Sabtu, Januari 22, 2011

MENGURAI BELENGGU BATIN

Oleh : Tanhadi

Kebebasan dari nafsu merupakan kebahagiaan didunia,
suatu keadaan yang mengatasi semua nafsu keinginan inderawi.
Tetapi penghancuran kesombongan yang menganggap 
‘Inilah Aku’,
ini adalah kebahagiaan yang tertinggi.”
( Udana,10 )


“Aduh, sakit rasanya hati ini...”

“ Rasa sakit hati ini tidak akan pernah hilang dan akan kubawa sampai mati....”

“ Hatiku benar-benar terluka atas perkataannya....”

Mungkin banyak diantara kita pernah mendengar kata-kata serupa tersebut diatas  dan mungkin pula justeru diri kita sendiri pernah mengalami bagaimana rasanya ‘sakit hati’?

 Didalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk ini tak jarang diantara kita mengalami pertikaian, pertengkaran dan perselisihan-perselisihan pribadi akibat dari timbulnya suatu permasalahan yang sedang dihadapi.

Hal ini sesungguhnya adalah sesuatu yang wajar saja terjadi dalam suatu ikatan hubungan sosial, karena masing-masing orang memiliki pemikiran, pendapat ataupun ide-ide yang berbeda dengan yang lainnya, demikian pula pengaruh latar belakang pendidikan, lingkungan serta watak, sifat, perangai dan kepentingan-kepentingan pribadinya.

Namun apa yang seharusnya dapat kita lakukan bila pertengkaran itu telah “selesai” ?
Menaruh dendam dihatikah?,  Saling memaafkankah? atau saling melupakan kejadian itu ?

Ini yang biasanya tidak mudah untuk dilakukan, karena yang sering terjadi adalah apa yang diucapkan ternyata tidak sesuai dengan apa yang dirasakan didalam hati. Bisa saja mulut kita berucap :

“Baiklah, kali ini saya akan memaafkannya ! tetapi saya tidak mungkin dapat melupakannya!”

Nampaknya didalam kata-kata tersebut diatas tersirat makna : Memaafkan adalah satu hal, Melupakan adalah soal lain !

Menanam perasaan seperti tersebut diatas seperti halnya kita memasang “Bom Waktu” yang sewaktu-waktu akan meledak walau sekecil apapun kondisi yang memicunya .

Ada kemungkinan lain, "Ya sudahlah ,saya memaafkan dia. Saya pun bersedia melupakan semua kesalahannya. Tetapi sejak saat ini saya tidak mau lagi berurusan dengan dia!"

Ini pun dapat dimengerti bahwa kita merasa Kapok, Trauma. Logikanya : daripada luka lama tergores lagi.

Sakit hati sesungguhnya bila kita telusuri keberadaannya, tidak lebih dari perasaan-perasaan dendam, kebencian, kemarahan dan kemelekatan terhadap ke”Aku”an yang menyangkut harga diri karena tidak mau mengalah.

Selama akar ke”Aku”an itu tidak kita cabut dari dalam batin kita (terutama dalam hal ini didominasi oleh Pikiran dan Perasaan), maka rasa ‘sakit hati’ ini akan terus terpupuk dan tumbuh subur didalam batin kita, yang pada akhirnya akan merusak diri kita sendiri...., sedikit-sedikit kita akan berpikir...” Jangan-jangan dia itu.....”, “jangan-jangan nanti seperti kejadian yang lalu...” dsb.

Belajar untuk ‘melepaskan’ ke”Aku”an yang selama ini telah membelenggu batin kita memang tidaklah mudah, tidak semudah seperti ketika kita sedang memberikan nasehat kepada orang lain.

Seberapa banyakkah buku-buku pengetahuan agama Buddha, artikel-artikel Buddhis  ataupun Sutta-sutta yang telah kita baca?
Seberapa seringkah kita mendengarkan ceramah / Dhammadesana para Bhikkhu secara langsung ataupun lewat CD-nya?
Seberapa dalamkah kita telah memahami ajaran-ajaran Sang Buddha lewat diskusi-diskusi formal ataupun non formal?

Namun.......

Sudahkah kita telah “mempraktikkan” sedikit saja makna Ajaran Sang Buddha yang terdapat dalam kalimat “Melepaskan” ini ? (dalam arti yang luas tentunya!).

Jika anda telah melakukannya...saya turut bersyukur , bersimpati dan berbahagia atas praktik mulia yang telah anda lakukan....jangan pernah berhenti untuk melakukannya!

Jika anda belum melakukannya, apapun dalih yang hendak anda katakan...., mari kita dengan penuh kesungguhan, waspada dan senantiasa berlatih dan terus berlatih untuk mengendalikan pikiran dan perasaan kita ini agar sedikit-banyak dapat melaksanakannya dalam setiap kesempatan yang ada dihadapan kita !

Saya yakin, jika akar  “kemelekatan” ini sedikit saja telah kita cabut..., kita akan memperoleh kebahagiaan pula, karena “belenggu” yang membelit batin kita sedikitnya telah ada yang terurai.

Dan jika akar ”kemelekatan” ini banyak yang telah kita cabut..., kita akan banyak memperoleh kebahagiaan pula, karena “belenggu” yang membelit batin kita juga telah banyak yang terurai.



Jika seorang ingin melihat refleksi atau gambaran dirinya,
ia dapat berbuat demikian hanya dengan melalui suatu sebab,
yaitu sebuah kaca atau permukaan air yang jernih.

Dengan cara sama, 
lima khandha memberi gambaran tentang 'aku',
Selama orang masih bergantung pada mereka dan didukung oleh mereka,
selama itu pula 'aku' akan dipantulkan.
Hanya bila seorang tidak lagi bergantung pada mereka,
maka gambaran tentang 'aku' akan lenyap
(Samyutta Nikaya, 22, 83).


Salam Metta,

Sabbe satta bhavantu sukhitatta

oooOOooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar