Kamis, Agustus 30, 2012

Pikiran (4) : Jangan Melekat Pada Ketenangan Batin


Jangan Melekat Pada Ketenangan Batin


Kita bahkan jangan melekat pada ketenangan-bathin. Karena bila kita mengidentifikasikan diri kita dengan kedamaian itu, lalu beranggapan bahwa ada “seseorang” yang diam dan tenang — ini akan mempertajam rasa adanya diri yang independen atau jiwa. Rasa-diri ini cuma merupakan bagian realitas konvensional. Dengan [kebiasaan] berpikir, “Saya tenang”, “Saya gelisah”, “Saya baik”, “Saya buruk”, “Saya bahagia” atau “Saya tidak bahagia”, kita bakal kian terperangkap lebih dalam lagi pada eksistensi dan kelahiran kembali. Bakal kian menderita. Bila kebahagiaan berakhir, maka penggantinya adalah ketidakbahagiaan. Ketika kesedihan hilang, maka kitapun kembali senang. Terperangkap pada lingkaran tiada akhir ini, membuat kita terus berputar-putar antara surga dan neraka.

Sebelum pencerahanNya, Sang Buddha mengenali pola ini dalam hatiNya. Beliau mengetahui bahwa kondisi untuk eksistensi dan kelahiran kembali belumlah lenyap. Pekerjaannya belum selesai. Dengan berfokus pada kondisi kehidupan, Ia merenungi sesuai dengan hakekat: “Oleh sebab ini maka ada kelahiran, adanya kelahiran menyebabkan adanya kematian, dan semua perubahan datang dan pergi”. Maka Sang Buddha mengambil tema ini sebagai perenungan untuk memahami kebenaran lima khandha. Segala sesuatu baik mental maupun fisik, semua yang ditangkap dan dipikirkan tanpa kecuali adalah terkondisi. Begitu Ia mengetahuinya, maka Ia mengajar kita untuk melepaskan semua itu. Ia mendorong orang lain untuk memahami kebenaran ini. Jika tidak, kita akan terus menderita. Kita tidak akan dapat melepas hal-hal ini. Bagaimanapun, ketika kita memahami sesuatu sebagaimana adanya, kita akan mengetahui bahwa semuanya ini telah mengecoh kita. Sebagaimana ajaran Sang Buddha, “Pikiran ini tak mempunyai substansi, ia bukanlah apa-apa” (“The mind has no substance, it’s not anything” )

Pikiran ini tidak terlahir sebagai milik siapapun. Ia tidak mati sebagai milik seseorang. Pikiran itu [sejatinya] bebas, cemerlang, cerah dan tidak digayuti dengan masalah atau isu apapun. Masalah itu ada karena pikiran dikaburkan oleh hal- hal berkondisi tadi, persepsi yang salah akan diri. Jadi Sang Buddha menyuruh kita mengamati pikiran ini. Apakah yang ada di sana pada mulanya? Sebenarnya, tidak ada apapun.

Pikiran tidak lahir dengan hal-hal berkondisi dan juga tidak mati dengannya. Ketika pikiran berjumpa dengan sesuatu yang baik, ia tidak menjadi baik. Ketika berhubungan dengan sesuatu yang jahat, ia tidak pula menjadi jahat. Demikianlah adanya manakala ada insight yang jernih terhadap hakekat diri seseorang. Inilah pemahaman bahwa pada dasarnya segala hal itu tanpa-substansi.

Sang Buddha melihat dengan sangat jelas bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal, tidak memuaskan dan tiada diri. Ia menginginkan kita juga memahami hal itu sepenuhnya. Dengan demikian “yang tahu” (the “knowing”) akan memahami sejalan dengan kebenaran (truth). Kemudian manakala ia berjumpa dengan kebahagiaan dan kesedihan, ia kokoh tetap tak-goyah. Emosi bahagia merupakan wujud kelahiran. Kecenderungan untuk sedih adalah wujud dari kematian. Bila ada kematian maka ada kelahiran, dan apa yang dilahirkan bakal mati. Segala yang timbul dan lenyap ini terjebak dalam siklus menjadi-sesuatu (becoming) yang tiada hentinya. Begitu pikiran seorang meditator mencapai level pemahaman seperti ini, tiada lagi kebimbangan — baik tentang apakah ada penjelmaan? Apakah ada kelahiran kembali? Tiada perlu lagi bertanya kepada siapapun.

Penjelasan teoritis mengenai pikiran dan cara kerjanya memang benar akurat, namun Sang Buddha menyadari bahwa dengan pengetahuan macam ini saja relatif tak banyak berguna. Kita bisa memahami sesuatu secara intelektual lalu mempercayainya, tapi ini bukanlah manfaat yang nyata. Itu takkan membawa ke kedamaian pikiran.

Pengetahuan Sang Buddha membawa ke pelepasan (letting go) — yang menghasilkan sikap meninggalkan (abandoning) dan mentas (renunciation).

Oleh sebab pikiran inilah tepatnya yang membawa kita terlibat dengan apa yang benar dan yang salah. Jika kita cerdik, maka kita hanya akan berurusan dengan hal-hal yang benar. Namun kalau kita bodoh kita bakal berurusan dengan hal-hal yang salah. Pikiran yang begitulah dunia ini, dan Yang Terberkahi mengambil hal-hal dari dunia untuk menyelidiki dunia itu sendiri. Mengetahui dunia ini sebagaimana adanya, Beliau kemudian dikenal sebagai ‘Yang memahami dunia dengan jelas’.

Petikan bacaan pilihan dari :
Buku : Unshakeable Peace (Damai Tak Tergoyahkan) – Ven. Ajahn Chah




Tidak ada komentar:

Posting Komentar