5. LOBHA
(Keserakahan)
Lobha adalah keserakahan atau
ketamakan, yaitu nafsu keinginan akan kesenangan indrawi. Namun demikian,
kemauan untuk mencapai Nibbana, kemauan untuk mendapatkan Dhamma, kemauan untuk
menjadi terpelajar, kemauan untuk menjadi kaya agar bisa berderma bagi kaum
papa, bukanlah lobha. Contoh-contoh tersebut dinamakan Chanda (kemauan), yang
akan dibahas kemudian.
Istilah lain keserakahan
Lobha sering diistilahkan juga dengan pema, tanha, raga atau
samudaya. Istilah pema sebenarnya dipakai untuk istilah cinta di antara saudara
laki-laki dengan saudara perempuan, antara suami dan istri, dengan sesama
anggota keluarga, dan lain-lain. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa pema
adalah cinta yang tulus. Cinta tersebut juga bisa disebut sebagai samyojana,
yang berarti mengikat. Samyojana mengikat seseorang dengan orang lain seperti
ikatan tali, yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Lima jenis obyek, yaitu obyek penglihatan, suara, bau, rasa,
dan sentuhan adalah obyek indrawi, didambakan dan disenangi oleh setiap orang,
mereka disebut kamaguna (kama = diinginkan + guna = tali).
Seperti rasa lapar dan haus, hasrat kuat akan obyek-obyek
keinginan yang melampaui keinginan biasa, disebut tanha atau nafsu. Orang yang
selalu bernafsu terhadap lawan jenisnya dijuluki “gila birahi”. Tanha berarti
nafsu atau kehausan. Dari kelima jenis obyek inrawi, sentuhan tubuh (hubungan
intim) adalah yang paling digairahkan, inilah yang disebut raga atau nafsu
birahi. Raga juga berarti mencengkeram atau melekat pada sesuatu. Seperti
pewarna yang menempel pada kain, raga adalah lobha yang selalu menginginkan
atau melekat pada seseorang. (Istilah-istilah ini bukan arti harfiah, tetapi
dikelompokkan berdasarkan pemakaian umum).
Dalam pengelompokan Empat Kebenaran Ariya, lobha diistilahkan
sebagai samudaya, yang berarti sebab dari penderitaan atau benih penderitaan.
Semua makhluk hidup yang tidak dapat melenyapkan lobha harus mengembara dalam
lingkaran kelahiran kembali bersama dengan penderitaan.
Penderitaan, berat atau ringan, yang dialami oleh semua
makhluk, berawal dari tanha, lobha, atau samudaya. Oleh karena itu, semakin
besar keserakahan, semakin berat pula penderitaan, dan sebaliknya, semakin
kecil keserakahan, semakin ringan pula penderitaan. Jika tidak ada keserakahan,
tidak akan ada penderitaan samasekali. Pikiran yang muncul bersama dengan lobha
disebut pikiran tamak, serakah, penuh nafsu, atau terbelenggu.
Keserakahan tidak mudah dipadamkan
Jika keserakahan tidak dikendalikan dengan Dhamma, dan
dibiarkan terus -menerus, keserakahan tidak akan pernah padam. Seperti halnya
tanduk anak sapi yang terus memanjang seiring dengan bertambahnya umur,
keserakahan manusia yang menemaninya semenjak janin, berkembang sejalan dengan
bertambahnya umur. Ada ujar-ujar untuk orang berumur yang tidak dapat
mengendalikan keserakahannya : “ Konde rambut terkulai karena ukurannya;
ketololan tumbuh sejalan dengan umur.”
Minum Air asin
Semenjak lahir, anak-anak mulai menyayangi orang-tua mereka,
saudara, teman-teman, dan lain-lain, Ketika mereka tumbuh dewasa, mereka
mengembangkan perasaan suka dan cinta kepada teman sepermainan dan sahabat.
Karena tertuntun oleh naluri dasar, mereka menjadi haus dan bertambah haus akan
cinta seakan mereka telah mabuk air asin. Lalu mereka meminumnya lagi dan lagi,
dan semakin haus pula mereka jadinya. Haus dengan kesenangan indrawi, mereka
memanjakan diri mereka di dalamnya karena mereka tidak mampu melihat
penderitaan yang menyongsong; dengan canda tawa mereka berputar-putar di dalam
samudra cinta.
Mengenai cinta yang disertai nafsu atau kemelekatan, sebuah
syair kuno Myanmar berujar, “ Cinta! Cinta! Semakin mereka bercinta, semakin
tidak puaslah mereka, seperti halnya mereka tidak dapat meredakan dahaga dengan
minum air asin. Cinta atau tanha membutakan dan merusak diri sendiri; mengharap
kebahagiaan melalui cinta, orang memupuk cinta, Inilah jalan cinta, sifat
cinta.”
Lobha membawa ke Empat Alam Rendah
Seperti halnya partikel terkecil batu yang dapat tenggelam
dalam air, bahkan sekelumit keserakahanpun dapat membawa kita ke empat alam
rendah jika tidak didukung dengan timbunan perbuatan baik. Oleh karena itu,
banyak manusia yang terlahir kembali sebagai makhluk peta (hantu kelaparan)
karena mereka terlalu melekat pada pasangan, anak atau kekayaan mereka saat
menjelang ajal.
Ada sebuah cerita pada zaman Buddha, seorang Bhikkhu yang
terlalu melekat pada jubah barunya, setelah kematiannya, terlahir kembali
sebagai seekor kutu yang tinggal di jubah barunya. Setelah tujuh hari barulah
bhikkhu tersebut terbebas dari kehidupan sebagai seekor kutu.
Lobha tidak akan membawa ke Empat Alam Rendah jika didukung
oleh perbuatan baik
Meskipun mengandung kemelekatan satu sama lain, pema dan
tanha seseorang tidak akan menyeret ke alam kehidupan rendah jika didukung
dengan perbuatan baik. Sebagai perumpamaan, sebuah batu akan tenggelam ke dasar
air, tetapi batu tidak akan tenggelam jika diangkut oleh sebuah perahu. Dalam
cerita Jataka, ada banyak contoh mereka-mereka yang belum terbebas dari tanha
dan pema bisa menjadi mitra akrab dalam bersama-sama memenuhi parami.
Pokok yang perlu dipertimbangkan
Setelah memantapkan hubungan yang rukun, suami dan istri
tidak ingin berpisah satu dengan lain; mereka ingin menyempurnakan parami
bersama dan mencapai Nibbana.
Seorang wanita bernama Sumitta, bertekad untuk selalu bersama
dengan Bodhisatta Sumeda, demikian juga bakal Mahakassapa dan bakal Bhadda.
Mereka menyempurnakan parami bersama selama banyak kappa. Apakah ini adalah
contoh dari Chanda, kemauan (yang akan dibahas kemudian), atau contoh dari
tanha-pema? Hal ini perlu dipertimbangkan.
Jawaban : tentunya, tokoh-tokoh dalam cerita diatas adalah
orang-orang bajik dan bijak. Pengharapan untuk berkumpul dengan orang yang
bijak adalah kusala-chanda (kemauan baik). Mereka juga adalah orang-orang
bermoral yang berusaha untuk memenuhi parami. Dalam Kanon Pali disebutkan bahwa
: “ Pengharapan orang bijak senantiasa akan terpenuhi. Melalui chanda, segala
sesuatu bisa terpenuhi. “ Oleh karena itu, meskipun mereka masih memiliki tanha
dan pema yang mengikat mereka, karena chanda mereka yang kuat, seorang
bodhisatta dan kawan-kawannya menjadi mitra dalam penyempurnaan parami, seperti
yang ditentukan oleh perbuatan baik yang telah mereka lakukan.
“Ijjhati bhikkave silavato cetopanidhi, visuddhatta”
“Bhikkhu, pengharapan orang yang bajik akan terpenuhi
karena pengharapan itu murni.” (Anguttara Nikaya).
(Sebuah Kisah )
Nakulapita dan Nakulamata
Pada masa hidup Buddha, hiduplah seorang kaya bernama
Nakulapita dan istrinya Nakulamata, Pada banyak kehidupan sebelumnya mereka
telah hidup bersama. Keduanya telah menjadi Sotapanna (Pemenang arus) sejak
pertama kali mereka bernaung kepada Buddha. Pasangan ini pernah menjadi orang
tua, paman, dan bibi dari Bodhisatta dalam banyak kehidupan lampau. Mereka
sangat menyayangi Buddha seolah Ia adalah anak mereka sendiri dan mereka sangat
akrab dengan Buddha. Mereka juga sering menanyakan berbagai pertanyaan kepada
Beliau. Suatu ketika Nakulapita berkata kepada Buddha. “ Bhante, saya telah
memperistri Nakulamata semenjak saya muda. Sejak itu saya tidak pernah
melakukan apalagi berpikir untuk menyeleweng. Saya selalu ingin berada di
samping Nakulamata, bukan hanya pada kehidupan sekarang tetapi juga pada
kehidupan seterusnya dalam mengarungi samsara.”
Mendengar ucapan Nakulapita, istrinya juga berujar, :
“Bhante, saya ikut bersamanya semenjak saya muda. Sejak saat itu saya tidak
pernah berpaling kepada laki-laki lain. Saya selalu ingin berada di sampingnya,
bukan hanya pada kehidupan sekarang, tetapi juga pada kehidupan seterusnya
dalam mengarungi samsara.”
Kemudian Buddha berkata : ”Jika suami dan istri yang hidup
rukun berharap untuk selalu bersama dalam kehidupan yang akan datang, keduanya
harus setara dalam keyakinan (saddha), setara dalam moralitas (sila), setara
dalam kemurahan hati (caga), dan setara dalam kebijaksanaan (panna).”
“ Kalau sang suami memiliki keyakinan murni, begitu pula
layaknya sang istri. Kalau sang suami memiliki moralitas yang baik, begitu pula
layaknya sang istri. Jika salah satu ingin memberikan derma, yang lain harus
mendukungnya. Jika istri melakukan dana, suami harus mendukungnya. Jika suami
melakukan dana, istri harus ikut berbahagia. Kebijaksanaan dan pengetahuan
mereka juga harus setara.”
Untuk penjelasan lebih lanjut, ayat dalam Pancavudha Pyo
(sebuah puisi Myanmar) berkata sebagai berikut : “ Di alam manusia, jika suami
dan istri hidup harminis dan ingin selalu bersama, jika mereka memiliki
kedermawanan, moralitas, keyakinan, dan kebijaksanaan yang setara, mereka akan
selalu bersama dalam samsara seperti pasangan deva dan devi di alam surgawi
sepanjang lingkaran tumimbal lahir”.
Catatan : Cinta antara
suami dan istri yang keduanya telah mencapai tingkat Sotapanna perlu
dipertimbangkan dulu. Karena mereka saling mencintai dengan tulus, mereka tidak
berpikir untuk saling tidak setia. Karena pikiran mereka begitu dengan yang
lain. Mereka selalu ingin bersama dalam samsara. Meskipun pengharapan tersebut
tergolong chanda atas dasar lobha, tanha, pema, dan lobha dari pasangan yang
bajik ini akan mengikat mereka untuk selalu bersama, dan seluruh perbuatan baik
mereka akan menuntun mereka menuju alam-alam bahagia.
Sumber bacaan : Abhidhamma sehari-hari Bab II – Oleh
: Ashin Janakabhivamsa.
Sebelumnya ==> 4. Uddhacca (Kegelisahan, Kegalauan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar