Sabtu, September 22, 2012

Agama Untuk Hidup


AGAMA UNTUK HIDUP
Bhikkhu Uttamo Mahathera

Berbagai agama dan kepercayaan telah muncul dan menjadi milik seluruh penghuni dunia. Hampir setiap orang di muka bumi ini memiliki agama atau kepercayaan. Namun, sayangnya cukup banyak pula orang yang kebingungan untuk menentukan fungsi agama. Mereka sulit membedakan antara “apakah agama untuk hidup, ataukah hidup untuk agama?” Karena adanya kebingungan inilah maka banyak orang yang kemudian rela mati demi membela agama, atau mungkin sebaliknya ia terkesan tidak perduli terhadap agamanya. Kalau timbul dua sikap yang saling bertolak belakang seperti ini, sikap apakah yang sebaiknya dilakukan oleh seorang umat beragama?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kiranya perlu diketahui dan disepakati terlebih dahulu bahwa seseorang memilih agama bukan berdasarkan masalah benar atau salahnya suatu agama. Kebenaran maupun kesalahan suatu agama sesungguhnya tidak mudah dibuktikan dalam waktu singkat.

Misalnya, suatu agama menjanjikan adanya kelahiran di surga setelah seseorang mengikuti agama tersebut, tentu saja kebenaran tentang hal ini agak sulit diketahui karena sepertinya belum pernah ada orang yang sudah meninggal dunia kemudian hidup kembali di tengah keluarganya untuk ‘melaporkan' kebenaran ajaran ini. Oleh karena itu, lebih banyak orang hanya mempercayai segala sesuatu yang tertulis dalam Kitab Suci sebagai suatu kebenaran mutlak tanpa ada usaha mencari pembuktian yang mendukung kebenaran tersebut.

Apabila telah disepakati agama dipilih berdasarkan kecocokan yang bersifat sangat pribadi dan relatif maka semua tentu setuju pula bahwa tidak ada alasan bagi seseorang untuk memaksa orang lain agar mempunyai kecocokan agama yang sama dengan dirinya. Hal ini sama dengan seseorang memilih makanan. Apabila seseorang gemar makanan manis, maka tidak seharusnya ia memaksa dan memusuhi mereka yang tidak mempunyai kegemaran yang sama. Apabila semakin banyak orang yang memiliki pengertian bahwa agama sesungguhnya dipilih berdasarkan kecocokan, maka semakin besar pula harapan untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang aman, tentram dan damai walaupun seseorang hidup di tengah berbagai penganut agama dan kepercayaan yang berbeda.

Dalam Dhamma, setelah seseorang cocok dan memilih Ajaran Sang Buddha sebagai agama serta pedoman hidupnya, maka ia hendaknya bersikap selaras dengan nasehat yang diberikan Sang Buddha. Sang Buddha sering mengumpamakan Dhamma atau Ajaran Beliau sebagai rakit yang dipergunakan untuk menyeberangi lautan ketamakan, kebencian serta kegelapan batin sehingga seseorang tiba di pantai seberang yaitu kebebasan dari kelahiran kembali. Dengan demikian, ketika seseorang hendak menyeberangi lautan itu, ia haruslah menjaga serta merawat rakit tersebut dengan teliti. Artinya, selama seseorang masih diselimuti oleh ketamakan, kebencian serta kegelapan batin, ia hendaknya berusaha mempelajari serta melaksanakan Ajaran Sang Buddha dengan sebaik-baiknya. Dalam tahap ini, ia harus memperhatikan kelestarian dan kemajuan Buddha Dhamma di muka bumi ini. Namun, setelah ia mencapai pantai seberang yaitu tercapainya kesucian, maka ia boleh saja meninggalkan rakit itu. Rakit tersebut hanyalah alat. Sudah tidak pada tempatnya orang yang telah berhasil menyeberang masih saja susah payah membawa rakit itu kemanapun ia pergi. Demikian pula dengan Buddha Dhamma. Setelah seseorang mencapai kesucian, maka ia hendaknya tidak terikat lagi dengan Ajaran Sang Buddha. Ia telah menjadikan Dhamma sebagai jalan hidup yang sama sekali tidak dapat dipisahkan lagi dari dirinya. Ia hidup, berbicara, bekerja dan berpikir selalu selaras dengan Dhamma tanpa harus mengaku atau menyatakan diri sebagai pemeluk suatu agama tertentu. Ia telah menyatu dalam Ajaran. Ia telah mencapai tujuan hidup tertinggi seorang umat Buddha yaitu terbebas dari kelahiran kembali atau mencapai Nibbana atau Nirvana.

Apabila seseorang telah menyadari bahwa Buddha Dhamma hanyalah sebagai rakit atau sarana untuk menyeberangkan seseorang ke pantai seberang, maka kini ia hendaknya merenungkan :”Sudahkah saya memanfaatkan Ajaran Sang Buddha untuk meningkatkan kualitas batin saya?” Pertanyaan ini sangat penting untuk selalu didengungkan dalam batin agar selalu timbul semangat melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Dhamma bukan sekedar upacara ritual saja. Dhamma berisikan Ajaran Sang Buddha untuk menaklukkan ketamakan, kebencian serta kegelapan batin. Dengan demikian, idealnya, semakin lama seseorang mengikuti suatu agama, semakin baik dan terjaga pula perilakunya. Oleh karena itu, semakin banyak pula manfaat dan kebahagiaan yang diperoleh lingkungannya terhadap kehadiran dia di sana.

Sayangnya, dalam praktek hidup beragama, sering dijumpai mereka yang tekun dan rajin melakukan upacara ritual namun tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas perilaku yang sepadan. Mereka hanya melihat agama sebagai lambang atau obyek pemujaan saja. Bahkan, lebih parah lagi, ada sebagian orang menjadikan kegiatan ritual sebagai wisata spiritual. Mereka pergi ke tempat ibadah hanya untuk mendapatkan teman bergurau, memamerkan baju baru, menunjukan handphone terbaru dsb. Mereka tidak sungguh-sungguh menjalani ajaran agama. Bahkan, tingkah laku para senior dalam suatu agama pun sering tidak dapat dijadikan contoh maupun teladan bagi umat yang baru. Jika sudah demikian keadaannya, hendaknya direnungkan sebuah nasehat dalam Dhamma bahwa seseorang menjadi baik bukan karena lamanya ia mengenal suatu agama melainkan karena upaya pelaksanaan Ajaran luhurnya. Kiranya, mereka yang telah mempunyai cara berpikir benar tentang pemilihan agama serta mampu menjadikan Dhamma sebagai rakit untuk memperbaiki perilaku, maka ia lah yang akan berhasil menyeberangi lautan kelahiran kembali.

Agar seseorang mampu menyeberangi lautan ketamakan, kebencian dan kegelapan batin, ia hendaknya mempergunakan rakit Dhamma yang terdiri dari tiga perilaku kebajikan. Ketiga perilaku tersebut adalah kerelaan, kemoralan serta konsentrasi. Ketiga perilaku kebajikan ini menjadi sarana ampuh untuk mengatasi lautan ketamakan, kebencian serta kegelapan batin. Kerelaan mampu mengatasi ketamakan. Kemoralan mampu mengatasi kebencian dan konsentrasi mampu mengatasi kegelapan batin.

Agar lebih jelas, berikut ini akan diuraikan sepintas rakit Dhamma yang perlu dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Kebajikan pertama adalah kerelaan yang berguna untuk mengatasi ketamakan.

Seperti telah diketahui bersama bahwa manusia pada awalnya merasakan kebahagiaan ketika ia mampu mendapatkan segala yang ia inginkan. Ketika masih bayi dan merasa lapar, ia menangis dan dia menjadi tenang ketika mendapatkan makanan. Ketika seseorang menjadi dewasa, ia akan berbahagia apabila ia mampu mewujudkan atau mendapatkan keinginannya, misalnya sukses bekerja dan berumah tangga. Tentu saja masih sangat banyak contoh kebahagiaan jenis seperti ini.

Selain kebahagiaan karena mendapat, kebahagiaan yang lebih tinggi adalah memberi. Kebahagiaan jenis ini diperoleh ketika seseorang mampu merelakan sebagian dari miliknya demi kebahagiaan fihak lain. Jadi, ketika ia masih kanak-kanak, ia merasa bahagia pada saat ia mampu meminjamkan atau bahkan memberikan alat permainannya kepada teman yang kurang mampu. Ketika ia telah dewasa, ia berbahagia pada saat ia mampu berbagi atau memberikan sebagian hasil kerjanya untuk kesejahteraan penghuni panti asuhan maupun yayasan sosial lainnya. Ia merasakan kedamaian dan kebahagiaan ketika ia mampu berbagi atau memberi. Ia berbahagia karena ia mampu mengatasi ketamakan dengan kerelaan. Inilah rakit kerelaan yang mampu mengantarkan seseorang menyeberangi lautan ketamakan.

Kebajikan kedua adalah kemoralan yang bermanfaat untuk mengatasi kebencian.

Latihan kemoralan paling mendasar dalam Dhamma adalah Pancasila Buddhis atau lima latihan kemoralan. Kelima latihan kemoralan itu adalah latihan untuk tidak membunuh, latihan untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan secara sah atau mencuri, latihan untuk tidak melanggar kesusilaan atau berjinah, latihan untuk tidak berbohong dan latihan untuk tidak mabuk-mabukan. Seseorang yang rajin melaksanakan lima latihan kemoralan ini akan mampu mengikis bahkan melenyapkan kebencian yang timbul dalam batin. Kebencian yang dimaksudkan di sini tentu saja dalam arti yang seluas-luasnya.

Ketika seseorang mampu melatih diri untuk tidak membunuh, maka ia sesungguhnya mulai mampu mengurangi kebencian pada obyek yang biasa dibunuhnya. Misalnya, ia terbiasa membunuh semut yang sering berada di atas meja makan. Jika diteliti, dasar tindakan ini adalah kebencian terhadap semut yang telah mengganggu makanannya. Ia menganggap pembunuhan adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah ini. Padahal, sesungguhnya pembunuhan hanya salah satu cara mengatasi masalah. Ia mungkin saja bisa meletakkan sejenis cairan di kaki meja makan sehingga mencegah semut naik ke meja dan mengganggu makannya. Kemauan untuk menghindari pembunuhan ini menjadi salah satu upaya mengurangi kebencian.

Demikian pula dengan latihan tidak mengambil barang yang tidak diberikan atau mencuri.

Salah satu penyebab timbulnya niat mencuri adalah ketidakmampuan seseorang untuk melihat kelebihan orang lain. Dalam batinnya timbul sejenis ‘kebencian' atas keberhasilan atau kelebihan orang lain. Apabila seseorang mampu mengendalikan diri serta mampu melenyapkan dorongan untuk mencuri, maka ia sudah setahap mempunyai kemampuan untuk mengatasi ‘kebencian' yang mencengkeram batinnya.

Adapun latihan untuk tidak berjinah atau melanggar kesusilaan diperlukan karena perjinahan terjadi ketika pelaku perjinahan tidak ingin terikat oleh peraturan negara, agama maupun masyarakat. Ia ingin bebas memuaskan keinginannya. Ia ‘benci' dengan segala peraturan yang membatasi berbagai hubungan dalam masyarakat. Dengan demikian, ketika seseorang mampu mengendalikan diri untuk tidak berjinah atau melanggar kesusilaan, maka ia sudah mulai mampu mengendalikan ‘kebencian' yang timbul dalam batinnya terhadap berbagai peraturan yang harus dipatuhi sebagai konsekuensi logis hidup bersama dalam masyarakat. Ia telah sadar bahwa sebagai anggota masyarakat ia tentu harus terikat untuk mematuhi aturan serta kesepakatan yang ada.

Sedangkan latihan untuk tidak berbohong adalah latihan untuk mengurangi bahkan melenyapkan ‘kebencian' seseorang pada kebenaran diri yang mungkin menyakitkan atau memalukannya. Ia tidak ingin mengungkapkan kebenaran yang mengkondisikan dirinya tampak buruk dihadapan orang lain. Ia ‘benci' kenyataan buruk atas dirinya ini. Ia lebih baik berbohong daripada mendapatkan celaan. Padahal, dengan mampu berlatih untuk tidak berbohong, seseorang sudah mulai mampu mengurangi ‘kebencian' terhadap kenyataan buruk yang ada pada dirinya. Ia mampu menerima kenyataan dan keburukan dirinya sebagaimana adanya.

Terakhir adalah latihan untuk tidak makan serta minum barang-barang yang memabukkan. Dorongan untuk mabuk sering timbul karena seseorang ‘membenci' kenyataan pahit yang harus dialaminya. Ia tidak menyukai penderitaan yang datang dalam hidupnya. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan. Oleh karena itu, mereka yang mampu menahan diri untuk tidak mabuk-mabukan adalah orang yang mulai mampu mengendalikan ‘kebencian' dari dalam batinnya.

Dengan uraian singkat pelaksanaan masing-masing latihan kemoralan di atas, kiranya sudah sangat jelas bahwa kelima latihan kemoralan tersebut menjadi sarana ampuh atau rakit Dhamma untuk menyeberangi lautan kebencian yang ada dalam diri seseorang.

Kebajikan ketiga adalah mengembangkan konsentrasi untuk mengatasi kegelapan batin.

Kegelapan batin yang dimaksudkan di sini adalah ketidakmampuan seseorang untuk melihat kenyataan hidup bahwa segala sesuatu selalu berubah, tidak kekal. Ketidakmampuan ini menjadikan pikirannya selalu berada di masa lampau maupun masa yang akan datang. Padahal, masa lampau hanya tinggal sejarah yang harus dijadikan pelajaran. Sedangkan masa depan adalah harapan yang harus dijadikan tujuan. Dengan demikian, masa sekarang adalah kenyataan. Masa sekarang adalah saat tepat untuk mengisi kehidupan dengan berbagai perbuatan baik secara maksimal agar dapat memperbaiki masa lalu dan meningkatkan kualitas batin di masa depan.

Agar seseorang mampu mengendalikan pikiran untuk selalu sadar bahwa hidup adalah saat ini, ia hendaknya membiasakan diri melatih pikiran dengan latihan konsentrasi atau lebih dikenal dengan meditasi. Ada bermacam-macam cara meditasi. Namun, dalam kesempatan ini akan diuraikan salah satu cara yang paling sederhana dan mudah dipraktekkan.

Pada prinsipnya, meditasi dilakukan dengan mengamati dan menyadari segala gerak gerik pikiran, ucapan maupun perbuatan. Latihan konsentrasi ini dibantu dengan sering mengucapkan dalam batin kalimat pertanyaan, “Saat ini saya sedang apa?” Kemampuan seseorang untuk selalu sadar bahwa hidup adalah saat ini akan menjadikan batinnya selalu tenang. Ia mengerti bahwa kegelisahan timbul ketika ia memikirkan masa lampau maupun masa depan. Ia juga mengerti bahwa hal itu pula yang menyebabkan timbulnya kecemasan. Dengan selalu sadar bahwa hidup adalah saat ini, ia menjadi terbebas dari kegelisahan maupun kecemasan. Ia sadar sepenuhnya bahwa hidup selalu berubah. Ia tidak lagi terpengaruh oleh perubahan. Batinnya seimbang. Ia terbebas dari kegelapan batin. Ia mencapai kesucian atau Nibbana. Latihan konsentrasi menjadi sarana ampuh atau rakit untuk menyeberangi lautan kegelapan batin.

Dengan melakukan ketiga kebajikan yaitu kerelaan, kemoralan serta konsentrasi seseorang akan mampu mengatasi ketamakan, kebencian dan kegelapan batin. Ia akan mencapai kesucian atau Nibbana. Ia mencapai tujuan akhir dan tertinggi seorang umat Buddha. Oleh karena itu, tidak ada waktu lagi untuk seseorang menunda kesempatan mengembangkan ketiga kebajikan tersebut di setiap saat. Jadikanlah agama sebagai rakit karena agama adalah untuk hidup, bukan hidup untuk agama. Pergunakanlah setiap waktu kehidupan yang sangat berharga untuk mengendarai rakit Dhamma menyeberangi lautan kegelapan batin.

Semoga keterangan singkat tentang ‘agama untuk hidup' ini dapat memberikan manfaat dan kebahagiaan.

Semoga pemahaman tentang rakit Dhamma akan mendorong setiap orang selalu bersemangat melaksanakan Ajaran Sang Buddha untuk mencapai pantai seberang dalam kehidupan ini pula.

Semoga semua makhluk baik yang tampak maupun yang tidak tampak, akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan sesuai dengan kondisi kammanya masing-masing.

Semoga demikianlah adanya.

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar