ANAK YANG MEMBUNUH ORANGTUANYA
Kisah ini
terdapat di dalam salah satu bagian dari Kitab Suci Tipitaka. Dikisahkan
tentang salah satu dari dua murid utama Sang Buddha Gotama, bernama Yang Mulia
Moggallana. Meskipun Beliau sudah mencapai Tingkat Kesucian Tertinggi, Arahat,
dan mempunyai kemampuan fisik dan batin yang amat tinggi, tetapi Beliau
meninggal dengan cara yang amat menyedihkan, yaitu dikepung oleh para penjahat
dan dipukuli sampai meninggal dunia.
Sang Buddha lalu
menjelaskan perbuatan yang telah dilakukan oleh Yang Mulia Moggallana pada
salah satu kehidupannya yang lampau, sehingga ia harus menerima cara
kematiannya yang amat menyedihkan itu.
Pada masa lampau,
terdapatlah seorang pemuda yang amat baik budi. Ia mengerjakan semua pekerjaan
rumah tangganya sendiri, seperti menanak nasi, membersihkan rumah serta merawat
kedua orangtua yang matanya buta itu dengan penuh kasih sayang.
Kedua orangtuanya
mengkhawatirkan anaknya yang bekerja seorang diri, mereka lalu berkata kepada
anaknya :
"Anakku,
kamu pasti terlalu capai mengerjakan semua pekerjaan seorang diri, baik di
dalam rumah maupun mencari kayu bakar di hutan. Kalau kamu setuju, kami akan
melamarkan seorang anak gadis untuk menjadi isterimu, supaya dapat membantu
meringankan pekerjaanmu."
Anak itu lalu
menjawab : "Ibu, saya tidak memerlukan bantuan apa-apa, saya sanggup
mengerjakan semuanya. Selama ayah dan ibu masih hidup, sayalah yang akan
menjaga dan merawatmu dengan tanganku sendiri."
Berkali-kali ia
menolak usul kedua orangtuanya untuk mengambil seorang isteri. Tetapi ayah dan
ibunya terus mendesak, sehingga akhirnya ia diam saja dan menerima seorang
gadis muda untuk menjadi isterinya.
Hanya beberapa
hari saja isterinya mau merawat kedua orangtuanya. Setelah itu ia berkata
kepada suaminya, bahwa ia tidak sanggup lagi untuk merawat kedua orangtua itu
dan tidak ingin hidup bersama mereka lagi, ia tidak senang dengan kehidupan
seperti itu.
Dengan
menunjukkan ketidak-senangannya, ia selalu berkata :
"Saya tidak
sanggup untuk hidup lebih lama lagi bersama ayah dan ibumu yang buta itu."
Suaminya tidak
menghiraukan ocehan isterinya, sampai pada suatu hari isteri muda itu mengambil
tanah merah, kulit kayu dan butir-butir gandum, ia menebarkannya dimana-mana,
di sekitar rumah itu. Ketika suaminya pulang dan bertanya, apa yang telah
terjadi, isterinya menjawab :
"Suamiku,
semua ini adalah perbuatan orangtuamu yang buta itu, mereka mengotori seluruh
rumah ini, saya tidak sanggup lagi untuk hidup bersama mereka."
Ia katakan hal
itu berulang-ulang, terus-menerus. Si Suami yang semula ragu-ragu, akhirnya
menjadi percaya dengan perkataan isterinya, dan sebagai seseorang yang belum
mencapai tingkat kesempurnaan, ia menjadi kesal dengan kedua orangtuanya.
"Isteriku,
jangan khawatir," kata suaminya, "Saya akan menemukan jalan yang
paling tepat untuk membuang mereka."
Kemudian ia
memberi makan kepada kedua orangtuanya sambil berkata :
"Ayah dan
ibu, ada salah satu keluarga kita yang sangat mengharapkan kedatanganmu,
marilah kita datang mengunjungi mereka."
Ia lalu membantu
kedua orangtuanya yang buta masuk ke dalam kereta, ia juga ikut pergi bersama
mereka. Ketika mereka berada di tengah hutan yang sangat lebat, ia berkata
kepada ayahnya :
"Ayah
peganglah tali kekang ini, lembu-lembu ini dapat berjalan ke arah yang kita
tuju dengan baik, di sini banyak para perampok bersembunyi, menunggu
orang-orang yang lewat. Saya turun dulu melihat keadaan di sekitar tempat
ini."
Ia lalu
memberikan tali kekang itu kepada ayahnya, dan segera turun dari kereta,
diarahkannya kereta itu masuk ke dalam hutan yang amat lebat.
Anak muda itu
mulai membuat keributan, teriakan-teriakan, amat berisik seolah-olah ada
segerombolan perampok yang akan menyerang. Ketika kedua orangtua mendengar
suara yang amat berisik itu, mereka ketakutan dan berpikir :
"Wah, ada
segerombolan perampok yang akan menyerang kita." Mereka lalu berkata
dengan berteriak : "Anakku, kami sudah tua, cepatlah pergi, selamatkanlah
dirimu, jangan perhatikan kami lagi. Pergilah, cepat pergi....!"
Ketika kedua orangtua
itu berteriak menyuruhnya pergi, anak laki-laki itu juga berteriak-teriak
seperti teriakan perampok, ia lalu memukuli kedua orangtuanya itu sampai mati,
dan membuang mayatnya ke dalam hutan lebat.
Setelah melakukan
perbuatan yang kejam itu, ia pulang ke rumah. Ia amat menyesali perbuatannya.
Setelah menceritakan perbuatan Bhikkhu
Moggallana di masa yang lampau, Sang Buddha lalu berkata :
"O Para Bhikkhu, karena perbuatan buruk yang telah
dilakukannya, pada salah satu kehidupannya di masa yang lampau, dengan membunuh
ayah dan ibunya yang buta, ia harus menerima kematiannya dengan cara yang
mengerikan seperti itu. Inilah kelahirannya yang terakhir di dalam lingkaran
Samsara ini, meskipun ia telah menjadi orang suci, ia tetap tidak dapat
melarikan diri dari akibat perbuatan buruk yang telah dilakukannya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar