Rabu, September 26, 2012

Uppala - Bikkhuni yang Mengandung


UPPALA- BHIKKHUNI YANG MENGANDUNG


Salah satu peristiwa yang terjadi di Savatthi adalah penahbisan seorang wanita bernama Uppala. Konsekuensi dari penabhisannya sangat terkenal, sehingga saya akan menceritakan hal ini kepada anda. Ia adalah wanita muda yang pada dasarnya sangat saleh, dan saat masih kecil ia bertanya kepada orang tuanya bagaimana bila ia menjadi seorang bhikkhuni pada umur tujuh belas tahun, dan mereka berkata: “Tidak, Kita berasal dari keluarga yang berkecukupan, kamu harus menikah dan mempunyai anak, dan seterusnya dan seterusnya.

Dan ia berkata “Saya tidak ingin melakukannya saya ingin menjadi bhikkhuni.”

Mereka menjadi berlaku sedikit keras kepadanya dan berkata : “Tidak, kamu harus menikah dan mempunyai anak,” dan seterusnya.

Maka ia berpikir, “Saya akan menikah dan kemudian saya akan bertanya kepada suami saya apakah saya dapat menjadi seorang bhikkhuni.”

Kemudian ia mematuhi orang tuanya dan menikah. Sekitar tiga bukan setelah menikah, suaminya yang sangat gembira dengan perkawinannya berkata kepadanya, “Mengapa kita tidak pergi ke festival , mereka mengadakan festival di Savatthi. Lalu mengapa kita tidak mengenakan pakaian yang bagus dan perhiasan saat menikmati festival ini?”

Dan ia berkata ‘Apa gunanya memakai pakaian pada tubuh yang penuh dengan...../ dan kemudian ia menyebutkan tiga puluh jenis ciri-ciri dari tubuh yang tidak menyenangkan. Dan lelaki muda yang malan tersebut merasa hancur, anda tahu, - semua ini mengenai lemak, air ludah, darah, nanah, dan segala jenis yang menjijikkan- dan akhirnya lelaki muda yang malang tersebut berkata, “Yah, jika kau merasa demikian terhadap tubuhmu, kau sebaiknya menjadi seorang bhikkhuni!”

“Ah, itu dia” katanya. “Apakah kami mengizinkan saya?”

“Ya, jika kamu merasa ......

“Ya, saya merasa demikian, Itu benar-benar apa yang saya rasakan mengenai tubuh saya. Saya benar-benar ingin menjadi seorang bhikkhuni”

“Yah, jika kau memang merasa seperti itu, saya akan membawamu kepada Sang Buddha dan meminta-Nya untuk menabhiskanmu menjadi seorang bhikkhuni.”

Ia sangat berterima kasih kepada suaminya. Suaminya lalu membawa Uppala ke Jetavana dan membuat permintaan kepada Sang Buddha dan Sangha, dan berkata “Maukah anda menabhiskan wanita ini menjadi seorang bhikkhuni?” Saya dapat menyediakan jubah dan mangkuk....” dan seterusnya.

Kemudian Sang Buddha berkata “Ya, biarlah ia ditahbiskan”.

Akhirnya ia ditahbiskan, tetapi ia ditempatkan dalam biara di bawah pimpinan Devadatta. Devadatta sudah menjadi bhikkhu selama bertahun-tahun – ia termasuk bhikkhu senior. Ia adalah sepupu Sang Buddha dan ia sangat iri hati. Ia selalu lekas tersinggung dan menjadi yogi yang sangat berkuasa dan mempunyai kekuatan batin yang hebat sekali, tetapi tidak mempunyai hati yang bersih. Tidak juga mempunyai perasaan. Beberapa waktu setelah wanita ini, Uppala, ditahbiskan dan diterima ke dalam biara tempat yang menjadi kekuasaan Devadatta, ia terlihat sedang mengandung. Beberapa bhikkhuni berkata “Bagaimana ini, kamu tampaknya sedang mengandung? Apakah kamu melanggar kesucian?”

Lalu katanya, “Tidak, saya tidak melanggarnya.”

“Yah, engkau tampak sedang mengandung.”

“Saya tidak pernah melanggar peraturan apapun”

Lalu terjadi kebuntuan. Dan waktu terlalu dan ia dapat dipastikan mengandung. Lalu mereka membawanya kepada Devadatta dan berkata “Apa yang harus kami perbuat, wanita ini mengandung.” Lalu Devadatta berkata lebih kurang sebagai berikut, “Lemparkan ia keluar. Ia harus diusir. Ia pasti melanggar peraturan.”

Dan Uppala berkata: “Tolong saudaraku, saya tidak melanggar peraturan apa pun. Jika Devadatta mengusirku keluar, maka berakhirlah sudah dikehidupan sebagai bhikkhuni. Bawalah saya kepada Sang Buddha – Sang Buddhalah yang telah mengizinkan saya untuk ditabhiskan.

Lalu mereka membawanya kepada Sang Buddha. Sang Buddha berpikir: “Ini adalah situasi yang sulit. Devadatta telah mengusirnya keluar dan saya tidak ingin terlihat mengampuni orang yang telah melanggar peraturan, tetapi wanita ini berkata ia tidak melanggar peraturan apapun.” Lalu katanya, “Saya tahu, orang yang dapat memutuskan persoalan ini adalah Visakha.”

Lalu Beliau memanggil Visakha datang kepadaNya dan menjelaskan kepada Visakha. “Ini adalah seorang wanita yang sudah menikah, ia sudah menikah sebelum datang untuk menjadi bhikkhuni. Selidiki sudah berapa lama ia mengandung, dari sana dapat diketahui apakah ia melanggar peraturan atau ia sudah mengandung pada saat ditabhiskan sebab ini adalah masalah yang sulit.

Saat itu Visakha telah memiliki enam belas anak dan seratus cucu, sehingga ia sangat berpengalaman melihat kehamilan. Dikatakan dalam sutta bahwa mereka melakukan ini didepan pengadilan, seluruh anggota sangha dan sejumlah besar siswa. Visakha menguji wanita itu dibelakang layar. Yang menarik adalah mereka mengukur daerah perut sama seperti yang dilakukan oleh ahli ginekologi pada masa sekarang ini.

Lalu Visakha memperkirakan bahwa wanita tersebut sudah mengandung sebelum ia ditabhiskan. Lalu ia datang dari balik layar dan berkata kepada Sang Buddha. “Saya perkirakan bahwa wanita ini sudah mengandung sebelum ia ditabhiskan. Ia sudah lama mengandung jadi tidak mungkin melanggar peraturan.”

Kemudian Sang Buddha berkata, “Benar, ia suci. Ia dapat tinggal di biara dan tidak ada pelanggaran atas kesuciannya.”

Lalu ia tinggal di biara dan mempunyai anak. Saat bayinya berumur beberapa bulan dan ia sedang mengasuhnya, suatu sore anak tersebut menangis dan seorang pangeran lewat di biara tersebut dan mendengar tangisan bayi tersebut dan berpikir: “Yah, pasti sangat menyusahkan bagi bhikkhuni-bhikkhuni tersebut, mempunyai bayi yang menangis ditengah-tengah mereka. Dan pasti sangat sulit bagi seorang bhikkhuni untuk membesarkan seorang bayi”. Lalu ia berpikir “Mungkin sebaiknya saya mengadopsinya dan bhikkhuni tersebut tidak akan lagi khawatir akan masa depan anak tersebut.”

Maka pangeran mengirim pesan yang mengatakan bahwa ia berkeinginan untuk mengadopsi anak tersebut. Uppala menyetujui bayi tersebut dibawa kerumah pangeran dan diadopsi oleh pangeran dan ratu,dan istri pangeran itu membesarkannya. Anak itu kemudian dikenal sebagai pangeran Kassapa. Kemudian pada saat berumur tujuh tahun, ia ingin menjadi seorang Bhikkhu. Lalu ia ditahbiskan pada saat berumur tujuh tahun dan dikenal sebagai pangeran Kassapa, bahkan setelah ditahbiskan, untuk membedakannya dari Kassapa yang lain. Ia sebenarnya lahir di Jetavana dan menjadi seorang arahat pada usia yang sangat muda.


[Dikutip dari: Mutiara Dharma atas izin dari Ir. Lindawati. Sumber: Buddhist Digest 34, p 53-56, alih bahasa Rianto]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar