Kamis, Januari 06, 2011

DUKUN VS ROHANIWAN

Oleh : Tanhadi

Mungkin banyak kita jumpai perilaku seorang Rohaniwan bertindak seperti layaknya seorang Dukun, hal ini ‘sepertinya’ bukan hal yang asing/aneh di mata umatnya…, bahkan para umatnya menggebu-gebu bertanya ini dan itu sehubungan dengan hal ramal-meramal nasib, rejeki , jodoh dan hal-hal gaib lainnya.
Bagaimana dengan kita sendiri sebagai umat Buddhis? tentu saja masih banyak diantara umat Buddhis sendiri yang juga melakukan hal itu bukan? (kalau ini berdasarkan pengamatan langsung dari saya sendiri..), jangan-jangan diantara kita juga masih banyak yang sering bertanya soal nasib, rejeki dan jodoh kepada para bhikkhu atau romo ya? hehe….
Sekarang apa sih bedanya kita beragama Buddha dan tidak beragama Buddha ?
Kebanyakan jawabnya : “ Pasti beda !”
Alasannya juga bervariatif, al; “ Karena saya beragama Buddha, makanya saya bisa jadi seperti sekarang ini, coba kalau saya tidak beragama Buddha…pasti saya sudah jadi begitu..bla…bla…bla….”
Berbicara tentang ke-agamaa-an, seringkali orang berbicara sesuatu yang berbau mistis dan erat kaitannya dengan sesuatu yang berurusan dengan ‘sesuatu yang gaib’, misteri semacam itulah yang membuat seseorang kadang memeluk suatu agama dengan kuatnya, ada juga yang hanya karena menyaksikan hal-hal magis/mujizat lalu terpikat dengan agama tsb…dan masih banyak lagi alasan-alasan lainnya bagi yang pada awalnya beragama maupun yang tidak beragama sehingga akhirnya ia memeluk suatu agama tertentu.
Sebagai Contoh :
1). Sang Buddha dalam riwayat hidupnya pernah bermeditasi dibawah pohon beringin/banyan, kemudian Beliau dikunjungi oleh seorang perempuan muda kaya raya bernama Sujata. Sujata ingin membayar kaul kepada dewa pohon karena permohonannya supaya diberi seorang bayi laki-laki terkabul. Hari itu Sujata mengirim pelayannya ke hutan untuk membersihkan tempat di bawah pohon di mana ia ingin mempersembahkan makanan yang lezat-lezat kepada dewa pohon. la agak terkejut waktu pelayannya dengan tergesa-gesa kembali dan memberitahukan:”O, nyonya, dewa pohon itu sendiri telah datang dari kayangan untuk menerima langsung persembahan nyonya. Beliau sekarang duduk bermeditasi di bawah pohon. Alangkah beruntungnya bahwa dewa pohon berkenan untuk menerima sendiri persembahan nyonya.”

Sujata gembira sekali mendengar berita itu. Setelah makanan selesai dimasak, berangkatlah Sujata ke hutan. Sujata merasa kagum melihat dewa pohon dengan wajah yang agung sedang bermeditasi. la tidak tahu, bahwa orang yang dikira sebagai dewa pohon sebenarnya adalah pertapa Gotama. Dengan hati-hati makanan ditempatkan ke dalam mangkuk dan dengan hormat dipersembahkan kepada pertapa Gotama yang dikira Sujata adalah dewa pohon.
Pertapa Gotama menyambut persembahan itu. Setelah selesai makan, terjadilah percakapan antara pertapa Gotama dan Sujata seperti di bawah ini:
“Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?”
“Tuanku yang terpuja, makanan yang telah aku persembahkan kepada Tuanku adalah cetusan rasa terima kasihku karena Tuanku telah meluluskan permohonanku agar dapat diberi seorang anak laki-laki.”
Kemudian pertapa Gotama menyingkap kain yang menutupi kepala bayi dan meletakkan tangannya didahinya sambil memberi berkah:\
“Semoga berkah dan keberuntungan selalu menjadi milikmu. Semoga beban hidup akan engkau terima dengan ringan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi seorang putra raja yang telah enam tahun menjadi pertapa untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk memberi penerangan kepada manusia yang berada dalam kegelapan. Aku yakin dalam waktu dekat ini Aku akan berhasil memperoleh sinar terang tersebut. Dalam hal ini persembahan makananmu telah banyak membantu, karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itu dengan persembahan ini engkau akan mendapat berkah yang sangat besar. …….
2). Demikian pula ketika pintu atau jendela tiba-tiba bergerak menutup sendiri secara pelahan-lahan karena hembusan angin, namun karena seringkali terpengaruh oleh omongan teman-teman dan saudara-saudaranya, maka kita mengira itu adalah kerjaan makhluk halus yang sedang menggoda...dsb. Hal-hal semacam ini sering merupakan pengaruh dari persepsi kita sendiri.., mengapa ? Karena apa-apa yang kita lihat, realitasnya benda itu kan tidak masuk ke dalam mata kita , yang masuk adalah cahayanya, cahaya masuk kedalam mata diubah menjadi sinyal aliran listrik lewat syaraf-syaraf sampai ke sel-sel di otak.., sinyal itu diterjemahkan membentuk bayangan di otak kita dan kita pu melihat bayangan itu . Jadi yang kita lihat itu adalah bayangannya, bukan benda yang nyata itu…Karena itulah kita sering ‘salah lihat’ hehehe…kalau debu masuk ke mata dalam bahasa jawa disebut ‘kelilipen’, tapi kalau benda itu berupa batu sebesar bola volly masuk kemata ..bayangin sendiri deh, hehe….

Mendengar juga begitu.., bila indera kita ada cacat atau terganggu, maka pasti kita tidak bisa mendengar seperti orang normal, bila indera keliru ‘menangkap’ bayangan itu, maka persepsi kita pun juga akan keliru
.
Didalam ke-agama-an, persepsi-persepsi inilah yang berbeda-beda, yang satu menganggap ‘sesuatu itu’ ajaib, tapi yang lainnya menganggap biasa-biasa saja.
Tapi kalau kita ditanya : “Apakah agama Buddha mengakui dan percaya adanya makhluk-makhluk halus? Gaib-gaib ? , tentu saja jawabnya : ‘YA, Percaya !
Nah…Kesulitannya adalah bagaimana kita dapat untuk membedakan mana yang ‘kerjaan’ makhluk halus dan mana yang cuman sekedar angin berhembus sehingga pintu itu tertutup sendiri…?, ini adalah soal kemampuan batin kita, kita yang tidak memiliki kemampuan batin ini tidak akan bisa membedakannya.
3). Didalam Petavatthu
(uragavagga 1.1 - Khettupamapetavatthuvannana), ada seorang wanita penghibur, sulasa namanya. Ia ‘menghilang’ diculik oleh dewa pohon yang penuh nafsu birahi dan keinginan yang besar, dewa itu lalu menimbulkan kebutaan pada Sulasa dan membawa Sulasa ke alamnya. Setelah hidup secara intim dengan Sulasa selama tujuh hari, dewa itu kemudian berterus terang tentang identitasnya. Sementara itu, ibu Sulasa, yang tidak dapat melihat anaknya, pergi ke sana ke mari sambil menangis. Orang-orang yang melihatnya berkata, 'Y.M. Mahamoggallana memiliki kemampuan batin yang luar biasa. Beliau pasti tahu di mana Sulasa berada. Pergilah ke sana untuk bertanya.' 'Baik, sahabat'. Si ibu lalu menghadap Sang Thera dan menanyakan hal itu. Sang Thera berkata, 'Tujuh hari dari sekarang, kamu akan melihat Sulasa di pinggir kerumunan orang ketika Sang Buddha sedang mengajarkan Dhamma di Mahavihara di Hutan Bambu.' 

Sulasa kemudian berkata kepada devaputta itu, 'Tidaklah pantas bila aku berdiam di alammu. Hari ini adalah hari ketujuh, dan ibuku yang tidak dapat melihatku sudah amat khawatir dan sedih. Bawalah aku kembali ke sana, dewa.' Dewa itu lalu membawa kembali Sulasa ketika Sang Buddha sedang mengajarkan Dhamma di Hutan Bambu dan meletakkan Sulasa di tepi kerumunan orang, sedangkan dia berdiri tak terlihat (di sampingnya). Ketika melihat Sulasa, orang-orang berkata, 'Wahai Sulasa, kemana saja kamu selama berhari-hari? Karena kamu tidak kelihatan, ibumu merasa amat cemas dan sedih seperti orang kebingungan.' Sulasa pun menceritakan kejadian itu kepada orang-orang itu ……
Contoh-contoh tersebut diatas adalah suatu gambaran yang terkait dengan magis/kepercayaan terhadap hal-hal gaib yang sangat mempengaruhi pola pikir dan batin seseorang dalam menganutsuatu agama tertentu, sehingga hal-hal yang tidak bisa dipikirkan tersebut menjadi sesuatu yang cukup hanya untuk ‘di Iman-i ‘ saja.

Didalam Buddhisme tidak mengenal soal ‘keimanan’ ini, Umat Buddhis lebih memaknai agama sebagai suatu pedoman hidup berdasarkan ‘keyakinan’ (saddha) . Keyakinan disini bukan berarti kepercayaan yang membabi-buta atau asal percaya saja, akan tetapi suatu “keyakinan yang didasarkan pada pengertian yang muncul karena bertanya dan menyelidiki “ ( Vimamsaka Sutta,MN).
Karena keyakinan ini muncul berdasarkan pengertian, maka keyakinan umat Buddha pada sesuatu yang diyakini adalah tidak sama kualitasnya. Tidak ada pengertian yang sama dari orang yang berbeda-beda, akibatnya kualitas keyakinan setiap individu pun berbeda-beda.

PRAKTEK MAGIS DAN RELIGIUS
Didalam prakteknya, kedua hal tersebut sangatlah berbeda, sebagai contoh : Didalam menghadapi suatu pertandingan kejuaraan sepak bola dunia (FIFA) yang baru saja berlalu misalnya,… ‘Orang yang beragama’ tapi lebih suka pergi ke Dukun, dan yang satu lagi pergi ke Rohaniwan untuk tujuan yang sama, yaitu : Untuk menjadi juara !.

** Yang pergi ke Dukun :
-Team tersebut mendatangkan ‘Dukun Hitam’ (sebut saja begitu….) dan mereka diberi jimat-jimat yang konon sudah ‘di isi’ dengan mantra-mantra gaib.
** Yang pergi ke Rohaniawan :
- Team tersebut mendatangkan ‘Dukun Putih’ (Rohaniwan) dan mereka ‘diajak’ bersama-sama untuk…” Marilah kita berdoa kepada Tuhan agar……….dst.”

Sampai disini timbul suatu pertanyaan : “ Apa Beda antara ‘Dukun Hitam dan Dukun Putih’ tersebut ?
Mereka sama-sama ‘mengharapkan’ Teamnya menang dan Team yang lain kalah, Sebenarnya Tujuan mereka berdua adalah sama, hanya ritualnya saja yang berbeda..!
Bila doa-doa dari Rohaniwan itu sudah dipanjatkan kepada Tuhan, apakah berarti Team tersebut PASTI MENANG ? atau karena kemanjuran daripada RITUALNYAKAH yang menyebabkan salah satu diantara Team tersebut menjadi Juaranya?
Tentu saja semuanya itu “TIDAK BENAR”, yang paling menentukan untuk menjadi pemenang adalah USAHA dari Team itu sendiri, bukan karena ritual-ritual tsb.
Kalau saja Team yang didampingi oleh Rohaniwan itu menang…semua pasti menganggap bahwa itu adalah hasil dari doa-doa mereka yang telah ‘Dikabulkan’ oleh Tuhan.., TAPI..Kalau team itu ternyata kalah dari team yang didampingi sang Dukun…? hehehehe….masa Tuhan kalah ama Dukun? 
KERAHASIAAN
Pada umumnya, orang yang pergi ke Dukun pasti melakukannya dengan ‘Diam-diam’ dan tidak ingin perbuatannya itu diketahui oleh orang lain… “Rahasia pribadi” dan kalaupun ada yang bertanya, ia pasti berbohong ketika menjawabnya…, gak mungkin ia terang-terangan bilang : “ Saya mau ke Dukun !” 

Tapi sebaliknya Orang yang hendak ke Vihara, dia melakukannya secara ‘Terbuka’…dan ketika ada yang bertanya, ia akan segera menjawab : “ Saya mau ke Vihara”.

Nah…Agama pun demikian, Bila di dalam ajaran agama itu ada yang dirahasiakan, pasti ada sesuatu disitu yang salah/ magis dan bukan benar-benar Religius. 
MELATIH DIRI UNTUK MEMBUANG KE-AKU-AN
Didalam ajaran Agama Buddha, kita justeru bertujuan untuk melatih membuang “ke- Aku- an” dan memikirkan untuk orang lain.

Namun sebaliknya dengan pergi ke Dukun, justeru disini orang tsb. mempertebal ke-Aku-annya.., pokoknya sang Dukun harus memenuhi apa yang diinginkannya…’ saya maunya begini dan begitu… asal berhasil, berapapun akan saya bayar !”
KETAATAN
Kalau yang jalur agama (orang yang melaksanakan ibadahnya dengan benar), Ia akan menunjukkan kesediaan untuk taat dan akan mengikuti ajaran-ajaran kebaikan dari agama tersebut.
Tapi kalau yang percaya ke Dukun, Ia malah meminta dan memaksakan keinginannya.

HUKUM ALAM
Kalau yang agama ; Kita mentaati hukum –hukum alam yang ada (Niyama) dsb.
Tapi kalau pakai Jalur Dukun ; Ia malah memanipulasi mengubah hukum alam.


MANFAAT
Kalau yang jalur agama ; Perbuatan yang dilakukannya adalah juga untuk kebaikan dan kebahagiaan orang lain.

Tapi kalau yang pakai jalur Dukun ; Perbuatannya itu adalah semata-mata untuk keuntungan dan kepentingan dirinya sendiri, perkara orang lain hancur egp..pokoknya saya makmur…
Tapi kadang ada yang lucu juga kalau kita amati…., Orang yang pergi untuk keagamaan ternyata ‘mirip’ perilakunya seperti ketika pergi ke Dukun…, yaitu ketika ditanya untuk apa sih ke Vihara ?, jawabannya : “Berdoa dong…supaya dapat jodoh, rejeki tambah banyak, umur panjang…dan agar ‘ saingan’ saya itu lho biar cepet bangkrut dan mampus…abis dia sering jahatin saya sih…..!” 
Yang menjadi pertanyaan adalah : “Apakah seorang Dukun bisa menutup rejeki musuhnya?

Rejeki seseorang didapat dari Usaha dan pengaruh Karma masing-masing. Si Dukun tidak akan bisa menutup rejeki seseorang, tapi ia bisa mengganggu dengan mematangkan karma buruk seseorang JIKA yang dituju adalah orang yang lemah atau kehilangan kesadarannya, atau memang karma buruk orang tsb. bertepatan sedang berbuah. Jika Orang yang dituju itu Kuat, maka upaya si Dukun tidak akan mampu menembus dan mengganggunya, karena bila orang yang dituju sedang melakukan dan menerima Karma-karma baik, maka Karma akan berjalan tanpa ada satu kekuatan apapun yang dapat mengubahnya, Karma itu sendirilah yang menjadi pelindungnya.
Semua mahluk hidup mempunyai kamma sebagai milik mereka,
mewarisi kammanya sendiri, lahir dari kammanya sendiri,
berhubungan dengan kammanya sendiri, dilindungi oleh kammanya sendiri.
Kamma itulah yang membedakan makhluk hidup dalam keadaan rendah atau tinggi."

(Cullakammavibhanga Sutta; Majjhima Nikaya 135)



"Bagaikan kota di perbatasan yang dijaga ketat,
yang dikitari oleh benteng-benteng yang kuat.
Demikianlah hendaknya engkau menjaga dirimu,
jangan sampai membiarkan dirimu tergelincir
agar kesedihan tak menyusul sesampai di neraka"


( Dhammapada, Sukha Vagga XV-204)


AJARAN SANG BUDDHA
Sang Buddha tidak pernah mengajarkan para siswa-Nya untuk berdoa dan berserah diri pada “Maha-Dewa” siapapun namanya, termasuk kepada Sang Buddha sendiri. Kebalikan dari ajaran “berserah-diri” tersebut, Sang Buddha justru mengajarkan para siswa-Nya untuk berusaha, berdaya-upaya dengan kemampuan dirinya sendiri, dengan segenap-tenaga, hingga meraih kesuksesan. Untuk itulah, Sang Buddha memberikan rumusan bagi para siswa-Nya supaya berhasil dengan sukses meraih apa yang dicita-citakan, yang disebut dengan “Panca-Bala” :

“Pañcimani, bhikkhave, balani. Katamani pañca ?
Saddhabala, viriyabala, satibala, samadhibala, paññabala. “

Inilah o para Bhikkhu, lima kekuatan. Apakah lima kekuatan itu?
Kekuatan keyakinan (Saddhabala),
Kekuatan ketekunan/ semangat (viriyabala),
Kekuatan perhatian (satibala),
Kekuatan samadhi/konsentrasi (samadhibala),
Kekuatan Kebijaksanaan (paññabala).

Inilah kunci bagi siapapun yang ingin meraih kesuksesan menggapai cita-citanya. Di dalam berusaha mencapai cita-cita, alih-alih menyibukkan diri dengan uncaran doa-doa berjam- jam, kita hendaknya selalu penuh keyakinan, ketekunan/semangat, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan, dalam berusaha dan berdaya-upaya meraih cita-cita, hingga apa yang kita cita-citakan itu berhasil.

Semoga artikel ringan ini dapat memberikan manfaat,

Sadhu…Sadhu…Sadhu….

Sumber :
- Inspirasi Judul Topik dari : ceramah Dhamma - Dr. Krishnanda W. Mukti
- Kuddhaka Nikaya- Sutta Nipata
- Majjhima Nikaya - Vimamsaka Sutta, Cullakammavibhanga Sutta
- Dhammapada, Sukha Vagga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar