Kamis, Mei 03, 2012

Dhammapada VI: 77- Kisah Bhikkhu Asaji dan Punabbasuka



KISAH BHIKKHU ASAJI DAN PUNABBASUKA

 Dhammapada VI: 77


Bhikkhu Asaji dan Punabbasuka bersama dengan lima ratus orang muridnya tinggal di desa Kitagiri. Ketika bertempat-tinggal di desa itu, mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara menanam bunga dan pohon buah-buahan untuk kepentingan mereka. Jadi mereka melanggar peraturan dasar bagi kehidupan para bhikkhu.

Setelah Sang Buddha mendengar hal itu, Beliau mengirimkan dua orang siswa utama-Nya, Sariputta dan Maha Moggallana, untuk menghentikan perbuatan mereka yang tidak patut.

Kepada kedua siswa utama-Nya Sang Buddha berkata, "Katakan kepada para bhikhu itu, jangan merusak keyakinan dan kemurahan hati umat awam dengan perbuatan yang tidak patut. Jika mereka tidak patuh, paksalah mereka untuk keluar dari vihara, jangan ragu-ragu untuk melakukan seperti apa yang telah Saya katakan kepadamu. Hanya orang bodoh tidak menyukai orang yang memberikan nasehat baik dan melarang berbuat jahat".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 77 berikut:

Biarlah ia memberi nasehat, petunjuk,
dan melarang apa yang tidak baik,
orang bijaksana akan dicintai oleh orang yang baik
dan dijauhi oleh orang yang jahat.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.

7 komentar:

  1. saya mau tanya,
    para bhikkhu itu melanggar karena?
    1. bhikkhu memang tidak boleh menanam apapun/bekerja (dengan harapan umat awam bisa mempunyai kesempatan untuk memberikan dana makanan)
    atau
    2. karena ada unsur "kepentingan mereka"? seperti pada kalimat yang ini "mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara menanam bunga dan pohon buah-buahan untuk kepentingan mereka"
    (jadi saya berasumsi mereka menjual hasil tanamnya kemudian uangnya digunakan untuk kepentingan mereka sendiri)

    jika seandainya alasan yang nomer 2 yang menyebabkan larangan itu dikeluarkan oleh Sang Buddha,
    kalau skenarionya diubah sehingga sebagian hasil panennya dibagikan secara cuma2 untuk membantu warga desa lainnya yang membutuhkan, apakah kira2 Sang Buddha tetap memberikan larangan tersebut.

    Terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tujuan utama sebagai bhikkhu adalah untuk mengikis ketamakan, kebencian dan ketidaktahuan, sehingga para bhikkhu seyogyanya lebih berkonsentrasi pada aktivitasnya untuk melaksanakan “Sang Jalan “ (Sila, Panna dan Samadhi = Jalan Mulia Berunsur Delapan).

      Seorang bhikkhu adalah ia yang telah meninggalkan kehidupan duniawi dan berusaha melepaskan apapun yang berkaitan dengan perumah tangga. Ia hidup dari kedermawanan para perumah tangga. Ia dikatakan bhikkhu yang artinya ia yang hidup dari meminta. Bhikkhati kata kerja dari kata benda bhikkhu itu sendiri berarti 'meminta'.

      Bhikkhu itu artinya 'peminta' atau ia yang hidup dari meminta. Jika demikian halnya, apakah ia pantas bercocok tanam seperti halnya seorang petani? Kemudian, seorang bhikkhu juga dilarang untuk memotong pohon hidup, menggali tanah dan juga mencabut rumput. Sementara itu, pada saat bercocok tanam, seseorang mau tidak mau harus memotong pohon, menggali tanah dan mencabut rumput, dan jika seorang bhikkhu bercocok tanam, mau tidak mau, ia harus melakukan banyak pelanggaran.

      Tentang larangan menggali tanah kisahnya sbb:

      Didalam Vinaya (Peraturan kedisiplinan) – Pācittiya 10 (Peraturan Nomor 10) disebutkan bahwa : “Seorang bhikkhu tidak boleh menggali tanah yang mengandung kehidupan – ulat, serangga, dan sebagainya… “

      Disitu diceritakan bahwa suatu saat ketika para bhikkhu dari Alavi sedang melakukan suatu pekerjaan mereka menggali tanah dan menyebabkan orang lain menggali tanah. Orang-orang mengkritiknya karena mereka percaya bahwa tanah itu memiliki satu kehidupan. ( Pada jaman itu, orang India memiliki kepercayaan bahwa tanah, pohon, tumbuh-tumbuhan memiliki kehidupan , dalam arti tanah, pohon dan tumbuh-tumbuhan itu sendiri dikatakan hidup).

      Oleh karena Sang Buddha tidak ingin melukai perasaan dan kepercayaan mereka, maka Sang Buddha memberikan peraturan bahwa para bhikkhu hendaknya tidak menggali tanah, dan jika menggali tanah ia melanggar peraturan pacittiya.

      Didalam Dhammapada VI: 77- Kisah Bhikkhu Asaji dan Punabbasuka, dikatakan bahwa “mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara menanam bunga dan pohon buah-buahan untuk kepentingan mereka”.., ini yang dimaksudkan adalah hanya berfokus pada “Kebutuhan makan” mereka saja. (bukan untuk dijual).

      Semoga sedikit uraian penjelasan ini dapat memberikan manfaat bagi wawasan kita.

      Hapus
    2. ulasan yang sangat bagus pak.
      terima kasih banyak.

      Hapus
    3. Oh iya,
      saya ada pertanyaan lagi.

      dari kalimat berikut:
      "Oleh karena Sang Buddha tidak ingin melukai perasaan dan kepercayaan mereka, maka Sang Buddha memberikan peraturan bahwa para bhikkhu hendaknya tidak menggali tanah, dan jika menggali tanah ia melanggar peraturan pacittiya."

      saya ambil kesimpulan kalau Sang Buddha membuat aturan itu karena tidak ingin 'mengganggu' kepercayaan yang telah ada di sana. alasannya karena kalimat berikut ini:
      "( Pada jaman itu, orang India memiliki kepercayaan bahwa tanah, pohon, tumbuh-tumbuhan memiliki kehidupan , dalam arti tanah, pohon dan tumbuh-tumbuhan itu sendiri dikatakan hidup)"

      tetapi, bagaimana sebenarnya pandangan Sang Buddha mengenai kepercayaan ini? apakah kepercayaan ini adalah sesuatu yang benar atau tidak bagi Sang Buddha (terlepas dari melukai perasaan orang lain atau tidak).

      apakah maksud "tanah memiliki kehidupan" bagi orang India pada waktu itu?
      1. apakah maksudnya banyak organisme (contoh:cacing tanah)?
      2. ataukah maksudnya "tanah" itu juga termasuk makhluk hidup?

      kalau yang dimaksud nomer 1, saya berasumsi bahwa Sang Buddha akan setuju bahwa cacing tanah dkk itu adalah makhluk hidup. tetapi hal ini agak tidak sesuai dengan alasan pertama yang saya kutip di atas. "Oleh karena Sang Buddha tidak ingin melukai perasaan dan kepercayaan mereka"
      mengapa Sang Buddha tidak mengatakan "tidak boleh bertani, nanti kalau kamu mencangkul, banyak cacing yang mati. itu dosa pembunuhan. sebagai seorang Bhikkhu, itu melanggar sila pembunuhan" atau kalimat sejenisnya.

      kalau yang dimaksud nomer 2, saya belum bisa mencernanya dan butuh penjelasan dari lebih lanjut. sebab hal ini tidak tercantum dalam daftar 31 alam kehidupan. mungkin ada referensi lain yang belum saya ketahui.


      Terima kasih banyak sudah meluangkan waktu untuk membuat blog yang sangat berguna ini.

      _/\_
      Namaste

      Hapus
    4. Namo Buddhaya,

      •Yang dimaksudkan oleh mereka adalah tanah dan pepohonan itu juga merupakan makhluk hidup yang memiliki satu indriya (eka indriya), jadi kepercayaan mereka itu tidak ada kaitannya bahwa di tanah ada banyak hewannya. (Hal ini agak aneh kalau dipandang dari segi ilmu pengetahuan modern saat ini :)).

      • Mengenai Pandangan Sang Buddha tentang kepercayaan tersebut, dapat kita simak pada kisah yang ada pada Vinaya yaitu ketika Sang Buddha melarang Maha Moggallana membalikkan tanah untuk mendapatkan nutrisinya ketika terjadi wabah kelaparan di Veranja sbb :
      ….Mahā Moggallāna Yang Mulia berkata demikian, “….Bhante, lapisan terbawah dari maha pertiwi ini lezat rasanya, bagaikan madu alam yang murni bebas dari pengotor, begitu lezat. Alangkah baiknya, Bhante, jika saya dapat membalik tanah ini, maka para bhikkhu dapat menyantap sari nutrisi dari tanah serpihan bumi.’

      ‘Tetapi Moggallāna, apa yang akan Anda lakukan terhadap MAKHLUK HIDUP yang hidup ditopang bumi ini?’

      ‘Bhante, dengan kekuatan gaib, saya akan mengubah satu tangan saya menjadi sebesar maha pertiwi kemudian memindahkan makhluk-makhluk hidup yang hidup ditopang bumi ke sana. Dengan tangan yang lain, saya akan membalikkan tanah ini.’

      ‘Cukup, Moggallāna, janganlah Anda membalik tanah ini, MAKHLUK HIDUP(lainnya) bisa dibuat terjungkir balik.’

      Jadi kalau kita ambil kesimpulannya, didalam dialog tsb. diatas Sang Buddha samasekali tidak menyinggung bahwa Tanah itu memiliki kehidupan, yang Beliau khawatirkan adalah ‘Makhluk Hidup yang ada didalam tanah’. Jadi jelas Pandangan bahwa tanah itu memiliki kehidupan (seperti halnya para Hewan tsb) adalah pandangan yang keliru dan pastinya tidak sejalan dengan Pandangan Sang Buddha, sehingga didalam Pacittiya 10 disebutkan dengan sangat jelas bahwa :“Seorang bhikkhu tidak boleh menggali tanah YANG MENGANDUNG KEHIDUPAN- ULAT, SERANGGA, dan sebagainya.”

      •Di dalam sejarah pengajaranNya, Sang Buddha tidak pernah “memaksa” orang lain untuk mempercayai pandangan-pandanganNya begitu saja, apalagi “menjaring” mereka jadi pengikutNya tanpa penyelidikan terlebih dahulu. (Kalama Sutta). Sehingga Beliau sangat menjaga sikap toleransi terhadap kepercayaan-kepercayaan lainnya ( walaupun tidak sejalan dengan pandangan Beliau), namun Beliau tetap menjaga perasaan orang lain dengan tidak ‘mengutak-atik” kepercayaan mereka dengan cara menanggapi orang-orang yang mengkritiknya -karena mereka percaya bahwa tanah itu memiliki satu kehidupan.

      Dan hal yang perlu kita ingat kembali, bahwasanya Vinaya itu ditetapkan oleh Sang Buddha berdasarkan ‘setiap kejadian-kejadian’ yang dipandang sebagai sesuatu yang tidak baik dan menghambat pengembangan batin para siswa/i-Nya. Jadi bukan “langsung secara keseluruhan” dibuatkan peraturannya oleh Sang Buddha.

      • Sebenarnya sejak awal Sang Buddha telah mengajarkan SILA / moralitas secara komplit kepada para Bhikkhu sebagai salah satu sarana untuk mencapai kesucian , namun sebagai manusia pada umumnya , diantara para Bhikkhu pun masih ada yang melanggar Sila tsb. dan penyebabnya sangat beragam, al. karena batinnya masih tertutupi oleh Lobha, Dosa dan Moha, sehingga para bhikkhu dari alavi tsb. melakukan tindakan yang salah dengan menggali tanah (padahal didalam tanah ada kehidupan para makhluk hidup-cacing. serangga dsb), mungkin disini mereka kurang menyadari bahwa dengan menggali tanah dapat menyebabkan makhluk hidup lainnya terbunuh, yang berarti merupakan pelanggaran Sila ke satu. (membunuh).

      Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga hal ini merupakan jawaban yang bisa dimengerti sesuai dengan pertanyaan Anda.

      Semoga Anda berbahagia,
      Semoga semua makhluk berbahagia.

      Mettacittena,

      (Tanhadi)

      Hapus
  2. Terima kasih banyak atas ulasannya.
    Setiap poin sangat pas dan bisa dimengerti.

    BalasHapus
  3. Terima kasih-sama-sama :)

    Semoga lewat Blog ini, kita dapat menjalin komunikasi dan persahabatan dalam Dhamma.

    Sadgu..Sadhu...Sadhu..._/|\_

    Mettacittena,
    (Tanhadi)

    BalasHapus