MAHA PARINIBBANA SUTTA ( IV
)
Sumber :
Maha Parinibbana
Sutta,
Editor :
Pandita Pannasiri,
Disempurnakan
: Cornelis Wowor, MA.,
Diterbitkan
oleh CV. Lovina Indah, Jakarta 1989
BAB IV
PANDANGAN SEPERTI GAJAH
1. Kemudian Sang Bhagava mempersiapkan diri untuk pindapatta (menerima dana makanan) di pagi hari. Sang Bhagava mengambil patta serta jubahnya lalu pergi ke Vesali. Sesudah mendapat dana dan selesai bersantap, beliau kembali ke tempatnya. Beliau memandang Vesali dengan pandangan sebagai gajah (para Buddha, tidak menengok ke belakang, melainkan membalikkan badan Beliau, seperti lakunya para gajah) dan berkata kepada Ananda : "Ananda inilah yang terakhir kalinya Sang Tathagata meninjau Vesali. Marilah Ananda kita pergi ke Bhadagama."
"Baiklah,bhante," jawab Ananda. Demikianlah Sang Bhagava bersama sejumlah bhikkhu berdiam di Bhadagama.
EMPAT PEMBAGIAN DHAMMA YANG UTAMA
2. Sang Bhagava menasehati para bhikkhu: "Para bhikkhu, sebenarnya karena tidak mempunyai keyakinan, karena tidak adanya pengertian terhadap empat Dasar Utama, menyebabkan kita telah berkelana dalam kelahiran dan kematian yang tak terputus-putusnya (samsara). Apakah keempat Dasar itu? Empat Dasar Utama itu adalah : kebajikan moral yang mulia (ariya sila), meditasi yang mulia (ariya samadhi), kebijaksanaan mulia (ariya panna) dan pembebasan yang mulia (ariya vimutti). Para bhikkhu, tetapi kini setelah kesemuanya kami sadari dan mengerti, lenyaplah keinginan untuk lahir kembali, maka padamlah segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya kelahiran kembali, sehingga tidak ada kelahiran baru lagi."
3. Selanjutnya Sang Bhagava berkata: "Kebajikan moral, meditasi, kebijaksanaan dan kebebasan telah dimilikinya. Inilah dhamma yang tiada taranya, yang telah dilaksanakan oleh Gotama. Dengan memahami semuanya itu, Sang Bhagava telah mengajarkan dhamma kepada para bhikkhu. Beliau adalah pembasmi dukkha, maha guru yang telah melihat dan yang selalu hidupnya sejahtera."
4. Di Bhadagama, Sang Bhagava sering memberi nasehat kepada para bhikkhu: "Ini adalah kebajikan moral (sila), ini adalah meditasi (samadhi) dan ini adalah kebijaksanaan (panna). Besar sekali pahala dan kemajuan bila meditasi dikembangkan berdasarkan pada sila yang baik. Besar sekali pahala dan kemajuan bila kebijaksanaan dikembangkan berdasarkan meditasi (samadhi) yang baik. Batin yang dikembangkan berdasarkan pada kebijaksanaan yang baik akan bebas dari kotoran batin seperti nafsu indera (kamasava), nafsu untuk 'menjadi' (bhavasava) dan pandangan salah (ditthasava)."
5-6. Setelah Sang Bhagava cukup lama berada di Bhadagama, Beliau bersabda kepada Ananda: "Marilah Ananda, kita pergi ke Hattigama bersama-sama dengan para bhikkhu." Demikianlah Sang Bhagava lama berdiam di Hattigama. Beliau lalu pergi ke Ambagama, kemudian ke Jambagama. Di setiap tempat ini Sang Bhagava sering memberi nasehat kepada para bhikkhu: "Ini adalah kebajikan moral (sila), ini adalah meditasi (samadhi) dan ini adalah kebijaksanaan (panna). Besar sekali pahala dan kemajuan bila meditasi dikembangkan berdasarkan sila yang baik. Besar sekali pahala dan kemajuan bila kebijaksanaan dikembangkan berdasarkan meditasi (samadhi) yang baik. Batin yang dikembangkan berdasarkan pada kebijaksanaan yang baik akan bebas dari kotoran batin seperti nafsu indera (kamasava), nafsu untuk 'menjadi' (bhavasava) dan pandangan salah (ditthasava)."
Setelah Sang Bhagava lama berdiam di Jambagama, beliau berkata kepada Ananda :
"Ananda,
marilah kita pergi ke Bhoganagara."
"Baiklah, bhante," jawab Ananda. Demikianlah Sang Bhagava bersama sejumlah bhikkhu tinggal di cetiya Ananda, di Bhoganagara.
EMPAT MACAM KEWIBAWAAN
7. Pada suatu hari Sang Bhagava menasehati para bhikkhu : "Para bhikkhu, sekarang kami akan menjelaskan tentang empat macam kewibawaan (mahapadesa), dengarkan dan perhatikan dengan seksama."
"Baiklah,
bhante," jawab para bhikkhu.
8. Seorang bhikkhu mungkin berkata : "Di depan dan dari mulut Sang Bhagava sendiri saya mendengar dan menerima pernyataan : "Ini dhamma, ini vinaya, ini ajaran Guru."
Para bhikkhu, kata-kata yang diungkapkan oleh bhikkhu itu seharusnya tidak diterima dengan pujian atau pun celaan. Tanpa pujian dan celaan semua kata dan ungkapan itu haruslah dimengerti dengan baik dan dibandingkan dengan Sutta dan Vinaya. Bila setelah dibandingkan, kata-kata dan ungkapan itu tidak sesuai dengan Sutta dan Vinaya, maka kamu sekalian dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya itu bukan ucapan Sang Bhagava dan telah disalahmengerti oleh bhikkhu itu. Kamu sekalian harus menolak pernyataan itu. Tetapi, jikalau kata-kata dan ungkapan itu sesuai dengan Sutta dan Vinaya, maka kamu sekalian dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya itu ucapan Sang Bhagava dan telah dimengerti dengan baik oleh bhikkhu itu. Ini harus diterima sebagai Mahapadesa pertama.
9. Seorang bhikkhu mungkin berkata : "Di tempat tertentu ada Sangha dengan para thera dan pemimpinnya. Di depan Sangha itu saya mendengar dan menerima pernyataan : "Ini dhamma, ini vinaya, ini ajaran Guru." Para bhikkhu, kata-kata yang diungkapkan oleh bhikkhu itu seharusnya tidak diterima dengan pujian atau pun celaan .... Ini harus diterima sebagi Mahapadesa kedua.
10. Seorang bhikkhu mungkin berkata: "Di tempat tertentu ada banyak bhikkhu thera dalam Sangha yang telah banyak belajar, berkeyakinan sama dengan para pendahulu, banyak mengetahui dhamma, vinaya dan menguasai matika (ikhtisar). Di depan para bhikkhu thera itu saya mendengar dan menerima pernyataan : "Ini dhamma, ini vinaya dan ini ajaran Guru." Para bhikkhu, kata-kata yang diungkapkan oleh bhikkhu itu seharusnya tidak diterima dengan pujian atau pun celaan .... Ini harus diterima sebagai Mahapadesa ketiga.
11. Seorang bhikkhu mungkin berkata: "Di tempat tertentu ada seorang bhikkhu yang telah banyak belajar, berkeyakinan sama dengan para pendahulu, banyak mengetahui dhamma, vinaya dan menguasai matika (iktisar). Di depan bhikkhu tersebut saya mendengar dan menerima pernyataan: "Ini dhamma, ini vinaya dan ini ajaran Guru."
Para bhikkhu, kata-kata yang diungkapkan oleh bhikkhu itu seharusnya tidak diterima dengan pujian maupun celaan. Tanpa pujian dan celaan semua kata dan ungkapan itu haruslah dimengerti dengan baik dan dibandingkan dengan Sutta dan Vinaya. Bila setelah dibandingkan, kata-kata dan ungkapan itu tidak sesuai dengan Sutta dan Vinaya, maka kamu sekalian dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya itu bukan ucapan Sang Bhagava dan telah disalahmengerti oleh bhikkhu itu. Kamu sekalian harus menolak pernyataan itu. Tetapi, jikalau kata-kata dan ungkapan itu sesuai dengan Sutta dan Vinaya, maka kamu sekalian dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya itu ucapan Sang Bhagava dan telah dimengerti dengan baik oleh bhikkhu itu. Ini harus diterima sebagai Mahapadesa keempat."
12. Juga di cetiya Ananda, Bhoganagara, Sang Bhagava sering memberi nasehat kepada para bhikkhu: "Ini adalah kebajikan moral (sila), ini adalah meditasi (samadhi) dan ini adalah kebijaksanaan (panna). Besar sekali pahala dan kemajuan bila meditasi dikembangkan berdasarkan pada sila yang baik. Besar sekali pahala dan kemajuan bila kebijaksanaan dikembangkan berdasarkan meditasi (samadhi) yang baik. Batin yang dikembangkan berdasarkan pada kebijaksanaan yang baik akan bebas dari kotoran batin seperti nafsu indera (kamasava), nafsu untuk 'menjadi' (bhavasava) dan pandangan salah (ditthasava)."
13. Setelah Sang Bhagava lama berdiam di Bhoganagara, beliau berkata kepada Ananda : "Ananda, marilah kita pergi ke Pava."
"Baiklah, bhante," jawab Ananda. Demikian Sang Bhagava tinggal di Pava bersama sejumlah besar bhikkhu dan tinggal di Ambavana milik Cunda, pandai besi.
SANTAPAN
SANG BHAGAVA YANG TERAKHIR
14. Cunda pandai-besi, setelah mengetahui bahwa Sang Bhagava telah tiba lalu berkata: "Sang Bhagava, telah tiba di Pava dan berdiam di Ambavana milikku." Cunda lalu menghadap Sang Bhagava, sesudah memberi hormat dengan khidmat kepada beliau, kemudian duduklah ia pada salah satu sisi. Sang Bhagava mengajarkan Cunda, pandai-besi, tentang dhamma yang telah membangkitkan semangatnya dan menyebabkan hatinya sangat gembira.
15. Kemudian Cunda berkata kepada Sang Bhagava: "Dapatkah kiranya Sang Bhagava menerima undangan kami untuk makan esok pagi bersama dengan para bhikkhu?" Sang Buddha bersikap diam. Dengan sikapnya yang diam itu berarti Sang Bhagava menyetujui permohonan Cunda.
16. Karena telah yakin akan persetujuan Sang Bhagava itu. Maka Cunda, pandai-besi, berdiri dari tempat duduknya. Menghormat dengan khidmat kepada Sang Bhagava lalu mengundurkan diri meninggalkan beliau.
17. Cunda pandai-besi, sejak semalam telah membuat makanan yang keras serta yang lunak dan makanan yang terdiri dari Sukaramaddava (jamur). Kemudian ia memberitahukan kepada kepada Sang Bhagava: "Bhante, silahkan. Makanan telah siap."
18. Pada waktu pagi Sang Bhagava menyiapkan diri, membawa patta dan jubah, pergi dengan para bhikkhu ke rumah Cunda. Di sana beliau duduk di tempat yang telah disediakan, dan berkata kepada Cunda: "Hidangan Sukaramaddava (jamur) yang telah saudara sediakan, hidangkanlah itu untukku. Sedangkan makanan lain yang keras dan lunak, saudara dapat hidangkan kepada para bhikkhu."
"Baiklah, bhante," jawab Cunda. Sukaramaddava (jamur) yang telah disediakannya, dihidangkannya untuk Sang Bhagava, sedangkan makanan keras dan lunak lainnya dihidangkannya kepada para bhikkhu.
19. Sesudah itu Sang Bhagava berkata kepada Cunda: "Cunda, sisa-sisa Sukaramaddava yang masih tertinggal, tanamkanlah dalam sebuah lobang, karena kami lihat di dunia ini di antara para dewa, Mara, Brahmana, para samana atau Brahma, atau pun manusia, tidak ada seorang pun yang sanggup memakannya atau mencernakannya, kecuali Sang Tathagata sendiri."
Cunda menjawab: "Baiklah, bhante."
Demikianlah
sisa Sukaramaddava yang tertinggal itu ditanamkannya dalam sebuah lobang.
Setelah itu ia kembali kepada Sang Bhagava memberi hormat dengan khidmat kepada beliau dan duduk pada salah satu sisi. Kemudian Sang Bhagava mengajarkan Cunda pandai-besi itu mengenai pelajaran yang membangkitkan semangat, yang berisi penerangan yang menggembirakan hatinya. Sesudah itu beliau bangun dari tempat duduknya pergi meninggalkan Cunda.
20. Sebenarnya sesudah Sang Bhagava menyantap santapan yang dihidangkan oleh Cunda, pandai-besi itu, beliau telah diserang sakit perut yang sangat mengerikan. Beliau merasakan rasa sakit yang sangat parah dan hebat sekali. Tetapi Sang Bhagava dapat melawan rasa sakitnya dengan penuh kesadaran, pengertian dan dengan penuh ketenangan.
Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ananda: "Ananda, marilah kita ke Kusinara."
Ananda menjawab: "Baiklah, bhante."
"Kami telah mendengar: 'Ketika Sang Bhagava makan hidangan yang dihidangkan oleh Cunda, dengan ketabahan hati dan ketenangan beliau menahan penderitaan yang hebat.' Hal ini terjadi karena Sang Bhagava makan Sukaramaddava (jamur) yang dihidangkan oleh Cunda. Tetapi dengan tenang dan tabah beliau berhasil menahan rasa sakit yang datang sekonyong-konyong itu. 'Marilah kita ke Kusinara,' kata beliau dengan penuh kesabaran."
21. Kini, dalam perjalanan itu Sang Bhagava tidak melalui jalan raya dan kemudian berhenti di bawah sebatang pohon. Beliau bersabda kepada Ananda: "Lipatlah jubah luarku empat kali Ananda dan letakkan di bawahku. Aku sangat letih, aku mau beristirahat sebentar." "Baiklah, bhante," jawab Ananda dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Sang Bhagava.
22. Sang Buddha duduk pada tempat yang disediakan baginya dan bersabda kepada Ananda: "Ananda tolonglah bawakan aku sedikit air, aku haus dan ingin minum."
Ananda menjawab: "Bhante, baru saja sejumlah lima ratus pedati telah menyeberangi sungai yang dangkal di bagian itu, dan roda-rodanya telah mengeruhkan air sungai ini. Sebaiknya kita pergi ke sungai Kakutha yang tidak jauh dari sini. Air sungai itu sangat jernih, sejuk dan bening. Sungai itu mudah dicapai dan letaknya sangat baik. Di sana bhante dapat menghilangkan rasa haus dan menyegarkan tubuh.
23-24. Kemudian untuk kedua kalinya Sang Bhagava mengulangi permintaannya, tetapi Ananda menjawab seperti semula. Kemudian untuk ketiga kalinya Sang Bhagava bersabda: "Bawalah sedikit air, penuhi permintaanku Ananda, Aku amat haus dan ingin minum."
Lalu Ananda menjawab demikian : "Baiklah, bhante." Ananda mengambil mangkok ke sungai itu.
Air sungai yang dangkal yang telah dilalui oleh pedati-pedati sehingga airnya menjadi sangat keruh dan kotor. Tetapi sekonyong-konyong kotoran dalam air mengendap, air menjadi bening dan jernih. Dengan gembira Ananda lalu menghampirinya.
25. Ananda berkata dalam hatinya : "Sungguh mengherankan dan luar biasa. Sebenarnya semua ini terjadi tidak lain karena kemuliaan dan kekuatan Sang Tathagata."
Ananda lalu mengambil air itu dengan mangkok dan membawanya kepada Sang Bhagava sambil berkata: "Sungguh mengherankan dan luar biasa. Semuanya ini terjadi karena kekuatan dan kemuliaan Sang Tathagata. Air sungai yang dangkal itu yang telah dilalui oleh pedati-pedati, airnya menjadi keruh dan kotor. Tetapi ketika saya menghampirinya tiba-tiba kotorannya mengendap, menjadi bening dan sungguh menyenangkan. Bhante, silahkan minum." Sang Bhagava minum air itu.
PUKKUSA SUKU MALLA
26. Pada suatu hari ada seorang bernama Pukkusa, dari suku Malla, siswa dari Alara Kalama, lewat di situ dalam perjalanannya dari Kusinara ke Pava.
Ketika ia melihat Sang Bhagava sedang duduk di bawah sebatang pohon, ia menghampirinya sambil memberi hormat dengan hidmat dan duduk di salah satu sisi. Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagava demikian: "Sungguh mengherankan dan sungguh luar biasa. Hanya dengan ketenangan batin bhante dapat melewati hidup di alam keduniawian ini."
27. Dikisahkan pada suatu ketika, Alara Kalama sedang mengadakan perjalanan. Kemudian ia duduk di pinggir jalan, di bawah sebatang pohon, untuk menghindari terik sinar matahari. "Pada waktu itu kebetulan, bhante, sejumlah besar pedati bahkan lima ratus pedati, melewati tempat itu satu demi satu. Kemudian, seorang yang turut dalam iring-iringan pedati itu yang berada di belakang, menghampiri Alara Kalama yang sedang duduk itu dan berkata kepadanya demikian : "Apakah tuan melihat sejumlah besar pedati yang lewat tadi di sini?"
Alara Kalama
menjawabnya: "Saya tidak melihatnya sama sekali."
"Tetapi
suaranya, tentu tuan mendengarnya bukan?"
"Saya
sama sekali tidak mendengarnya."
Orang itu lalu
bertanya kepadanya : "Kalau demikian barangkali tuan sedang
tertidur?"
"Tidak
saudara, saya tidak tertidur."
"Apakah tuan dalam keadaan sadar?"
"Demikianlah
saudara."
Kemudian orang
itu berkata: "Jadi tuan sedang terjaga dan sadar, tetapi tuan tidak
melihat sejumlah pedati, bahkan lima ratus pedati yang melewati tuan satu demi
satu dan tuan juga tidak mendengar suaranya. Mengapa jubah tuan ini sangat
kotor dikotori debu?"
Alara Kalama
menjawab demikian: "Demikianlah keadaannya saudara."
Setelah orang itu melihat kejadian tersebut lalu timbul pikirannya demikian: "Sungguh mengherankan dan sangat luar biasa ketenangan mereka yang telah dapat meninggalkan hidup keduniawian." Maka timbullah kepercayaannya yang besar terhadap Alara Kalama.
Kemudian ia
pergi melanjutkan perjalanannya.
28. Kemudian Sang Bhagava berkata: "Pukkusa, bagaimana pendapatmu? Yang mana yang lebih sukar untuk dikerjakan, yang lebih sukar untuk ditemui, seseorang yang sedang sadar dan terjaga yang tak melihat-sejumlah besar pedati, bahkan lima ratus pedati, yang melewatinya satu demi satu, dan yang juga tidak mendengar suaranya. Kalau hal ini dibandingkan dengan seseorang yang sadar dan terjaga yang duduk di tengah-tengah hujan yang lebat disertai guntur menggelegar, halilintar menyambar dan petir bergemuruh, tetapi orang itu tidak melihat maupun mendengar suara halilintar yang menggeletar itu, bagaimana pendapatmu?"
29. "Bhante, tentu tidak sebanding, kelima ratus pedati, atau enam, tujuh, delapan, sembilan atau seribu bahkan beratus atau beribu-ribu pedati, kalau dibandingkan dengan kejadian ini."
30. "Pernah terjadi pada suatu ketika, Pukkusa, tatkala aku sedang
di Atuma dan duduk di dalam sebuah kandang sapi di sana. Pada waktu itu
terjadilah hujan lebat dengan guntur menggelegar, halilintar dan petir
menggemuruh. Atas kejadian itu dua orang petani bersaudara mati dekat kandang
itu bersama dengan empat ekor sapinya. Kemudian sejumlah orang berdatangan dari
Atuma di tempat kejadian itu."
31. "Pukkusa, pada saat itu, saya keluar kandang itu sambil berjalan di depan pintu saya merenungkan sesuatu. Tiba-tiba seorang dari mereka itu datang menghampiri aku, sambil memberi hormat dengan hidmat dan berdiri di samping."
32. Setelah itu aku bertanya kepadanya: "Mengapa banyak orang berkumpul ke mari?" Ia lalu menjawab: "Bhante, baru saja turun hujan yang sangat lebat dan guntur menggelegar, halilintar menyambar dan petir gemuruh. Dua orang petani bersaudara telah meninggal disambar petir di dekat kandang ini bersama empat ekor sapi. Sebab itulah orang-orang ini datang berkumpul ke mari, tetapi, di manakah Bhante berada tadi?"
"Saya ada
di sini, saudara."
"Kalau
demikian apakah Bhante tidak tahu kejadian tadi?"
"Saya tak
melihatnya, saudara."
"Tetapi
suaranya, Bhante tentu mendengarnya."
"Saya
juga tidak mendengarnya."
Kemudian orang
itu bertanya kepadaku: "Kalau demikian, Bhante barangkali sedang
tidur?"
"Tidak
saudara, saya tidak tidur."
"Lalu
apakah Bhante pada saat itu dalam keadaan sadar?"
“Demikianlah adanya saudara”.
Kemudian orang
itu berkata: "Jadi Bhante pada saat itu berada dalam keadaan sadar dan
terjaga di tengah-tengah hujan yang lebat, yang disertai guntur yang gemuruh
suaranya. Sementara ada suara halilintar menyambar-nyambar dan suara petir
menggelegar tetapi Bhante tidak melihat atau mendengarnya?"
Saya menjawab:
"Tidak saudara."
33. Pukkusa berkata dalam hatinya : "Sungguh mengherankan dan sangat
luar biasa, ketenangan mereka yang telah dapat membebaskan diri dari
keduniawian."
Timbullah dalam dirinya kepercayaan yang amat besar kepadaku. Ia lalu menghormat dengan hidmat padaku dan kemudian ia mengundurkan diri.
34. Setelah beliau berkata demikian, Pukkusa dari suku Mala itu berkata kepada Sang Bhagava : "Kepercayaan kami, terhadap Alara Kalama sekarang telah lenyap bagaikan ditiup angin topan yang maha besar. Biarlah kepercayaanku kepadanya terbawa pergi oleh angin yang bertiup kencang luar biasa ini.
Sesungguhnya, Bhante adalah orang yang telah menegakkan kembali apa yang pernah tumbang atau mengeluarkan apa yang pernah tenggelam, atau menunjukkan jalan kepada seseorang yang telah tersesat atau menyalakan sebuah lampu di dalam kegelapan, sehingga mereka mempunyai mata dapat melihat. Di samping itu, Sang Bhagava telah mengajarkan Dhamma dengan berbagai cara. Karena itu perkenankanlah saya berlindung kepada Sang Bhagava, Dhamma dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima saya sebagai siswa. Saya menyatakan berlindung kepada Sang Tiratana sampai akhir hidup saya."
35. Kemudian Pukkusa berkata kepada seorang pembantunya: "Berikanlah
saya, dua perangkat jubah berwarna keemasan yang berkilauan yang dapat
dikenakan sekarang."
Orang itu
menjawab : "Baiklah tuan."
Setelah jubah itu diberikan kepadanya, Pukkusa mempersembahkanya kepada Sang Bhagava sambil berkata: "Semoga Sang Bhagava sudi menerima persembahan jubah ini."
Sang Bhagava
menjawab : "Kuterima jubah ini sebuah saja Pukkusa, dan yang lainnya
berikanlah kepada Ananda."
"Baiklah,
bhante."
Kemudian ia
menyerahkan jubah itu sebuah kepada Sang Bhagava dan sebuah lagi kepada
Ananda.
36. Setelah itu Sang Bhagava mengajarkan Dhamma kepada Pukkusa yang telah membangunkan semangatnya untuk mencapai penerangan dan yang sangat menggembirakan hatinya. Sesudah itu Pukkusa lalu bangun dari tempat duduknya dan memberi hormat dengan hidmat kepada Sang Bhagava lalu mengundurkan diri.
37. Segera setelah Pukkusa pergi Ananda lalu mengatur seperangkat jubah
berwarna keemasan, yang berkilauan cahayanya dan kemudian mengenakannya, di
badan Sang Bhagava. Tetapi ketika jubah itu telah dikenakan di badan Sang
Bhagava, tiba-tiba jubah tersebut menjadi pudar warnanya dan sirna
keindahannya.
Ananda lalu
berkata kepada Sang Bhagava: "Bhante, sungguh mengherankan dan sangat luar
biasa. Alangkah terang dan indah cahaya kulit tubuh Sang Tathagata. Jubah yang
berwarna keemasan ini, yang berkilauan cahayanya, setelah bhante kenakan,
cahayanya menjadi suram dan keindahannya sirna."
"Ananda, memang demikianlah. Ada dua kejadian di mana tubuh Sang Tathagata nampak luar biasa terangnya dan bercahaya. Apakah kedua kejadian itu?
Pada, malam
Sang Tathagata mencapai Penerangan Sempurna yang tidak ada bandingannya dan
pada malam Sang Tathagata sampai pada akhir kehidupannya, parinibbana, di mana
tidak ada lagi unsur-unsur dan sisa keinginan. Tubuh Sang Tathagata nampak luar
biasa bercahaya terang benderang.
38. "Ananda, malam ini pada saat-saat terakhir di kebun Sala milik suku Mala, di dekat Kusinara, di antara dua pohon Sala, Sang Tathagata akan mangkat, parinibbna. Karena itu marilah kita pergi ke sungai Kakuttha.
Ananda
menjawab : "Baiklah, bhante."
Dengan
mengenakan jubah yang dipersembahkan oleh Pukkusa, jubah yang dijalin dengan
benang emas, namun tubuh Sang Guru nampaknya lebih bercahaya dan indah sekali
kelihatannya.
DI TEPI SUNGAI KAKUTTHA
39. Kemudian Sang Bhagava pergi ke sungai Kakuttha bersama dengan sekumpulan para bhikkhu. Setelah tiba di tepi sungai itu, Sang Bhagava mandi. Setelah Sang Bhagava mandi, Beliau pergi ke Ambavana. Di tempat ini Beliau berkata kepada Cundaka: "Cundaka tolonglah lipat jubah luarku, lipatlah dalam empat lipatan lalu letakkan di bawah tubuhku. Aku merasa lelah dan ingin beristirahat sebentar." "Baiklah, bhante." Cundaka pun melipat jubah itu dalam empat kali lipatan dan meletakkannya di bawah tubuh Sang Buddha.
40. Sang Bhagava membaringkan tubuhnya pada sisi kanannya, dengan sikap seperti singa, dan meletakkan salah satu kakinya di atas kakinya yang satu lagi, dengan sikap demikian Beliau selalu tetap sadar, penuh perhatian dan setiap saat dapat bangun dengan mudah. Cundaka menempatkan dirinya di depan Sang Bhagava.
41. Sang Buddha pergi ke sungai Kakuttha yang airnya jernih sejuk menyegarkan. Beliau mandi untuk menyegarkan badannya yang lelah. Sang Buddha yang dihormati dalam semua alam. Setelah selesai mandi dan minum, Sang Buddha lalu berjalan meliwati para bhikkhu yang kemudian mengiringnya. Sang Guru Jagat kemudian pergi ke Ambavana untuk membicarakan dhamma. Di sana Beliau berkata kepada Cundaka, tolonglah lipat jubah luarku dalam empat lipatan, kemudian letakkan di bawah tubuhku.
Dengan segera Cundaka mengerjakannya dengan rapi. Sesuai dengan permintaan Sang Bhagava. Setelah itu Sang Bhagava berbaring di atas alas itu. Sedangkan Cundaka duduk di hadapannya.
MENGHILANGKAN PENYESALAN CUNDA
42. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ananda: "Ananda, kemungkinan ada orang akan menyesali dan menyalahkan Cunda, pandai besi, dengan berkata: "Sungguh sial kau Cunda, karena perbuatan kamu, Sang Tathagata telah makan santapan untuk terakhir kalinya."
Dalam hubungan
ini Ananda, tuduhan terhadap Cunda itu dapatlah dijelaskan sebagai berikut:
"Suatu rahmat bagimu, Cunda dan ini benar-benar suatu berkah, bahwasanya
karena kamulah Sang Tathagata memperoleh makanan sebagai dana yang terakhir dan
setelah itu Beliau mangkat. Hal ini saudara, aku telah mendengar sendiri,
langsung dari Sang Bhagava yang menyatakan: "Ada dua macam makanan, yang
mempunyai pahala, yang mempunyai nilai kebaikan yang sama, yang melebihi nilai
dari semua dana makanan yang lainnya. Dana manakah itu? Dana yang pertama
adalah dana makanan yang pertama kalinya di makan oleh Sang Tathagata, setelah
beliau mencapai penerangan sejati, dana ini tiada bandingannya. Dana yang kedua
ialah dana makanan terakhir yang dimakan oleh Sang Tathagata sebelum beliau
parinibbana, di mana semua unsur-unsur ikatan tidak akan timbul lagi. Maka
perbuatan yang telah dilakukan saudara Cunda adalah berkah yang mengakibatkan
panjang umur, rupawan, kesejahteraan, kemuliaan, akan lahir di alam sorga dan
mendapat kedudukan yang tinggi." Demikianlah Ananda, kau jelaskan tentang
diri Cunda pandai besi itu.
43. Sang Bhagava, karena mengerti masalah tersebut, lalu mengucapkan syair dengan hidmat:
Orang yang memberi
kebajikan berkahnya akan bertambah;
Orang yang dapat
mengendalikan diri, tidak akan membenci;
Orang yang tekun
dalam kebajikan terhindar dari kejahatan;
Dengan membuang
nafsu dan kebencian serta khayalan;
Maka ia akan
mencapai ketenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar