Senin, Juli 16, 2012

Lobha (Keserakahan) [5]


5. LOBHA

(Keserakahan)


Lobha adalah keserakahan atau ketamakan, yaitu nafsu keinginan akan kesenangan indrawi. Namun demikian, kemauan untuk mencapai Nibbana, kemauan untuk mendapatkan Dhamma, kemauan untuk menjadi terpelajar, kemauan untuk menjadi kaya agar bisa berderma bagi kaum papa, bukanlah lobha. Contoh-contoh tersebut dinamakan Chanda (kemauan), yang akan dibahas kemudian.

Istilah lain keserakahan
Lobha sering diistilahkan juga dengan pema, tanha, raga atau samudaya. Istilah pema sebenarnya dipakai untuk istilah cinta di antara saudara laki-laki dengan saudara perempuan, antara suami dan istri, dengan sesama anggota keluarga, dan lain-lain. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa pema adalah cinta yang tulus. Cinta tersebut juga bisa disebut sebagai samyojana, yang berarti mengikat. Samyojana mengikat seseorang dengan orang lain seperti ikatan tali, yang tidak terpisahkan satu sama lain.

Lima jenis obyek, yaitu obyek penglihatan, suara, bau, rasa, dan sentuhan adalah obyek indrawi, didambakan dan disenangi oleh setiap orang, mereka disebut kamaguna (kama = diinginkan + guna = tali).

Seperti rasa lapar dan haus, hasrat kuat akan obyek-obyek keinginan yang melampaui keinginan biasa, disebut tanha atau nafsu. Orang yang selalu bernafsu terhadap lawan jenisnya dijuluki “gila birahi”. Tanha berarti nafsu atau kehausan. Dari kelima jenis obyek inrawi, sentuhan tubuh (hubungan intim) adalah yang paling digairahkan, inilah yang disebut raga atau nafsu birahi. Raga juga berarti mencengkeram atau melekat pada sesuatu. Seperti pewarna yang menempel pada kain, raga adalah lobha yang selalu menginginkan atau melekat pada seseorang. (Istilah-istilah ini bukan arti harfiah, tetapi dikelompokkan berdasarkan pemakaian umum).

Dalam pengelompokan Empat Kebenaran Ariya, lobha diistilahkan sebagai samudaya, yang berarti sebab dari penderitaan atau benih penderitaan. Semua makhluk hidup yang tidak dapat melenyapkan lobha harus mengembara dalam lingkaran kelahiran kembali bersama dengan penderitaan.

Penderitaan, berat atau ringan, yang dialami oleh semua makhluk, berawal dari tanha, lobha, atau samudaya. Oleh karena itu, semakin besar keserakahan, semakin berat pula penderitaan, dan sebaliknya, semakin kecil keserakahan, semakin ringan pula penderitaan. Jika tidak ada keserakahan, tidak akan ada penderitaan samasekali. Pikiran yang muncul bersama dengan lobha disebut pikiran tamak, serakah, penuh nafsu, atau terbelenggu.

Keserakahan tidak mudah dipadamkan
Jika keserakahan tidak dikendalikan dengan Dhamma, dan dibiarkan terus -menerus, keserakahan tidak akan pernah padam. Seperti halnya tanduk anak sapi yang terus memanjang seiring dengan bertambahnya umur, keserakahan manusia yang menemaninya semenjak janin, berkembang sejalan dengan bertambahnya umur. Ada ujar-ujar untuk orang berumur yang tidak dapat mengendalikan keserakahannya : “ Konde rambut terkulai karena ukurannya; ketololan tumbuh sejalan dengan umur.”

Minum Air asin
Semenjak lahir, anak-anak mulai menyayangi orang-tua mereka, saudara, teman-teman, dan lain-lain, Ketika mereka tumbuh dewasa, mereka mengembangkan perasaan suka dan cinta kepada teman sepermainan dan sahabat. Karena tertuntun oleh naluri dasar, mereka menjadi haus dan bertambah haus akan cinta seakan mereka telah mabuk air asin. Lalu mereka meminumnya lagi dan lagi, dan semakin haus pula mereka jadinya. Haus dengan kesenangan indrawi, mereka memanjakan diri mereka di dalamnya karena mereka tidak mampu melihat penderitaan yang menyongsong; dengan canda tawa mereka berputar-putar di dalam samudra cinta.

Mengenai cinta yang disertai nafsu atau kemelekatan, sebuah syair kuno Myanmar berujar, “ Cinta! Cinta! Semakin mereka bercinta, semakin tidak puaslah mereka, seperti halnya mereka tidak dapat meredakan dahaga dengan minum air asin. Cinta atau tanha membutakan dan merusak diri sendiri; mengharap kebahagiaan melalui cinta, orang memupuk cinta, Inilah jalan cinta, sifat cinta.”

Lobha membawa ke Empat Alam Rendah
Seperti halnya partikel terkecil batu yang dapat tenggelam dalam air, bahkan sekelumit keserakahanpun dapat membawa kita ke empat alam rendah jika tidak didukung dengan timbunan perbuatan baik. Oleh karena itu, banyak manusia yang terlahir kembali sebagai makhluk peta (hantu kelaparan) karena mereka terlalu melekat pada pasangan, anak atau kekayaan mereka saat menjelang ajal.  

Ada sebuah cerita pada zaman Buddha, seorang Bhikkhu yang terlalu melekat pada jubah barunya, setelah kematiannya, terlahir kembali sebagai seekor kutu yang tinggal di jubah barunya. Setelah tujuh hari barulah bhikkhu tersebut terbebas dari kehidupan sebagai seekor kutu.

Lobha tidak akan membawa ke Empat Alam Rendah jika didukung oleh perbuatan baik
Meskipun mengandung kemelekatan satu sama lain, pema dan tanha seseorang tidak akan menyeret ke alam kehidupan rendah jika didukung dengan perbuatan baik. Sebagai perumpamaan, sebuah batu akan tenggelam ke dasar air, tetapi batu tidak akan tenggelam jika diangkut oleh sebuah perahu. Dalam cerita Jataka, ada banyak contoh mereka-mereka yang belum terbebas dari tanha dan pema bisa menjadi mitra akrab dalam bersama-sama memenuhi parami.

Pokok yang perlu dipertimbangkan
Setelah memantapkan hubungan yang rukun, suami dan istri tidak ingin berpisah satu dengan lain; mereka ingin menyempurnakan parami bersama dan mencapai Nibbana.  

Seorang wanita bernama Sumitta, bertekad untuk selalu bersama dengan Bodhisatta Sumeda, demikian juga bakal Mahakassapa dan bakal Bhadda. Mereka menyempurnakan parami bersama selama banyak kappa. Apakah ini adalah contoh dari Chanda, kemauan (yang akan dibahas kemudian), atau contoh dari tanha-pema? Hal ini perlu dipertimbangkan.

Jawaban : tentunya, tokoh-tokoh dalam cerita diatas adalah orang-orang bajik dan bijak. Pengharapan untuk berkumpul dengan orang yang bijak adalah kusala-chanda (kemauan baik). Mereka juga adalah orang-orang bermoral yang berusaha untuk memenuhi parami. Dalam Kanon Pali disebutkan bahwa : “ Pengharapan orang bijak senantiasa akan terpenuhi. Melalui chanda, segala sesuatu bisa terpenuhi. “ Oleh karena itu, meskipun mereka masih memiliki tanha dan pema yang mengikat mereka, karena chanda mereka yang kuat, seorang bodhisatta dan kawan-kawannya menjadi mitra dalam penyempurnaan parami, seperti yang ditentukan oleh perbuatan baik yang telah mereka lakukan.

“Ijjhati bhikkave silavato cetopanidhi, visuddhatta”

“Bhikkhu, pengharapan orang yang bajik akan terpenuhi karena pengharapan itu murni.” (Anguttara Nikaya).


(Sebuah Kisah )
Nakulapita dan Nakulamata

Pada masa hidup Buddha, hiduplah seorang kaya bernama Nakulapita dan istrinya Nakulamata, Pada banyak kehidupan sebelumnya mereka telah hidup bersama. Keduanya telah menjadi Sotapanna (Pemenang arus) sejak pertama kali mereka bernaung kepada Buddha. Pasangan ini pernah menjadi orang tua, paman, dan bibi dari Bodhisatta dalam banyak kehidupan lampau. Mereka sangat menyayangi Buddha seolah Ia adalah anak mereka sendiri dan mereka sangat akrab dengan Buddha. Mereka juga sering menanyakan berbagai pertanyaan kepada Beliau. Suatu ketika Nakulapita berkata kepada Buddha. “ Bhante, saya telah memperistri Nakulamata semenjak saya muda. Sejak itu saya tidak pernah melakukan apalagi berpikir untuk menyeleweng. Saya selalu ingin berada di samping Nakulamata, bukan hanya pada kehidupan sekarang tetapi juga pada kehidupan seterusnya dalam mengarungi samsara.”

Mendengar ucapan Nakulapita, istrinya juga berujar, : “Bhante, saya ikut bersamanya semenjak saya muda. Sejak saat itu saya tidak pernah berpaling kepada laki-laki lain. Saya selalu ingin berada di sampingnya, bukan hanya pada kehidupan sekarang, tetapi juga pada kehidupan seterusnya dalam mengarungi samsara.”

Kemudian Buddha berkata : ”Jika suami dan istri yang hidup rukun berharap untuk selalu bersama dalam kehidupan yang akan datang, keduanya harus setara dalam keyakinan (saddha), setara dalam moralitas (sila), setara dalam kemurahan hati (caga), dan setara dalam kebijaksanaan (panna).”

“ Kalau sang suami memiliki keyakinan murni, begitu pula layaknya sang istri. Kalau sang suami memiliki moralitas yang baik, begitu pula layaknya sang istri. Jika salah satu ingin memberikan derma, yang lain harus mendukungnya. Jika istri melakukan dana, suami harus mendukungnya. Jika suami melakukan dana, istri harus ikut berbahagia. Kebijaksanaan dan pengetahuan mereka juga harus setara.”

Untuk penjelasan lebih lanjut, ayat dalam Pancavudha Pyo (sebuah puisi Myanmar) berkata sebagai berikut : “ Di alam manusia, jika suami dan istri hidup harminis dan ingin selalu bersama, jika mereka memiliki kedermawanan, moralitas, keyakinan, dan kebijaksanaan yang setara, mereka akan selalu bersama dalam samsara seperti pasangan deva dan devi di alam surgawi sepanjang  lingkaran tumimbal lahir”.

Catatan : Cinta antara suami dan istri yang keduanya telah mencapai tingkat Sotapanna perlu dipertimbangkan dulu. Karena mereka saling mencintai dengan tulus, mereka tidak berpikir untuk saling tidak setia. Karena pikiran mereka begitu dengan yang lain. Mereka selalu ingin bersama dalam samsara. Meskipun pengharapan tersebut tergolong chanda atas dasar lobha, tanha, pema, dan lobha dari pasangan yang bajik ini akan mengikat mereka untuk selalu bersama, dan seluruh perbuatan baik mereka akan menuntun mereka menuju alam-alam bahagia.

Sumber  bacaan : Abhidhamma sehari-hari Bab II – Oleh : Ashin Janakabhivamsa.




Sebelumnya ==> 4. Uddhacca (Kegelisahan, Kegalauan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar