Minggu, Januari 23, 2011

DOA

DOA
Oleh : Tanhadi

Dalam pengertian umum dan menurut KBBI, doa diartikan sebagai permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan.

A.  Doa

Salah satu pengaruh luar yang telah terintegrasi ke dalam pelatihan diri umat Buddha adalah kebiasaan berdoa dan bersembahyang.  Berbagai catatan kuno menyebutkan bahwa Buddha Gotama menolak kebiasaan berdoa maupun sembahyang.  Sang Buddha pernah bersabda :

" Engkau sendiri harus melakukan pekerjaan itu,
sebab Sang Tathagata hanya sebagai Penunjuk Jalan”
(Majjhima Nikaya 107).

Sang Buddha tidak pernah menyuruh pengikutnya untuk berdoa/sembahyang kepada-Nya. Yang dianjurkan adalah:

"Renungkanlah kualitas-kualitas mulia Tathâgata dan Dhamma-Nya (serta Sangha)
(AN 11.12)."


Doa bukan meminta

Doa yang paling sering kita dengar adalah berbagai jenis pemohonan. Kalaupun mengandung pujian, biasanya diikuti dengan permintaan. Ketika menghadapi penderitaan, kesulitan dan ketakutan, banyak orang berdoa untuk meminta pertolongan.

Kepada Anathapindika, Buddha pernah mengemukakan bahwa kebanyakan orang mendambakan panjang usia, kecantikan, kebahagiaan, kehormatan, dan alam surga. Kelima hal itu tidaklah tercapai hanya karena berdoa. Untuk mencapai apa yang diinginkan, janganlah orang tergantung pada doa atau bersikap pasrah tak berdaya, tetapi ia harus berusaha menempuh jalan ke arah itu (A.III.43). Setiap orang dapat mengubah nasibnya dengan berusaha melakukan apa yang terbaik.

Menjawab pertanyaan Punnaka tentang persembahan kepada para dewa, Buddha menjelaskan, “Doa-doa mereka, puji-pujian, persembahan dan aspirasi mereka semua dilakukan berdasar keinginan memiliki, ingin ganjaran. Mereka merindukan kenikmatan nafsu indrawi. Orang-orang yang ahli dalam persembahan ini bersuka cita didalam nafsu untuk menjadi, orang-orang ini tidak akan dapat mengatasi usia tua dan kelahiran kembali“ (Sn.1046).


Doa merefleksikan pikiran. Pikiran yang benar mengandung tiga aspek sbb :

1.     1.   Tidak berdasarkan egoisme dan dorongan nafsu keduniawian yang bersifat rendah.
2.     2 -  Mengungkapkan cinta kasih, bukan itikad yang jahat
3.     3 -  Mengandung belas kasih, bukan perasaan yang kejam.

Kekuatan doa yang mendatangkan berkah akan tergantung pada keyakinan dan pikiran yang benar.

Sehari-hari dapat kita lihat orang yang meminta agar keinginannya dipenuhi orang lain dengan bersikap merendah atau bisa juga menjilat hingga menyogok dan menuntut. Tidak jaran pula orang berusaha melakukan tawar-menawar atau jual-beli. Kaul atau niat yang diucapkan seseorang sebagai janji untuk melakukan sesuatu jika permintaannya dikabulkan agaknya mengandung nuansa ini.

Tanpa disadari sikap-sikap yang bersifat memaksakan keinginan sendiri itu sekalipun halus mudah mewarnai suatu doa yang bertujuan meminta.

Perhatikan contoh cuplikan Doa ini :

“...Dengarkanlah permohonan kami, lindungilah kami semua, limpahkanlah berkah dan karunia-Mu, jangan b iarkan kami menderita, selamatkanlah kami dari kelaparan, berilah kami makanan dan kekayaan, jauhilah kami dari godaan, singkirkanlah semua mara bahaya dari kami, tunjukkanlah krpada kami, pancarkanlah kasih-sayang-Mu, kasihanilah kami seperti kamu mengasihi orang-orang lain, jika doa ini terkabul kami akan merenovasi vihara ini...”

Sesungguhnya tanpa meminta, apa yang diharapkan pasti akan datang pada waktunya sebagai buah dari perbuatan (karma). Karena itu sebaiknya orang berdoa seraya mawas diri.

Bandingkan doa ini dengan contoh sebelumnya :

“....Semoga kami semua senantiasa membentuk kehidupan kami dalam perlindungan Triratna, semoga kami semua hidup dalam berkah dan karunia-Mu, semoga kami mampu mengatasi penderitaan dengan melakukan karma yang baik, terhindar dari kelaparan dan mampu mempertahankan kesejahteraan kami, semoga kami memiliki kekuatan dan berhasil menyingkirkan semua godaan atau mara bahaya, semoga kami memahami dan menempuh jalan sesuai dengan petunjuk-Mu, selalu hidup dalam kasih-sayang-Mu dan mengembangkan kasih-sayang dengan mengasihani semua makhluk tanpa kecuali.....”

Disini orang yang berdoa menempatkan dirinya sebagai pihak yang aktif, bukan pasif menunggu berkah dari atas. Doanya bukan doa yang bersifat kekakan-kanakan.

Doa dalam agama Buddha yang mengungkapkan pengharapan tidak tepat jika disamakan dengan meminta. Suatu doa atau paritta yang berisikan pengharapan didasarkan pada pernyataan kebenaran, yang dirumuskan dalam kalimat seperti : berkat kebenaran ucapan, berkat kekuatan keyakinan, berkat timbunan jasa kebajikan.

Perhatikan doa dalam syair Shanti Deva (abad ke-7) sbb :

Semoga aku menjadi penawar rasa sakit bagi semua makhluk.
Semoga aku menjadi dokter dan perawat bagi semua orang sakit.
Semoga aku dapat memberi makan dan minum semua yang menderita lapar dan kehausan.
Semoga aku menjadi mustika yang tak ternilai bagi orang-orang miskin.
Semoga aku menjadi pembela bagi mereka yang dicampakkan terlantar di pinggir jalan.
Semoga aku menjadi perahu dan titian bagi mereka yang merindukan Pantai Seberang.
Semoga aku menjadi pelita penerang bagi mereka yang tersesat jalan.

Shanti Deva tidak berdoa agar menjadi kaya, tetapi apa yang diharapkannya jelas takkan tercapai tanpa kekayaan. Doanya bukan meminta, malah menunjukkan keinginan untuk bisa memberi.

Kapan kita berdoa?

Kita dapat melatih diri dengan menyertai doa untuk setiap perbuatan yang kita kerjakan : “ Semoga semua makhluk berbahagia. Sebagaimana kami menghendaki kebahagiaan untuk diri kami, semoga demikian pula semua makhluk sejahtera dan bahagia”.

Doa dan kerja dapat menyatu dalam kegiatan kita sehari-hari. Berdoa merupakan cara untuk memantapkan kepercayaan pada diri sendiri, mengembangkan potensi dan keluhuran jiwa, sehingga membawa kemajuan dan menghasilkan ketentraman. Doa yang dibacakan tak putus-putus dapat membangkitkan getaran suci dalam kalbu dan menghantar pikiran untuk berkonsentrasi. Doa yang mengungkapkan cinta kasih pun menjadi langkah mula melatih metta-bhavana. Meditasi yang mengembangkan cinta kasih dan mengharapkan semua makhluk sejahtera dan bahagia.

B. Paritta dan Mantra

Kebiasaan membaca parittâ juga seharusnya dimengerti dengan benar. Membaca bersama secara rutin di zaman Buddha tidak ditemukan selain pengulangan Pâtimokkhâ (peraturan ke-bhikkhu-an) oleh Sangha [Pacittiya 73, Vinaya Pitaka].

Mengingat bahwa dari ketiga jenis perbuatan yaitu melalui pikiran, perbuatan, dan Ucapan, perbuatan yang melalui pikiranlah yang paling berpengaruh, maka seharusnyalah pembacaan Pâritta dilakukan dalam bahasa yang dimengerti si pembaca. Dan pembaca seharusnya mengingat kembali makna dari apa yang dibaca dan bukan hanya sekedar membacanya. Hal ini sesuai dengan kutipan dari Dhammapada : Sahassa Vagga VIII : 3/102 yang berbunyi :

Daripada seribu bait syair yang tak bermanfaat,
adalah lebih baik satu kata Dhamma
yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.

Dari semua Paritta, bagian utama dari Buddhânussati, Dhammânussati, dan Sanghânussati-lah yang paling umum dianjurkan oleh Buddha untuk diingat terus oleh pengikut awam-Nya [AN 11.12].

Paritta adalah bacaan perlindungan yang dalam pengertian sekarang disamakan dengan doa. pembacaan paritta bermula dari petunjuk Buddha kepada siswa-Nya untuk mengucapkan bacaan tertentu agar terhindar dari kesulitan atau terlindung dari kejahatan. Misalnya Angulimala-paritta yang dibacakan menjelang suatu persalinan, berasal dari formula pernyataan kebenaran dan doa agar ibu dan bayinya selamat, yang diajarkan oleh Buddha Gotama kepada Angulimala untuk menolong perempuan yang menghadapi kesukaran melahirkan (M.II. 103 ).

Atanatiya-paritta adalah doa pujian terhadap sejumlah Buddha termasuk Buddha Gotama, yang berasal dari Empat Dewa Raja. Doa ini diajarkan kepada umat atas persetujuan Buddha agar hidupnya tentram, terlindung dari gangguan makhluk halus.

Dhajaga-paritta (S.I.220), Khandha-paritta (A.II.72), Mora–paritta (ja.II.35) dan Ratana-sutta (Sn. 222-238), diajarkan oleh Buddha sendiri.

Belakangan semua bacaan dalam suatu upacara disebut sebagai paritta, termasuk sejumlah Sutta atau ayat dari KitabSuci.

isi paritta dalam bahasa Pali (sebagaimana maksud dari upacara) antara lain :

1.    1. Penghormatan dan pujian (mis. Vandana, Atanatiya-paritta).
2. Persembahan ( Puja)
3. Pernyataan keyakinan dan perlindungan (mis. Tisarana, Saccakiriya-gatha, Chattamanavaka-vimana-gatha).
4. Pernyataan janji atau tekad (mis. Panca-sila).
5.Pernyataan kebenaran (mis. Angulimala-paritta, Bhojjanga-paritta, Mahakarunikonathotiadi-gatha).
6. Perenungan (mis. Buddha, Dhamma, Dangha-nussati).
7.Sutta atau khotbah Buddha (mis. Mangala-sutta, Parabhava-sutta, Dhammaniyama-sutta, Nidhikkhandha-sutta, Vijaya-sutta).
8. Ungkapan cinta kasih (mis. Khandha-paritta, Karaniya metta-sutta).
9. Pengharapan dan pemberkahan (mis. Pattumodana, Sumangala-gatha, Abhaya-paritta, Cilla-mangala-cakkavala).
10. Syukur, terima kasih, sekaligus pelimpahan jasa (mis. Ettavata, Pattidana).
11. Penyesalan dan permohonan bimbingan (mis. Visuddhi-gatha).

Pembacaan dan pelafalan paritta pali ini berbeda-beda menurut tradisi yang bersifat domestik. Umat kebanyakan, terkadang juga Bhikkhu, melafalkannya dalam penggal-penggal frasa menurut terjemahannya dalam bahasa setempat. Keragaman dialek dihargai oleh Sang Buddha.

Ia menolak usulan Yamelu dan tekula yang merdu suaranya, agar sabda-sabda Buddha dibacakan menurut suatu standar dialek yang berirama (Vi. II. 139 ).

Pernah suatu kelompok Bhikkhu yang terdiri dari enam orang membaca ayat-ayat suci dengan tarikan suara yang panjang berirama sebagai mana halnya bernyanyi. Sang Buddha tidak mengijinkan ayat-ayat suci untuk dinyanyikan, mengingat keburukan yang ditimbulkannya sebagai berikut :

1.   1. Orang yang bersangkutan akan senang (bangga) pada dirinya sendiri karena suaranya itu.
2. Orang lain menyukai suara tersebut (memperhatikan iramanya, bukan Dhammanya).
3. Masyarakat akan mencemooh (karena sifatnya yang cenderung menimbulkan rangsangan indrawi)
4. Konsentrasi terpecah- sibuk tertuju pada pengaturan suara (lupa pada makna dari apa yang diucapkan).
5. Orang-orang terjebak dalam pandangan yang keliru, mempertahankan lagu atau anotasi guru dan pendahulunya (sehingga timbul persaingan dan pertentangan).

Apa yang dimaksudkan dengan pembacaan berirama seperti lagu ini bukan mengenai anotasi (Vin. II. 108).

Mereka yang mengadakan perlombaan membaca paritta dan Sutta (termasuk Dhammapada) dengan mengedepankan irama pelafalan, agaknya tidak memperhatikan petunjuk dari Sang Buddha tersebut diatas. Praktik semacam itu dapat dipandang merendahkan nilai bacaan yang sakral.

Mantra adalah rumusan mistis suku-suku kata yang dipandang suci dan mengandung kekuatan gaib. Pada mulanya sebuah Sutra panjang diringkas menjadi beberapa bait kalimat yang disebut hrdaya (ikhtisar). hrdaya ini diringkas menjadi dharani yang hanya terdiri dari satu atau dua baris kalimat, yang selanjutnya diringkas lagi menjadi mantra yang terdiri dari beberapa suku kata. Contoh mantra : Bhaisajyaguru-mantra, Sukhavativyuha-mantra, Sridevi-mantra. Selain mengandung pujian kepada Buddha. Suku-suku kata itu sesungguhnya tidak mempunyai arti sendiri berdasar bahasa sehari-hari. Mantra menjadi semacam formula rahasia, kata sandi, yang mungkin dapat dimengerti makna sebenarnya lewat mulut seorang guru.

Konsep mantra berkembang dari keyakinan akan kegunaan suara (sabda) sebagai suatu sumber kekuatan atau bahkan sebagai kekuatan itu sendiri yang memiliki pengaruh kuat terhadap diri manusia dan alam semesta. Agar suatu mantra menjadi efektif setelah dibaca berulang-ulang dengan mulut atau dalam hati, ia harus dibangkitkan di dalam kesadaran seseorang melalui integrasi psikofisik dan meditasi yang mendalam. Tanpa konsentrasi mendalam dan meditasi, mantra tidak memiliki kekuatan.

Dharani (dhr, mempertahankan) berhubungan dengan tujuan menyimpan sabda-sabda Buddha atau sutra-sutra kedalam ingatan, mengingat arti sabda-sabda itu.

Dharani juga dipergunakan sehubungan ddengan tujuan magis, membangkitkan kekuatan untuk  menolong makhluk-makhluk yang menderita, dan membantu praktisi mencapai Pencerahan. Salah satu Dharani yang populer adalah maha-karuna-dharani, sehubungan dengan Bodhisattva Avalokitesvara yang diharapkan memberikan pertolongan.

C. Benda-benda Persembahan

1. Lilin 
Lilin yang telah dinyalakan bermakna memberikan penerangan atau cahaya yang menerangi jalan kehidupan dan penghidupan di waktu sekarang. Cahaya Buddha Dharma menerangi hati dan pikiran kita, dengan selalu membimbing kita ke jalan yang benar, dan membawa kita ke jalan penerangan/pencerahan agung.

2. Air
Persembahan air mempunyai makna agar pikiran, ucapan dan perbuatan anda selalu bersih. Air dapat membersihkan segala kotoran bathin yang berasal dari keserakahan ,kebencian, dan kebodohan /kegelapan bathin dan ia memancarkan kasih sayang, Welas asih, memiliki rasa simpati dan keseimbangan bathin.

3. Dupa
Dupa dengan wangi khasnya selain berguna untuk membersihkan udara dan lingkungan (Dharmadatu), juga membuat suasana menjadi religius, membuat hati menjadi khusuk. Harumnya dupa yang menyebar ke segenap penjuru sama halnya dengan harumnya perbuatan mulia dan nama baik seseorang, yang bahkan menyebar ke segala penjuru sekalipun berlawanan arah angin.

4. Buah
Mempersembahkan buah di meja altar bukan dimaksudkan untuk dipersembahkan agar disantap oleh Sang Buddha atau para Dewa. Persembahan buah mempunyai makna hasil dari proses kehidupan, bahwa benih perbuatan buruk/kejahatan akan tumbuh dan berbuah keburukan/kejahatan pula, begitu juga perbuatan baik akan berbuah kebaikan.

Persembahan makanan biasanya berupa buah-buahan dan manisan, sama sekali menjauhkan makanan yang berasal dari hasil penganiayaan/pembunuhan makhluk hidup.

Tradisi  di India pernah mengenal persembahan makanan sebagai kurban untuk dewa. berbagai jenis makanan, hasil bumi dan ternak dilemparkan ke dalam api pemujaan. Buddha menolak kebiasaan itu. Dalam Bhuridatta Jataka dinyatakan pemujaan pada api atau persembahan kepada dewa semacam itu sebagai kebodohan. (Praktik tahayul ).

5. Bunga
Bunga mempunyai makna ketidak-kekalan, semua yang berkondisi adalah tidak kekal atau tidak abadi. Demikian juga dengan badan jasmani kita adalah tidak kekal; lahir, tumbuh, tua/lapuk, kemudian meninggal/hancur. Yang tertinggal hanyalah keburukan atau keharuman perbuatan selama hidupnya saja, yang kelak dikenang oleh sanak saudara dan handai taulan.


Sumber :
-       (ringkasan-petikan) Wacana Buddha Dharma- Krishnanda Wijaya mukti hal.94-102.
-       Artikel Buddhis- bhikkhu Uttamo Mahathera


Salam Metta,

Sabbe satta bhavantu sukhitatta 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar