Sabtu, Januari 22, 2011

WAYANG ORANG

Oleh: Selamat Rodjali

Terlepas dari pernah atau tidaknya seseorang menyaksikan pementasan wayang orang, sebagian besar di antara kita telah sering mendengar istilah wayang orang. Pementasan wayang orang mengikuti alur cerita yang sudah diatur dan merupakan satu skenario yang terencana serta mapan (selama pementasan berlangsung, alur cerita tidak menyimpang dari ketentuan). Pementasan umumnya dilakukan di suatu tempat yang memadai, misalnya di halaman yang cukup luas atau di suatu tempat yang sering disebut panggung.

Tak sedikit manusia yang menganggap dirinya dan kehidupannya ibarat wayang orang yang bermain mengikuti 'skenario' yang telah ditentukan si pembuat (anggaplah 'dalang X') di atas panggung. Keadaan ini telah berlangsung lama. Sejak saat itu pula tidak sedikit pertanyaan-pertanyaan dan jawaban muncul untuk menelanjangi misteri 'wayang orang'. Kecanggihan ilmu-ilmu biologi, sastra, bahasa, sosial, psikologi, teknik, bioteknotogi dan sebagainya belum mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan memuaskan. Pro dan kontra terjadi, efeknya pun nyata. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang tidak asing, namun cukup membuat kepala pusing 'tujuh keliling.'

Menurut kebenaran tertinggi (Paramattha Dhamma) apakah sebenarnya wayang orang itu? Siapa dan di mana pembuatnya? Darimana datangnya wayang itu? Dan kemana ia pergi? Dan satu lagi yang cukup penting, apa akibatnya andaikata seseorang salah memandang wayang orang itu?

Gabungan materi dan batin

Menurut Paramattha Dhamma, wayang orang adalah perpaduan materi dan batin, gabungan fenomena materi dan batin. Tak lebih dan tidak kurang. Tiada satu makhluk pun yang membuat wayang ini. la muncul karena adanya sebab. la lenyap karena sebabnya telah dipadamkan. Di dalam wayang orang tidak terdapat satu inti yang kekal.

Menurut Buddha Dhamma, jiwa, ego, dan kepribadian semata-mata istilah konvensional dan tak mengandung sesuatu yang kekal di dalamnya. Tidak ada alasan untuk mempercayai bahwa di dalam wayang orang ada satu roh yang kekal yang datang dari surga atau yang diciptakan dan dapat berpindah ke surga atau ke neraka abadi setelah kematian. Segala sesuatu yang muncul di dunia ini atau di dunia lain tidak ada yang kekal. Namun, manusia umumnya mirip anak-anak yang ingin menggenggam sebuah pelangi. Bagi anak-anak, pelangi adalah sesuatu yang nyata; tetapi apabila pengetahuan mereka telah berkembang, mereka akan mengetahui bahwa pelangi hanyalah ilusi yang diakibatkan oleh gelombang cahaya tertentu dan titik-titik air yang terus berubah. Mencari jiwa yang kekal di dalam wayang orang sama saia dengan mencari barang di satu ruang yang gelap dan kosong. Orang bodoh tidak menyadari bahwa usahanya itu sia-sia. Memang sungguh sulit untuk membuat mereka mengerti akan kehampaan pencariannya.

Kepercayaan akan roh kekal dan makhluk pencipta telah begitu kuat berakar di dalam pikiran manusia. Mereka tidak dapat membayangkan mengapa Sang Buddha menolak pandangan seperti itu. Bahkan, mereka seringkali 'shock' atau 'gelisah' dan mencoba mengungkapkan emosinya ketika mereka mendengar bahwa Sang Buddha menolak konsep-konsep tersebut. Inilah uniknya Buddha Dhamma!

Beberapa 'ahli' yang tertarik akan beberapa aspek Buddhisme mencoba pula untuk menyisipi pandangan tertentu ke dalarn Buddha Dhamma, narnun jauh sebelum itu, Sang Buddha telah menyadarinya. Sang Buddha menyatakan :

"Segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak kekal, Segala sesuatu yang berkondisi tidak memuaskan, Segala sesuatu yang berkondisi atau tidak berkondisi tidak mempunyai inti yang kekal / tanpa kepemilikan."

Telah disebutkan di atas bahwa wayang orang merupakan perpaduan batin dan jasmani (materi). Bagian batin dari perpaduan tersebut (namakkhandha) adalah fenomena yang mengalami objek. Bagian materi (rupakkhandha) tidak mengalami objek. Andai jasmani ini disakiti, maka yang merasakan nyeri bukanlah badan wayang itu, melainkan sang batin. Apabila wayang orang lapar, perutnya tidak merasakan kelaparan, tetapi lagi-lagi sang batin yang merasa. Batin tidak dapat memakan makanan seperti pisang goreng untuk menghilangkan rasa laparnya. Batin dan faktor-faktornya membuat badan wayang itu memakan/mencicipi pisang goreng. Dengan demikian, wayang tersebut, baik batinnya maupun badannya tidak memiliki kekuatan yang berdiri sendiri dan kekal terpisah. Yang satu tergantung dari yang lain; yang satu menuniang yang lain. Batin dan jasmani muncul karena kondisi dan segera lenyap. Hal ini terjadi pada setiap saat kehidupan wayang orang.

Dengan mempelajari dan mengalami kesunyataan ini, kita akan memperoleh pandangan terang terhadap :

a)     apa wayang orang itu dan apa kita itu sebenarnya?

b)     apa yang kita temui di sekeliling kita?

c)     bagaimana dan mengapa kita mengadakan reaksi terhadap sesuatu yang berada di dalam atau di luar kita?

d)     apa yang seharusnya kita capai sebagai tujuan spiritual kita.?

Untuk memperoleh pandangan terang terhadap sifat kehidupan, kita harus menyadari bahwa hidup ini semata-mata ilusi atau fatamorgana, hanya rangkaian proses dari meniadi dan hancur atau muncul dan lenyap. Apapun yang terbentuk, muncul karena sebab-sebab dan syarat-syarat.

Eternalisme dan nihilisme

Seseorang yang menolak pandangan bahwa wayang orang merupakan perpaduan batin dan jasinani yang senantiasa berubah dan yang menganggap bahwa di dalam wayang orang terdapat inti individu yang kekal dan terpisah akan terjatuh ke dalam pandangan nihilis dan eternalis.

Apabila seseorang tidak melihat muncul dan lenyapnya batin dan jasmani, maka seseorang akan jatuh ke dalam pandangan salah eternalis (sassata ditthi). Ketika wayang orang meninggal, seseorang mungkin menganggap bahwa batin orang itu masih tetap saina di dalam kehidupan berikutnya. Para penganut etemalisme menganggap bahwa wayang orang dapat hidup abadi dengan memelihara roh kekal agar bersatu dengan 'makhluk agung' (supreme being) tertentu. Sassata ditthi ini masih tetap ada di dalam dunia moderen seperti sekarang. Hal ini akibat nafsu keinginan para wayang orang untuk memperoleh 'kekekalan.'

Sebaliknya, apabila seseorang gagal melihat bahwa badan yang hancur segera digantikan dengan yang baru selama kondisi masih ada, dan kesadaran (batin) yang lenyap segera disusul dengan kesadaran berikutnya, maka orang tersebut akan jatuh ke dalam pandangan salah nihilis (uccheda ditthi)Uccheda ditthi umum dijumpai pada wayang orang yang berkecimpung di dunia materi. Mereka mencari kenikmatan hidup sebanyak mungkin dengan cara apa saia dengan beranggapan bahwa mumpung masih hidup ('aji mumpung') karena setelah mati tidak ada apa-apa lagi. Mereka tidak mengerti bahwa kesadaran kematian (cuti citta) segera disusul dengan kesadaran tumimbal lahir (patisandhi citta) dari kehidupan selanjutnya. Patisandhi citta itu merupakan kesadaran yang berbeda yang berada di dalam kehidupan yang berbeda-beda. lbarat susu yang berubah menjadi keju; keju bukanlah susu, namun keju berasal dari susu. Para wayang orang mungkin tidak berpandangan salah (bukan berarti mereka berpandangan benar), namun mereka mungkin memiliki keraguan akan kehidupan yang akan datang. Mereka tidak yakin apakah cuti citta dari kehidupan ini segera disustd oleh patisandhi citta dari kehidupan yang akan datang. Mungkin pula secara teori mereka mengerti, namun mereka belum menghancurkan paham, 'atta'. Mereka mungkin berontak melawan kematian dan memiliki ketakutan bahwa akan terdapat 'aku' yang lenyap setelah kematian.

Agen luar.... tak berdaya

Telah diulas di atas bahwa wayang orang tidak diciptakan oleh satu agen luar tertentu dan tingkah lakunya di dalam 'pentas' tidak ditentukan dan tidak mengikuti 'skenario' sang dalang. Bagi yang melihat, yang pandai dan bijaksana, memandang wayang orang sebagai sesuatu yang muncul karena kondisi. Dikondisikan oleh kebodohan batin (avijja), maka munculah bentuk-bentuk kamma (sankhara); dikondisikan oleh bentuk-beatuk kamma (sankhara) maka muncullah kesadaran (vinnana); dikondisikan oleh kesadaran (vinnana) maka munculah batin dan jasmani (nama rupa); dikondisikan oleh adanya batin dan jasmani (nama-rupa) maka muncullah enam landasan indera (salayatana); dikondisikan oleh adanya enam landasan indera (salayatana) maka muncullah kontak (phassa); dikondisikan oleh phassa maka muncullah perasaan (vedana); dikondisikan oleh perasaan (vedana) maka muncullah nafsu keinginan (tanha); dikondisikan oleh nafsu keinginan (tanha) maka muncullah kemelekatan (upadana); dikondisikan oleh kemelekatan (upaana) maka muncullah penjelmaan (bhava); dikondisikan oleh penjelmaan (bhava) maka terjadilah kelahiran (jati); dikondisikan oleh kelahiran (jati) maka terjadilah ketuaan (jara) dan kematian (marana). Selama kebodohan batin (avijja) dan nafsu keinginan (tanha) belum dihancurkan, maka wayang arang masih tetap bermain di atas pentas kehidupan dan kematian.

Sekarang, para cendikiawan, yang telah berhati-hati mengumpulkan data, telah sampai pada kesimpulan bahwa ide-ide pencipta dan mitos penciptaan harus dianggap sebagai evolusi imajinasi manusia yang dimulai dengan salahnya pengertian mereka akan fenomena alam. Salah pengertian ini berakar dari ketakutan dan kebodohan manusia primitif. Bahkan, saat ini masih banyak manusia (termasuk sebagian umat Buddha) yang tetap mempertahankan interpretasi salah tersebut.

Apabila wayang orang muncul karena agen luar, maka wayang itu milik agen luar tersebut. Menurut Buddha Dhamma, wayang orang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang - dilakukannya di atas pentas' kehidupan. Wayang orang ada di sini karena perbuatannya sendiri. la muncul bukan karena hukuman atau hadiah dari agen luar. la muncul sesuai dengan perbuatan baik dan perbuatan buruknya.

Toleransi antar wayang orang

Memang validitas suatu kepercayaan tergantung pada kapasitas pengertian dan kematangan spiritual wayang orang yang menilainya. Apabila berbagai pengikut ide-ide non-Buddhisme bermaksud cekcok atau menghukum praktek-praktek dan kepercayaan lain hanya untuk membuktikan sahih atau tidaknya ide-ide mereka, dan apabila mereka ingin menaburkan benih kebencian kepada pengikut pandangan lain dikarenakan perbedaan 'ism' itu, maka sesungguhnya mereka menciptakan ketidakharmonisan yang dahsyat di antara umat beragama. Sebagai warga negara yang baik, dan sebagai. wayang orang yang bijaksana, apapun perbedaan pandangan keagamaan yang dimiliki, kita tidak boteh mengurangi semangat bertoleransi, bersabar dan saling pengertian. Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk menghormati kepercayaan lain walaupun kita sulit untuk berakomodasi. Toleransi dibutuhkan untuk kepentingan kehidupan yang damai dan harmonis.

Lebih dari dua ribu lima ratus tahun, di seluruh dunia, umat Buddha telah melaksanakan dan memperkenalkan Buddha Dhamma dengan damai tanpa perlu mengadopsi ide-ide aneh dan tidak masuk nalar. Juga, sudah selayaknya apabila cara tersebut tetap dilaksanakan tanpa menghancurkan atau mengganggu pengikut pandangan lain.

Oleh karena itu, demi menghormati para pengikut pandangan lain, perlu disebutkan bahwa usaha untuk menyisipi 'konsep-konsep' non-Buddhisme ke dalam Buddha Dhamma tidaklah perlu! Biarlah umat Buddha tetap memegang kepercayaannya, mempertahankan dan melaksanakan Buddha Dhamma yang sejati.


DAFTAR PUSTAKA
·       Dhammananda, K.S. 1987. What Buddhists Believe (Expanded and Revised Edition), Buddhist Missionary Society, Kuala Lumpur, 328p.
·       Kaharuddin, J. 198i. Kamus Buddha Dhamma. 'Edisi Nirainayanara P., Tangerang, 216 hal.
·       Rahula, Y. (tanpa tahun). The Way to Peace and Happiness. Gunasekera Trust, Sri Lanka, 99p.
·       Tim Penterjemah Kitab Suci Sutta Pitaka, 1988. Sutta Pitaka, jilid I Digha Nikaya. C.V. Lovina IMah, Jakarta, 214 hal.
·       Van Gorkom, N. 1979. Abhidhamma in Daily Life. Gunasekera Trust, Sri Lanka, 259p.
·       1988. Illusions (paper). Vienna, 10p.

Pernah dimuat dalam majalah Pancaran Dharma no. 168.
Diedit kembali oleh Chandadhammo Benny Chandra dan dimuat atas ijin penulis.

oooOOooo 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar