KISAH PATACARA THERI
Dhammapada VIII: 113
Patacara merupakan putri seorang kaya dari Savatthi.
Ia sangat cantik dan dijaga dengan sangat ketat oleh orang tuanya. Tetapi,
suatu hari ia meninggalkan rumahnya dengan kekasih pilihannya, seorang pelayan
laki-laki dari keluarganya. Mereka pergi menetap di sebuah desa, kini ia
sebagai istri orang miskin. Tidak berselang lama ia hamil dan pada saat
persalinan sudah dekat, ia meminta ijin kepada suaminya untuk kembali ke tempat
orang tuanya di Savatthi. Tetapi suaminya melarang. Pada suatu hari ketika
suaminya pergi, ia pergi ke rumah orang tuanya. Suaminya mengikutinya,
menangkapnya di perjalanan, dan memohon kepadanya untuk pulang bersama, tetapi
ia menolak. Hal itu terjadi pada saat usia kelahiran sudah dekat. Akhirnya ia
melahirkan anak laki-laki di semak-semak. Setelah melahirkan anaknya ia kembali
ke rumah bersama suaminya.
Sekali lagi hal di atas terjadi, ia hamil lagi, dan
pada saat persalinan anaknya sudah dekat, ia pergi ke rumah orang tuanya di
Savatthi. Suaminya mengikutinya dan menangkapnya di tengah perjalanan, tetapi
saat persalinan datang dengan cepat dan juga hujan turun sangat lebat. Suaminya
mencari tempat yang sesuai untuk persalinan dan ketika ia membersihkan sebidang
tanah, ia digigit oleh seekor ular berbisa. Ia meninggal dunia saat itu juga.
Patacara menunggu suaminya dan pada saat menunggu itu ia melahirkan anak kedua.
Pada pagi hari, ia mencari suaminya, tetapi ia hanya menemukan tubuh suaminya
yang sudah kaku. Ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa suaminya meninggal
dunia karena dirinya, kemudian ia meneruskan perjalanan ke rumah orang tuanya.
Karena hujan yang tak henti-hentinya sepanjang malam,
sungai Aciravati menjadi banjir, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk
menyeberangi sungai bersama kedua anaknya. Dengan meninggalkan anak tertua di
tepi sungai sebelah sini. Ia menyeberangi sungai dengan anak laki-laki yang
baru berumur sehari.
Ia menaruh bayi itu di tepi sungai, dan menyeberang
kembali untuk menjemput anak tertua. Ketika ia berada di tengah sungai, elang
besar melayang-layang menuju tempat anak kedua berada. Elang itu mematuknya
seperti menggigit sepotong daging. Ia berteriak-teriak untuk menakut-nakuti burung
itu, tetapi semua itu sia-sia. Anak bayi itu telah dibawa pergi oleh elang
besar. Pada saat itu anak yang tertua mendengar ibunya berteriak-teriak dari
tengah sungai dan anak itu berpikir bahwa ibunya memanggilnya untuk datang
kepadanya. Kemudian ia menyeberangi sungai untuk pergi ke tempat ibunya berada.
Tetapi anak itu terbawa arus sungai yang sedang banjir. Patacara kehilangan
kedua anaknya, dan juga kehilangan suaminya.
Patacara mencucurkan air mata dan meratap dengan
keras, "Seorang anak telah dibawa pergi seekor elang, anak yang lainnya
terbawa arus, suamiku juga meninggal dunia digigit ular berbisa!"
Kemudian ia melihat seorang laki-laki dari Savatthi
dan dengan sedih menanyakan tentang orang tuanya. Laki-laki itu menjawab badai
yang terjadi di Savatthi kemarin malam telah merobohkan rumah orang tuanya dan
kedua orang tuanya beserta tiga saudara laki-lakinya meninggal dunia serta
telah dikremasikan di atas satu tumpukan kayu. Mendengar berita yang demikian
tragis, Patacara menjadi gila, ia tidak peduli bahwa bajunya telah terlepas
dari badannya, dan ia hampir tak berpakaian. Ia berlari-lari di sepanjang
jalan, berteriak-teriak tentang kesengsaraannya.
Ketika Sang Buddha memberikan khotbah di Vihara
Jetavana, Beliau melihat Patacara di kejauhan. Beliau menghendaki agar Patacara
datang ke dalam pertemuan itu.
Kerumunan orang mencoba untuk menghentikan Patacara,
dengan mengatakan, "Jangan biarkan wanita gila itu masuk".
Tetapi Sang Buddha berkata kepada mereka agar tidak
mencegah wanita itu masuk. Ketika Patacara cukup dekat untuk mendengar khotbah,
Beliau berkata kepadanya untuk berhati-hati dan tenang. Kemudian ia menyadari
bahwa ia hampir tidak memakai pakaian dan dengan malu ia duduk. Seorang yang
hadir memberinya secarik kain, dan ia membungkus dirinya dengan kain itu. Ia
kemudian berkata kepada Sang Buddha bagaimana ia telah kehilangan anaknya,
suaminya, saudara laki-lakinya dan orang tuanya.
Sang Buddha berkata kepadanya, "Patacara, jangan
takut, kamu telah datang kepada seseorang yang dapat melindungimu dan
membimbingmu. Sepanjang proses lingkaran kehidupan ini (Samsara), jumlah air
mata yang telah kamu kucurkan atas kematian anakmu, suamimu, orang tuamu, dan
saudara laki-lakimu sangat banyak, lebih banyak dari air yang ada di empat
samudra".
Kemudian Sang Buddha menjelaskan dengan rinci
"Anamatagga Sutta", yang menjelaskan perihal kehidupan yang tak
terhitung banyaknya. Berangsur-angsur Patacara merasa tenang. Kemudian Sang
Buddha menambahkan bahwa ia seharusnya tidak berpikir keras tentang sesuatu
yang telah pergi, tetapi seharusnya mensucikan diri dan berjuang untuk
merealisasi nibbana. Mendengar nasehat dari Sang Buddha, Patacara mencapai
tingkat kesucian sotapatti.
Kemudian Patacara menjadi seorang bhikkhuni. Pada
suatu hari, ia sedang membersihkan kakinya dengan air dari tempayan. Pada saat
ia menuangkan air untuk pertama kalinya, air tersebut hanya mengalir pada jarak
yang pendek kemudian meresap; kemudian ia menuangkan untuk kedua kalinya. Air
tersebut mengalir sedikit lebih jauh. Tetapi air yang dituangkan untuk ketiga
kalinya mengalir paling jauh. Dengan melihat aliran dan menghilangnya air yang
dituangkan sebanyak tiga kali, ia mengerti dengan jelas tiga tahapan di dalam
kehidupan makhluk hidup.
Sang Buddha melihat Patacara melalui kemampuan batin
luar biasa-Nya dari Vihara Jetavana, mengirimkan seberkas sinar dan
memperlihatkan diri sebagai seorang manusia.
Sang Buddha kemudian berkata kepadanya, "Patacara
kamu sekarang pada jalan yang benar, dan kamu telah tahu pandangan yang benar
tentang kelompok kehidupan (khandha). Seseorang yang tidak mengerti corak
tidak-kekal, tidak-memuaskan, dan tanpa-inti dari khandha adalah tidak
bermanfaat, walaupun ia hidup selama seratus tahun".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
113 berikut:
Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi tidak dapat melihat
timbul tenggelamnya segala sesuatu yang
berkondisi,
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari
dari orang yang dapat melihat timbul
tenggelamnya
segala sesuatu yang berkondisi.
Patacara mencapai tingkat kesucian arahat setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar