1. MOHA
(Kegelapan
batin)
Dua Jenis Moha
Tidak mengetahui (kegelapan batin)
adalah Moha. Ada dua jenis Moha, yaitu :
-
Anusaya-moha dan
-
Pariyutthana-moha
Istilah anusaya berarti kecenderungan bawaan atau terbaring laten.
Istilah pariyutthana-moha berarti bangkit.
·
Kegelapan batin yang terbaring laten di dalam mental disebut anusaya-moha, kegelapan laten.
·
Kegelapan batin yang timbul pada saat-saat tertentu bersama
dengan kesadaran disebut pariyutthana-moha,
kegelapan yang muncul.
Anusaya-moha
Seperti sebatang pohon beracun
menghasilkan buah beracun pula, seperti itulah rentetan mental makhluk, ada
suatu unsur (dhatu), yang terus menutupi Dhamma yang harus diketahui. Unsur
tersebut adalah anusaya-moha, kegelapan laten. Karena anusaya-moha menutupi kebenaran
Dhamma, makhluk-makhluk duniawi (puthujjana) tidak mampu menyadari secara
mendalam tiga corak umum, yaitu : anicca (kefanaan), dukkha (tidak memuaskan,
penderitaan), dan anatta (tiada inti diri), maupun Empat Kebenaran Ariya, serta
Paticcasamuppada, Hukum Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan.
Makhluk-makhluk keduniawian tidak
mampu mengidentifikasikan kegelapan batin yang mengendap dengan pengetahuan
mereka yang terbatas. Dewasa ini, meskipun orang menyatakan dirinya mengetahui
apa yang dimaksud dengan anicca, dukkha, anatta, dan sebagainya, mereka cuma
mengetahui melalui buku, pengetahuan mereka sebatas permukaan saja, bukan
merupakan hasil penembusan atau realisasi yang jernih. Sekalipun seseorang
menjadi Pemenang Arus (Sotapanna), Yang Sekali Kembali (Sakadagami), atau Yang
Tak Kembali (Anagami), anusaya-moha hanya terkikis sedikit demi sedikit. Hanya
ketika seseorang mencapai tataran Arahat, anusaya-moha-dhatu, unsur kegelapan
batin laten, terhapus sepenuhnya. Olehkarena itu, bahkan pada saat kita
melakukan perbuatan baik atau bermanfaat sebelum menjadi Arahat, anusaya-moha
masih tetap ada, hanya diam terpendam.
Pariyutthana-moha
Ketika moha muncul bersama pikiran,
dikatakan bahwa pikiran buruk, yang negatif, telah timbul. Karena sifat pariyutthana-moha
yang menyelubungi inilah, akibat-akibat
buruk yang membuat seseorang menderita pada kehidupan mendatang tidak
dipahami sepenuhnya. Keburukan perbuatan negatif pada kehidupan sekarang juga
tidak dipahami. Oleh karena itu, bahkan seorang yang terpelajar atau orang baik
pun tidak mampu melihat keburukan moha dan akan melakukan perbuatan salah
ketika moha muncul. Moha inilah, dalam ladang kejahatan, adalah yang paling
jahat. Di dunia ini semua kejahatan dan kebodohan bersumber dari moha; moha adalah
akar dari segala kejahatan.
(Sebuah
kisah)
Orang Bijak yang dikuasai
Kebodohan
Seorang Bodhisatta yang bernama
Haritaca, meninggalkan keduniawian, meninggalkan kekayaannya yang sangat besar,
menjadi seorang petapa dan mencapai kekuatan adialami yang luar biasa, jhana
dan abhinna. Pada suatu saat, ketika hujan turun dengan lebatnya di Himalaya,
petapa itu datang ke Baranasi dan tinggal di sebuah taman milik Raja Baranasi.
Pada kehidupan lampau, Raja Baranasi adalah teman lamanya yang dalam penyempurnaan
kesempurnaan (Parami) kelak terlahir kembali menjadi Bhikkhu Ananda. Oleh
karena itu, ketika Raja melihat petapa tersebut, Ia langsung memberikan hormat
dan meminta sang petapa untuk tinggal di taman kerajaan; raja juga menyediakan
empat kebutuhan pokok; dia sendiri mempersembahkan makanan pagi untuk petapa
itu di istananya.
Suatu ketika, sebuah pemberontakan
terjadi, raja harus turun tangan untuk memadamkan pemberontakan tersebut.
Sebelum raja pergi dengan tentaranya, dia berpesan kepada ratu untuk tidak
lalai melayani kebutuhan petapa tersebut. Ratu mematuhi pesan sang raja. Pada
suatu pagi, sehabis mandi air wangi, ratu memakai pakaian yang indah dan
berbaring di ranjang sembari menanti kedatangan sang petapa.
Bodhisatta tiba melalui udara dengan kekuatan
adialaminya (abhinna) di depan jendela istana. Mendengar kelibatan jubah
petapa, ratu bergegas bangun dari ranjangnya dan pakaiannya terjatuh di lantai.
Melihat pakaian ratu terlepas dari tubuhnya, anusaya-moha yang terpendam dalam
pikiran sang petapa muncul menjadi pariyutthana-moha. Terkuasai oleh hawa nafsu, petapa memegang tangan ratu dan
melakukan hubungan amoral.
Catatan : Kita harus secara serius menanggapi
kebodohan yang muncul melalui moha dalam cerita tersebut. Jika moha yang
sedemikian itu tidak muncul pada dirinya, ia tidak akan melakukan perbuatan
hina tersebut, meskipun raja menyetujuinya. Namun pada saat itu, karena
dikuasai oleh gelapnya ketidaktahuan, ia tidak melihat akibat buruk dari
perbuatannya pada kehidupan sekarang dan mendatang di dalam samsara, akibatnya,
ia melakukan pelanggaran moral yang tidak semestinya. Jhana dan abhinna yang
telah dia peroleh melalui latihan keras selama hidupnya juga tidak mampu
mengenyahkan kegelapan moha; malahan, karena terkuasai oleh moha, jhana dan
abhinna yang dimiliki lenyap dengan sendirinya.
Namun demikian, petapa yang telah
cukup matang dalam parami itu belajar dari pengalaman pahit dan menyesali
perbuatannya kepada raja, sekembalinya raja ke istana. Dia berjuang kembali
untuk mendapatkan jhana dan abhinna, dan merenungkan, “ Saya telah melakukan
perbuatan keliru karena tinggal berdekatan dengan umat awam.” Petapa Haritaca
kembali ke Himalaya.
Ketidaktahuan tidak selalu
berarti Moha
Karena moha dijelaskan sebagai
ketidaktahuan, beberapa orang berpikir bahwa tidak mengetahui hal yang belum
dipelajari, tidak mengetahui nama seseorang yang belum pernah dikenal, juga
merupakan moha. Ketidaktahuan seperti contoh tersebut semata-mata karena
kurangnya pengetahuan; itu samasekali bukan moha yang sebenarnya; jadi itu
bukan suatu faktor mental yang buruk, hanya absennya pengenalan atau persepsi
(sanna) yang belum pernah di cerap sebelumnya. Bahkan para Arahat juga memiliki
ketidaktahuan yang sedemikian itu, tidak cuma manusia pada umumnya.
Bahkan Bhikkhu Sariputta, yang
memiliki kebijaksanaan tertinggi setelah Buddha, mengajarkan praktik meditasi
yang kurang sesuai kepada seorang bhikkhu muda. Berpikir bahwa bhikkhu muda itu
sedang dalam usia yang penuh nafsu, ia meresepkan asubha kammatthana, yaitu
meditasi dengan obyek menjijikkan (seperti mayat yang membusuk), yang mana
obyek ini tidak sesuai dengan sifat muridnya. Meskipun sang murid telah
bermeditasi selama empat bulan, ia tak kunjung mendapatkan pertanda konsentrasi
(nimitta).
Kemudian bhikkhu muda itu dibawa ke
hadapan Buddha. Buddha menciptakan bunga teratai mekar dan memberikannya kepada
sang bhikkhu muda, yang dengan senang hati menerimanya. Ketika Buddha
menunjukkan hancurnya bunga tersebut, bhikkhu muda itu merasakan samvega, suatu
perasaan desakan spiritual. Kemudian Buddha membabarkan ceramah yang
dirancang-Nya untuk menyadarkan bhikkhu muda itu akan corak anicca, dukkha dan
anatta, akhirnya ia mencapai tingkat arahat. Yang perlu dicatatan disini adalah
pengetahuan Buddha yang luar biasa; dan ada hal-hal yang tidak diketahui bahkan
oleh Bhikkhu Sariputta yang telah terbebas dari moha.
Demikianlah, bahkan Bhikkhu Sariputta
tidak mengetahui sesuatu yang di luar wawasannya. Jadi, tidak mengetahui
sesuatu yang belum pernah diajarkan dan yang hanya ada dalam lingkup Buddha,
bukanlah Moha. Ini semata-mata hanya kurangnya pengetahuan atau pembelajaran.
Sebagai contoh, kasus seseorang yang tidak dapat melihat obyek jarak jauh pada
siang bolong. Dia tidak bisa melihat bukan karena ada rintangan yang menutupi
obyek dari pandangannya, tetapi hanya karena kelemahan matanya.
Moha Kasar dan Halus
Moha yang mana tidak dapat membedakan
apa yang buruk atau tidak bermanfaat dan apa yang baik atau bermanfaat adalah
moha kasar. Moha yang menghalangi realisasi sifat anicca, dukkha , dan anatta
dari nama dan rupa, Empat Kebenaran Ariya, dan Hukum Sebab Musabab Yang saling
Bergantungan, adalah moha yang halus. Pikiran yang disertai oleh moha disebut
dengan “pikiran khayal, pikiran tolol” dan seseorang yang dikuasai oleh moha
disebut “tolol, dungu, bebal, tumpul, liar, bodoh, tidak bermanfaat”
“Dunia ini ada dalam kegelapan pekat.
Hanya segelintir orang di dunia ini yang dapat mencerap
dengan luar biasa.
Seperti halnya sedikit burung yang bisa lolos dari jaring,
sangat sedikitlah orang yang dapat terlahir kembali di
alam para deva setelah kematian.” (Dhammapada, 174)
Sumber bacaan : Abhidhamma sehari-hari Bab II – Oleh
: Ashin Janakabhivamsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar