8. METTA
Cinta
Kasih, Persahabatan
Tidak ada
faktor mental (cetasika) yang seperti
Metta. Adosa cetasika, ketika
memiliki pengertian mengharapkan kesejahteraan, kedamaian, dan kemajuan orang
lain, hal ini disebut metta. Perlu
dicatat bahwa metta adalah niat tulus
untuk membantu orang lain agar menjadi baik dan sejahtera.
Bukan Metta
Ada suatu
bentuk metta di antara sanak-saudara,
pasangan muda-mudi, dan suami-istri. Metta
sedemikian juga mengandung niat dan tindakan menolong satu sama lain. Mereka
dikatakan “jatuh cinta” satu dengan yang lain. Mereka juga menggunakan istilah metta untuk kemelekatan jenis ini, namun
ini sebenarnya adalah nafsu dan kemelekatan yang disebut gehasita-pema. Cinta tersebut bukanlah metta yang sejati.
Suatu ketika
ada seorang awam mengunjungi bhikkhu
yang dihormatinya, dia menanyakan bagaimana melatih metta-bhavana (meditasi metta). Bhikkhu
itu mengatakan : “ Mulailah memancarkan metta
kepada orang yang paling Anda cintai.” Dia pikir istrinya adalah orang yang
paling dicintainya, kemudian dia mulai bermeditasi metta diluar biliknya. Setelah beberapa waktu bermeditasi, dia
dikuasai oleh nafsu cinta dan bergegas masuk ke dalam bilik istrinya. Karena
pintunya terkunci rapat, kepalanya terbentur ke pintu, dan memarlah dia
jadinya. Cinta semacam ini dinamakan gehasita-pema.
Cinta Seekor Lembu Terhadap Anaknya
Kita tidak
bisa mengatakan bahwa bentuk pema
seperti itu tidak bisa berkembang menjadi metta
sejati; bahkan cinta seekor lembu terhadap anaknya mampu membangkitkan
munculnya pikiran baik (kusala citta).
Pada suatu ketika, seekor lembu menyusui anaknya dengan penuh metta. Pada saat itu juga seorang
pemburu melemparkan tombak ke arahnya, tetapi karena kekuatan metta sang lembu kepada anaknya, tombak
tersebut menjadi lembek seperti sehelai daun aren dan tidak melukainya sama
sekali. Ini adalah sebuah bukti bahwa
cinta di antara saudara, sahabat, suami-istri, orang tua dan anak, dapat
berkembang menjadi metta sejati.
Metta Ratu Samavati
Di dalam
kerajaan kuno Kosambi, Raja Utena memiliki tiga permaisuri, yaitu : Samavati,
Magandi, dan Vasuladattadevi. Samavati sangat yakin kepada Tiratana (Tiga Permata); sementara Magandi, semenjak gadisnya,
menyimpan dendam kepada Buddha. Magandi selalu mencari-cari kesalahan Samavati,
yang selalu mempraktikkan metta-bhavana.
Secara bergiliran Raja Utena mengunjungi ketiga permaisurinya; dia juga sangat
mahir dalam memainkan kecapi.
Pada suatu
hari, ketika tiba giliran raja mengunjungi Samavati, Magandi menaruh ular
berbisa yang didapatkannya dari pamannya ke dalam lubang kecapi dan menaruh
karangan bunga agar ular itu tidak keluar dari kecapi. Kemudian Magandi berkata
kepada raja untuk tidak pergi ke tempat amavati dengan mengatakan bahwa dia
telah bermimpi buruk yang ditafsirkan sebagai pertanda buruk. Namun raja
mengabaikan perkataan Magandi dan tetap pergi ketempat amavati. Magandi
mengikutinya seolah-olah dia sangat khawatir dengan keselamatan raja.
Seusai
santap malam, raja berbaring di depan Samavati. Diam-diam Magandi menggeser
karangan bunga yang dia letakkan di kecapi agar ular di dalamnya keluar. Ular
itu mendesis marah dan mendekati raja. Magandi pura-pura terkejut, memarahi
Samavati dan para pelayannya, dan menyalahkan raja karena tidak mendengarkan
peringatannya.
Karena tidak
mengetahui situasi sebenarnya, Raja Utena menjadi murka kepada Samavati dan
pelayannya, dia mengambil busur dan anak panahnya lalu mengarahkan kepada
Samavati dan pelayannya.
Menghadapi
situasi itu, Samavati menasihati pelayannya untuk tidak marah dan benci kepada
raja dan Magandi, malah meminta mereka untuk memancarkan metta seperti yang selalu mereka latih. Samavati berkata bahwa
tiada yang bisa menyelamatkan mereka selain metta.
Ia menganjurkan para pelayannya untuk semampu mereka memancarkan metta kepada raja Utena dan Magandi, dan
menyingkirkan semua pikiran marah dan dendam.
Pelayannya
sangat terlatih karena bimbingan dari Samavati, mengembangkan cinta kasih
kepada Raja Utena dan Magandi. Raja tidak dapat mengendalikan kemarahannya dan
meluncurkan sebuah anak panah kepada mereka. Karena kekuatan metta yang sangat besar, anak panah yang
dilepaskan terpental ke arah Raja. Seketika itu juga Raja Utena menyadari
kesalahannya dan langsung bersujud minta maaf di hadapan Ratu Samavati, Raja
menyadari keteledorannya sendiri.
Pesan Moral
Rati Magandi
merasa iri dan dengki kepada Rati Samavati yang lebih cantik dan terkenal.
Karena dikuasai oleh issa dan dosa, dia melancarkan rencana jahat yang
didasari oleh maya. Raja Utena,
karena melihat ular berbisa itu, juga dikuasai oleh dosa. Ketika anak panah berbalik kearahnya, dia mengalami ketakutan
luar biasa dibawah pengaruh dosa dan domanassa. Ratu Samavati beserta para
pelayannya yang pada dasarnya bersifat baik, memancarkan metta sekalipun kepada orang yang menyerang mereka.
Pada masa
kini, mereka yang ingin hidup dengan bajik dan murni harus meneladani sikap dan
perilaku Ratu Samavati. Dalam menghadapi iri, dengki, dan niat buruk, kita
harus memperbaiki pikiran dan memadamkan keinginan untuk balas dendam. Berilah
kesempatan untuk melayani orang lain, sekalipun kepada mereka yang jahat kepada
Anda. Angkatlah senjata yang tak ternilai yang dikenal sebagai metta. Metta itu seperti air ; dosa itu
seperti api. Semakin banyak air, semakin mudah kita memadamkan api. Oleh
karenanya, kita harus mencoba mengurangi kemarahan serta mengembangkan cinta
kasih kepada semua makhluk.
Sumber
:
Abhidhamma
sehari-hari Bab III. hal 101-104 _ Oleh : Ashin Janakabhivamsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar