosa = Penolakan yang sangat terhadap sesuatu sehingga menimbulkan kebencian.

·  Moha = Kebodohan ; tidak dapat menbeda-bedakan mana yang buruk dan mana yang baik.

Vipassanä-bhävanä Meditasi untuk memperoleh Pandangan Terang tentang hidup, tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda. Latihan-latihan Vipassanä-bhävanä sudah diterangkan sewaktu membahas Perhatian Benar (sammä-sati). Tujuan dari latihan-latihan bhävanä ialah untuk menyingkirkan Nivarana (lihat pembahasan Asava) yang dianggap sebagai rintangan untuk memperoleh ketenangan bathin maupun Pandangan Terang tentang hidup dan hakekat sesungguhnya dari benda-benda. Perincian dari Nivarana adalah sbb. :

·         Kämacchanda -- nafsu keinginan
·         Vyäpäda -- keinginan jahat, kebencian dan amarah.
·         Thina-middha -- lamban, malas dan kesu.
·         Uddhacca-kukkucca -- gelisah dan cemas.
·         Vicikicchä -- keragu-raguan.

Dalam tingkat kesucian, umat Buddha dapat dibagi dalam dua golongan :

·   Puthujjana Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang belum mencapai tingkat kesucian

·     Ariya-puggalä Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang setidak-tidaknya telah mencapai tingkat kesucian pertama.

Tingkat Kesucian

Sotapanna
·       Mematahkan belenggu:
o    Sakkäyaditthi = Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal.
o   Vicikicchä= Keragu-raguan terhadap Sang Buddha dan AjaranNya.
o Silabbataparämäsa = Kepercayaan tahyul bahwa upacara agama saja dapat membebaskan manusia dari penderitaan.
Maksimum Kelahiran kembali adalah 7 kali

Sakadägämi
·       Mematahkan belenggu Sotapanna (Sajjayaditthi, Vicikiccha dan Silabbataparamasa)
·       Melemahkan belenggu-belenggu Anagami (Kamaraga dan Vyapada.)
Maksimum kelahiran adalah 1 kali.

Anägämi
·       Mematahkan Belenggu:
o   Kämaräga = Nafsu Indriya.
o   Vyäpäda = Benci, keinginan tidak baik.
Tidak terlahir kembali di alam manusia, tetapi langsung terlahir kembali di salah sebuah dari lima alam Suddhavasa. Di salah sebuah alam Suddhavasa, Anagami akan mencapai tingkat kesucian Arahat dan mencapai parinibbana

Arahat
·       Mematahkan Belenggu:
o   Ruparäga = Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk. (rüpa-rãga)
o   Aruparäga = Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk.
o  Mäna = Ketinggian hati yang halus, Perasaan untuk membandingkan diri sendiri dengan
orang lainUddhacca = Bathin yang belum seimbang benar.
o Avijjä = Kegelapan bathin, Suatu kondisi batin yang haus sekali karena yang bersangkutan belum mencapai tingkat kebebasan sempurna (arahat).
o   Mencapai Nibbana.

Catatan:
Untuk Belenggu ruparaga dan ruparaga, Apabila ia meninggal sewaktu dalam keadaan samadhi dan telah mencapai Jhãna I, Jhãna II, Jhãna III atau Jhãna IV (lihat TABEL) maka ia dilahirkan di Alam bentuk (rüpa-rãga)Lima samyojana/Belenggu pada Sotapanna dan Anagami dikenal sebagai lima belenggu rendah atau Orambhãgiya-samyojana., Lima samyojana berikutnya pada Belenggu arahat dikenal dengan nama belenggu tinggi atau Uddhambhãgiya-samyojana. Orambhãgiya-samyojana dan Uddhambhãgiya-samyojana telah dimusnahkan oleh Arahat.

Perbedaan antara Avijjä dan Moha.
·   Avijjä = Kebodohan/kegelapan bathin, karena tidak dapat menembus arti  dari  Empat Kesunyataan MuliaHukum Tilakkhana , Hukum Paticca-Samuppada, Hukum Kamma.
·   Moha = Kebodohan/kegelapan bathin, karena tidak dapat membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik.

HUKUM TILAKKHANA (TIGA CORAK UMUM)

Hukum Tilakkhana ini termasuk Hukum Kesunyataan; berarti bahwa Hukum ini berlaku di mana-mana dan pada setiap waktu. Jadi tidak terikat oleh waktu dan tempat.

·       Sabbe sankhärä aniccäSegala sesuatu dalam alam semesta ini yang terdiri dari paduan unsur-unsur adalah tidak kekal. Umat Buddha melihat segala sesuatu dalam alam semesta ini sebagai suatu proses yang selalu dalam keadaan bergerak, yaitu : Uppada (timbul) , Thiti (berlangsung) , Bhanga (berakhir/lenyap).

·       Sabbe sankhärä dukkha, Apa yang tidak kekal sebenarnya tidak memuaskan dan oleh karena itu adalah penderitaan.

·       Sabbe Dhammä Anattä, Segala sesuatu yang tercipta dan tidak tercipta adalah tanpa inti yang kekal/abadi. Contoh dari sesuatu yang tidak tercipta adalah Nibbana.

Di samping paham anattä yang khas Buddhis terdapat juga dua paham lain yaitu :

·       Attaväda Paham bahwa atma (roh) adalah kekal-abadi dan akan berlangsung sepanjang masa (tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).

·       Ucchedaväda Paham bahwa setelah mati atma (roh) itu pun akan turut lenyap (tidak dibenarkan oleh Sang Buddha

Contoh konkrit tentang paham anattä, misalnya kalau kita membuat roti. Roti dibuat dengan memakai tepung, ragi, gula, garam, mentega, susu, air, api, tenaga kerja dll.. Tetapi setelah menjadi roti tidak mungkin kita akan menunjuk satu bagian tertentu dan mengatakan ini adalah tepungnya, ini garamnya, ini menteganya, ini airnya, ini apinya, ini tenaga kerjanya dst. Karena setelah bahan-bahan itu diaduk menjadi satu dan dibakar di oven, maka bahan-bahan itu telah berubah sama sekali.

Kesimpulan Meskipun roti itu terdiri dari bahan-bahan yang tersebut di atas, namun setelah melalui proses pembuatan dan pembakaran di oven telah menjadi sesuatu yang baru sama sekali dan tidak mungkin lagi untuk mengembalikannya dalam bentuknya yang semula.

PANCA KHANDHA

Dalam Agama Buddha diajarkan bahwa seorang manusia terdiri dari lima kelompok kehidupan/kegemaran (Khandha) yang saling bekerja-sama dengan erat sekali. Ke lima kelompok kehidupan/kegemaran tersebut adalah :

·       Rupa Bentuk, tubuh, badan jasmani.
·       Sañña Pencerapan.
·       Sankhära Pikiran, bentuk-bentuk mental.
·       Vedanä Perasaan.
·       Viññana Kesadaran.

Gabungan dari No. 2, 3, 4 dan 5 dapat juga dinamakan nama (bathin), sehingga seorang manusia dapat dikatakan terdiri dari rupa dan nama.

Dalam menangkap rangsangan dari luar, maka bekerja-samanya lima khandha ini adalah sbb. :

·     Rupa Kita menangkap suatu rangsangan melalui mata, telinga, hidung, lidah, tubuh yang merupakan bagian dari badan jasmani kita
·     Viññana (citta) Kita lalu akan menyadari bahwa bathin kita telah menangkap suatu rangsangan.
·     Sañña - Rangsangan tersebut mencerap ke dalam bathin kita melalui suatu bagian dari otak kita, mengenal obyek.
·     Sankhära - Rangsangan ini kita akan banding-bandingkan dengan pengalaman kita yang dulu-dulu melalui gambaran-gambaran pikiran yang tersimpan dalam bathin kita.
·     Vedanä - Dengan membanding-bandingkan ini lalu timbul suatu perasaan senang (suka) atau tidak senang (tidak suka) terhadap rangsangan yang telah tertangkap melalui panca indera kita. Proses mental ini berlangsung sbb. :

 Kesadaran =>Pencerapan =>Pikiran => Perasaan .

Menurut Ajaran Sang Buddha, di dalam diri seorang manusia hanya terdapat lima khandha ini dan tidak dapat ditemukan suatu atma atau roh yang kekal dan abadi. Dengan cara ini, maka anattä diterangkan melalui analisa.


HUKUM PATICCA-SAMUPPADA

Paham anattä dapat pula diterangkan melalui cara sinthesa, yaitu melalui Hukum Paticca-Samuppada (Hukum Sebab-musabab Yang Saling Bergantungan). Prinsip dari Hukum ini diberikan dalam empat formula pendek, yaitu :

·       Imasming Sati Idang HotiDengan adanya ini, maka terjadilah itu.
·       Imassuppädä Idang UppajjatiDengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
·       Imasming Asati Idang Na Hoti, Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
·       Imassa Nirodhä Idang NirujjatiDengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu.
Berdasarkan prinsip dari saling menjadikan, relatifitas dan saling bergantungan ini, maka seluruh kelangsungan dan kelanjutan hidup dan juga berhentinya hidup dapat diterangkan dalam formula dari duabelas nidana (sebab-musabab):

·      Avijjä Paccayä Sankhära, 
Dengan adanya kebodohan (ketidak-tahuan), maka terjadilah bentuk-bentuk karma.

·      Sankhära Paccayä Viññänang, 
Dengan adanya bentuk-bentuk karma, maka terjadilah kesadaran.

·      Viññäna Paccayä Namarupang, 
Dengan adanya kesadaran, maka terjadilah bathin dan badan jasmani.

·      Namarupang Paccayä Saläyatanang, 
Dengan adanya bathin dan badan jasmani, maka terjadilah enam indriya.

·       Saläyatana Paccayä Phassa, 
Dengan adanya enam indriya, maka terjadilah kesan-kesan.

·      Phassa Paccayä Vedanä, 
Dengan adanya kesan-kesan, maka terjadilah perasaan.

·     Vedanä Paccayä Tanhä,
Dengan adanya perasaan, maka terjadilah tanhä (keinginan).

·     Tanhä Paccayä Upädänang, 
Dengan adanya tanhä (keinginan), maka terjadilah kemelekatan.

·     Upädäna Paccayä Bhavo,
Dengan adanya kemelekatan, maka terjadilah proses tumimbal lahir.

·     Bhava Paccayä Jati, 
Dengan adanya proses tumimbal lahir, maka terjadilah kelahiran kembali.

·     Jati Paccayä Jaramaranang, 
Dengan adanya kelahiran kembali, maka terjadilah kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit dll.

·     Jaramarana, 
Kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit dll. adalah akibat dari kelahiran kembali.

Demikianlah kehidupan itu timbul, berlangsung dan bersambung terus. Kalau kita mengambil rumus tersebut dalam arti yang sebaliknya, maka kita akan sampai kepada penghentian dari proses itu. Dengan terhenti seluruhnya dari kebodohan, maka terhenti pula bentuk-bentuk karma; dengan terhentinya bentuk-bentuk karma, maka terhenti pulalah kesadaran; ..... dengan terhentinya kelahiran kembali, maka terhenti pulalah kelapukan, kematian, kesedihan dll.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar