Senin, Maret 14, 2011

Buku Pintar Agama Buddha (A2)

 BUKU PINTAR AGAMA BUDDHA 
oleh : Tanhadi

KELOMPOK : A (2)

Anattã/ (skt. anãtman ) : 1).Tanpa inti diri , 2). Tanpa roh, 3). Tanpa aku.

“ Segala sesuatu yang berkondisi adalah tanpa inti;
apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini,
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan,
Inilah jalan yang membawa pada kesucian .”
( Dhammapada XX ; 279 )

Anatta adalah kata bahasa Pali yang berasal dari awalan 'an' yang sering di terjemahkan sebagai tidak, bukan atau tiada. 'atta' berarti ‘inti’, ‘diri sejati’ ‘roh’ atau jiwa. Dalam bahasa Sanskerta disebut juga sebagai anatman. Jadi kata ”an-atta” berarti ‘‘bukan diri sejati” atau dalam konteks penulisan ini , anatta akan diterjemahkan sebagai “Tiada inti diri” .

Kata atta mempunyai makna yang luas dan dapat ditemukan dalam bidang ilmu psikologi, filsafat, maupun peristilahan sehari-hari, contohnya, atta dapat berarti     “diri”, “mahkluk”, “ego”, “jiwa”, “roh”, “aku ” atau “kepribadian”. Namun sebelum membahas tentang apa itu atta, maka perlu melihat berbagai arti atta yang ditelaah dari sudut pandang Buddhis maupun non-Buddhis, agar kita dapat memahami dengan tepat, apa yang ditolak Sang Buddha ketika Beliau membabarkan doktrin anatta, yang mana Ia menolak keberadaan atta.

Definisi atta menurut non-Buddhis dan Buddhis

Definisi atta menurut non-Buddhis :

1) Dalam Abingdon Dictionary of Living Religions :
Sesuatu yang memberi kehidupan kepada suatu makhluk hidup; atau bagian atau dimensi dalam makhluk hidup, yang merupakan inti, tidak berbentuk; atau sesuatu yang tidak berbentuk namun menghidupkan; atau sesuatu yang tidak berbentuk namun menciptakan individu.

2) Dalam A Dictionary of Mind and Spirit oleh Donald Watson :
Jiwa dikenal dengan banyak nama: jiva (Jain), Atman (Hindu), Ruh (Islam), Monad, Ego, Diri, Diri yang lebih tinggi, sesuatu yang melebihi Diri, Diri yang tidak dapat dipahami, batin, atau bahkan pikiran.

Sedangkan definisi atta menurut Buddhis:

1) Dalam Buddhist Dictionary karya Nyanatiloka:
Segala sesuatu yang secara mutlak dipandang sebagai keberadaan diri, sosok ego, jiwa, atau substansi pokok yang bersifat kekal.

2) Dalam The Truth of Anatta oleh Dr. G.P.Malalasekera:
Atta adalah diri suatu keberadaan metafisik yang halus, jiwa. Berbagai definisi atta atau jiwa sebagai diri, ego, jiwa, atau pikiran, sejalan dengan bidang psikologi.

Karena itu perlu juga melihat definisi atta dari sudut pandang ini.

Menurut Dictionary of Psychology, 'diri' adalah:
Individu sebagai makhluk hidup; Ego atau aku; Kepribadian atau kumpulan sifat.

Definisi 'ego' adalah: diri, terutama gagasan seseorang akan dirinya sendiri. Definisi 'kepribadian' adalah kumpulan sistem psikofisik dalam individu yang bersifat dinamis dan menentukan cara berpikir dan perilaku seseorang atau sesuatu yang memberikan prakiraan apa yang akan dilakukan seseorang dalam menghadapi suatu situasi. Istilah-istilah psikologis itu bersesuaian dengan beberapa istilah yang dipakai dalam ajaran Buddha untuk menerangkan kehidupan konvensional makhluk hidup. Peristilahan itu berguna sebagai label, namun secara mutlak, label -label tersebut, seperti yang akan kita lihat, hanya sekedar nama yang semata-mata merupakan kebenaran ilusi.

Dalam bahasa Pali, ada istilah seperti satta, puggala, jiva, dan atta untuk menerangkan psikologi konvensional mengenai makhluk. Satta, menurut Nyanatiloka, berarti makhluk hidup. Puggala berarti individu, orang, berikut padanannya: kepribadian, perangai, makhluk (satta), diri (atta). Jiva adalah kehidupan sesuatu yang vital/ jiwa.

Beberapa pengertian tentang Jiwa :

Dalam The International Dictionary of Religion : " Banyak agama mengajarkan bahwa manusia tersusun atas badan fisik yang bisa mati serta Inti yang tidak kasat mata dan kekal, yang merupakan jati diri atau Jiwa ".

Jiwa juga dipahami sebagai : " Segala sesuatu yang secara mutlak dipandang sebagai keberadaan diri, sosok ego, atau Substansi pokok yang bersifat kekal.”

Dalam kitab kuno India milik kaum Brahman / Hindu, yaitu kitab Upanishad, dikatakan bahwa sesuatu yang disebut " Jiwa ", " Inti Diri ", " Roh ", Harus memiliki kuasa untuk memerintah. Jiwa tidak menerima perintah dari penguasa lain. Jiwa adalah Penguasa Tertinggi yang menjadi tuan atas dirinya sendiri. Jiwa berbeda dengan diri kita, namun tinggal didalam diri kita.

Arti lain atta adalah jiwa, suatu sosok rohaniah di dalam semua orang, jiwa, yang disebut atman dalam kitab-kitab Hindu, adalah diri individual dan identik dengan diri Universal, Makhluk tertinggi, yang disebut Brahman.

Atman tinggal dalam setiap makhluk hidup. Seperti Brahman, atman adalah kekal. Saat tubuh mati, atman berpindah dan menempati tubuh lain sebagai rumah barunya. Dengan cara ini, atman berpindah dari satu tubuh ke tubuh lainnya, meninggalkan tubuh lama yang telah usang dan menempati tubuh baru.

Atta mempunyai makna yang luas, yang dibahas dalam 2 kitab terkemuka Hindu yaitu Upanishad dan Bahagavad Gita.

Dalam ajaran Buddha berbagai pandangan tentang Atta dapat ditemukan dalam Brahmajala Sutta. Atta adalah inti dalam segala sesuatu, gagasan tentang atta sebagai inti dari segala sesuatu ditemukan dalam Chandogya dan Brihadaranyaka Upanishad.

Beberapa pemakaian istilah atta juga ada dalam bidang psikologi. Menurut Dr. Malalasekera, atta dapat berarti, diri seseorang, misalnya attahitaya patipanno no parahitaya (berbuat menurut diri sendiri, bukan menurut orang lain) atau attanava akatam sadhu (apa yang dilakukan oleh diri sendiri adalah baik). Atta dapat pula bermakna diri sendiri, kepribadian, termasuk tubuh dan pikiran, seperti dalam attabhava (kehidupan), attapatilabha (kelahiran dalam beberapa bentuk kehidupan).

Ketika mengulas mengenai istilah satta, Nyanatiloka menambahkan, Istilah ini, sama seperti atta, puggala, jiva dan istilah lainnya yang berkenaan dengan 'ego', dianggap sebagai sekedar istilah konvensional (voharavacana) pada umumnya, dan sama sekali tidak mempunyai makna kebenaran.

Dalam pengertian kebenaran mutlak, Sang Buddha menolak konsep psikologi dan agama mengenai segala macam 'diri' atau 'jiwa'. Tetapi kita bisa memakai istilah seperti 'diri' dan 'ego' untuk menggambarkan hal tertentu dari kelima khandha (agregat atau kelompok) yang menampilkan penampakan semu suatu individu.

Seperti yang dikatakan Arahat Vajira yang hidup semasa kehidupan Sang Buddha:
“Bilamana semua bagian penyusun ada, Kita menyebutnya sebagai 'pedati'; Demikian pula, di mana kelima kelompok ada, Kita menyebutnya sebagai 'makhluk hidup' ”.

Doktrin anatta diajarkan oleh Sang Buddha dari sudut pandang seseorang yang telah mencapai Pencerahan Sempurna, pandangan yang melihat bahwa segala sesuatu adalah anatta.

Sabbe dhamma anatta berarti segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur, dan juga sesuatu yang tidak berkondisi merupakan sesuatu yang tidak memiliki inti /’jiwa’ dan bukan diri yang sejati.

Fenomena sebagai ketidakkekalan dan tanpa-Aku
Secara umum dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak terlepas dari kata “Aku”, Kamu, Kami, Kita atau Milikku, Milikmu, Milik kita dsb. Pembedaan semacam itu diperlukan untuk menggambarkan keberadaan suatu “individu”, “label” kesepakatan bahasa sebagai sarana bantu pemahaman dan komunikasi serta untuk membedakan seseorang dengan lainnya.

Sebagai contoh , seseorang bertanya kepada kita : “ Rumah ini milik siapa ya?”, Kita pasti menjawab : “ o..rumah itu milikku “, atau “ rumah itu Milik si A”...

Hal ini umum dan wajar-wajar saja diucapkan oleh setiap orang dalam berkomunikasi sehari -hari, bayangkan saja , apa jadinya kalau kita tidak boleh menggunakan lagi istilah “aku” dalam berkomunikasi ? pasti banyak hal-hal yang lucu dan ribet akan terjadi !

Ajaran Buddha tidak berkeberatan untuk memakai kata atta, satta, atau puggala untuk menggambarkan individu sebagai suatu kesatuan atau untuk membedakan seseorang dengan lainnya. Bahkan Sang Buddha terkadang memakai istilah-istilah tersebut :

“Ini adalah pemakaian duniawi, 
istilah percakapan duniawi, 
uraian duniawi, 
dengannya Sang Tathagata berkomunikasi 
tanpa menyalah-artikannya “.
(Digha Nikaya I : 195) .

Beberapa orang telah salah memahami mengenai ajaran anatta dengan beranggapan bahwa tidak ada diri, tidak ada yang namanya orang/person (puggala), anggapan ini keliru. Sang Buddha sebenarnya tidak pernah menyatakan bahwa tidak ada suatu jiwa atau atta di alam semesta ini.

Yang sering di tekankan oleh Sang Buddha adalah bahwa tak ada satu benda atau bentuk yang khusus yang dapat dikatakan memiliki diri atau jiwa yang kekal. Beliau mengajarkan bahwa ada yang disebut dengan diri atau orang/person (puggala), tetapi diri atau orang/person (puggala) tersebut bukanlah benar-benar inti atau jati diri dari diri atau orang (person) tersebut, melainkan hanyalah merupakan perpaduan dari unsur-unsur fisik dan mental , yang membuatnya ada atau eksis , yang setiap saat mengalami perubahan dan berada dalam keadaan dukkha. Karena perpaduan unsur-unsur inilah diri seseorang terbentuk. Dan karena segala sesuatu yang terbentuk dari perpaduan unsur-unsur pasti mengalami perubahan, maka diri seseorang pun mengalami perubahan, penguraian, yang akhirnya eksistensi dari diri seseorang tidak lagi ada atau eksis. Inilah mengapa dikatakan tidak memiliki inti atau Tiada inti diri.

Manusia percaya bahwa ada sesuatu yang kekal di dalam dirinya. Sesuatu yang kekal ini diberi berbagai nama : Atta, Jiwa, Diri, Ego, Aku, Pribadi, Roh dan sebagainya.

Sang Buddha mengatakan; bahwa apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang kekal, semata-mata merupakan gabungan dari kelompok-kelompok energi batin-jasmani ( Pancakkhandha ) yang senantiasa berubah.

Badan jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran adalah lima khandha, yang semuanya tidak memiliki inti diri yang kekal.

Bila khandha itu memiliki atta, maka ia dapat berubah sekehendak atta itu dan tidak akan menderita, karena semua keinginannya dapat dipenuhi misalnya, "Semoga khandha-ku begini dan begitu."

Tetapi, karena khandha itu anatta, maka ia tidak dapat berubah sekehendak atta itu dan oleh sebab itu menderita, karena semua kehendak dan keinginannya tak dapat dipenuhi.  Misalnya, " Semoga khandha-ku begini dan bukan begitu." 
( Vin. Mv. Kh. 1 ; cf. S. 22 : 59 ).

Di zaman Buddha, para guru non-Buddhis berusaha mengidentifikasikan dan memisahkan "Aku Sejati" (Pali : atta , Skt : atman) seseorang. Apa yang dimaksud dengan atman adalah entitas kekal dalam diri manusia yang tidak berubah, sumber kebahagiaan sejati dan "pengendali bagian dalam" terhadap tindakan atau apa yang dilakukan manusia. Menurut ajaran Brahmanisme, atman ini dilihat sebagai "aku" universal yang identik dengan Brahman, sedangkan di Jainisme, ia dilihat sebagai "prinsip kehidupan" (jiva) individu.

Buddha memberikan argumentasi bahwa segala sesuatu mengalami perubahan. Lebih lanjut, Beliau mengatakan bahwa apa pun yang tidak berdiri sendiri dan tidak bisa dikendalikan secara penuh oleh keinginan seseorang, tidak dapat dianggap sebagai "Aku Sejati." Lagi pula, menganggap sesuatu yang bukan "aku" sebagai "aku," akan mengakibatkan timbulnya penderitaan. lni terjadi ketika apa yang dianggap orang awam sebagai "aku" yang kekal mengalami perubahan yang bertentangan dengan keinginan dan harapannya.

Sebagai contoh, proses penuaan yang dialami seseorang. Proses semacam ini, yakni rambut menjadi putih, kulit menjadi keriput, mata menjadi rabun, tubuh menjadi lemah, dan lain sebagainya, jelas hal -hal semacam itu tidak diinginkan atau didambakan oleh seorangpun. Tetapi siapakah yang dapat mencegahnya? Lalu jika demikian dapatkah kita menganggap tubuh ini sebagai "aku" atau "milikku"?

Dalam Majjhima Nikaya 35, terdapat kisah mengenai seorang pertapa terpelajar yang sangat terkenal, bernama Saccaka. Pada suatu hari ia mendengar bahwa Sang Buddha mengajarkan doktrin Anatta.

Karena dia adalah seorang ahli debat yang sangat piawai, dia memutuskan untuk mendatangi dan meyakinkan Sang Buddha bahwa doktrin anatta adalah salah. Saccaka sangatlah percaya diri; dia menyatakan bahwa bila ia berdebat melawan sebuah tiang yang tanpa akal, maka tiang tersebut akan terguncang , menggigil, gemetar dan berkeringat. Dia menyatakan bahwa ibarat orang kuat yang dapat dengan mudah merenggut seekor kambing dan menyeretnya kesana kemari, maka dia akan dengan mudah mengalahkan Sang Buddha dalam perdebatan.

Saccaka dan para pengikutnya mendatangi Sang Buddha. Setelah bertukar salam, Saccaka meminta Sang Buddha untuk menjelaskan doktrin-doktrin yang diajarkanNya. Sang Buddha menjawab bahwa ia mengajar Anatta. Saccaka ber-argumentasi ; bahwasanya seseorang mempunyai bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan mental, dan kesadaran sebagai diri (atta) dan berdasar atas atta itu dia menghasilkan jasa kebajikan atau perbuatan buruk...

Sang Buddha bertanya kembali kepada Saccaka:" Saccaka, apakah engkau menyatakan bahwa bentuk materi (Jasmani) adalah diriku?, perasaan adalah diriku?, persepsi (Pencerapan) adalah diriku?, bentukan-bentukan (Bentukan mental) adalah diriku?, kesadaran adalah di riku ?."

" Saya menyatakan demikian, guru Gotama ", jawab Saccaka.

"Bagaimana pendapatmu , Saccaka ?, Ketika engkau mengatakan demikian: Bentuk materi adalah diriku,. apakah engkau mempunyai kekuasaan atas bentuk materi tersebut dengan berkata : " biarlah bentukku seperti ini; biarlah bentukku tidak seperti ini ".

Ketika hal ini dikatakan oleh Sang Buddha, Saccaka putra Nigantha-pun terdiam.

Untuk kedua kalinya Sang buddha mengajukan pertanyaan yang sama, dan untuk kedua kalinya Saccaka terdiam.

Untuk ketiga kalinya Sang Buddha mengajukan pertanyaan yang sama, dan karena merasa telah tersudut oleh pernyataannya sendiri, butir-butir keringat mulai membasahi dahinya, Saccaka-pun akhirnya menjawab : "Tidak Guru Gotama ."

" Perhatikan, Saccaka, perhatikan bagaimana engkau menjawab, apa yang telah engkau katakan sebelumnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya"...., ketika engkau mengatakan bahwa ;"Perasaan adalah diriku", "Persepsi adalah diriku", "Bentukan-bentukan adalah diriku", "Kesadaran adalah di riku", apakah engkau mempunyai kekuasaan atas semuanya itu ?"

"Tidak Guru Gotama ." jawab Saccaka.

" Bagaimana pendapatmu,Saccaka, apakah lima khandha itu kekal atau tidak kekal ?."

" Tidak kekal Guru Gotama ."

" Sesuatu yang tidak kekal itu, merupakan penderi taan atau kebahagiaan, Saccaka ? "

“ Penderitaan Guru Gotama."

" Sesuatu yang tidak kekal, penderi taan, dan terkena perubahan itu, apakah tepat untuk dianggap demikian : " Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku ?"

"Tidak, Guru Gotama."

Ketika Dhamma telah dibabarkan oleh Sang Buddha, Saccaka hanya duduk terdiam, cemas, dengan bahu yang lunglai dan kepala tertunduk , tanpa tanggapan lagi.

"Guru Gotama, tadi kami sungguh nekad dan tidak sopan, karena berpikir bahwa kami dapat menyerang Guru Gotama dalam perdebatan..., Sudilah Yang Terberkahi bersama dengan Sangha para Bhikkhu bersedia menerima dana makanan esok hari dari saya.? Sang Buddha menyetujui dengan berdiam diri.

Disini dapat kita lihat Sang Buddha mematahkan argumentasi tentang beberapa karakteristik yang dikaitkan dengan atta. Jika Saccaka memiliki atta, dia dapat memerintah atta untuk mengerahkan kekuasaannnya untuk mengubah penampakannya, karena atta identik dengan Brahman, sang penguasa tertinggi, yang tak terbatas, pencipta yang maha kuasa dan sumber segala sesuatu, seperti tercantum dalam Bhagavad Gita.

Namun, menurut Sang Buddha, yang ada hanyalah kelima khandha, dan mereka bukanlah atta karena mereka terikat oleh hukum-hukum kefanaan, tidak memuaskan dan tiada inti di ri. Rupa (bentuk materi) bukanlah atta, bukan tuan dan pemerintah dirinya sendiri, serta terikat pada kesengsaraan. Khandha lainnya (perasaan, pencerapan, bentukan mental dan kesadaran) juga terikat padahukum yang sama.

Ajaran mengenai anatta atau "tanpa-aku" ini tidak hanya bertujuan meruntuhkan konsep "aku" yang dianut oleh Brahmanisme atau Jainisme, tetapi juga konsep umum yang telah lama dipegang orang awam pada umumnya dan perasaan-perasaan mendalam mengenai adanya sang "aku."

Bila kita masih merasakan adanya bagian dari diri kita yang tidak pernah atau belum berubah semenjak kanak-kanak hingga dewasa, maka itu berarti kita masih memiliki kepercayaan tentang "aku" yang kekal. Merasa bahwa diri kita tidak akan pernah mati, adalah pandangan bahwa seolah-olah kita memiliki "aku."

Mengaitkan fenomena pengalaman mental seperti misalnya dengan mengatakan: "Saya merasa cemas…, gembira… , marah…", adalah juga merupakan keyakinan akan adanya sang "aku."

Melakukan identifikasi dengan tubuh, gagasan, dan tindakan seseorang, dan lain-lain, adalah mencerap semuanya itu sebagai bagian dari sang "aku".

Ajaran "Anatta" pada intinya adalah ajaran praktis yang ditujukan untuk menaklukkan kemelekatan. Sang Buddha menekankan bahwa semua fenomena yang benar-benar kita pandang sebagai "Aku", seharusnya diamati dan dianalisa secara seksama untuk menyadari kesalahan serta ketidak-benaran pandangan atau anggapan semacam itu. Sebagai hasil dari pengamatan tersebut, seorang akhirnya berkembang secara spiri tual dan melihat segala sesuatu, semua dhamma, sebagai "tanpa-aku," dan karenanya menghancurkan semua kemelekatan serta mencapai Nibbana.

Dalam proses pelatihan spritual ini, tidaklah perlu mengemukakan suatu "penolakan" filosofis terhadap keberadaan sang "aku," karena konsep "aku" dengan s endi rinya akan menghilang perlahan-lahan. Buddhisme memandang tidak perlu merumuskan keberadaan "aku" permanen, melainkan menjelaskan fenomena fungsi kepribadian, dalam kehidupan dan dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya, dalam konteks suatu aliran proses yang senantiasa berubah dan berkondisi. Kelahiran kembali tidak mengharuskan adanya suatu "aku" permanen atau "aku" yang substansial, tetapi justru kepercayaan tentang adanya sang "aku" itulah yang merupakan salah satu musabab terjadinya kelahiran kembali.

Mengapa segala fenomena tidak ada inti atau bukan diri sejati?

Di dalam Anattalakkhana Sutta; Samyutta Nikaya 22.59 {S 3.66}, Sang Buddha menjelaskan bahwa Rupa (jasmani), Vendana (perasaan), Sanna (pencerapan), Sankhara (pikiran) dan Vinnana (kesadaran) disebut sebagai Panca Khandha (lima kelompok kehidupan/kemelekatan) yang semuanya bukanlah diri sejati.

Jika Khandha itu merupakan diri sejati, maka tidak akan mengalami penderitaan, dan semua keinginan seseorang akan khandha-nya akan terpenuhi,”Biarkan Khandha-ku seperti ini dan bukan seperti itu”.

Tetapi karena khandha tidak dapat dikendalikan sesuai dengan keinginan atau harapan seseorang, “Biarkan Khandha-ku seperti ini dan bukan seperti itu”, dan juga mengalami penderitaan, maka dikatakan bahwa khandha bukanlah diri sejati.

Kontroversi mengenai doktrin anatta sepertinya didasari oleh rasa takut yang mendalam terhadap penolakan adanya jiwa. Manusia pada umumnya sangat melekat pada hidupnya, sehingga mereka cenderung untuk mempercayai adanya sesuatu yang bersifat tetap, kekal, abadi di dalam dirinya. Bila ada orang yang mengatakan bahwa tiada sesuatupun yang kekal dalam diri mereka, tidak ada semacam jiwa dalam diri mereka yang akan berlangsung selamanya, mereka akan merasa ketakutan.

Mereka bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan mereka di masa mendatang mereka takut jadi musnah! Sang Buddha memahami hal ini, seperti yang dapat kita lihat dalam cerita tentang Vacchagotta, yang seperti orang pada umumnya, takut dan bingung terhadap doktrin anatta.

Vacchagotta adalah seorang pertapa yang pada suatu hari mengunjungi Sang Buddha untuk menanyakan beberapa hal penting.

Dia bertanya kepada Sang Buddha, Apakah atta itu ada? Sang Buddha diam. Kemudian, dia bertanya kembali, Apakah atta itu tidak ada ? Namun Sang Buddha tetap diam. Setelah Vacchagotta berlalu, Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda, mengapa Ia telah bersikap diam. Sang Buddha menjelaskan bahwa Ia mengetahui Vacchagotta sedang mengalami kebingungan tentang atta, dan jika Ia menjawab bahwa atta i tu ada, berarti Ia mengajarkan paham eternalistik, teori jiwa yang kekal, yang tidak Ia setujui. Namun, bila Ia menjawab bahwa atta itu tiada, maka Vacchagotta akan berpikir Sang Buddha mengajarkan paham nihilistik, paham yang mengajarkan bahwa makhluk hidup hanyalah suatu organisme batin-jasmani yang akan musnah total setelah kematian.

Sang Buddha tidak setuju dengan paham nihilistik karena paham ini tidak sesuai dengan kamma, tumimbal lahir, dan hukum sebab-akibat yang saling bergantungan (paticcasamuppada).

Sebaliknya Sang Buddha mengajarkan bahwa manusia terlahir kembali dengan patisandhi, kesadaran yang berkesinambungan, kesadaran tumimbal lahir yang tidak berpindah dari kehidupan sebelumnya, melainkan timbul karena adanya berbagai kondisi dari kehidupan sebelumnya, misalnya kondisi seperti kamma. Jadi orang yang terlahir kembali bukanlah orang yang sama dengan yang telah meninggal, namun juga bukan orang yang sepenuhnya berbeda dengan yang telah meninggal. Yang paling penting, dalam ajaran Buddha tidak dikenal adanya tubuh metafisik, jiwa, atau roh yang sama yang berlanjut dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya.

Namun ajaran ini terlalu sulit bagi Vacchagotta, dan Sang Buddha ingin menunggu sampai Vacchagotta telah matang secara intelektual. Sang Buddha bukanlah seperti komputer yang akan menjawab setiap pertanyaan secara otomatis. Demi kebaikan para penanya, Ia mengajar sesuai dengan kesiapan dan perangai seseorang.

Cerita selanjutnya, melalui meditasi Vipassana, Vacchagotta mampu mencapai kematangan spiritual, memahami sifat segala sesuatu yang tidak memuaskan, fana, dan tiada inti diri ; dan akhirnya dia menjadi seorang Arahat.

Secara lebih umum, dapat dikatakan bahwa hanya ada dua kelompok fenomena dalam kehidupan ini, yaitu nama dan rupa. Selain keduanya, tidak ada apa pun yang dapat kita sebut atta. Satu-satunya hal yang ada selain alam nama dan rupa adalah yang tak terkondisi (asankhata), Nibbana, Kebenaran Mutlak, namun bahkan Nibbana pun bersifat anatta.

Sifat kefanaan (Anicca - ketidakkekalan); Tersamarkan oleh kesinambungan. Jika kita melihat nyala sebuah lilin, kita akan berpikir bahwa nyala tersebut sama dari waktu ke waktu. Padahal, nyala lilin itu secara terus -menerus lenyap dan muncul lagi setiap saat. Kita melihat ilusi satu nyala yang sama karena gagasan dan penampakan yang berkesinambungan.

Sifat  tidak memuaskan (Dukkha - penderitaan); Tersamarkan oleh perubahan posisi tubuh. Ketika kita duduk dan merasa tidak nyaman, kita mengubah posisi dan merasa nyaman kembali. Sesungguhnya, kita selalu mengubah posisi setiap saat dalam hidup kita, tetapi kita tidak menyadarinya. Setiap saat rasa tidak nyaman muncul, kita segera mengubah posisi tubuh kita.

Sifat tiada inti diri (Anatta); Tersamarkan oleh persepsi bahwa segala sesuatu adalah berbentuk dan solid. Kita melihat segala benda dan diri kita sendiri sebagai sesuatu yang solid dan berbentuk. Kita tidak akan memahami sifat segala sesuatu yang sejati- tiada inti diri- jika kita tidak mengetahui bahwa persepsi ini salah.

Sifat Anatta tidak hanya berlaku untuk bentuk dan keadaan yang tercakup dalam Panca Khandha melainkan merupakan sifat dari seluruh keadaan, bentuk atau jelmaan dari yang sangat halus sampai yang maha besar. Tidak ada Atta atau diri yang kekal baik di dalam suatu individu ataupun dalam bentuk semesta yang lebih besar. Yang ada hanyalah diri atau sifat vang sementara, yang senantiasa berubah dari saat ke saat. Suatu saat akan terbentuk diri dari suatu individu; disaat lain diri itu mungkin terurai menjadi diri -diri unsur-unsur pembentuknya yang juga terbentuk dari unsur -unsur lainnya yang memiliki diri masing-masing yang juga tidak kekal dan senantiasa berubah; bisa pula di saat lain diri suatu individu itu bersatu dengan diri dari individu-individu yang lain membentuk suatu organisasi dengan diri atau ciri yang lain pula yang juga tidak kekal dan senantiasa berubah.

Selain ajaran Anatta yang diajarkan oleh Guru Buddha, di dunia ini terdapat 2 ajaran atau paham lain yang terdapat dalam kepercayaan lain, yaitu:

1. Attavada, yaitu paham atau ajaran yang menyatakan bahwa terdapat atta atau inti atau diri sejati yang tidak mengalami perubahan, yang ada sepanjang masa atau abadi meskipun melalui tahap kelahiran kembali. Paham ini juga disebut sebagai paham Eternalisme (paham ini tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).

2. Ucchedavada, yaitu paham atau ajaran yang menyatakan bahwa sama sekali tidak terdapat atta atau diri, dimana ketika mati maka semuanya akan turut lenyap, tidak membentuk apapun lagi, tidak mengalami kelahiran kembali. Paham ini juga disebut sebagai paham Nihilisme (paham ini tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).

Secara matematika paham-paham tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

A. Paham Eternalisme (Attavada) :
Adalah paham adanya Roh kekal yang berpindah-pindah ketubuh baru (Paham Reinkarnasi).

1. A+P = A+P
2. (A+P) + P1 = A+P+P1
3. (A+P+P1)+P2 = A+P+P1+P2
4. (A+P+P1+P2)+P3+ Pn = A+P+P1+P2+P3+Pn

B. Paham Nihilisme ( Ucchedavada) :
Adalah paham setelah kematian semuanya ikut lenyap/musnah.

A+P = Nihil

C. Paham Anatta :
Adalah paham Tiada inti diri yang kekal.(Setelah kematian, ‘patisandhi-vinnana’ yang telah dipengaruhi oleh Kumulatif kammamya melanjutkan kehidupannya di alam mana ia dilahirkan kembali)

1. A+P = B
2. B+P1 = C
3. C+P2 = D

Keterangan :
A : adalah Atta/Atma atau Roh
P : adalah Pengalaman hidup
P1, P2, P3...: adalah Pengalaman hidup pada Kehidupan ke 1, ke 2, ke 3 dst......

Pada penjabaran dibawah ini akan tampak dengan jelas bahwa paham anatta tsb. menganut pada “Hukum Perubahan” / tidak ada inti diri yang kekal .

1. Roh + Pengalaman hidup = setelah kematian, terlahir kembali sebagai B.
2. B + Kehidupan ke 1 = setelah kematian, terlahir kembali sebagai C
3. C + Kehidupan ke 2 = setelah kematian, terlahir kembali sebagai D dst......

Beberapa contoh nyata mengenai ajaran Anatta:

Ketika kita melihat sebuah sofa maka kita akan melihatnya sebagai hal yang biasa dan menyebutnya sebagai sofa. Tetapi ketika sofa yang terbuat dari kayu, busa, kain, lem, tenaga manusia, dan sebagainya itu kita uraikan, kita pisah-pisahkan, kita bongkar, maka yang kita lihat sekarang hanyalah beberapa potong kayu bekas, kain, busa dan sebagainya yang tidak mungkin sama dengan bahan awal pembuat sofa. Kita hanya menyebutnya sebagai sisa sofa, kain bekas sofa, kayu bekas sofa, dan  sebagainya. Kita tidak akan melihat lagi sofa tadi.

Ketika kita membuat roti. Roti dibuat dengan memakai tepung, ragi, gula, garam, mentega, susu, air, api, tenaga kerja dan lain-lain Tetapi setelah menjadi roti tidak mungkin kita akan menunjuk satu bagian tertentu dan mengatakan: ini adalah tepungnya, ini garamnya, ini menteganya, ini airnya, ini apinya, ini tenaga kerjanya dst. Karena setelah bahan-bahan itu diaduk menjadi satu dan dibakar di oven, maka bahan-bahan itu telah berubah sama sekali. Meskipun roti itu terdiri dari bahan-bahan yang tersebut diatas, namun setelah melalui proses pembuatan dan pembakaran di oven telah menjadi sesuatu yang baru sama sekali dan tidak mungkin lagi untuk mengembalikannya dalam bentuknya yang semula.

Jika kita dihadapkan dengan benda-benda seperti Ban, jok, pedal, kanvas rem, lampu, kabel-kabel, skrup, accu, seker, kabel kopling, shock beker, rangkaian mesin, dynamo, stang stir, dsb., Dapatkah kita mengatakan itu adalah sebuah Sepeda Motor? Tentu saja Tidak !. Namun setelah keseluruhan benda-benda itu dirangkai menjadi satu, barulah kita dapat mengatakannya; " Oh...itu adalah Sepeda Motor ! "

Jadi apa yang dilihat dan yang kita namakan sebagai Sepeda motor sebenarnya hanyalah gabungan dari unsur -unsur pembentuk, sepeda motor itu pada hakikatnya " Tidak memiliki inti " atau " tidak ada satupun dari spare-parts tersebut yang dapat disebut sebagai sepeda motor " sebelum semua unsur-unsur pembentuknya disatupadukan.

Demikian pula dengan segala hal, termasuk diri kita, pada dasarnya adalah perpaduan dari berbagai unsur yang masing-masing bersifat tidak kekal. Jika unsur-unsur pembentuknya dipisah-pisah maka hal tersebut akan menjadi tiada, Kosong. Karenanya, tidak ada yang disebut dengan diri yang hakiki, yang independen, baik itu diri kita maupun diri lainnya (segala mahluk, benda, maupun hal –hal fenomenal lainnya).

Pemahaman ajaran anatta ini dapat juga dianalisa dan direnungkan dalam ajaran mengenai Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar