Sabtu, Maret 19, 2011

Buku Pintar Agama Buddha (A3)

BUKU PINTAR AGAMA BUDDHA
Oleh : Tanhadi


KELOMPOK : A (3)

Anavarama-Nana : Pandangan yang tak terhalangi.

Anicca / (skt.anitya) : 1).Tidak kekal. 2). Perubahan. 3). Tidak selalu ada.

“ Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal adanya.
Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini;
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.
Inilah ja lan yang membawa pada kesucian.”
( Dhammapada XX ; 277 )

"Adalah tidak kekal segala sesuatu yang terbentuk,
segalanya muncul dan lenyap kembali.
Mereka muncul dan kembali terurai.
Kebahagiaan tercapai bila segalanya telah harmonis."
(Digha-Nikaya, Mahaparinibbana Sutta)

Satu kata yang sederhana ini, Anicca (ketidakkekalan), merupakan inti dari ajaran Buddha. Makhluk hidup juga ditandai dua sifat kehidupan lain, penderitaan (dukkha) dan tanpa inti (anatta).

Anicca berasal dari kata “an” yang merupakan bentuk negatif atau sering diterjemahkan sebagai tidak atau bukan. Dan “nicca” yang berarti tetap, selalu ada, kekal, abadi. Jadi kata ”an -nicca” berarti tidak tetap, tidak selalu ada, tidak kekal, tidak abadi, berubah. Dalam bahasa Sanskerta disebut juga sebagai anitya.

Sabbe sankhara anicca berarti segala sesuatu yang berkondisi (terbentuk dari perpaduan unsur) akan mengalami perubahan (tidak kekal). ( Majjhima Nikaya I : 228)

Anicca (Ketidak-kekalan) merupakan suatu fakta yang bersifat Universal. Hal ini berlaku bagi manusia, gagasan, pemikiran dan perasaan, bagi hewan, tanaman, gunung, sungai atau segala sesuatu yang mungkin bisa kita beri nama. Ketidak-kekalan adalah suatu fakta yang tak terhindarkan. Segala sesuatunya mengalami perubahan yang konstan dari waktu ke waktu, seperti halnya suatu proses, kehamilan berlanjut ke proses kelahi ran, bayi tumbuh menjadi anak-anak, anak-anak tumbuh mejadi remaja, remaja tumbuh menjadi dewasa, lalu menjadi tua dan mati.

Semua fenomena yang ada didalam alam semesta ini selalu mengalami perubahan yang tak putus-putusnya, selalu dalam keadaan bergerak dan mengalami proses, yaitu: Uppada (timbul), kemudian Thiti (berlangsung), dan kemudian Bhanga (berakhir/lenyap). Tidak ada sesuatupun yang tetap sama selama dua saat yang berturut –turut walaupun dalam perbedaan detik. Hukum anicca bersifat netral dan tidak memihak. Karena segala sesuatu merupakan hasil dari sebab -sebab dan kondisi yang berubah, maka segala sesuatu juga terusmenerus berubah.

Kita tidak dapat mengatakan bahwa barang apa pun, hidup atau mati, organic atau anorganik, “ini adalah abadi.“ Bahkan sementara kita sedang membicarakannya, perubahan itupun sedang berlangsung. Semua ini berlalu dengan cepat : keindahan bunga, kicau burung, dengungan lebah, dan keagungan matahari yang terbenam.

“Misalkan engkau sedang memandang indahnya matahari yang terbenam. Seluruh langit di sebelah barat memancarkan cahaya yang berwarna merah : tetapi engkau sadar bahwa dalam setengah jam semua warna yang cerah ini berangsur – angsur akan hilang dari hadapan matamu, walaupun matamu tidak dapat mengenali sebelumnya kesimpulan yang beralasan itu. Dan apakah kesimpulannya ?

Kesimpulannya adalah engkau tidak pernah dapat menyebutkan ataupun membayangkan, melihat suatu warna yang kekal, warna apapun yang sebenarnya bahkan untuk waktu yang paling singkat. Dalam perjutaan detik seluruh keagungan dari langit yang terlukis mengalami rangkaian perubahan yang tak terhitung banyaknya. Satu perubahan digantikan dengan yang lain dengan kecepatan yang membuat semua pengukuran tertinggal, karena pros es itu tidak dapat diukur…..     akal sehat menolak untuk menahan periode tertentu dari pemandangan yang berlalu itu, atau untuk mengungkapkan begitu, karena kalaupun ada yang berusaha, seketika hal itu sudah tiada. Ini merupakan rangkaian perubahan warna yang cepat, tiada satu pun darinya tetap ada, karena semuanya secara terus menerus lenyap menjadi yang lain. “

Semua paduan unsur, yaitu segala sesuatu yang timbul sebagai akibat dari suatu sebab, dan yang pada gilirannya kemudian menimbulkan akibat, dapat dinyatakan dalam satu kata anicca, ketidakkekalan. Oleh karena itu, semua sifat hanyalah merupakan variasi yang terbentuk dari paduan ketidakkekalan, penderitaan               ( ketidakpuasan ), dan tanpa diri atau inti : anicca, dukkha dan anatta.

Realitas alam semesta ini bukanlah merupakan suatu kolam yang tenang, akan tetapi merupakan suatu arus/aliran yang mengalir deras. Tidak ada suatu makhluk yang tetap, tetapi yang ada hanyalah segala sesuatu yang timbul dan tenggelam.

Pembentukan (uppada) dan Penghancuran (nirodha) yang berlangsung terus -menerus, yang tidak berhenti walau sekejappun dapat digambarkan seperti sebuah gelombang. Sebuah gelombang terbentuk naik, kemudian turun dan tenggelam, menimbulkan gelombang lain yang menyusul timbul. kemudian tenggelam pula, demikianlah seterusnya tidak henti-hentinya. Timbulnya sebuah gelombang bergantung kepada tenggelamnya gelombang yang mendahuluinya, dan tenggelamnya sebuah gelombang menimbulkan gelombang lain pula yang  menyusulnya. Demikianlah arus ini mengalir terus tidak putus - putusnya.

Perhatikanlah setangkai bunga, akan tertampak waktu kuncupnya, disusul oleh mekarnya, setelah mekar mencapai puncak kemegahannya, akan menjadi layu, busuk, kering dan akhirnya lenyap.

Semua sankhara (paduan unsur) memperlihatkan sifat-sifat demikian : “ Timbul, berlangsung, lenyap”.

Fajar menyingsing dan bumi mulai terang, pada jam 12.00 tengah hari matahari mencapai puncaknya, setelah lewat jam 12.00 matahari mulai condong ke barat dan bumi mulai teduh, disusul oleh senja yang berubah menjadi malam. Segala sesuatu di alam semesta ini mengalami proses perubahan, tetapi ki ta tidak menyadarinya, Mengapa?

Oleh karena :

1. Perhatian kita tidak ditujukan kepada proses perubahan itu.

2. Proses tersebut ada yang berjalan sangat cepat, seperti arus sungai dan bentuk-bentuk pikiran.

3. atau proses tersebut berlangsung sangat perlahan, antara lain : batu, gunung dan bumipun tidak terlepas dari proses tersebut.

Proses perubahan itu dinamakan Anicca atau ketidak kekalan.
Ketidak kekalan yang diajarkan dalam agama Buddha ini bukanlah suatu yang direka-reka atau yang dibuat-buat, akan tetapi merupakan kenyataan, fakta, yang dirasakan dan dialami dengan jelas sekali dalam kehidupan kita sehari-hari.

Didalam kitab Abhidhamma-manavibhasa-sastra mengatakan bahwa : “ Selama 24 jam terdapat 6. 400.099.988 Kshana atau Saat ; sedangkan lima kelompok kehidupan (pancakkhandha) manusia berproses terus-menerus terbentuk dan lenyap kembali dalam tiap-tiap Kshana.”

Disebutkan di dalam kitab suci Tipitaka bahwa, bilamana seorang siswa telah menembus Kesunyataan atau Dhamma, ia akan menyadari : yamkinci uppadadhammang sabbang tang nirodhadhammang (segala sesuatu yang terbentuk pasti akan lenyap kembali). Penembusan yang sempurna terhadap kesunyataan ini, hanya dapat tercapai apabila seseorang telah bebas samasekali dari segala macam keinginan apapun juga.

Selama kita belum dapat mengusir “keinginan” atau “Tanha” itu, maka pandangan sesat (sakkayaditthi) akan tetap ada, itulah yang menyebabkan kita tidak mampu untuk menyadari sepenuhnya terhadap corak ketidak kekalan daripada segala sesuatu yang terbentuk atau sankhara.

Didalam Anguttara Nikaya IV : 100 ff, Sang Buddha menasihati siswa-siawanya demikian:

“ Tidak kekallah, O para siswa,
segala sesuatu yang berpaduan (sankhara) itu tidaklah abadi,
karena itu tidaklah ada alasan untuk menikmati ”.

Keseluruhan dari filosofi tentang perubahan yang diajarkan dalam agama Buddha adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dari paduan unsur, yang terkondisi adanya, merupakan proses dan bukan merupakan kelompok kesatuan hidup yang kekal, tetapi perubahan itu terjadi dalam rangkaian yang sedemikian cepat sehingga orang – orang memandang rohani dan jasmani sebagai kesatuan hidup yang tetap. Mereka tidak melihat timbulnya dan hancurnya (udaya – vaya), namun memandang secara kesatuan, melihat sebagai suatu keseluruhan (ghana sanna).

Annata : Tidak dikenal.

Annathabhava : Perubahan yang mengikuti suatu keadaan sedikit demi sedikit.

Anottappa : Tidak takut atau Nekad.
Nekad untuk melakukan perbuatan jahat dan tidak takut dengan akibat-akibatnya.
Ini juga berarti nekat mati karena takut mengahadapi sesuatu, umpamanya terhadap suatu tanggung jawab atau ketakutan menghadapi tuduhan kepada diri sendiri.

Anuggaha/(skt.anugraha) :1).Kemurahan hati, 2). Kebaikan, 3). Pertolongan.

Anuloma/(skt.anuloman) : Arah yang tepat.

Anumana : Menyimpulkan.

Anumodanã/(skt. Anumodanã) : 1). Berbahagia atas perbuatan baik pihak lain, 2). Rasa syukur, 3). Rasa terima kasih, 4). Penghargaan.

Anupadhi : Sifat keduniawian.

Anũpama/(skt. Anũpama) : Yang tidak ada bandingannya.

Anusasana vidha : Cara-cara.

Anussati/(skt. Anusmŗti) : 1). Penuh perhatian, 2). Perenungan.

Anusaya/(skt.Anusaya) : 1). Kekotoran batin yang terpendam, 2). Kecenderungan.

“Janganlah terus menggunakan pikiran untuk memikirkan segala hal,
karena ia belum pernah diistirahatkan.
Tetapi apabila hal-hal jahat muncul,
maka seharusnya gunakan pikiran untuk memeriksanya”
(Sayutta Nikāya I, 14)

Hal-hal yang dapat kita hindari agar tidak salah melangkah adalah tujuh Anusaya atau Kekotoran Batin yang Laten, yaitu:

Nafsu keinginan Indria (kāmarāga)
Mudah tersinggung (patigha)
Melekat pada pandangan-pandangan keliru (ditthi)
Keraguraguan (vicikicchā)
Kesombongan (māna)
Melekat pada kehidupan (bhavarāga)
Ketidaktahuan (avijjā)
(Anguttara Nikāya II, ii.)

Anusaya ini dikatakan sebagai laten karena walaupun mereka tidak muncul di pikiran, tetapi sebenarnya mereka tidak lenyap. Mereka berdiam jauh di bawah sadar kita. Mereka hanya beristirahat sejenak. Dan setiap saat, jika ada kondisi yang tepat, jika ada rangsangan yang kecil sekalipun, mereka dapat segera muncul kembali dengan kekuatan yang besar dan akan menguasai kita kembali.

Meskipun kita mengetahui masih memiliki ketujuh hal ini dalam diri kita, dan mungkin saja kita sedang dikuasai olehnya saat ini, tetapi kita mulai menyadari bahwa mereka sesungguhnya berbahaya. Mereka adalah musuh kita yang menyebabkan kita sengsara sehingga kita mulai enggan berurusan dengan mereka. Kita mulai tidak terlalu mempedulikan emosi yang muncul. Seandainya mereka muncul, kita tidak perlu menganggapnya terlalu penting, dan tidak perlu mengikutinya.

Pada saat ini, kita mulai menyadari penyebab masalahnya adalah kita sendiri. Kita masih memiliki hal-hal negatif dalam diri kita. Tetapi kita tidak perlu merasa kecewa dengan diri sendiri. Karena bagaimanapun keadaan kita, kita dapat berubah menjadi lebih baik, dan lebih baik lagi.

”Tinggalkanlah kejahatan, O para bhikkhu!
Para bhikkhu, manusia dapat meninggalkan kejahatan.
Seandainya saja manusia tidak mungkin meninggalkan kejahatan,
Aku tidak akan menyuruh kalian melakukannya.
Tetapi karena hal itu dapat dilakukan maka Kukatakan,
’tinggalkan kejahatan!’

Seandainya saja meninggalkan kejahatan ini akan membawa kerugian dan penderitaan,
Aku tidak akan menyuruh kalian meninggalkan kejahatan.
Tetapi karena meninggalkan kejahatan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan, maka Kukatakan, ’tinggalkan kejahatan!’ ”.
(Sumber: Gradual Sayings (Aguttara Nikāya) II, ii.)

Anuttara : 1). Tak ada bandingannya. 2). Tiada taranya.

Anuttara Samyak Sambodhi : Pencerahan sempurna yang tiada duanya (tertinggi) atau tidak ada yang tertinggi lainnya selain pencerahan dari makhluk bodhi (Buddha/Arahat).

Anuttaro bhisako : Dokter yang baik.
Seseorang yang dapat menyembuhkan mereka yang rohaninya sakit oleh karena kekotoran batin, dengan obat Dhamma.

Anuyoga : Ketekunan.

Antã : Ekstrim.

Antarãbhava : Keadaan antara.

Apacãyana/(skt. Apacãyana) : 1). Menghormati, 2). Rendah hati.

Apãya/(skt. Apãya) : Alam tanpa kebahagiaan

Ãpo-dhãtu/(skt.Ãpah-dhãtu) : Unsur cair.
merupakan unsur yang bersifat kohesif (ikat-mengikat) dan dapat menyesuaikan diri, yang berfungsi memberikan sifat ikat -mengikat pada unsur lainnya. Unsur ini juga memberikan kelembaban dan cairan pada tubuh makhluk hidup.

Appana Samadhi : Tingkat pikiran yang telah terkonsentrasi dengan baik.
Disebut juga sebagai Rupa Jhana I, biasanya siswa menyadari bahwa ia memiliki Lima faktor Jhana, yaitu :

Vitakka    : Usaha pikiran untuk menangkap obyek
Vicara      : Pikiran yang telah menangkap obyek
Piti           : Kegiuran atau kenikmatan
Sukha      : Kebahagiaan
Ekagatta  : Pikiran terpusat dengan kuat

Appãyukã : Umur pendek.

Appãbãdhã : Sehat.

Appesakkã : Tak berpengaruh.

Appamada : Kewaspadaan.

Appamãnãbhã : Alam yang cahayanya tak terbatas.

Appamãnasubha : Alam para Brahma dengan cahaya tak terbatas.

Appabhoga : Miskin.

Aradhaviriya : Penuh semangat, dan rajin.

Arahatta/(skt. arhattva) : Tingkat kesucian tertinggi.


Bersambung ke -----Buku Pintar Agama Buddha (A 4)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar