KISAH CULEKASATAKA
Dhammapada IX: 116
Di Savatthi berdiam sepasang suami istri brahmana.
Mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar yang digunakan oleh mereka berdua.
Karena itu mereka dikenal dengan nama Ekasataka. Karena mereka hanya mempunyai
sebuah pakaian luar, mereka tidak dapat keluar berdua pada saat yang bersamaan.
Jadi, bila si istri pergi mendengarkan khotbah Sang Buddha pada siang hari maka
si suami pergi pada malam hari.
Pada suatu malam, ketika brahmana mendengarkan khotbah
Sang Buddha, seluruh badannya diliputi keriangan yang sangat menyenangkan dan
timbul keinginan yang kuat untuk memberikan pakaian luar yang dikenakannya
kepada Sang Buddha. Tetapi dia menyadari jika dia memberikan pakaian luar yang
satu-satunya dia miliki berarti tidak ada lagi pakaian luar yang tertinggal
buat dia dan istrinya. Dia ragu-ragu dan bimbang.
Malam jaga pertama dan malam jaga kedua pun berlalu,
pada malam jaga ketiga brahmana berkata pada dirinya sendiri, "Jika saya
bimbang dan ragu-ragu, saya tidak akan dapat menghindar terlahir ke empat alam
rendah (Apaya), saya akan memberikan pakaian luar saya kepada Sang
Buddha".
Setelah berkata begitu, dia meletakkan pakaian luarnya
ke kaki Sang Buddha dan dia berteriak, "Saya menang! Saya menang! Saya
menang!"
Waktu itu Raja Pasenadi dari Kosala juga berada di
antara para pendengar khotbah. Mendengar teriakan tersebut ia menyuruh
pengawalnya untuk menyelidiki. Mengetahui perihal pemberian brahmana kepada
Sang Buddha, raja berkomentar bahwa brahmana tersebut telah berbuat sesuatu
yang tidak mudah untuk dilakukan oleh orang lain sehingga harus diberi
penghargaan.
Raja memerintahkan pengawalnya untuk memberikan
sepotong pakaian kepada brahmana sebagai hadiah atas keyakinan dan
kedermawanannya. Brahmana menerimanya lalu memberikan lagi pakaian tersebut
kepada Sang Buddha.
Dia mendapat hadiah lagi dari raja berupa dua potong
pakaian. Brahmana memberikan lagi kedua potong pakaian kepada Sang Buddha, dan
dia memperoleh hadiah empat potong lagi.
Jadi dia memberikan kepada Sang Buddha apa saja yang
diberikan raja kepadanya, dan tiap kali raja melipat-duakan hadiahnya.
Akhirnya hadiah meningkat menjadi tiga puluh dua
potong pakaian, brahmana mengambil satu potong untuknya dan satu potong untuk
istrinya, dan selebihnya diberikan kepada Sang Buddha.
Kemudian raja berkomentar lagi bahwa brahmana
benar-benar melakukan suatu perbuatan yang sulit dan juga harus diberi hadiah
yang pantas. Raja mengirim seorang utusan untuk membawa dua potong pakaian
beludru yang berharga mahal, dan memberikannya kepada brahmana.
Brahmana membuat kedua pakaian tersebut menjadi dua
penutup tempat tidur dan meletakkan satu di kamar harum tempat Sang Buddha
tidur, dan satunya lagi diletakkan di tempat para bhikkhu menerima dana makanan
di rumah brahmana.
Ketika raja pergi berkunjung ke Vihara Jetavana untuk
memberi penghormatan kepada Sang Buddha, raja melihat tutup tempat tidur
beludru dan mengenalinya bahwa barang itu adalah pemberiannya kepada brahmana,
dia merasa sangat senang. Kali ini, raja memberikan hadiah tujuh macam yang
masing-masing berjumlah empat buah (sabbasatukka) yaitu empat ekor gajah, empat
ekor kuda, empat orang pelayanan wanita, empat orang pelayanan laki-laki, empat
orang pesuruh laki-laki, empat desa, dan empat ribu uang tunai.
Ketika para bhikkhu mendengar hal tersebut, mereka
bertanya kepada Sang Buddha, "Bagaimana hal ini bisa terjadi, dalam kasus
brahmana ini, perbuatan baik yang dilakukan saat ini menghasilkan pahala yang
sangat cepat?"
Sang Buddha menjawab, "Jika brahmana memberikan
baju luarnya pada malam jaga pertama dia akan diberi hadiah enam belas buah
untuk tiap macam barang, jika dia memberi pada malam jaga kedua dia akan diberi
delapan buah untuk tiap macam barang. Ketika dia memberikan pada malam jaga
terakhir dia diberi hadiah empat buah untuk tiap macam barang.
Jadi, jika seseorang ingin berdana, lakukanlah
secepatnya, jika seseorang menunda-nunda pahalanya datang perlahan dan hanya
sebagian, Juga, jika seseorang terlalu lambat dalam melakukan perbuatan baik
mungkin dia tidak akan sanggup untuk melakukannya secara keseluruhan, karena
pikiran orang cenderung senang dengan melakukan perbuatan yang tidak
baik".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
116 berikut:
Bergegaslah berbuat kebajikan
dan kendalikan pikiranmu dari kejahatan;
barangsiapa lamban berbuat bajik,
maka pikirannya akan senang dalam
kejahatan.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar