Jangan Melekat Pada Ketenangan Batin
Kita bahkan jangan melekat pada ketenangan-bathin. Karena
bila kita mengidentifikasikan diri kita dengan kedamaian itu, lalu beranggapan
bahwa ada “seseorang” yang diam dan tenang — ini akan mempertajam rasa adanya
diri yang independen atau jiwa. Rasa-diri ini cuma merupakan bagian realitas
konvensional. Dengan [kebiasaan] berpikir, “Saya tenang”, “Saya gelisah”, “Saya
baik”, “Saya buruk”, “Saya bahagia” atau “Saya tidak bahagia”, kita bakal kian
terperangkap lebih dalam lagi pada eksistensi dan kelahiran kembali. Bakal kian
menderita. Bila kebahagiaan berakhir, maka penggantinya adalah
ketidakbahagiaan. Ketika kesedihan hilang, maka kitapun kembali senang.
Terperangkap pada lingkaran tiada akhir ini, membuat kita terus berputar-putar
antara surga dan neraka.
Sebelum pencerahanNya, Sang Buddha mengenali pola ini dalam
hatiNya. Beliau mengetahui bahwa kondisi untuk eksistensi dan kelahiran kembali
belumlah lenyap. Pekerjaannya belum selesai. Dengan berfokus pada kondisi
kehidupan, Ia merenungi sesuai dengan hakekat: “Oleh sebab ini maka ada kelahiran, adanya
kelahiran menyebabkan adanya kematian, dan semua perubahan datang dan pergi”. Maka Sang Buddha mengambil tema ini sebagai perenungan untuk
memahami kebenaran lima khandha. Segala sesuatu baik mental maupun fisik, semua
yang ditangkap dan dipikirkan tanpa kecuali adalah terkondisi. Begitu Ia
mengetahuinya, maka Ia mengajar kita untuk melepaskan semua itu. Ia mendorong
orang lain untuk memahami kebenaran ini. Jika tidak, kita akan terus menderita.
Kita tidak akan dapat melepas hal-hal ini. Bagaimanapun, ketika kita memahami
sesuatu sebagaimana adanya, kita akan mengetahui bahwa semuanya ini telah
mengecoh kita. Sebagaimana ajaran Sang Buddha, “Pikiran ini tak mempunyai
substansi, ia bukanlah apa-apa” (“The mind has no substance, it’s not anything”
)
Pikiran ini tidak terlahir sebagai milik siapapun. Ia tidak
mati sebagai milik seseorang. Pikiran itu [sejatinya] bebas, cemerlang, cerah
dan tidak digayuti dengan masalah atau isu apapun. Masalah itu ada karena
pikiran dikaburkan oleh hal- hal berkondisi tadi, persepsi yang salah akan
diri. Jadi Sang Buddha menyuruh kita mengamati pikiran ini. Apakah yang ada di
sana pada mulanya? Sebenarnya, tidak ada apapun.
Pikiran tidak lahir dengan hal-hal berkondisi dan juga tidak
mati dengannya. Ketika pikiran berjumpa dengan sesuatu yang baik, ia tidak
menjadi baik. Ketika berhubungan dengan sesuatu yang jahat, ia tidak pula
menjadi jahat. Demikianlah adanya manakala ada insight yang jernih terhadap
hakekat diri seseorang. Inilah pemahaman bahwa pada dasarnya segala hal itu
tanpa-substansi.
Sang Buddha
melihat dengan sangat jelas bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal, tidak
memuaskan dan tiada diri. Ia menginginkan kita juga memahami hal itu
sepenuhnya. Dengan demikian “yang tahu” (the “knowing”) akan memahami sejalan
dengan kebenaran (truth). Kemudian manakala ia berjumpa dengan kebahagiaan dan
kesedihan, ia kokoh tetap tak-goyah. Emosi bahagia merupakan wujud kelahiran.
Kecenderungan untuk sedih adalah wujud dari kematian. Bila ada kematian maka
ada kelahiran, dan apa yang dilahirkan bakal mati. Segala yang timbul dan
lenyap ini terjebak dalam siklus menjadi-sesuatu (becoming) yang tiada hentinya.
Begitu pikiran seorang meditator mencapai level pemahaman seperti ini, tiada
lagi kebimbangan — baik tentang apakah ada penjelmaan? Apakah ada kelahiran
kembali? Tiada perlu lagi bertanya kepada siapapun.
Penjelasan teoritis mengenai pikiran dan cara kerjanya memang
benar akurat, namun Sang Buddha menyadari bahwa dengan pengetahuan macam ini
saja relatif tak banyak berguna. Kita bisa memahami sesuatu secara intelektual
lalu mempercayainya, tapi ini bukanlah manfaat yang nyata. Itu takkan membawa
ke kedamaian pikiran.
Pengetahuan Sang Buddha membawa ke pelepasan (letting go)
— yang menghasilkan sikap meninggalkan (abandoning) dan mentas (renunciation).
Oleh sebab pikiran inilah tepatnya yang membawa kita terlibat
dengan apa yang benar dan yang salah. Jika kita cerdik, maka kita hanya akan
berurusan dengan hal-hal yang benar. Namun kalau kita bodoh kita bakal
berurusan dengan hal-hal yang salah. Pikiran yang begitulah dunia ini, dan Yang
Terberkahi mengambil hal-hal dari dunia untuk menyelidiki dunia itu sendiri.
Mengetahui dunia ini sebagaimana adanya, Beliau kemudian dikenal sebagai ‘Yang
memahami dunia dengan jelas’.
Petikan bacaan pilihan dari :
Buku :
Unshakeable Peace (Damai Tak Tergoyahkan) – Ven. Ajahn Chah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar